1000 kisah Jakarta dari satu jalan-jalan di sebuah hari yang cerah. Begitu salah satu idenya. Huans Sholehan dari Jakarta Good Guide optimistis mal bukanlah pilihan pertama buat orang-orang yang ingin menikmati waktu libur di Jakarta kendati citra surga belanja sudah melekat di kota ini sejak lampau.
1.000 Kisah Jakarta
Memang Jakarta kini memiliki lebih dari seratus pusat perbelanjaan yang menjanjikan kenikmatan mata memandang. Namun, mal tak memiliki banyak kisah. Di jalanan yang sering kita lewati, bisa ditemukan banyak kisah.
Seperti Sabtu pagi di awal bulan ketiga kala itu, pria yang sudah tujuh tahun berkarya sebagai pramuwisata ini mengajak tamu-tamunya merasakan sensasi mengenal Jakarta melalui tempat yang sebenarnya tak pernah terpikir menyimpan banyak histori. Tentu dengan cara yang tak biasa.
Tepat di bawah Patung Pembebasan Irian Barat, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Huans berdiri dikelilingi 20 orang. Mereka memusatkan pandangan kepada pria bertubuh mungil berkulit legam ini, mencerna baik-baik setiap instruksi.
“Rute jalan-jalan kita hari ini adalah Lapangan Banteng sampai Balai Kota DKI. Kita akan jalan kaki dan berhenti di tempat-tempat tertentu,” tuturnya.
Ajakan ini bikin mulut menganga. Ya, memang cukup mengejutkan. Selain rute berwisata yang tak terduga, upaya menepis keraguan terhadap Jakarta yang tak ramah bagi para pedestrian kembali dibangkitkan. “Kalau capek, boleh minta izin untuk istirahat. Lalu jangan lupa pakai topi atau payung, seperti yang sudah saya informasikan sebelumnya,” ucapnya.
Huans lantas menjelaskan sejenak tentang kondisi Lapangan Banteng masa lampau. Dulunya, kata dia, kawasan bernama Waterlooplein ini dihuni beragam satwa liar. Juga menjadi tempat bertumbuhnya pepohonan rimbun berusia puluhan hingga ratusan tahun.
Arsa, turis dari Kanada yang turut bergabung dengan tur, mengangguk-anggukkan kepala, menyiratkan tanda mengerti. Ia tak kesulitan memahami penjelasan Huans lantaran pemandu ini mengajak para tamunya bertutur dalam bahasa Inggris. “Aku tidak banyak mengerti tentang Indonesia sebelumnya. Aku hanya lima hari di Jakarta dan aku harus berterima kasih kepada Huans karena ia memberi secuil pengetahuan yang berguna, termasuk soal Lapangan Banteng,” katanya.
Rombongan lalu bergerak menuju Gereja Immanuel. Gereja yang dibangun atas dasar kesepakatan antara umat reformasi dan umat Lutheran di Batavia itu memiliki gaya klasik yang khas. Sayangnya, kala itu, turis tak bisa masuk. Sebab, pintu gerbang masih terkunci rapat. Masyarakat umum boleh masuk kalau ada jadwal ibadah.
“Padahal, kalau boleh ke dalam, kita bisa lihat orgel, alat musik bersejarah yang hanya ada tiga di dunia. Salah satunya di gereja ini,” ucap Reza, peserta tur, yang memberi sumbangan pengetahuan.
Tur ini memang tak hanya berjalan satu arah. Artinya, bukan cuma pemandu yang memberi informasi, melainkan para peserta. Timpal-menimpal pengetahuan pun terjadi sepanjang perjalanan. Obrolan hangat dari satu peserta ke peserta lain pun mengalir meski baru kenal dalam hitungan menit.
Sambil berarak meninggalkan Gereja Immanuel dan beralih menuju Galeri Nasional, Chila, warga asal Yogyakarta, yang baru satu tahun bekerja di Jakarta, berkisah tentang asyiknya ikut tur bersama Jakarta Good Guide. “Aku punya teman-teman baru di sini. Bahkan kami janjian ikut tur keliling Jakarta hampir setiap bulan di akhir pekan,” tuturnya. “Konsepnya juga menarik, jalan kaki. Aku bisa bakar kalori, he-he-he,” ujarnya bersenda gurau.
Peserta tur lain lantas terus meniti langkah, menyigi setiap kisah yang pernah terjadi pada masa lalu di kota yang dulunya bernama Batavia ini. Deru klakson dari satu-dua kendaraan pribadi tak mengganggu kekhusyukan mereka menghayati cerita demi cerita.
Di sepanjang jalur, Huans tak lupa mempersilakan turisnya mengambil gambar, memotret keindahan Jakarta, dan mengabadikan momen yang bisa tertangkap dari sisi pejalan kaki. Sembari menuju Tugu Tani hingga perhentian terakhir, yakni Balai Kota DKI, kebobrokan dan kerusakan infrastruktur boleh dipotret, lantas dikirim ke pemerintah melalui aplikasi Qlue. “Kita jangan cuma jalan-jalan, tapi juga harus memberi sumbangan terhadap perubahan,” tutur Huans. l
Menyingkap Jakarta Good Guide
Jakarta Good Guide resmi berdiri pada 2014. Sejatinya adalah perkumpulan yang dibentuk Farid dan Candha, dua anak muda yang punya kepedulian terhadap sejarah, yang ingin mengajak banyak orang menikmati kota dengan cara berjalan kaki.
Hingga kini, perkumpulan itu punya enam pemandu yang siap mendampingi turis setiap hari. Mereka membuka program walking tour mulai Senin hingga Minggu. Durasi waktu masing-masing rute ialah 2-3 jam, tergantung pada jarak tempuh. Umumnya dilaksanakan setiap pukul 09.00-12.00.
Sejak didirikan hingga sekarang, sudah ada 14 rute yang ditawarkan. Semuanya melingkupi kawasan bersejarah di Jakarta, misalnya China Town, Kota Tua, Jatinegara, hingga M.H. Thamrin. Bila ingin bergabung, peserta cukup mendaftarkan diri melalui media sosial atau website jakartagoodguide.wordpress.com. Tak ada kuota minimal dan maksimal untuk setiap kelompok. Menariknya lagi, tak ada tarif khusus yang dipatok.
“Kalian boleh memberi donasi berapa pun, tergantung pada servis yang kami berikan.” Demikian mereka menerapkan aturan. l
F. Rosana