Sate Sumsum Pak Oo Bogor atau lengkapnya Sate Sumsum dan Ginjal Pak Oo di Bogor, Jawa Barat, boleh dibilang cukup unik dibandingkan sate-sate pada umumnya. Kuliner yang cenderung anti-mainstream ini sudah punya penggemar tersendiri, dan bahkan telah menjadi bisnis turun temurun hingga generasi ketiga.
Sate Sumsum Pak Oo
Biasanya, sate terbuat dari potongan daging beragam jenis hewan. Jika tidak berupa daging secara keseluruhan, terkadang sate juga dikombinasikan dengan bagian lain hewan tersebut. Misalnya seperti kulit pada sate ayam, atau ati pada sate kambing.
Namun, di kedai ini pecinta kuliner akan menemukan dua jenis sate yang cukup tak lazim, yakni sate sumsum dan sate ginjal. Bahan yang digunakan adalah ginjal dan sumsum tulang belakang sapi.
Yang perlu menjadi catatan, sumsum tulang belakang ini mirip seperti otot yang memanjang dari leher sampai ekor. Ini tidak sama dengan sumsum kaki sapi yang umumnya kita temukan pada beberapa jenis kuliner lain, seperti bakso.
Bagian sumsum ini biasanya berwarna putih kemerahan. Yang unik, ketika sedang dibakar ia akan terlihat menggumpal dan berbusa. Aromanya pun cenderung lebih khas dan tercium lebih kuat dibandingkan daging sate pada umumnya.
Ilustrasi sate. Foto: dok shutterstock
Adapun bagian ginjal yang digunakan cenderung berwarna lebih gelap dan pekat. Saat disajikan, ia juga akan memberikan aroma mirip gula yang dibakar. Ini dikarenakan proses karamelisasi yang terjadi setelah dilumuri kecap dan dibakar.
Di kedai Sate sumsum Pak Oo ini, pelancong bisa memesan sate sumsum dan ginjal masing-masing satu porsi isi 10 tusuk, atau masing-masing 5 tusuk dalam satu porsi. Sate disajikan dengan bumbu kacang, lengkap dengan sambal dan perasan jeruk nipis, serta tambahan nasi atau lontong.
Ketika dimakan, sate sumsum pak Oo akan terasa lembut dan kenyal. Tidak sampai lumer di mulut, namun akan terasa sangat empuk dan gurih di mulut. Sementara sate ginjal terasa lebih mirip ati, namun lebih empuk dan minim serat.
Hal inilah yang membuatnya menjadi kuliner yang punya tempat tersendiri bagi penggemarnya. Keunikan cita rasa sate ini sulit dicari di tempat lain, membuat kedai sate ini selalu ramai pengunjung dan ludes terjual tiap harinya.
Usaha kedai sate ini sendiri bermula dari seorang pria yang akrab dipanggil pak Oo pada tahun 1950. Kala itu, ia masih berkeliling menjajakan satenya dengan pikulan dari jalan ke jalan di sekitar kota Bogor.
Seiring waktu berjalan, ia akhirnya mampu mendirikan tenda kaki lima pada 1965. Pada awalnya ia mangkal di area pecinan Bogor di sekitar Babakan Pasar, tetapi dalam perjalanannya warung tersebut sempat beberapa kali berpindah tempat.
Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah kota Bogor yang beberapa kali melakukan sweeping untuk membersihkan area pinggir jalan di sekitar kota hujan tersebut. Alhasil, warung sate itu pun ikut tergusur.
Warung pun sempat pindah ke beberapa tempat lain, seperti di jalan Pedati, di depan Vihara Danagun dan di seberang pasar Bogor. Kendati demikian, ternyata warung tersebut sudah punya penggemar yang setia mengikuti kemana pun mereka pindah dan tak pernah sepi pembeli.
Setelah beberapa kali pindah, akhirnya usaha ini menjadi kedai dengan bangunan tetap di kawasan Suryakencana pada 2004. Hingga kini, usaha kedai tersebut terus dijalankan oleh generasi ketiga alias cucu pak Oo.
