Pulau Pisang Lampung berada di sisi paling barat provinsi ini. Suguhannya beragam: pantai berpasir putih, blue marlin, hingga penenun tapis. Dan ombak yang semakin diincap para peselancar.
Pulau Pisang Lampung
Janji bertemu di Dermaga Krui, Pesisir Barat, sebenarnya pukul 08.00, tapi masih 30 menit dari waktu yang disepakati, telepon seluler saya berbunyi terus. Rupanya pemilik perahu sudah menunggu sejak pukul 07.00 di dermaga yang berada di wilayah barat Lampung tersebut. Dermaga kecil itu tak jauh dari Pasar Krui yang dilintasi bus-bus luar antarkota yang memilih jalur selatan Sumatera.
Tak tampak dari luar karena deretan jungkung—perahu kayu—tertutup gerbang. Tapi akhirnya bisa ditemukan juga dermaga itu. Tak terbayang akan menggunakan jungkung yang disebutkan bisa menampung 20 orang tersebut. “Sebagian kan berdiri,” ujar Yusri, penduduk Krui yang mengantar saya dan rekan-rekan pagi itu. Saya pun terdiam, membayangkan 20 orang terombang-ambing di tengah laut. Beruntung, pagi itu rombongan hanya terdiri atas delapan orang, termasuk juru mudi. Saya pun bisa duduk nyaman di bagian tengah. Mentari masih hangat. Perjalanan biasanya ditempuh selama sekitar satu jam.
Sebenarnya ada pilihan lain dengan waktu lebih pendek, atau 20 menit dari dermaga Tembakak. “Hanya, sekarang ombak lagi besar-besarnya. Bisa-bisa jungkung kebalik,” ujar Yusri. Wah… tak apalah lebih lama, pikir saya, yang penting selamat.
Saya disambut laut yang tenang dan sinar surya yang hangat pagi itu. Nikmat sekali terayun-ayun di perahu kayu di tengah laut. Hening, hanya kecipak air yang beradu dengan tepi perahu. Bisa jadi setiap orang terdiam karena tengah asyik dengan lamunan masing-masing. Tiba-tiba sebuah lompatan di udara tampak dari kejauhan. Wah… aksi apakah itu?
“Lumba-lumba,” ujar juru mudi. Senyum saya pun melebar, perahu diarahkan menuju hewan mamalia tersebut. Namun rupanya tak hanya ada sepasang karena, tak lama kemudian, belasan lumba-lumba seperti memberi sambutan. Mereka mengiringi perahu di sisi kiri dan kanan. Jenis Tursiops truncates atau lumba-lumba hidung botol itu terlihat menggemaskan. Gerakan bagian kepala dan ekornya membuat saya terus tertawa dan berteriak. Karena perahu kami satu-satunya di perairan itu, banyak lumba-lumba yang mengerubungi. Bila ada beberapa perahu, biasanya mereka pun berpencar.
Tak lama pulau pun tampak dari kejauhan. “Dari kejauhan, bentuknya seperti pisang,” ucap salah satu pengantar. Saya mencoba mencermatinya. Bisa jadi memang seperti pisang, tapi yang pasti tak banyak pohon pisang di sana, seperti bayangan saya. Yang pertama menyambut saya malahan ombak yang kencang sehingga perlu waktu yang tepat untuk turun dari perahu.
Deretan perahu nelayan memberi warna khas di pesisirnya. Tak lama kemudian, perahu lain berisi turis asing pun tiba. Sebelumnya, kami sempat bertemu dengan mereka di kawasan wisata Tanjung Setia. Mereka tengah bermain selancar. Rupanya mereka mencari ombak lain yang menantang. Sekitar pulau ini terkenal akan ombak yang tingginya 5-7 meter, bahkan mencapai 12 meter, pada bulan-bulan tertentu.
Setelah menyusuri pasir putih hingga ke dermaga, saya tergoda untuk mencermati hasil tangkapan nelayan. Kecamatan ini memang dikenal dengan hasil laut yang ditangkap dengan cara tradisional. Dan blue marlin, salah satu ikan yang khas. Selain itu, ada kucingan yang mirip dengan kepiting. Melintasi kelompok yang tengah membakar ikan, aromanya begitu menggoda. Tak ada rumah makan di pulau ini, tapi turis bisa memesan ikan dan membakarnya. Pagi menjelang siang itu cukup membahagiakan karena saya pun mendapat suguhan ikan goreng dari keluarga pengantar, yang memang asli Pulau Pisang.
