Keroncong Tugu warisan Portugis sejak abad 16 hingga kini masih terus bergema di kawasan Jakarta Utara. Tak banyak lagi yang memainkannya, memang, tapi Keroncong Tugu seolah menjadi prasasti keberadaan bangsa Eropa pertama yang menancapkan kakinya di Nusantara itu di negeri ini.
Keroncong Tugu Warisan Portugis
Kangen musik keroncong? Cobalah sesekali mampir ke markas Keroncong Tugu di Koja, Jakarta Utara. Di sini sesekali kelompok musik yang terdiri dari delapan orang kadang manggung di gazebo yang disulap menjadi panggung musik. Delapan pemusik berpakaian koko, bertopi baret, dan berkalung syal ala Portugis berjajar di gazebo.
Adalah Guido Quiko yang kini sering tampil sebagai frontman. Ia sejatinya pemain gitar kelompok ini, namun sesekali ia ikut melantunkan lagu.
Dengan jumlah penonton yang tak terlalu banyak, Keroncong Tugu terus bersemangat memainkan nomor-nomor lama yang masih memanjakan telinga penggemar mereka. Seperti malam itu. Setelah menyapa pendek penonton, Guido lantas saling memberi isyarat ke pemusik lainnya. Layaknya sebuah kode, tujuh musikus di belakangnya langsung siap dengan alat masing-masing.
Guido lebih dulu membunyikan sepotong melodi. Terdengar alunan gitar yang harmonis. Entakan rebana lantas spontan menyambutnya. Begitu pula dengan contrabass, violoncello, macina, frunga, dan biola. Masing-masing membentuk melodi yang padu. Lagu Oud Batavia berdengung merdu.
Suara Guido masuk, melantunkan lirik dengan bahasa yang cukup asing: campuran antara Portugis Kreol, Belanda, dan Melayu. Dalam beberapa bagian, terucap satu-dua kata berdialek Betawi yang humoris. Pemusik lain juga menyelingi dengan celotehan yang memantik gelak tawa. Hasilnya, ketukan 4/4 dengan chord yang diulang-ulang tak membikin penonton bosan.
Meresapi lagu membawa ingatan ke zaman 1950-an. Di masa itu, Portugis melakukan pelayaran pertamanya ke Malaka, di bawah “asuhan” Alfonso de Albuquerque. Dalam bayangan, budak-budak kapal berpesta hampir tiap waktu. Mereka asyik bergoyang tarian Moresca. Ditambah dengan iringan rentak musik serupa.
Alunan crong-crong dari macina dan frunga makin lirih. Tempo rebana melambat. Suara Guido tak terdengar. Dentuman contrabass dan instrumen violoncello melambat. Hanya bunyi bow menggesek senar biola masih santer. Violinis separuh baya, yang mengambil posisi di samping Guido, menutup lagu dengan gangsar.
Tuntas menamatkan Oud Batavia, Gatu Matu giliran menjadi lagu pelipur. Kali ini Guido mengajak rekan penyanyinya, Nining Yatman, tampil di panggung. Perempuan dengan cengkok yang kental itu sudah lama bergabung dengan orkes Keroncong Tugu. Memakai setelan kebaya Betawi, Nining menampilkan figur sebagai “keturunan gang kelinci” sesungguhnya. Rautnya riang, gerakannya lincah. Kala berdendang, ia melafalkan lagu dengan laur, meski lirik harus diujarkan penuh lantaran bahasanya gado-gado. Penonton ikut bergoyang, terbius tarian Nining.
Lagu yang didendangkan Nining, yang bercerita tentang kucing hutan tapi dikisahkan dalam bahasa Portugis Kreol, itu makin mempertegas karakter permainan kelompok Guido dan kawan-kawan. Selain kostumnya yang menyerupai pengembara suku Moor—bertopi baret—dari irama, syair, dan gaya memainkan alat musik, nyata betul bahwa seni yang dibawakan merupakan hasil akulturasi budaya. “Kami memang keturunan Portugis yang ‘tertinggal’ di Batavia,” tutur Guido tersenyum.
Guido merupakan generasi keempat keluarga Quicko. Kemunculan musik keroncong tak lepas dari sejarah kedatangan moyang Guido ke Batavia—kini jadi Jakarta. Mulanya, ketika Belanda datang ke Malaka pada 1641, orang-orang Portugis, yang sebelumnya berkuasa, “dibuang”. Sekitar 23 dari 800 keluarga yang didepak Belanda disingkirkan ke kawasan hutan belukar di tenggara Batavia, yang kini menjadi Kampung Tugu. Di sana, mereka terasing dari keramaian. Sebagai hiburan, 23 keluarga itu menciptakan alat musik dari kayu waru dan pohon-pohon yang ada di sekitarnya. Bentuknya menyerupai gitar. Namun senarnya hanya lima. Mereka menyebutnya jitara. Kala dibunyikan, suaranya nyaring. Crong-crong. Karena itu, mereka menamai keroncong untuk perpaduan musik jitara dan bunyi-bunyian lain.
Lantas, berkembanglah jitara dengan ukuran yang lebih kecil. Namanya macina dan frunga. Macina memiliki empat senar, sedangkan frunga tiga senar. Keduanya memiliki ukuran yang berbeda, dengan suara yang berlainan pula. Setelan chord-nya pun tak sama. “Frunga memiliki setelan internasional. Kalau macina naik empat nada,” tutur Guido.
Macina dan frunga dibentuk dari kayu kembang kenanga agar kuat dan suaranya nyaring. Senarnya terbuat dari kulit kayu waru yang dikeringkan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, lantaran keterbatasan bahan baku dan alasan keefektifan, peranti tersebut dapat digantikan dengan senar pancing. Suaranya sama: memantulkan karakter yang tegas. Bahkan, di panggung terbuka, seperti malam itu, tanpa pengeras suara pun, irama garukan senar macina dan frunga terdengar paling nyaring.
Jitara kini tak dibuat lagi karena ukurannya terlalu besar. Guido pun memboyong gitar, bukan jitara, saat tampil. “Karena jitara besar, kayunya pun otomatis harus yang ukurannya besar. Selain terhambat pembuatan, pohon bisa habis ditebang untuk membikin jitara,” ujarnya. Yang dipertahankan dari tradisi moyangnya adalah frunga dan macina. Kedua alat musik itulah kini yang menjadi nyawa Keroncong Tugu.
Komponen lain yang dihadirkan untuk menyelaraskan musik adalah rebana, biola, violoncello, contrabass, dan gitar. “Rebana muncul untuk menguatkan kesan Betawi. Hanya kami (Keroncong Tugu) yang memakainya,” ucapnya. Rebana bertindak sebagai perkusi, sedangkan yang lain membentuk melodi.
Nyanyian-nyanyian berikutnya berkumandang. Larut kian membakar panggung. Selendang Mayang, Gang Kelinci, Cafrinho, dan Moressco berturut-turut menghibur. Jiwa-jiwa militan mengawinkan nada demi nada. Sekali garuk senar, nyawa satu sama lain menyatu. Tak heran kalau Malaysia, Timor Leste, Belanda, dan beberapa kota di Indonesia doyan mengundang kelompok itu manggung.
Mempertahankan Tradisi
Di masa lalu, Keroncong Tugu berhasil membius masyarakat sekitar. Lambat laun, perkampungan keturunan Portugis itu menjadi tenar. Dua-tiga di antaranya lantas “memboyong” keroncong ke luar dan mengembangkan dengan pakem baru.
Setelah kondang, Keroncong Tugu dibuat menjadi kelompok resmi. Pemukanya adalah Joseph Quicko. Ia bergerilya mulai 1925. Sayangnya, perjalanan musik Keroncong Tugu tak terlampau mulus. Saat keadaan politik tak stabil pada 1950-1970-an, kelompok ini dibekukan. Kala Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, baru ia meminta Keroncong Tugu kembali dihidupkan.
Kala itu, kepemimpinan kelompok di tangan Jacobus Quicko, adik Joseph Quicko. Tak lama setelah bendera kelompok yang semula bernama Orkes Pusaka Keroncong Morresco Tugu Ano 1971 itu berkibar, Jacobus meninggal. Tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Samuel Quicko, ayah Guido. Ia didapuk sebagai punggawa hingga 2006. Kini bendera kepemimpinan sudah beralih ke tangan Guido.
Meski sudah melewati fase empat kepemimpinan, formasi Keroncong Tugu tetap dipertahankan. Pakem, aransemen, dan gayanya tak membelot. “Sebab, kami mempertahankan tradisi,” ucap Guido.
F. Rosana/A. Prastyo
Alat-alat Musik
Biola atau fiddle dimainkan dengan cara digesek. Tugasnya, membangun melodi. Memiliki empat senar, di antaranya bernada G, D, A, dan E.
Violoncello atau disingkat cello masih satu keluarga dengan biola. Cara membunyikannya dengan digesek. Bisa pula dipetik. Tugasnya sebagai fondasi dalam suara orkestra.
Contrabass sering juga disebut doublebass karena suara yang dihasilkan lebih rendah dua oktaf dibandingkan dengan violoncello. Ukuran alat musiknya juga lebih besar. Bahkan paling besar di antara semuanya.
Gitar menjadi pembentuk melodi. Alat musik yang digunakan dalam keroncong ini fungsinya menggantikan jitera.
Macina adalah gitar kecil bersenar empat. Suaranya nyaring dan membentuk anomatope: crong-crong. Inilah yang disebut nyawanya keroncong.
Frunga lebih kecil daripada macina. Senarnya tiga, dengan setelan yang berbeda dengan macina. Frunga dibuat lebih kecil agar pukulan iramanya berbeda dan sebuah instrumen menjadi kaya nada.
Rebana menjadi alat musik khas dalam kelompok Keroncong Tugu. Tugasnya menjadi perkusi dan memperkuat tempo. Fungsinya mirip dengan gendang, hanya suaranya berlainan.