Kawasan Jalan Suryakencana, Bogor, Jawa Barat. Foto: dok. unsplash
Lantas, apa alasan sate unik ini begitu digemari? Selain cita rasanya yang berbeda dari sate kebanyakan, kualitas rasanya juga disebut terus dipertahankan hingga kini. Kedai ini menjamin selalu menggunakan bahan baku yang diolah dari pagi harinya sebelum buka.
Setiap harinya, di pagi hari mereka mendapatkan pasokan ginjal dan sumsum tulang belakang sapi yang fresh. Bahan-bahan itu kemudian diolah dengan direbus untuk menghilangkan bau amis. Sesudahnya, baru dipotong-potong kecil dan dirangkai ke tusuk sate.
Bagi mereka, pantang untuk menggunakan bahan baku sisa kemarin. Sehingga kesegaran serta karakteristik asli dari kuliner ini pun selalu terjaga. Ini merupakan resep warisan yang diturunkan pak Oo kepada anak dan cucunya yang melanjutkan usaha ini.
Selain itu, sumsum tulang belakang sapi disebut kaya akan kandungan gizi seperti kalsium, protein, dan zat besi. Sehingga sate ini diyakini berkhasiat untuk menjaga fungsi jantung dan tekanan darah, meningkatkan zat besi, menguatkan tulang serta mencegah osteoporosis.
Tetapi yang penting untuk diingat adalah sate sumsum ini juga memiliki kadar lemak dan kolesterol yang cukup tinggi pula. Maka menyantap kuliner ini pun perlu kebijakan agar kadar koleterol dalam tubuh tak jadi berlebihan.
Harga satu porsi sate ini harganya sekitar Rp 50 ribu. Selain sate sumsum dan ginjal, ada pula sate daging dan ati sapi yang juga dihargai serupa. Menu sate ayam atau kulitnya pun juga tersedia, dengan harga berkisar Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu.
Yang tak kalah penting, walaupun kedai ini biasanya buka dari jam 15.00 sampai jam 20.30, namun kerap kali sekitar 250 tusuk sate yang tersedia setiap harinya sudah laris terjual sebelum jam tutup. Sehingga disarankan untuk datang lebih awal atau memesan terlebih dulu.
Danau Toba, danau terluas di Asia Tenggara dengan air terhampar hingga tujuh kabupaten. Tak cuma keindahan alam, tapi juga tradisi budaya adi luhur.
Danau Toba
Mata rasanya masih ingin terpejam, tapi tak ada pilihan selain segera mandi, sarapan, dan duduk manis di mobil. Saatnya meluncur ke Prapat. Salah satu titik untuk menikmati Danau Toba, yang disebut sebagai sijujung baringin di Sumatera Utara alias obyek wisata paling utama di provinsi ini. Danau ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara, dengan luas 1.072,16 kilometer persegi. Terbayang, airnya terhampar luas bak lautan hingga ke tujuh kabupaten. Kali ini kami ingin menatapnya dari berbagai titik. Pukul 07.00 perjalanan dimulai. Pagi yang lengang. Maklum, hari Minggu. Kendaraan kami pun melesat di jalan Kota Medan. Melayang di jalan tol, meninggalkan rumah-rumah beratap seng.
Tak lama, Deli Serdang pun terlewati. Selanjutnya Serdang Bedagai, dengan ciri khas deretan gerai dodol pulut, yang menjadi oleh-oleh khas kota ini. melaju di jalanan nan lurus, dalam sekejap kota dodol itu pun dilalui. Tak lama kami menggelinding di jalanan Kota Pematangsiantar. Jarak Medan-Pematangsiantar sekitar 128 km. Jam menunjukkan pukul 09.00, di kiri-kanan jalan gereja mulai dipenuhi jemaat. Kaum ibu dengan kebaya panjang dan songket serta ulos di pundaknya. Kaum remaja dengan busana rapi dan cantik.