Setelah mengisi perut, saatnya menyusuri pulau seluas 148,82 hektare itu. Jalan kaki menjadi pilihan. Saya melewati rumah-rumah kayu atau lamban balak, menemukan orang yang tengah membuat minyak kelapa asli. Ada petunjuk arah nama-nama desa di beberapa titik. Seperti Labuhan, Lok, Sukadana, Pasar, Sukamarga, dan Bandardalam. Tak lama, di sebuah rumah lawas, saya menemukan penyulam emas di atas tapis. Kain tradisional khas Lampung ini memang juga menjadi ciri khas Pulau Pisang. Berbentuk sarung yang bisa dikenakan atau hiasan dinding. Para penenun yang bisa ditemukan di sekitar Bandar Lampung, umumnya berasal dari pulau ini.
Tak puas dengan memperlihatkan aktivitas warga, Sang pengantar pun mengajak saya dan rekan ke kebun cengkeh di atas bukit. Uniknya, jalan sudah disemen sehingga para petani bisa melaju di jalan kecil mulus dengan sepeda motor. Beberapa kali saya harus menepi karena kendaraan roda dua lewat.
Beruntung, masih banyak pohon sehingga cukup teduh meski sebenarnya sinar mentari mulai terik. Akhirnya tiba juga di balik bukit dan, di depan mata, Samudra Hindia tampak sedang menyuguhkan permainan ombaknya. Gulungannya besar dan langsung menghantam bukit karang. Masih ada pantai berpasir putih meski tak begitu landai. Hanya sejenak, saya kembali ke balik pepohonan berjalan menuju sisi lain dari pulau dan menemukan sebuah kapal terdampar. Tepatnya, kapal tunda atau tug boat. Dan menjadi lokasi yang akhirnya sering dikunjungi turis. Apalagi di sekitarnya berdiri karang-karang menghias perairan.
Tak jauh dari tempat kapal terdampar tersebut, ada jajaran pohon kelapa dan rumput hijau, dan pantai pun cukup landai. Saya pun menikmati deburan ombak keras dari sana. Kaki saya dibiarkan berselonjor. Lumayan juga perjalanan naik-turun bukit.
Kembali ke dermaga, jalan menurun dilalui. Melewati kampung dengan sederet lumban balak yang tidak terawat, bahkan juga masjidnya. Para pemiliknya sudah jarang datang sehingga rumah-rumah kayu itu menjelang roboh. Jalan menurun bukit, melewati sebuah sekolah dasar, hingga akhirnya kembali ke rumah-rumah di pekon Labuhan dan beristirahat di rumah warga.
Lelah masih bergelayut setelah berkeliling pulau sekitar 2 jam, tapi seorang pemuda datang, menyebutkan bahwa kami sudah ditunggu di perahu. Kembali ke Krui tidak boleh lebih dari pukul 14.00. Sebab, lewat waktu tersebut, ombak akan meninggi. Masih enggan untuk berdiri, kaki pun melangkah dengan berat. Rupanya, kelompok turis asing yang bersamaan datang dengan kami sudah berangkat lebih dulu. Saya melihat perahu mereka sudah melaju.
Pasir putih pun terus saya jejaki, belum puas rasanya menyentuh kehalusannya. Ombak tampak kian besar. Saya pun bersiap-siap menghadapi guncangan. Perjalanan pulang, bisa jadi lebih panjang karena perahu akan terus digoyang ombak. Dan… tak ada pula lumba-lumba yang menggoda. Saya pun duduk pasrah berselonjor di tengah perahu. Tak lama kemudian, air mulai menyembur masuk membasahi wajah dan pakaian. Bukannya kaget, saya malah tergelak.
Memang tak perlu cemas dan takut. Para nelayan sudah biasa bergelut dengan ombak “nakal” ini. Mendekati dermaga Krui, godaan di laut itu mereda. Tapi apa mau dikata, saya sudah basah kuyup. Seharusnya memang saya menginap dan baru esok pagi kembali ke Krui, sehingga bisa merasakan kembali laut yang tenang dan tarian lumba-lumba.
agendaIndonesia/Rita N./TL
*****