Bregada Keraton Yogya dalam persiapan menjelang Grebeg Sekaten

Bregada Keraton Yogya seolah menjadi simbol nyata hadirnya kerajaan atau kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Sejumlah orang bahkan mengibaratkan para bregada ini layaknya Queen’s Guard di Inggris. Sebuah simbol aristokrasi.

Bregada Keraton Yogyakarta

Alun-alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat siang itu berubah menjadi lautan manusia. Di kawasan titik nol kota Yogyakarta itu, ribuan orang dari dalam dan luar kota menanti jalannya prosesi keluarnya Kagungan Dalem Pareden atau gunungan dalam upacara Grebeg Sekaten. Sebuah prosesi tahunan dalam hitungan kalender Jawa.

Buat masyarakat Yogya, turunnya gunungan Grebeg Sekaten dianggap memiliki nilai turunnya berkah dari yang Maha Agung melalui para sultan. Sekaten sejatiya merupakan prosesi yang selalu digelar Keraton yang berdiri sejak tahun 1755 ini setiap tahunnya pada tanggal 6 hingga 12 Mulud berdasarkan Kalender Jawa.

Tentu saja, kita semua tahu, sekaten sendiri adalah bagian dari syiar agama Islam sejak zaman kerajaan Demak. Di Yogya, ada yang memaknai arti harfiah Sekaten dari kata Syahdatain, atau merujuk pada dua buah gamelan yang disebut Sekati yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga.

Dan di Yogyakarta, perayaan upacara Grebeg Sekaten selalu tak bisa dilepaskan dari simbol para bregada keraton. Merekalah para penjaga tradisi tersebut.

Saat ini, Keraton Yogyakarta memiliki 10 kelompok pasukan yang disebut sebagai bregada itu. Jumlah seluruh prajurinya sesungguhnya tidak terlalu besar, untuk tidak mengatakan jumlahnya kecil. Hanya sekitar 600 orang. Jumlah anggota tiap pasukan berbeda-beda. Bregada Nyutra, misalnya, hanya terdiri dari 64 orang.

Seperti siang itu, awal November 2019, sejak pagi-pagi sekali ratusan orang sudah hadir di dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Persiapan Grebeg Sekaten memang selalu sejak dini hari dilakukan ke 10 bregadadi Pracimosono, di sisi barat Pagilaran Kraton Yogya. Kraton Yogyakarta memang selalu mengeluarkan seluruh 10 bregadanya untuk mengawal pelaksanaan grebeg.

Bregada itu sendiri dibentuk pada masa Hamengkubuwono I, sekitar abad 17. Dalam perkembangan zaman, keberadaan bregada-bregada ini mengalami pasang surut. Di zaman Sri Sultan Hamengkubuwono II, misalnya, tercatat pasukan kraton ini mengadakan perlawanan bersenjata hebat menghadapi serbuan pasukan Inggris pada Juni 1812.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono III, Inggris membubarkan pasukan Kraton Yogyakarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani Hamengkubuwono III dan Sir Thomas Raffles, Yogyakarta tak dibenarkan punya pasukan bersenjata. Bahkan pada masa kolonial Belanda, mereka dilucuti dan tak punya arti secara militer.

Sampai pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, masih ada 13 kesatuan prajurit kraton, hingga dibubarkan seluruhnya oleh pemerintah pendudukan Jepang pada sekitar tahun 1940-an. Baru pada 1970 para prajurit keraton dihidupkan kembali. Hanya saja, dari 13 kesatuan yang pernah ada, baru 10 bregada yang diaktifkan kembali. Kesepuluh kesatuan itu adalah Wirobrojo, Dhaeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Mantrijero, Prawirotomo, Ketanggung, Nyutro, Surokarso dan Bugis. Mereka semua kemudian dilibatkan dalam acara-acara tradisi kraton.

Pimpinan tertinggi dari keseluruhan bregada adalah seorang Manggalayudha atau Kommandhan/Kumendham. Sebutan lengkapnya adalah Kommandhan Wadana Hageng PrajuritManggalayudha bertugas mengawasi dan bertanggung jawab penuh atas keseluruhan pasukannya. Ia dibantu seorang Pandhega atau Kapten Parentah, dengan sebutan lengkapnya Bupati Enem Wadana Prajurit, yang bertugas menyiapkan pasukan.

Setiap pasukan atau bregada dipimpin oleh perwira berpangkat Kapten. Kecuali bregada Bugis dan Surakarsa yang dipimpin oleh seorang Wedana.

Pandhega didampingi oleh perwira yang disebut Panji (Lurah). Perwira ini bertugas mengatur dan memerintah keseluruhan prajurit dalam bregada. Setiap Panji didampingi seorang Wakil Panji. Sementara itu, regu-regu dalam setiap bregada dipimpin seorang bintara berpangkat sersan.

Seperti pagi itu. Bregodo Surakarso dan Bugis berjalan ke arah Bangsal Ponconiti menunggu kehadiran gunungan dari arah Magangan untuk kemudian mengawali kirab gunungan. Prosesi kirab dipimpin Manggalayudha dengan delapan bregada yang berjalan dengan Lampah Macak dari Magangan ke Siti Hinggil di Alun-alun Kidul (Selatan). Saat berjalan ini, senjata tombak yang sebelumnya ditutupi berubah menjadi ‘dicurat’ atau dibuka.

Di Siti Hinggil semua mata tombak yang terbuka kembali ditutup. Lalu rombongan berjalan lagi menuju Alun-Alun Utara di mana upacara Grebeg Sekaten akan dimulai. Kagungan Dalem Pareden berupa tujuh gunungan pun dikeluarkan, yakni tiga Gunungan Lanang; satu gunungan, Wadon; satu gunungan Gepak; satu Dharat; dan satu gunungan Pawuhan. Urut-urutan baris Grebeg Sekaten adalah prajurit Bugis, abdi dalem Sipat Bupati, lalu tujuh gunungan dan bregada Surakarsa.

Ada prosesi tembakan salvo saat gunungan melewati delapan bregada yang berbaris di Pagilaran Kraton Yogyakarta. Barisan Grebeg Sekaten berjalan ke arah Beringin kembar di tengah Alun-Alun Utara. Lima gunungan, yaitu satu gunungan Lanang, gunungan Wadon, Gepak, Dharat dan Pawuhan berbelok ke barat sebelum melewati beringin kembar dikawal bregodo Surakarsa dan Bugis. Sedang dua gunungan Lanang berjalan melewati Beringin kembar lalu ke utara, terus menuju Kepatihan, yakni saat ini menjadi kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Satu gunungan Lanang lain, berbelok ke timur menuju Puro Paku Alaman. Empat gajah Puro Paku Alaman berada di depan gunungan.

Setelah upacara Grebeg Sekaten berupa turunnya gunungan sebagai persembahan raja untuk rakyatnya selesai, tugas ke 10 bregada Kraton pun usai. Sampai waktunya tradisi memanggil mereka kembali.

****

Yuk bagikan...

Rekomendasi