Di kota ini, becak motor (bentor) yang menggunakan motor BSA berseliweran. Motor Inggris itu digunakan tentara negeri kerajaan tersebut di Indonesia manakala Perang Dunia II pada tahun 1940-an. Yang masih banyak digunakan adalah yang berkapasitas 350 cc dan 500 cc karena kota ini berbukit. Di kota ini, kami pun sempat menengok sentra ulos di daerah Parluasan.
Keluar dari Parluasan, jalanan mulai menanjak. Kiri-kanan pohon-pohon besar, tak lagi perkebunan seperti di sepanjang rute Serdang Bedagai ke Pematangsiantar. Saya langsung tak sabar untuk memandang Danau Toba. Ternyata harapan itu datang tak lama kemudian. Ketika jalan mulai menyempit dan semakin tinggi, saya pun dapat memandang danau yang terbentuk akibat letusan gunung berapi 75 ribu tahun silam itu dari kejauhan.
Kami pun menemukan titik pertama untuk menikmati Danau Toba setelah perjalanan selama empat jam dari Medan. Titik itu adalah Prapat, di sebuah warung, dengan pemandangan terdekat Batu Bergantung, yang legendanya melekat dengan masyarakat setempat. Langit biru dan udara masih segar. Saat itu pukul 11.00, sehingga terik mentari belum menyengat. Monyet-monyet kecil berekor panjang melompat di antara dahan di depan saya.
Minuman dan camilan sudah habis, kami pun sepakat untuk langsung menyeberang ke Samosir, sehingga Dermaga Ajibata-lah yang kami tuju. Inilah pelabuhan penyeberangan ke Samosir. Berputar-putar mengamati hotel dan penginapan, kami pun tiba di Ajibata. Butir-butir pasir di dermaga sudah memantulkan sinar nan menyilaukan. Terik menyengat kulit. Kami harus menunggu sekitar satu jam. Sudah ada tiga mobil yang menunggu keberangkatan. Ada tiga pengamen cilik pula yang bernyanyi bergantian. “Mereka nyanyi lagu Batak Toba,” ujar sang sopir. Bahasanya berbeda lagi dengan Batak yang lain. Saya pun hanya mengangguk-angguk sambil menyimak bocah berkulit gelap terbakar mentari itu berdendang. Kadang-kadang diselingi bahasa Indonesia.
Sekitar 30 menit menjelang keberangkatan, lahan parkir sudah penuh. Saya membeli tiket untuk kendaraan roda empat seharga Rp 95 ribu untuk sekali penyeberangan. Akhirnya kami masuk ke perut kapal, dan pukul 13.30 kami meninggalkan dermaga. Langit terang dan sinar mentari yang menyengat menjadi teman selama perjalanan.
Sekitar satu jam menatap air dan pegunungan di sekelilingnya, akhirnya kami pun menginjak Tomok, pelabuhan feri di Samosir. Bila menggunakan perahu penumpang, penyeberangan hanya perlu waktu sekitar 30 menit. Deretan toko suvenir menyambut. Di dekat pelabuhan sudah ada satu obyek wisata bersejarah, pemakaman Raja Sidabutar dan keturunannya, yang berumur ratusan tahun. Terbuat dari batu alam tanpa sambungan. Di situ juga pertunjukan boneka Si Gale-gale digelar, dalam bentuk sederhana, hanya ada boneka dan iringan musik dari kaset. Tentu ada seorang pria menggerakkan boneka. Si Gale-gale dipercayai dulu digerakkan oleh kekuatan magis.
Mumpung belum sore, kami memilih jalan berkeliling, mengarah ke Ambarita dan Simanindo. Menikmati jalan cukup mulus yang tidak terlalu lebar. Suasana sepi, tak banyak kendaraan lewat. Sesekali ada turis dengan sepeda. Tanda lalu lintas yang ada bergambar kerbau, karena jenis hewan ini sering tampak berduyun-duyun. Bisa jadi mereka menyeberang jalan tiba-tiba. Merasa seperti menyusuri jalan tak berujung, kami pun berbalik arah dan menuju Tuk-tuk. Gerbangnya di jalanan menanjak seperti menjulang ke langit. Di sini, keramaian baru terasa. Penginapan dan hotel tampak berderet di pinggir Danau Toba, hingga akhirnya kami memilih salah satunya. Hotel dengan beberapa kamar bercirikan rumah adat.
Ada banyak pilihan obyek wisata di pulau seluas 630 kilometer persegi ini. Dan kami akan mendatanginya esok hari. Setelah puas di pagi hari menikmati danau dengan latar belakang deretan hotel-hotel di Prapat serta bukit-bukit di sisi kiri dan kanannya. Hari ini saatnya belajar adat dan budaya Batak Toba lewat ulos dan rumah adat. Pertama kali, sejarah itu kami gali di obyek wisata Batu Parsidangan Siallagan di Desa Siallagan. Kompleks rumah adat Raja Siallagan, yang terkenal dengan hukuman mati di masa lampau. Dari rumah adat, banyak tradisinya bisa dikorek habis dari pemandu wisata, belum cerita batu persidangan, yang merupakan tempat berkumpul raja, dukun, serta hakim saat membahas satu kasus, dan tentunya menjatuhkan hukuman.
Belajar adat, budaya, dan sejarah Batak Toba memang Samosir tempatnya. Kabupaten ini masih memiliki rumah-rumah adat dalam kondisi terawat. Sepanjang jalan dari Tomok menuju Pangururan–ibu kota kabupaten–rumah adat berdiri tegak di antara rumah-rumah modern. Para perajin ulos tersebar di beberapa desa. Di depan rumah adat sesekali masih ditemukan ibu atau remaja asyik menjalin benang menjadi ulos. Yang paling banyak dikenal tentunya di Desa Lumban Suhi-suhi karena mereka menenun secara berkelompok.
Meski berupa danau, ada pula daerah yang disebut pantai di Samosir. Salah satu yang sempat saya kunjungi adalah pantai pasir putih di Desa Parbaba. Karena bukan hari libur, tempat ini cenderung sepi. Ada juga gerombolan anak sekolah yang baru pulang dan mampir duduk-duduk di bawah pohon dekat pantai. Di sisi kanan, masih ada ibu yang mencuci perlengkapan dapur di bibir danau. Ada trotoar untuk pengunjung jika ingin jalan-jalan.
Esok pagi, baru kami menyaksikan tarian Si Gale-gale di Museum Huta Bolon Simanindo. Rumah adat yang dijadikan museum ini merupakan peninggalan Raja Sidauruk. Pertunjukan berlangsung setiap hari pukul 11.00. Ada beberapa jenis tarian, seperti yang menjadi ciri khas Tor tor, selain Si Gale-gale. Di akhir acara, pengunjung pun menari. Selepas makan siang di Pangururan, kami meninggalkan Samosir melalui jalan darat. Tidak perlu lagi ke Tomok.
Kami seperti menyusuri bibir Danau Toba. Melingkarinya, naik-turun. Mencermati desa di ujung danau dengan lahan sawahnya. Ada pula sebuah masjid–Al Huda, yang berdiri sejak 1940-an. Itu pemandangan di sisi kiri. Di sisi kanan ada perkampungan lain. Ketika rumah tak tampak lagi, jalanan pun semakin sempit, bahkan kemudian berbatuan. Namun tak lama kami disambut dengan jalanan tanah lebar dengan debu berhamburan, hingga akhirnya tiba di jalan penuh kelokan dengan tebing batu di sisi kiri dengan bebatuan yang sepertinya siap-siap berguling, sementara di sisi kanan jurang yang supercuram. Pecahan batu tercecer di jalanan.
Rasa cemas langsung menyergap, teringat akan kecelakaan yang beberapa kali terjadi di jalur ini. Maka sepanjang jalan hanya doa yang bisa saya panjatkan. Terutama ketika merasa terjepit di antara tebing batu dan jurang curam. Dengan jalan yang meliuk-liuk, di setiap belokan, jantung terasa berdetak lebih cepat. Perjalanan terasa panjang.
Namun di sinilah kami menemukan titik-titik terindah memandang Danau Toba. Ke mana mata memandang, yang tampak hanya hamparan air danau, yang kini tengah didengungkan soal ancaman kerusakannya. Bukit di sekelilingnya yang gundul dan airnya yang tercemar karena pengambilan ikan dengan bahan-bahan kimia. Beruntung, masih ada beberapa titik yang menampakkan kehijauan.
Setelah meliuk-liuk hampir dua jam, akhirnya kami tiba di Menara Pandang Tele. Sebuah menara yang terdiri atas empat lantai, yang membuat orang bisa memandang Danau Toba dengan Pulau Samosir yang utuh. Rasa lega pun memuncak di sini, tak hanya karena pemandangan yang terindah danau ini, tapi juga karena saya sudah melewati kelokan-kelokan berbahaya. Perasaan ringan pun bergelayut. Kendaraan melaju ke arah tujuan akhir hari itu: Brastagi.
Belum lama menikmati jalan mulus, kami harus menemui jalan berlubang, yang membuat kendaraan melaju lambat. Kemudian, sebelum mencapai Taman Simalem Resort, ada pula perbaikan jalan akibat longsornya dinding tebing. Hingga akhirnya tiba di resor ketika langit mulai gelap. Beruntung, kami masih bisa memandang lagi keindahan Danau Toba dengan pegunungan di sekelilingnya. Meski harus terusik lagi karena ada bukit yang penampilannya seperti kepala orang tua: botak sebagian besar.
Beranjak dari Bukit Merek, setelah mengelilingi kompleks wisata itu, kami masih menemui jalan berlubang sebesar ban di Simpang Merek. Padahal jalan tersebut merupakan jalur lintas Kota Kabanjahe-Merek-Sidikalang. Akhirnya kami tiba di Kabanjahe sekitar pukul 20.00 dengan perasaan dan badan lelah. Tujuh jam perjalanan dari Pangururan. Kami pun beristirahat di Brastagi, dan tentu tak mungkin lagi mencari titik untuk memandang Danau Toba di sini. l
Tiga Hal tentang Samosir
Penyeberangan. Ada dua pelabuhan yang memiliki rute ke Samosir dari Prapat. Paling tinggi frekuensinya dari Ajibata. Pilihannya, bila membawa kendaraan, harus dengan feri yang melaju lima kali sehari. Bila hanya penumpang, cukup dengan kapal wisata dengan jadwal setiap jam. Bisa juga Anda menyewa kapal. Dari Pasar Tiga Raja, ada juga perahu langsung ke Tuk Tuk sehingga turis bisa langsung mencapai hotel di pinggir danau. Jadwalnya delapan kali sehari.
Hotel. Hotel paling banyak ditemukan di Desa Tuk Tuk dan, untuk kenyamanan, sebaiknya memilih hotel di wilayah ini. Fasilitas untuk turis paling memadai, ada sewa sepeda, dan toko suvenir. Wartel dan warnet pun mudah ditemukan.
Obyek Wisata. Selain menikmati Danau Toba dan adat-istiadat Batak Toba, Kabupaten Samosir memiliki obyek yang berlimpah, terutama yang berunsur air. Di antaranya pemandian air panas di Pangururan, Gunung Pusuk Buhit dengan beberapa mata airnya, Danau Sidihoni–danau di dalam danau–dan mata air Datuk Parngongo. Setiap kecamatan rata-rata memiliki obyek berupa mata air, air terjun, pantai, dan jenis wisata serupa lainnya.
Flobamora, ini mungkin istilah yang belum terlalu dikenal oleh orang awam. Meskipun sesungguhnya ia sudah mondar-mandir liburan ke kawasan ini.
