Asyiknya mengintip burung atau birdwatching bukan hobi yang baru muncul. Kegemaran ini sudah pernah ditulis oleh ornitolog asal Inggris pada 1901. Ini bukan sekadar menikmati keindahan karya sang Pencipta, tapi juga memahami, mencatat dan melestarikannya. Mengendap-endap, mengintip via teropong, mencermati, dan mencatat jenis burung yang dilihat.

Asyiknya Mengintip Burung

Cuaca memang belum bersahabat pada pada waktu itu. Maklum, hujan masih rajin mengguyur Kota Bogor, Jawa Barat. Namun Santi dan Jihad dari Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) tetap bersemangat menemani Stuart Marden, peneliti burung dari Manchester University, Inggris. Saat azan Subuh menggema, mereka sudah bergegas menuju kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur, Jawa Barat. Beruntung hujan tidak turun hari itu, meskipun mendung menggelayut.

Tepat pukul 07.00, mereka sudah tiba di pintu masuk Cibodas, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor Taman Nasional. Perjalanan yang harus mereka tempuh masih panjang. Meskipun tidak terlalu berat, jalur trekking memiliki rute berkelok dan naik-turun. Tak hanya itu, selama perjalanan mereka juga tak boleh menimbulkan suara gaduh. Bahkan terkadang mereka harus jalan mengendap-endap dan siap membidikkan teropong berlensa binokulersaat tampak burung bertengger.

Orang awam yang melihatnya mungkin akan menganggap apa yang mereka lakukan ini sebagai kurang kerjaan. Betapa tidak, mereka hanya “tukang intip” burung-burung liar yang hidup di alam bebas. Padahal, pengamatan burung atau lebih kerennya disebut birdwatching merupakan suatu kegiatan observasi. Istilah ini pertama kali muncul sebagai judul buku yang ditulis oleh ornitolog Inggris, Edmund Selous, pada 1901. Belakangan birdwatching berkembang menjadi kegiatan yang bersifat rekreasi.

Dari tahun ke tahun, organisasi pengamat dan pemerhati burung di Indonesia terus bertambah. Baik yang bernaung di lingkup perguruan tinggi maupun berdiri secara independen. Terkadang pula birdwatching diselipi kegiatan fotografi menggunakan burung sebagai obyek pemotretan.

Meski bersifat hiburan, kegiatan ini dapat menambah wawasan para birdwatcher, sebutan untuk pengamat burung. Sebab, dengan mengintip via teropong itulah mereka bisa mengetahui jenis-jenis burung endemik atau burung perkotaan yang ada di Indonesia. Apalagi birdwatching bisa dilakukan di mana saja, asalkan tempat tersebut merupakan habitat komunitas burung.

asyiknya mengintip burung bukan saja melihat keindahan karya sang pencipta, tapi juga sarana melestarikannya.
Burung Sikatan Ninon. Foto: Tri Susanti-Burung Indonesia

Kendati demikian, untuk menjadi birdwatcher perlu pengetahuan mendasar sebelum terjun ke lapangan. “Perlu tips tersendiri,” ujar Rahmadi Rahmad, Media and Communication Officer Burung Indonesia, waktu itu, yang juga sering menjadi birdwatcher. Jebolan Universitas Padjadjaran, Bandung, ini menyarankan agar para birdwatcher tidak mengenakan pakaian berwarna mencolok saat melakukan pengamatan. “Warna pakaian yang mencolok akan mengganggu burung. Sebaiknya, gunakan pakaian berwarna khaki atau yang senada dengan alam,” ia memaparkan.

 Selain itu, Rahmadi menyebutkan, birdwatcher disarankan menggunakan teropong binokuler dan menghindari monokuler. Alasannya, teropong monokuler agak merepotkan penggunaannya karena perlu dilengkapi tripod dan terasa kurang praktis.

Sedangkan untuk soal waktu, kata Rahmadi, pagi-pagi merupakan yang terbaik. Sebab, saat itu burung-burung sangat aktif mencari makan, sehingga mudah ditemukan. “Sore hari juga merupakan waktu pengamatan yang baik, karena biasanya burung mencari makan sebelum mereka beristirahat pada malamnya.”

Di sisi lain, kegiatan mengamati burung ini bertujuan untuk penelitian ilmiah. “Dari hasil birdwatching, kita dapat mengetahui populasi burung yang ada di Indonesia,” ujar Tri Susanti, Communication and Publications Officer Burung Indonesia. Menurut lajang yang akrab dipanggil Santi itu, Indonesia negara terbesar kelima di dunia dan terbesar di Asia yang memiliki 1.605 jenis burung dan 380 jenis burung endemik. Sayangnya, Indonesia juga negara terbesar ketiga yang burung-burungnya terancam punah.

Santi mencontohkan populasi burung yang ada di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Pada 1960-an diperkirakan terdapat 160 jenis burung. Namun, ketika diadakan pengamatan kembali pada 2009, jumlah populasinya diperkirakan berkurang hingga separuh. Hal itu, kata Santi, menandakan telah terjadi pengurangan ruang terbuka hijau di Kota Bogor.

“Banyak ruang terbuka hijau yang telah berganti peran dengan berdirinya kompleks perumahan ataupun pertokoan,” katanya. Karena itu, Santi menyatakan Burung Indonesia sebagai organisasi konservasi burung berupaya mengadakan kerja sama dengan pemerintah setempat dalam pelestarian lingkungan agar habitat burung-burung tersebut tetap terjaga.

agendaIndonesia/Andry T./TL/Foto: Dok. Burung Indonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi