Gerabah Plered memiliki jejak sejak zaman Neolitikum. Foto: Disparbud Jabar

Gerabah Plered dikenal banyak orang bahkan hingga manca negara. Tempat ini memang dikenal sebagai sentra kerajinan gerabah dan keramik tradisional. Bahkan, konon, jejaknya sudah ada sejak zaman neolitikum. Betulkah begitu?

Gerabah Plered

Mungkin banyak yang belum tahu sejarah panjang dari kerajinan Plered ini, yang merupakan sebuah kecamatan di daerah Purwakarta, Jawa Barat. Kawasan dengan jumlah penduduk lebih dari 54 ribu jiwa ini dulunya merupakan perkebunan kopi dalam politik tanam paksa pemerintah kolonial Belanda.

Kala itu, hasil perkebunan daerah tersebut dibawa ke Bandung untuk dikirim ke Tanjung Priok via sungai Citarum. Untuk membawa hasil perkebunan, digunakanlah pedati yang oleh warga setempat menyebutnya ‘palered’. Diyakini inilah asal-usul nama daerah ini.

Selain itu, tempat ini sudah memiliki budaya membuat gerabah dan keramik dari sejak zaman Neolitikum. Pada saat itu, di area tersebut ditemukan artefak seperti kapak persegi, periuk, dan lain-lainnya beserta alat untuk membuatnya.

Gerabah Plered mencapai masa kejayaannya sejak 1990-an.
Tempat pembakaran gerabah Plered, Purwakarta. Foto: Dok. Disparbud Jawa Barat

Dari situ, teknik kerajinan gerabah dan keramik diturunkan dari generasi ke generasi. Meski tak banyak yang tahu secara pasti bagaimana budaya ini berkembang dan diwariskan, tetapi sebuah desa di kawasan Plered bernama desa Anjun disebut sebagai tempat kerajinan ini pertama kali muncul.

Memang pada saat itu kerajinan ini belum populer di kalangan warga. Tapi pada sekitar 1790-an beberapa warga sudah terlihat memiliki lio atau alat pembakaran tanah liat yang digunakan untuk berkerajinan. Bahkan atap rumah di sekitar tempat itu sudah tidak lagi menggunakan ijuk, alang-alang atau daun kelapa, tapi menggunakan genteng.

Barulah pada sekitar era awal 1900-an kerajinan ini mulai lebih diperhatikan. Terdapat sebuah gedung yang difungsikan sebagai pabrik untuk membuat gerabah dan keramik. Lambat laun, warga mulai berbondong-bondong ikut bekerja di situ.

Sejak 1935, usaha ini berkembang menjadi industri rumah tangga. Ada juga perusahaan dari Belanda yang mendirikan pabrik serupa, dengan nama Hendrik de Boa. Image kerajinan gerabah dan keramik pun semakin lekat dengan warga Plered.

Industri ini sempat mengalami kemunduran pada masa pendudukan Jepang dan gerakan perjuangan menuju kemerdekaan. Banyak warga yang turut berperang, atau harus bekerja romusha. Praktis, kegiatan produksi gerabah dan keramik bisa dibilang terhenti.

Tetapi setelah penyerahan kedaulatan Indonesia pada 1949, industri ini perlahan berangsur pulih. Kegiatan usaha kerajinan ini malah kemudian menjadi salah satu mata pencaharian utama warga setempat.

Pada 1950, Wakil Presiden Mohammad Hatta meresmikan pabrik tersebut dengan nama Induk Keramik. Fungsinya untuk memproduksi dan mengurusi hal-hal seperti bahan baku, permodalan dan desain. Warga juga bisa datang untuk belajar menjadi perajin.

Selain itu, dikirimkan juga mesin-mesin penghalus tanah liat buatan Jerman untuk menunjang produksi. Hasilnya, secara kuantitas dan kualitas industri gerabah dan keramik Plered mulai berkembang pesat, bahkan mulai mampu mengekspor produk-produknya.

Dalam perjalanannya, industri ini sempat mencatat beberapa pencapaian. Seperti misalnya pembuatan gentong besar setinggi 170 cm dan berdiameter 150 cm dalam rangka perhelatan Game of the New Emerging Force (Ganefo).

Tak hanya itu, mereka juga turut berpartisipasi dalam pembangunan masjid Istiqlal. Bagian badan utama dan menaranya terbuat dari batu bata merah hasil produksi Induk Keramik. Konon, tanah liat dari Plered bersifat lebih padat dan lengket, sehingga lebih kuat digunakan untuk bangunan.

Meski demikian, industri ini juga sempat mengalami kemunduran kala Induk Keramik mengalami kebangkrutan. Masa-masa pada tahun 1960 hingga 1970-an bisa dikatakan merupakan masa yang cukup sulit bagi mereka.

Gerabah Plered berinovasi dengan dibakar hanya satu kali kemudian digosok dan divernis.
Salah satu sentra porduksi gerabah dan keramik Plered. Foto: DOk. Disparbud Jawa Barat

Kemudian pada era 1980-an, industri ini mulai mencoba berinovasi. Gerabah dan keramik yang tadinya diproses dalam pembakaran sebanyak dua kali, kini hanya dilakukan sekali. Setelahnya, produk digosok, dicat dan dipernis agar terlihat lebih bagus. Lahirlah gerabah Plered era baru.

Ternyata, inovasi ini membuahkan hasil. Kuantitas dan kualitas produksi kembali meningkat, bahkan permintaan dari luar negeri pun mulai melonjak kembali. Akhirnya, sejak 1990-an industri ini kembali menemukan masa jayanya.

Dewasa ini, industri kerajinan tersebut masih terhitung cukup produktif dan laris di pasaran. Kendati sempat dihantam situasi tertentu yang menyebabkan permintaan turun seperti pandemi COVID-19, mereka tidak lagi mengalami kesulitan seperti di masa lalu.

Hanya saja, justru kini mereka terkadang sulit memenuhi permintaan konsumen yang cukup deras. Alasannya, kurangnya regenerasi perajin keramik dan gerabah Plered. Ini karena anak-anak muda di sana lebih memilih menjadi buruh pabrik atau kuli bangunan dengan gaji lebih besar ketimbang menjadi perajin.

Pemerintah setempat lantas mendirikan UPTD Litbang (Unit Pelaksana Teknis Dinas Penelitian dan Pengembangan) Sentra Keramik Plered. Ini merupakan satu-satunya bagi industri kerajinan keramik dan gerabah di Indonesia.

Tujuan dari UPTD Litbang utamanya untuk meriset jenis keramik dan gerabah yang diproduksi, sehingga dapat membantu proses pengembangan produk dan pemasarannya. Selain itu, mereka juga menjadi sarana edukasi baik bagi pengrajin baru maupun bagi wisatawan yang tertarik untuk belajar.

Diharapkan, para perajin gerabah Plered yang sudah eksis bisa terus berkarya dan berinovasi agar produknya terus digemari oleh konsumen. Selain itu, generasi muda juga didorong untuk mau melestarikan budaya kerajinan ini.

Jika ingin mampir, di sepanjang jalan raya Anjun hingga mengarah ke Pasar Plered lama banyak berjejer pusat produksi serta toko gerabah dan keramik. Dari catatan UPTD Litbang, setidaknya saat ini terdapat 221 pusat produksi gerabah dan keramik di Plered.

Jenis barang yang tersedia pun beragam. Umumnya, yang paling laris adalah pot dan vas bunga. Selain pasar domestik, pot dan vas bunga buatan mereka juga diekspor ke negara-negara di benua Asia, Eropa dan Amerika.

Selain barang tersebut, pengunjung juga bisa menemukan barang lain seperti cangkir, piring, celengan, kendi, dan lain-lain. Harganya beragam; ada yang berukuran kecil dengan motif sederhana dengan harga sekitar Rp 5 ribu hingga 8 ribu, tetapi yang berukuran besar dengan motif lebih rumit bisa ditemukan dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Sebagai catatan, gerabah dan keramik dibedakan dari bahan baku, proses pembuatan serta hasil akhirnya. Gerabah merupakan tanah liat murni yang dibakar dalam suhu di bawah 1000 derajat Celsius, dan baru dicat setelah jadi. Biasanya hasilnya cenderung bertekstur lebih kasar.

Sedangkan keramik adalah tanah liat dengan bahan campuran tertentu yang dibakar dalam suhu lebih dari 1000 derajat Celsius, dan sudah dicat sebelum dibakar. Hasilnya, produk lebih punya tekstur yang halus. Harganya pun relatif lebih mahal.

Kalau ingin belajar lebih lanjut tentang sejarah serta detail mengenai industri kerajinan gerabah dan keramik Plered, bisa mengunjungi Museum Keramik Plered. Atau bisa juga mengunjungi UPTD Litbang Sentra Keramik Plered bagi yang ingin belajar dan merasakan pengalaman membuat kerajinan gerabah dan keramik tradisional khas Plered.

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi