Perjalanan di Tano Niha atau Tanah Nias selama tiga hari adalah perjalanan menikmati bentang alam yang sangat indah dan jejak warisan budaya yang terjaga dengan baik. Tiga hari sesungguhnya bukan waktu yang cukup.
Perjalanan di Tano Niha
Langit biru dan udara bulan Oktober berembus sejuk saat saya menjejakkan kaki di Bandara Binaka, Gunungsitoli, ibu kota Kabupaten Nias. Hanya dalam dua jam penerbangan dari Jakarta, saya bisa menikmati suasana berbeda. Ada beberapa turis asing menenteng papan selancar. Tampak mereka siap menaklukkan ombak di pantai-pantai Pulau Nias.
Pengenalan saya terhadap pulau seluas 5.625 kilometer persegi ini bermula dari ilustrasi bagian belakang uang kertas pecahan Rp 1.000 pada zaman Orde Baru. Di sana tertulis: “Lompat Batu Pulau Nias”. Pikiran saya segera mengembara selepas saya turun dari pesawat. Tidak sabar rasanya untuk memulai perjalanan di Tano Niha atau Tanah Nias.
Hari Pertama: Atraksi Hombo Batu
Hujan perlahan reda ketika saya memasuki Desa Bawomataluo, yang terletak di Kabupaten Nias Selatan. Dari Kota Gunungsitoli, menjangkau desa ini butuh waktu perjalanan kurang-lebih enam jam. Perjalanan panjang membuat di hari pertama saya hanya mendatangi satu lokasi.
Begitu tiba, pandangan saya tertumbuk pada deretan rumah adat yang terjaga dengan baik. Salah seorang warga mengatakan di desa ini terdapat 1.250 rumah adat tradisional Nias yang berumur ratusan tahun. Berbentuk empat persegi panjang dan berdiri di atas batu, rumah-rumah itu menyerupai perahu. Batu sebagai landasan mencerminkan pijakan hidup. Di sini, ada satu rumah adat besar yang diberi nama omonifolasara. Lasara sendiri berarti mulut naga.
Menurut cerita warga, pengetahuan membangun rumah diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ada semangat dari masyarakat untuk melestarikan kebudayaan dan kearifan nenek moyang. Selain berbentuk empat persegi panjang, rumah adat di Nias Utara ada yang bulat dengan denah lantai oval. Sedangkan rumah adat di Nias Tengah beratap bulat dengan denah lantai segi empat.
Atraksi yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Meskipun tidak sedang ada kegiatan budaya, atraksi Hombo Batu bisa ditampilkan sesuai dengan permintaan pengunjung. Saya senang sekali dapat melihat langsung atraksi yang sebelumnya hanya tergambar dalam imajinasi lewat selembar pecahan uang kertas itu. Menurut sejarah, lahirnya tradisi lompat batu berbarengan dengan tari perang.
Dahulu kala, suku-suku di Nias sering terlibat peperangan. Sebagai persiapan, setiap si’ulu atau kepala suku mengumpulkan pemuda desa untuk dilatih berperang. Salah satunya melalui lompat batu.
Hari Kedua: Pantai-pantai Nias Selatan
Saya dan rekan fotografer menginap di Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan. Sopir yang mengantar kami bercerita tentang pantai nan indah di sekitar Teluk Dalam dengan ombak yang katanya bisa mencapai tinggi lima meter. Keesokannya, Pantai Sorake pun menjadi sasaran pertama kami.
Cerita sopir tersebut tak meleset. Pantai Sorake menawarkan keindahan alam yang menakjubkan. Airnya jernih memantulkan warna biru menawan dengan pasir putih bersih. Di sekitar pantai terdapat batu karang. Eksotis. Inilah surga para peselancar. Kabarnya, pantai ini tempat selancar terbaik kedua setelah Hawaii. Tak mengherankan jika turis asing banyak berselancar di pantai ini, selain di Pulau Asu, Pulau Bawa, dan Pulau Telo.
Sekitar dua kilometer dari Pantai Sorake terdapat Pantai Lagundri. Di pantai itu pemandangan alam bawah lautnya sangat indah. Bagi yang suka menyelam, inilah spot menarik yang perlu dicoba. Di sekitar pantai ini Anda juga bisa menghabiskan waktu untuk berjemur di atas lembutnya pasir putih, sambil menikmati embusan angin laut dan sinar matahari yang berlimpah.
Hari Ketiga: Menhir Desa Sisarahili dan Museum Pusaka Nias
Setelah dua hari berada di Nias Selatan, saatnya menuju kota melewati Nias Barat. Di salah satu desa, yaitu Desa Sisarahili, saya singgah untuk melihat dari dekat kekayaan warisan budaya Nias yang lain. Kali ini dalam bentuk megalit atau menhir. Ada beberapa pelancong yang turut mampir. Di desa ini terdapat sebuah batu besar yang berdiri tegak. Batu itu diukir menyerupai bentuk wajah raja atau balugu lengkap dengan pakaian kebesarannya. Warga setempat menyatakan, hanya orang yang berhasil memburu ratusan atau ribuan ekor babi yang bisa dinobatkan sebagai balugu.
Saya pun kembali ke Gunungsitoli. Tujuan berikutnya, Museum Pusaka Nias di Jalan Yos Sudarso Nomor 134 A. Berdiri pada 1991, museum ini menyimpan kekayaan warisan budaya Suku Nias. Dari artefak, keramik, hingga replika rumah adat. Di area museum ini juga terdapat kebun binatang mini sebagai upaya perlindungan terhadap fauna yang langka dan berhubungan dengan tradisi lisan Nias, seperti ular, buaya, kancil, monyet, biawak, kura-kura, kijang, dan beo.
Sorenya, saya menghabiskan waktu dengan melihat senja yang perlahan turun di sebuah pantai di Gunungsitoli dengan latar tulisan Ya’ahowu atau berarti “salam”. Kata itu selalu diucapkan dengan ramah oleh warga dalam setiap perjumpaan. Ini malam terakhir saya di Tanah Nias. Besok pagi, saya terbang kembali ke Jakarta. “Ya’ahowu, Tano Niha.”
agendaIndonesia/Aris Darmawan/Lourentius/TL
*****