Kue keranjang atau nian gao menjadi tradisi turun temurun hingga melampui abad-abad masa.

Kue keranjang saat ini identik dengan perayaan tahun baru semi atau tahun baru lunar yang kita kenal sebagai Imlek. Penganan ini memang identik dengan masyarakat Tionghoa yang merayakan pergantian tahun lunar tersebut. Saat kue keranjang mulai menjamur dijajakan di pasaran atau pun pertokoan, itu pertanda Imlek sebentar lagi tiba.

Kue Keranjang

Kue keranjang dan Imlek di Indonesia memang menjadi tradisi yang diwariskan masyarakat Tionghoa. Belum bisa dipastikan kapan tepatnya makanan ini hadir dalam dunia perkulineran Indonesia. Yang sudah pasti, kue cokelat manis ini dibawa orang-orang Tiongkok yang migrasi ke Indonesia sejak abad 1 Sebelum Masehi.

Kue keranjang disebut juga Nian Gao. Sebutan Nian Gao ini dari suku kata ‘Nian’ yang berarti ‘lengket’, namun pelafalannya mirip dengan kata ‘tahun’. Sementara itu kata ‘Gao’ diartikan sebagai ‘tinggi’. Jika disatukan membuat kue ini mempunyai makna filosofis peningkatan kemakmuran dan tingginya rezeki sepanjang tahun. Karenanya, Kue keranjang menjadi salah satu kudapan wajib saat Imlek sebagai ‘doa’ untuk kemakmuran. Selain Nian gao, kue keranjang punya banyak nama. Antara lain disebut juga kue beras, kue puding, atau dodol Cina.

Jika masuknya ke Indonesia saja abad 1 sebelum Masehi, keberadaan kue keranjang di tanah leluhurnya tentu lebih lama lagi. Dikutip dari laman tempo.co, kue keranjang diperkirakan sudah ada lebih dari 2.000 tahun lalu atau sebelum penanggalan Tionghoa ditetapkan pada Dinasti Zhou di abad ke-11 sampai tahun 256 sebelum masehi. Masyarakat Tionghoa mempersembahkan nian gao sebagai persembahan kepada dewa dan leluhur.

Dalam buku ‘Tahun Baru Cina: Fakta dan Cerita Rakyat’ karya William C. Hu tertulis kue keranjang awalnya disantap pada hari ke sembilan di bulan ke sembilan, bukan saat tahun baru lunar atau Imlek. Baru pada Dinasti Tang di tahun 618 sampai 907 masehi, nian gao menjadi makanan tradisional masyarakat Tionghoa yang disantap saat Festival Musim Semi.

Kemudian di masa Dinasti Qing periode 1636 sampai 1912, kue keranjang berkembang menjadi camilan masyarakat yang dapat dimakan kapan saja. Meski begitu, kue beras ini tetap punya posisi penting di setiap festival.

Secara filosofis, kue keranjang yang dijual di pasar atau toko menjelang Imlek biasanya berbentuk bundar. Konon bentuk kue keranjang yang bulat ini memiliki makna khusus, yakni melambangkan persatuan. Rasa manisnya pun memiliki makna agar siapapun yang memakan kue ini akan berkata yang baik-baik dan manis saja. Teksturnya yang lengket bermakna agar hubungan keluarga semakin erat.

Lalu dari mana penamaan “keranjang” pada nian gao ini? Dari cerita mulut ke mulut penamaan ini muncul dari wilayah Jawa Timur, di mana saat pembuatannya kue ini ditempatkan dalam keranjang-keranjang kecil. Nama ini kemudian meluas ke banyak wilayah di Indonesia.

Proses pembuatan kue keranjang ini sesungguhnya mudah. Adonan tepung ketan dan gula diaduk-aduk hingga mengental kemudian dikukus. Saat proses pengukusan, dibutuhkan keranjang untuk mengukus adonan tepung dan gula tadi. Dahulu kue keranjang dikukus dan dibungkus menggunakan daun pisang. Aroma yang keluar pun lebih wangi. Kini, seiring waktu dan kepraktisan, kue keranjang dibungkus menggunakan plastik bening.

Kue keranjang atau nian gao atau dodol Tionghoa menjadi makanan wajib saat pergantian tahun lunar atau datangnya musim semi.
Kue keranjang yang dihidangkan dengan dipotong-potong. Foto: shutterstock

Awalnya perpaduan tepung ketan dan gula sebagai bahan dasar menghasilkan kue berwarna cokelat. Kemudian, seiring berkembang zaman, kini banyak dijumpai kue keranjang dengan berbagai pilihan warna dan rasa. Cara penyajian kue keranjang pun beragam. Ada yang memakannya secara langsung. Ada juga yang mengirisnya tipis dan menggorengnya dengan dilumuri telor. Bahkan ada juga yang memasukkannya ke dalam sup.

Di Indonesia setidaknya ada lima sentra kue keranjang yang sudah yang sudah memproduksinya puluhan tahun. Yang paling dekat dengan Jakarta, tentu saja Tangerang, Banten. Kue keranjang legendaris tak bisa meninggalkan kue keranjang Ny. Lauw di Tangerang. Sejak 1962, ia menjalankan usaha rumahan kue keranjang di Jalan Bouraq. Tapi itu bukan awal berpoduksi, sebab ia adalah generasi ketiga yang menjalankan bisnis tersebut dalam keluarga ini.

Yang paling tua kemungkinan adalah keluarga Atik Susiana di Mojokerto, Jawa Timur. Atik mempertahankan resep kue keranjang ini dari kakek dan neneknya sekitar 60 tahun lalu. Ia merupakan generasi ketiga pembuat kue keranjang. Ia hanya membuatnya tiap Imlek.

Sentra produksi lain adalah di Kudus, Jawa Tengah. Di kota kretek ini ada kue keranjang legendaris buatan Panjunan. Toko roti di Jalan Wahid Hasyim. Ini cukup besar karena sudah memakai metode pembagian tugas produksi. Karyawannya memiliki tugas sendiri-sendiri, seperti mengolah adonan, memasukkan adonan ke cetakan, sampai memasukan cetakan ke kukusan yang sudah mendidih airnya.

Di ibukota Jawa Tengah, Semarang, juga ada kue keranjang legendaris buatan Eng Hwat. Ia generasi ketiga pembuat kue keranjang di Jalan Kentangan Tengah 67. Pesanan kue keranjang di sini biasanya mulai dibuat 10 hari menjelang imlek. Meski skalanya rumahan, kue keranjang di sini bisa diproduksi hingga 10 ton. Hingga saat ini kue keranjang di sini masih dibungkus daun pisang.

Sentra produksi kue keranjang lain yang tak kalah melegenda adalah Tegal, Jawa Tengah. Salah satu pembuat kue keranjang ternama di sini adalah Mindayani Wirdjono atau Oey Tong Gwat, warga keturunan Tionghoa berusia 79 tahun. Sudah lebih dari 40 tahun ia membuat kue keranjang.

Ribuan tahun diproduksi dan diperjualbelikan, Nian Gao atau kue keranjang rasanya sudah menjadi bagian dari tradisi Indonesia yang beraneka ragam. Ia selalu menjadi sisi manis dari bangsa ini. Jangan lupa ya agendakan makan nian gao saat pergantian musim semi.

agendaIndonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi