Makan bareng saat diet perlu memberhatikan tiga hal ini. Foto: Fran TL

8 suguhan laut Sulawesi bisa dinikmati di Jakarta. Semua bahan utama didatangkan dari Celebes atau Sulawesi. Dan kerinduan menikmati kuliner khas Sulawesi pun terobati.

8 Suguhan Laut Sulawesi

Segelas jus dari sirop markisa mendarat di meja kayu. Warnanya jingga cerah, serona layung yang melungsur di balik bangunan-bangunan jangkung di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Bila diaduk, di bagian atasnya mengapung buih-buih putih alami, membentuk gradasi warna yang cukup membuat mata kepincut. “Sirop ini asli Makassar dan dibuat secara manual, dari buah asli, bukan sari,” tutur salah seorang pramusaji Restoran Sulawesi, memecah konsentrasi.

Di Sulawesi@Mega Kuningan, rumah makan premium yang baru buka pada Juni 2016—hasil ekspansi dari Restoran Sulawesi—hampir semua bahan utama yang mereka olah didatangkan langsung dari pulau berjuluk Celebes. Pemiliknya, Darmawan Halim dan keluarga, ingin membumikan kenikmatan penganan khas Sulawesi, khususnya Makassar, di kota-kota urban, layaknya Jakarta.

Tak heran kalau sirop markisa, yang sejatinya bisa ditemukan di mana pun, harus didatangkan langsung dari daerah asalnya. “Karena rasanya pasti berbeda. Yang dibeli langsung di Makassar punya cita rasa lebih segar dan orisinal,” ujar Diah, karyawan di resto ini. Memang lidah tak bisa menepis. Rasa markisa yang meluncur ke dalam mulut punya karakter kuat. Manisnya alami dan tak bikin tenggorokan sakit.

Segelas minuman autentik ini baru jadi pembuka untuk rentetan menu khas Sulawesi yang bakal dipesan selanjutnya. Pelayan yang ramah merekomendasikan beberapa kudapan andalan, yang juga umum digemari pengunjung. “Biasanya, tamu memilih seafood,” kata salah satu pramusaji.

Memang jagoan piring di sini adalah para penghuni laut. Ada beragam jenis ikan yang disajikan, seperti sukang, kaneke, baronang, katamba, kudu-kudu, papakulu, gelama, sunu, dan leccukan. Kedengarannya asing karena jenis itu umumnya hanya ditemukan di perairan timur Indonesia.

Sebagai awalan, keneke bakar tradisional menjadi pilihan. Ikan yang disajikan kala itu berukuran lebih-kurang 1,3 kilogram. Cukup disantap ramai-ramai sekitar lima orang. Cara pembakaran yang menggunakan arang batok membikin aroma ikan makin mencagun, menggelitik nafsu untuk segera melibasnya. Tekstur dagingnya tak rusak karena waktu pembakarannya pas.

Ikan ini nikmat disantap dengan tiga sambal khas yang ditata di sebelahnya, yaitu dabu-dabu, mangga camangi, dan petis. Meski judulnya sambal, rasa pedasnya tak terlalu mencuat dan tidak merusak rasa asli ikan.

Menu selanjutnya sukang rica. Ikan itu cukup berdaging dan tak banyak duri. “Memang makan di sini tak perlu ripuh memilah daging dengan duri,” ucap pramusaji tadi lagi. Selain gampang menyantapnya, bumbu khas yang disiram di atas ikan membikin lidah tak berhenti bergoyang. Ada dua bumbu yang bisa dipilih, yakni rica (pedas) dan parepe (manis).

Bumbu manis dibikin dari bawang putih, gula aren, dan bumbu rahasia lain. Meski bawang terlihat mendominasi, aromanya tak mencolok dan tidak membuat mulut bau. Selain berfungsi sebagai penyelaras, keberadaannya berjasa memperkaya tekstur dengan serat yang ditimbulkan dari tumbukan kasar. Sedangkan bumbu pedas dikhususkan bagi pecinta sambal. Cabai yang digunakan berjenis rawit. Aroma dan warnanya segar serta menggugah selera makan.

Bila sukang dan keneke cocok diolah dengan bumbu khas Makassar, kudu-kudu tak demikian. Ikan jenis ini lebih nikmat dimakan dengan ramuan populer, layaknya goreng asam manis. Sebab, ketika sedang menyantapnya, bukan bumbu yang dinikmati, tapi teksturnya yang unik. Dagingnya kenyal dan lentur. Cara membunuhnya juga harus dengan teknik tertentu supaya tidak muncul aroma anyir. Misalnya, menusuk ujung kepala ikan dengan besi khusus hingga terkena bagian sarafnya.

Waktu menyantap jenis ikan-ikanan pun selesai. Selanjutnya, sebagai teman menikmati langit meredup, menyaksikan lampu Ibu Kota yang mulai berpendar, dan mengintip para raja jalanan menyemut di sepanjang jalur Prof Dr Satrio, yang tampak dari jendela restoran yang bertengger di lantai dua Menara BTPN Mega Kuningan, kepiting woku lantas menjadi pilihan.

Woku merupakan bumbu khas Manado. Rasa dan aromanya cukup tebal karena dipadukan dengan rempah-rempah beraneka ragam. Untuk yang tak biasa, mereka bakal merasa enek setelah menyantapnya. Namun yang disajikan di sini lain dari biasanya. Ahli masak mengontrol jumlah rempah-rempah sehingga tak ada yang berlebihan dan tidak terasa ada salah satu bahan yang mendominasi.

Meski perut sudah penuh, keinginan mengeksplorasi menu masih menjadi-jadi. Udang bakar bumbu tradisional dan menu-menu berkuah pun dipilih. Di antaranya udang sitto xl tradisional, sop pallu basa (yang serasi dinikmati bareng buras), dan mi titi. Ditambah lagi dengan nasi goreng merah seafood dengan cita rasa istimewa.

Yang spesial dari sup pallu basa adalah kuahnya yang berpadu dengan kelapa parut ditambah pala, rempah-rempah, dan bumbu istimewa sehingga memunculkan wewangian khas yang selalu dijumpai pada masakan Nusantara. Sedangkan sunu kuah asam menjadi favorit lantaran ikan yang digunakan masih segar. Irisan tomat dan cabai menguatkan aroma kaldu, apalagi ketika kuah masih mengepul.

Keenakan mengecap satu per satu para penghuni laut yang sudah tak berdaya di piring bidang, larut ternyata makin luruh. Alunan jazz Ain’t No Sunshine versi saksofon lantas membikin mata sedikit-sedikit mulai mengatup. Saat seperti ini lebih asyik dimanfaatkan untuk menikmati suasana malam Jakarta yang bisa diintip jelas dari dalam restoran. Di sisi lain, para tamu lain masih sibuk memburu kenikmatan. Bangku-bangku berkapasitas 150 orang malam itu tampak penuh. Sehari-harinya pun begitu.

F. Rosana/Frann/Dok TL

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi