Batik Cirebon kian mendapat tempat di hati penggemar batik di Indonesia. Bahkan tak sedikit yang menjadi pengguna setia batik dari kota di pesisir utara Jawa Barat ini dibandingkan batik dari kota lain di Indonesia.
Batik Cirebon
Banyak orang yang menyangka batik Cirebon ini usianya lebih muda dari batik-batik dari kota lain di Indonesia, terutama Solo dan Yogyakarta. Namun, ternyata pendapat itu tidak sepenuhnya tepat. Batik Cirebon berkembang sejak awal perkembangan agama Islam di Jawa Barat, khususnya di Cirebon. Bila ini yang terjadi, berarti kerajinan batik di Cirebon bahkan telah ada sebelum berdirinya Keraton Mataram di Yogya dan Solo.
Sejarah batik Cirebon telah menjadi tradisi turun temurun sejak masa Pangeran Walangsungsang Cakrabuana memerintah di Keraton Cirebon pada 1469 Masehi. Tradisi tersebut terus berlanjut pada pemerintahan selanjutnya, yakni di masa Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati) pada tahun 1479 M. Ini diperkuat dengan ditemukannya naskah Sunda tertua perihal embrio batik di daerah Cirebon Selatan yang ditulis pada tahun 1440 Saka atau 1518 Masehi.
Perjalanan batik Cirebon kurang lebih sama dengan batik di Yogyakarta dan Solo. Mula-mula muncul di lingkungan keraton, lalu “menerobos” keluar melalui para abdi dalem yang tinggal di luar tembok keraton. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Cirebon kemudian memahami batik sebagai kerajinan yang bosa menjadi komoditas perdagangan.
Uniknya, selain tumbuh dari dalam keraton, batik Cirebon juga berkembang karena kota ini yang awalnya adalah bandar laut Muara Jati menjadi pertemuan sejumlah pedagang dari perlbagai tempat. Pelabuhan Muara Jati menjadi tempat persinggahan pedagang dari Tiongkok, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik (sekarang dikenal sebagai Singapura), Pasai, Jawa Timur, Madura dan Palembang. Para pedagang ini memberikan pengaruh pada percampuran ragam budaya.
Dalam konteks batik, dua pengaruh ini tanpa sengaja membuat batik Cirebon tumbuh dalam dua versi, gaya, atau klasifikasi, yakni batik keraton dan batik daerah pesisir atau yang dikenal dengan nama Trusmi. Batik keraton, kita tahu, lahir dari masyarakat dengan tradisi religius dan klasik, yaitu saat Sunan Gunung Jati pada abad 15-16 menyebarkan ajaran Islam di Jawa Barat. Selain itu, batik Keratonan juga mengandung pengaruh budaya Tiongkok.
Batik gaya Keratonan karenanya sarat nilai filosofis. Sedangkan batik gaya pesisiran lebih dinamis dalam mengikuti selera pasar dan tidak harus mengandung makna filosofis.
Umumnya batik keratonan memiliki warna yang cederung gelap. Penggunaan warna-warna seperti hitam, merah tua, coklat seringkali mendominasi. Ciri ini yang kemudian membedakan batik Keraton dengan batik pesisir. Batik pesisir memiliki warna dasar yang lebih cerah, seperti biru, hijau, dan merah. Dalam hal motif, batik pesisir atau Trusmi menggunakan motif yang berhubungan dengan keadaan sekitar, seperti motif udang, ikan, dan bunga.
Batik Keratonan juga khas melalui penonjolan motif-motif utama yang berupa lambang yang mengandung pesan-pesan tertentu. Biasanya tidak mengandung unsur pelengkap yang terlalu padat yang mengganggu motif utamanya. Kadang hanya diberi latar garis-garis kecil yang disebut galaran.
Beberapa ragam motif pokok batik Keratonan di antaranya adalah Wadasan, Megamendung, dan Pandanwangi. Ketiga ragam hias ini konon mendapatkan pengaruh besar dari tradisi Tiongkok. Ada juga beberapa yang menggunakan ragam hias pohon, seperti Lam Alif, Singa Barong, Paksi Naga Liman, dan Macan Ali.
Meski secara fisik muncul pengaruh seni rupa Tiongkok, namun ruh dari motif dan corak batik Cirebonan bernafaskan ajaran Islam. Ini merupakan perwujudan dari gerakan tarekat di Cirebon.
Pada perkembangannya, batik Cirebon Keraton terbagi menjadi tiga keraton dan satu peguron dengan ciri khasnya masing-masing. Keraton Kasepuhan terlihat menggunakan ragam hias Singa Barong, Keraton Kanoman ragam hiasnya Paksi Naga Liman, Keraton Kacirebonan ragam hias Bintulu; sementara Peguron Kaprabonan menggunakan ragam hias Dalung dan motif tanpa gambar hewan.
Sejauh ini, Wadasan dan Megamendung merupakan ragam hias yang paling sering digunakan dan mudah dikenali. Hal ini mungkin dikarenakan keduanya memiliki banyak ragam, bentuk, komposisi, dan warna. Terutama motif Megamendung yang kini menjadi ikon batik Cirebon.
Motif Megamendung memiliki filosofi yang cukup dalam. Ia memiliki unsur warna merah dan biru yang menggambarkan maskulinitas dan dinamis, kemungkinan ini dipengaruhi dalam proses pembuatannya lebih banyak campur tangan laki laki. Kaum laki-laki anggota tarekatlah yang pada awalnya merintis tradisi batik Cirebon. Warna biru dan merah tua juga menggambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka dan egaliter.
Selain itu, warna biru juga disebut-sebut melambangkan warna langit yang luas, bersahabat dan pembawa hujan sebagai simbol kesuburan dan kehidupan. Warna biru yang digunakan mulai dari warna biru muda sampai biru tua.
Batik Cirebon terus berkembang dengan ciri khasnya. Untuk memfasilitasi kreativitas perajin batik di Cirebon, daerah ini mempunyai pusat atau sentra batik. Berjarak 4 Km dari pusat kota, Desa Trusmi di Kelurahan Plered menjadi salah satu wisata belanja batik yang wajib dikunjungi wisatawan jika berkunjung ke kota ini. Berbagai model dengan harga yang ber-variatif ditawarkan di toko-toko sepanjang daerah Trusmi.
Sudah adakah motif batik Cirebon dalam koleksimu? Ayo agendakan berkunjung ke Trusmi.
agendaIndonesia
*****