
Abhayagiri Resto, ini sebuah jamuan lengkap di senja hari di Yogyakarta. Menu istimewanya, lanskap segaris antara Abhayagiri, Candi Prambanan, dan Gunung Merapi.
Abhayagiri Resto, Menikmati Sunset
Di pelataran restoran Abhayagiri, Yogyakarta, turis dari beragam latar belakang saling berjumpa. Mereka berganti-gantian memincing spot foto. Meja-meja makan yang berantakan ditinggalkan begitu saja tatkala burit mulai muncul. Maklum, di seberang utara, pemandangan Gunung Merapi disapu langit oranye dibelah atap-atap rumah warga menjadi primadona. Tak ketinggalan Candi Prambanan yang bertengger gagah tepat di muka “ancala”, menyempurnakan amatan.
Setengah bagian Yogyakarta, beserta ikon-ikonnya, sore itu sukses dibingkai dengan gangsar dari atas bukit. Ya, Abhayagiri memang bernaung di salah satu babakan tertinggi di “nagari kesultanan”, sebaris dengan Bukit Boko. Sesuai dengan namanya, abhaya berarti tidak ada bahaya atau aman, sedangkan giri artinya bukit atau gunung. Jadi Abhayagiri merupakan tempat di atas bukit yang tenang, jauh dari kerawanan.
Untuk menjangkaunya, perlu berkendara lebih-kurang 40 menit dari pusat kota melewati jalan menanjak dan berkelok, searah dengan tujuan Candi Boko dan Candi Ijo. Tak mengherankan, kalau banyak pengunjung, sengaja ingin menepi di tempat ini untuk sekadar menikmati kudapan, menjangkau ketenangan, lalu berswafoto dengan latar belakang panorama yang apik.
Di salah satu sudut yang menghadap ke barat daya, sebuah beranda petak beralas kayu dikelilingi lampu taman dengan penerangan temaram menjadi titik yang paling banyak diincar, khususnya untuk memotret. Sebab, di sana, tamu akan menghadapi jamuan pandang yang langka, yakni lanskap segaris antara Abhayagiri, Candi Prambanan, dan Gunung Merapi.
Dari titik itu pula, kawasan restoran yang lapang membentang dan terbagi atas beberapa paruhan tampak gamblang. Di sisi kanan, ada rumah joglo beralas rumput sintetis, juga kolam renang. Pengunjung, yang umumnya keluarga, mengobrol asyik sembari berseloroh di bawah bangunan persegi panjang dengan dominasi elemen kayu.
Di bagian rusuk atau tengah, segaris dengan beranda pandang, terhampar halaman dengan kursi serta meja yang ditata rapi mengitari sebuah batu besar. Batu itu tak pernah disingkirkan oleh pihak restoran, mulai proses pembangunan hingga Abhayagiri berdiri pada 2012—tentu sampai sekarang. Justru keberadaannya memperdalam kesan natural.
Di titik ini, pasangan-pasangan muda mengobrol intim. Suasana romantis terbangun dari pemandangan lampu-lampu kota yang mengitari, hawa dingin yang langsung menerpa kulit, serta tumbuhnya ilalang yang mendramatisasi keadaan.
Sementara itu, di bibir kiri, terhampar sebuah panggung alam, tempat pentasnya pergelaran seni Ramayana yang dihelat pada waktu-waktu tertentu. Panggung ini terbuat dari bebatuan. Letaknya menghadap tepat ke candi. Bangunan kuno tersebut sungguhan, bukan rekaan. Namanya serupa dengan lokasi bernaungnya restoran: Sumberwatu. Dalam papan keterangan tertulis, benda sejarah yang diperkirakan dibangun pada abad ke-9 oleh para penganut agama Buddha tersebut telah dikonservasi lembaga warisan budaya setempat pada 2013.
Keberadaannya membangkitkan sangkaan magis, sekaligus menguatkan kesan kejawen.
Petang tiba. Cokekan, musik tradisional asli Jawa Tengah—jenis kesenian yang kini nyaris punah—mengiramakan malam. Larasnya berpadu dengan bunyi tonggeret atau garengpung—atau nama ilmiahnya Cicada.Karena itu, griya tempat berkudap sekalian berkongko yang dibangun di atas lahan 3 hektare ini seketika jadi riuh. Bukan hanya karena musiknya yang membubung, melainkan juga makin sesaknya pengunjung.
“Biasanya tak seramai sekarang. Hari ini, semua bangku sudah ludes direservasi. Mungkin karena bertepatan dengan hari libur atau juga karena kami sedang menggelar promo menu buffet,” tutur Dewi, perempuan berparas njawani yang menjadi pramusaji itu.
Memang, di momen-momen tertentu, seperti akhir tahun, restoran yang dilengkapi fasilitas vila dan hotel ini memasang menu khusus. Kala Travelounge bertandang pun, Abhayagiri sedang menawarkan promosi all-you-can-eat seharga Rp 150 ribu per orang dengan waktu kunjungan maksimal 120 menit. Dengan demikian, kudapan bergaya lokal dan western yang kesohor, semisal Chicken Steak Teriyaki, Abhayagiri Duck Speciale, Pan Roasted Salmon, Apple Crumble, Nasi Campur, Archila Churros, dan Beef Black Pepper, tak tersaji.
Sementara itu, hidangan yang bebas dilahap tamu adalah menu-menu yang umumnya disajikan kala masyarakat Jawa Tengah punya hajat, semisal soto ayam, rawis (juga dikenal dengan sebutan karedok), bakmi Jawa, dan dori goreng tepung untuk menu utama. Tersedia pula hidangan cuci mulut, seperti brownies, mini pie,dan cake green tea kukus yang menyandang predikat jawara.
Umumnya, rasa masakan yang tersaji kurang menggelitik lidah. Semisal bakmi Jawa, kuah yang dihidangkan terlalu asin. Hidangan lain, seperti soto ayam, pun tak terlalu berkarakter. Namun hal itu tak diambil hati oleh para pengunjung karena umumnya mereka datang dengan tujuan utama menikmati pemandangan, bukan buat berselancar lidah. l
Abhayagiri Restaurant
Sumberwatu Heritage Resort, Sumberwatu RT 02 RW 01
Sambirejo, Prambanan,
Sleman, DI Yogyakarta
Operasional
Setiap hari pukul 11.00-22.00
Menu
Abhayagiri Chicken Steak
Beef Black Pepper
Bakmi Jawa
Soto Ayam
Harga
Antara Rp 35 ribu hingga Rp 200 ribu.
F. Rosana/Hindra/Dok-TL