Resto di lahan 2 hektare pastilah dirancang tak main-main. Cobalah Congo Gallery & Café di kawasan Dago, Bandung, Jawa Barat. Tempatnya asyik, furniture dan aksen berbahan kayu solid menambah keasrian kafe ini. Lalu kenapa memilih nama yang erat hubungannya dengan Afrika?

Resto di Lahan 2 Hektare

Sebentar lagi surya akan tenggelam. Namun gerimis yang jatuh di kawasan Dago Pakar, Bandung, Jawa Barat, pengujung April lalu belum juga reda. Beruntung Congo Gallery and Café, yang akan saya kunjungi, sudah dekat. Benar saja. Setelah melintasi jalan berbelok dan menanjak, saya tiba di depan gerbang Congo. Di kedua sisi gerbang besarnya, menjulang batang pohon besar dengan tulisan Congo di tengah. Saya seakan memasuki dunia lain. Begitu nyaman, asri, dan sejuk. Congo Gallery and Café menempati lahan yang benar-benar lapang. Luasnya mencapai dua hektare.

Tak jauh dari gerbang, tampak Congo Café menghadap ke taman. Nuansa kayunya begitu kental. Penataan taman yang cantik dikombinasikan dengan bebatuan semakin menguatkan kesan alami tempat ini. “Kami menyebut kafe pada area ini dengan istilah outdoor,” kata Anne Muthia, General Manager Congo Gallery and Café.

Resto di lahan seluas 2 hektare di kawasan Dago Resort, Bandung, jawa Barat, Congo Gallery & Cafe.
Interior Congko Gallery & Cafe di kawasan Dago, Bandung, didominasi kayu. Foto: Prima M./Dok TL

Di sisi yang berseberangan dengan area outdoor, terdapat gedung berlantai dua. Di depan pintu masuk gedung, terpampang mesin pemotong kayu berukuran besar. Lantai pertama gedung ini disebut area sofa. Sesuai dengan namanya, kafe di ruangan ini dilengkapi sofa. Sedangkan lantai kedua disebut area VIP (very important person).

Berbeda dengan area lain, di area VIP pengunjung dikenai biaya minimum Rp 1 juta untuk satu meja yang dapat memuat 10-12 orang. Ruangan yang berdinding kaca ini memang paling mengesankan. Betapa tidak, kaca-kaca tinggi besar memungkinkan pengunjung menikmati pemandangan Bandung Timur dari ketinggian. Pada malam hari, pengunjung dapat melihat kerlap-kerlip lampu kota. Rasanya sangat tepat untuk makan malam yang romantis.

Meski terbagi atas berbagai area, Congo Café memiliki satu kesamaan, yakni sama-sama menggunakan meja yang terbuat dari kayu solid. Dalam ruangan VIP misalnya, terdapat meja makan berukuran 250 x 90 sentimeter dari kayu utuh.

Unsur kayu yang sangat mendominasi Congo rupanya tak terlepas dari bisnis utama sang pemilik. Menurut Anne, sang pemilik berbisnis kayu. Karena itu, ia menambahkan, Congo lebih mengedepankan galeri ketimbang kafenya. Kendati demikian, Congo Café justru lebih terkenal ketimbang galerinya.

Congo Gallery berada di gedung terpisah. Lokasinya di atas kedua kafé tadi. Seperti galeri pada umumnya, Congo Gallery menampilkan karya seni, meja, dan kursi yang terbuat dari kayu solid. Ada kayu trembesi, jati, sonokeling, eboni, dan sebagainya. Harganya pun beragam. Kabarnya, ada yang mencapai lebih dari Rp 1 miliar. Luar biasa!

Kembali ke kafe, sepertinya kita tak boleh melupakan menunya. Di tempat ini tersedia berbagai masakan, dari olahan tradisional hingga internasional. Sebagai pembuka, kebanyakan pengunjung Congo memesan Tahu Pletok. Kadang jika masih ingin nongkrong, makanan ini juga dipesan. Makanan khas Sunda ini berupa tahu yang diberi tepung tapioka dan digoreng garing. Sebagai teman makan, tersedia kecap manis dengan potongan cabe rawit hijau. Atau, ada singkong goreng yang sebelumnya dikukus, sehingga meskipun telah digoreng tetap renyah dikunyah. Untuk menu utama, lagi-lagi sajian tradisional menjadi andalan. Misalnya aneka varian berbahan buntur sapi. Ada Sop Buntut, Buntut Goreng, dan Buntut Bakar. Untuk menu internasional, Ebony Steak paling banyak dipesan.

Resto di lahan 2 hektare di Bandung dengan aneka menu yang menggoda.
Saint Berry dari Congo Gallery & Cafe Bandung. Foto: Prima M./Dok TL

Jika dilihat dari menu andalan tersebut, rasanya pilihan pengunjung sudah tepat. Sebab, makanan-makanan itu disajikan hangat dan memang paling pas disantap di kafe yang sejuk ini. Kemudian, sebagai hidangan penutup, Girl Best Friend paling banyak dipilih di antara deretan hidangan pencuci mulut lainnya. Hidangan ini berupa cake hangat dan diberi es krim. Di akhir pekan, pada saat kondisi normal, kafe yang buka mulai pukul 10.00 sampai 24.00 ini memberikan hiburan berupa light music. “Pilihan musik ini menyesuaikan dengan konsep kafe yang asri,” kata Anne.

Selesai menghabiskan kopi di cangkir, sempat terbersit pertanyaan di benak saya kenapa kafe di kawasan Dago ini diberi nama Congo. Mirip dengan nama negara di Afrika Tengah. Anne membenarkan bahwa nama Congo memang diambil dari negara tersebut. Sebab, menurut dia, di negara itu terdapat jenis kayu eboni yang sangat langka. “Dan kelangkaan itulah yang menginspirasi pemberian nama galeri dan kafe ini,” ucapnya.

Congo Gallery and Café; Jalan Rancakendal Luhur Nomor 8; Bandung

Menu Chicken ala Congo; Nasi Campur Bali; Sop Buntut Bakar/Goreng; Kakap Dabu-dabu; Ebony Steak

agendaIndonesia/Andry T./Prima M./Dok. TL

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi