Cafe D’Pakar Dago 1 cangkir kopi dari bibir hutan Dago Pakar, Bandung, Jawa Barat. Hawa dingin Bandung sebelah utara ini cocok untuk menikmati cecapan hangat kopi dan kudapan lezat.
Cafe D’Pakar Dago
Sepanjang jalan menuju kafe yang sedang naik daun di Dago Pakar itu, tak ada pemandangan lain selain hutan dan pepohonan yang rimbun di sekitarnya. Medan dengan jalur yang rusak, aspal-aspal retak, dan lubang yang menganga lebar mengharuskan roda mobil berbelok-belok tak tentu. Plus, monyet yang seliweran menandai kalau hutan yang cuma berjarak 12 kilometer dari Kota Bandung ini benar-benar merupakan alam liar.
Sekilas, saya merasa sedang berada dalam bingkai film kanak-kanak Petualangan Sherina yang mengambil lokasi shooting di Bandung.. Tiga ratus meter sebelum sampai di kafe, beberapa monyet mejeng mengamati kendaraan yang lewat.
Kawanan anggota primata itu barangkali berharap, kalau-kalau ada penduduk dari kota yang membawa bekal buah-buahan dan berkenan merelakan satu-dua biji pisang, apel, atau jeruk miliknya, untuk diberikan. Sayangnya, para penunggu hutan ini kudu menelan kecewa tatkala orang—begitu juga kami—melaju kencang, dan langsung berbelok di pekarangan kafe yang dari muka tampak bergaya rustic itu.
“Dihadang monyet ya tadi?” Tutur Maryati Santoso, pemilik D’Pakar, ketika kami—saya dan teman-teman—tiba di kafe itu. “Kawasan di sini memang masih cukup liar. Tempat ini saja dulu bekas kebun, lalu saya bangun jadi kafe karena tanamannya banyak dirusak monyet,” katanya.
Saya mengangguk paham. Tak kepingin diikuti monyet, saya lantas bergegas masuk melewati pintu loket yang bercokol tepat di samping gerbang. “Rp 25 ribu untuk tiket masuk. Anggap saja minimal order,” ujarnya. Tiket ini nantinya bisa ditukarkan dengan makanan atau minuman.
Lalu kami dituntun masuk menuju kebun hijau yang ditanami rumput teki seluas 3.000 meter persegi. Perempuan separuh baya asal Bogor ini meneruskan ceritanya tentang awal mula ia membuka kafe. Yang dulu, kata dia, tempat tersebut cuma dibangun kecil-kecilan. Orang-orang bilang, warung di tengah hutan. Begitulah citra awalnya kafe ini. “Semacam warung biasa yang melayani petani sekitar atau para atlet sepeda,” ujarnya. Dago Pakar memang dulu cuma jadi jalur pesepeda atau pelari, selain tentunya areal perkebunan. “Mulainya dari Kota Bandung, finis di Tebing Kraton,” ucapnya, melanjutkan.
Suara Maryati yang terus berkisah sekonyong-konyong terdengar lamat-lamat di kuping. Sebab, saya mendadak mengalihkan fokus pada hamparan hutan yang jaraknya hanya beberapa jengkal dari tempat berdiri. Mata juga seketika dibikin terperangah dengan konsep kafe kebun yang diusung, dengan membiarkan beberapa bangku kayu tersebar tak tentu di lahan luas.
Beberapa bunga begonia dibiarkan tumbuh, memberi warna yang padu tatkala disandingkan dengan rona hijau dari pepohonan dan rupa cokelat dari bangku dan meja-meja kayu. Di sisi depan, terdapat rumah joglo sederhana berkapasitas tak lebih dari 50 orang menghadap ke kebun. Pengunjung bisa memilih hendak makan di area indoor atauoutdoor. Yang jelas, keduanya menawarkan konsep serupa: menghadap langsung ke taman hutan rakyat.
Dari pintu sampai beranda belakang, bentuk D’Pakar berundak-undak tak rata. Pemiliknya mengatakan bahwa ia tengah mempertahankan kontur asli. Dibikin begini, ujar Maryati, supaya ia tak kehilangan bentuk asal dari kebun yang merentang seluas 1 hektare, yang sudah ia miliki selama 20 tahun lalu itu.
Hari hampir sore kala kami tiba di sana, dan sialnya, bangku sudah hampir seluruhnya penuh dipesan. Kami sempat berputar, menemukan beberapa titik yang seru. Ada bangku dengan model replika kapal kayu, yang dibikin menghadap ke hutan, ada juga kursi panjang yang jaraknya hanya beberapa meter dari jurang. Atau, bangku-bangku bulat yang berjajar manis di samping pagar ilalang. Cantik untuk dipotret kosong atau berfoto diri dengan latar demikian. Sayang, seluruhnya sudah berpenghuni alias ditempati tetamu.
Kami duduk di dek paling atas, dekat dengan joglo. Hanya itu satu-satunya bangku tersisa. Namun tak sial-sial benar lantaran kami justru bisa memandang luas semua lanskap yang ditawarkan di kafe itu. Di tengah desau embusan ilalang dan suara derik serangga hutan, kami meramu obrolan, sembari memilih menu apa saja yang cocok di santap di tempat sedingin itu. “Kopi Aroma, kopi khas tanah Pasundan,” kata Maryati. “Harus dicoba. Menyantapnya ditemani roti bakar green tea dan martabak Nutella,” katanya.
Saya mengangguk setuju tanpa berpikir lagi. Tak lama, kopi hitam yang masih mengepul itu mendarat bersama kawan minumnya. Wanginya mendaraskan kisah masa lalu: secangkir robusta yang sudah ditemukan sejak 1930. Kopi ini tak pelaknya sebuah legenda yang menandai tumbuhnya kawasan pecinan di Bandung sejak era kolonial. Kopi itu saya minum tanpa pemanis. Saya ingin tahu rasa aslinya. Dan benar, ada rasa yang menimbulkan kegirangan kala dua-tiga teguk melewati kerongkongan.
Kopi yang sempurna, diminum di tempat yang tepat. Seperti itulah saya mendeskripsikan kopi aroma kala diseruput di Kafe D’Pakar. Plus, jajanan manis yang melengkapinya memberikan taste yang komplet.
Tak cuma makanan ringan. Maryati juga menyediakan penganan berat, seperti nasi goreng, pempek, ramen, dan jenis-jenis mi lainnya. Menariknya, seluruh menu aman di kantong mahasiswa. Makanan berat dibanderol Rp 20 hingga 40 ribuan, dan minuman dibanderol tak lebih dari Rp 30 ribu. Pantas saja pengunjung rata-rata merupakan mojang Bandung, yang datang sekadar ingin mengobrol dengan teman-teman atau orang terkasih. Tentu di tengah hutan dengan suasana yang syahdu.
Waktu yang tepat untuk bersantai di kafe ini berkisar antara pukul empat sore hingga setengah enam petang. Pada jam tersebut, kemilau surya meronakan cahaya keemasan, memberi semburat yang molek. Pun, cahaya yang merasuk di antara pepohonan menimbulkan lanskap yang hampir boleh dikatakan dramatis. Lagu-lagu alam paling merdu, seperti suara angin sore bercampur kicau burung-burung hutan yang akan kembali ke rumah-rumahnya turut menyumbangkan harmonisasi yang laras.
Tentang D’Pakar:
- Alamat: Jalan Dago Pakar Utara, Sekejolang, Ciburial, Cimenyan, Bandung
- Harga: Rp 10-43 ribu
- Buka pukul 11.00 – 18.00
- Tutup setiap Senin
- Rekomendasi menu: kopi aroma, roti bakar green tea, martabak Nutella, nasi tutug oncom gepuk penyet