3 kampung adat di Flores, mungkin belum banyak yang tahu. Pulau di Nusa Tenggara Timur ini mungkin lebih dikenal karena ke-eksotisan alamnya, juga ragam budayanya. Padahal, wilayah ini memiliki jejak budaya berupa kampung adat yang harus terus dijaga kelestariannya.
3 Kampung Adat di Flores
Pemandangan berupa barisan pegunungan tampak elok mengelilingi kampung-kampung adat ini. Kampung adat apa saja yang ada di sepanjang Flores ini.
Kampung Bena
Di tengah Pulau Flores, tepatnya 19 kilometer di sisi selatan Bajawa, masih di Kabupaten Ngada dan berporoskan Gunung Inerie (2245 mdpl), kampung adat yang mengesankan kehidupan zaman batu ini bisa dijumpai. Di tanah adat itu, sekitar sembilan suku yang terdiri atas 326 orang menempati 45 rumah kayu, yang dibangun sejajar dan berhadap-hadapan. Sembilan suku itu adalah Bena, Dizi, Dizi Azi, Wahto, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khopa, serta Ago. Pembedanya, rumah dipisahkan oleh tingkatan-tingkatan. Masing-masing suku menempati satu tingkat. Tingkat paling tengah dihuni suku Benayang dianggap paling tua danpionir pendiri kampung.
Tradisi dipertahankan di sini, seperti mengunyah sirih pinang, berladang, serta menenun kain tradisional. Pemandangan berupa barisan pegunungan mengelilingi kampung tersebut. Komunikasi antarsuku menggunakan bahasa daerah, yakni Nga’dha. Perlu perjalanan darat lebih kurang sembilan jam dari Labuan Bajo untuk menjangkau lokasi ini. Bisa juga via udara menuju Bandar Udara Soadi, dilanjutkan perjalanan darat lebih kurang satu jam.
Kampung Wae Rebo
Tujuh rumah kerucut berjuluk mbaru niang, yang dipercaya merupakan warisan nenek moyang dari Minang, berdiri gagah di puncak gunung sebuah desa bernama Wae Rebo di Flores, Nusa Tenggara Timur. Ketujuhnya disusun melingkar, membentuk perkampungan mini yang misterius. Rumah itu menjulang tinggi mencapai 15 meter. Di dalamnya bercokol ruangan lima lantai dan setiap tingkat memiliki makna berlainan.
Tingkat pertama disebut luntur, tempat berkumpul keluarga. Tingkat kedua adalah loteng atau lobo untuk menyimpan logistik dan kebutuhan sehari-hari. Tingkat ketiga ialah lentar, penyimpananbenih tanaman. Keempat disebut lempa rae, gudang stok makanan bila terjadi kekeringan. Terakhir, hekang kode, biasanya sebagai tempat sesaji. Untuk menjangkaunya, pelancong harus menuju Desa Denge sekitar dua jam dari Rutengdengan kendaraan bermotor. Dilanjutkan pendakian sekitar tiga sampai empat jam dengan medan cukup ekstrem.
Kampung Gurusina
Tak hanya Bena, Kabupaten Ngada punya Kampung Gurusina. Letaknya di Desa Watumanu, Jerebu’u, masih di kaki Gunung Inerie. Kampung tersebut ditengarai sudah ada sejak 5.000 tahun silam dan digadang-gadang menjadi yang tertua di tanah bunga, Flores. Terdiri atas33 rumah yang dihuni tiga suku besar: Kabi, Agoazi, dan Agokae. Penataan rumahnya mirip di Kampung Bena, yakni berjajar dan berhadap-hadapan. Para lelakipunmenjadi peladang cengkeh, kemiri, kakao, serta jambu mete.
Hanya tradisi menyimpan ari-ari anaknya di dalam batok kelapa, yang membuat masyarakat ini unik. Ari-ari itu lantas ditempatkan di dahan pohon yang paling tinggi dan rindang. Dengan tradisi ini, anak-anak dipercaya akan menjadi penurut serta pelindung. Selain itu, kelak dapat menaburkan perdamaian di mana pun.
F. Rosana