Flobamora
Perhatikanlah peta Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di gugusan pulau itu, setiap pulau besar di daerah ini dipastikan memiliki jagoan tempat wisata. Keindahannya tak hanya dihormati di dalam negeri, masyarakat dunia pun mengakui keunikan dan keanehan. Komodo, contohnya. Masih banyak tempat lain yang memiliki pesona. Sebagian mungkin masih tersembunyi.
Komodo, kadal raksasa dari masa dinosaurus itu, memang sudah sangat melegenda, namun di luar itu ada banyak spot yang unik. Itu sebabnya, NTT dalam Anugerah Pesona Indonesia (API) 2020 lalu merajai perolehan penghargaan.
Untuk NTT, masyarakat mengenal istilah Flobamora. Ini terkait dengan tempat-tempat wisata yang berkilau di empat pulau besar di provinsi ini, yatu Flores, Sumbawa, Timor, dan Alor. Mulai dari peristiwa budaya, keindahan bawah laut, wisata gunung, sampai dengan peristiwa sejarah Indonesia.
Dari yang paling terkenal dulu, yaitu di menyaksikan hewan purba yang masih hidup sampai kini, yaitu Komodo di ujung kiri Pulau Flores. Setelah itu, bergesar ke Timur untuk menikmati Danau Kelimutu. Salah satu yang membuat danau ini terkenal adalah terjadinya perubahan warna di air yang ada di kawahnya. Ada tiga buah kawah yang masing-masing airnya berbeda satu sama lain warnanya.
Danau Kelimutu mempunyai tiga warna di Gunung Kelimutu, Flores, Nusa Tenggara Timur. Foto: Dok. TL
Bila bergeser ke arah timur, silakan menikmati suguhan pemandangan alam bawah laut. Begitu jauhnya jangkauan tangan-tangan jahil membuat tampilan kawasan laut sangat indah. Di Sikka salah satunya. Kalau beruntung Anda bisa menikmati mawar laut saat menyelam.
Lalu terus ke Timur ada Larantuka yang terkenal dengan prosesi keagamaan Perarakan Jumat Agung. Perarakan ini salah satu agenda budaya yang ditunggu oleh para wisatawan karena unik dan penuh kekhusyukan.
Silakan bergerak lagi ke timur ke Timur lagi. Ada pulau kecil bernama Lembata. Sekalipun kecil, salah satu atraksi besar terjadi di tempat ini, yaitu perburuan ikan paus secara tradisional. Masyarakat di tempat ini, dikenal dunia karena kepiawaiannya menaklukan ikan paus. Nah, berikutnya kunjungilah Pulau Alor. Peristiwa budaya unik banyak digelar di sini salah satunya ada di Desa Takpala.
Kemudian, mulailah menjelajahke arah Selatan yaitu Pulau Timor.Di pulau ini peristiwa penting bagi Indonesia terjadi, salah satunya berpisahnya Timor Timur menjadi Negara Timor Leste. Bagi yang tertarik dengan sejarah tentu sangat berguna menyambangi tempat ini untuk melihat jejak-jejak yang tertinggal.
Salah sat sudut kota Kupang, ibukota NTT. Foto: Dok. unsplash
Pulau Timor juga penting karena pelabuhan udara terbesar El Tari ada di sini. Kota Kupang, ibukota Provinsi NTT, jadi wajah pertama yang dilihat oleh pengunjung sekalian. Kalau berada di Kupang dan tak sempat berkelana ke pulau lain, tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi yaitu Pantai Lasiana, Pantai Ketapang, Pantai Paradiso, Pantai Nunsui, Pantai Koepan, Museum Kupang, dan Gua Monyet.
Masih ada satu pulau lagi yang bisa ditengok yaitu Pulau Sumba. Tempat ini banyak beragam keunikan budaya, baik itu patung-patung megalitikum. Rumah adat Praiyawang salah satu yang menyuguhkan susunan batu kokoh dan megah di sebuah kawasan desa. Di tempat ini ada sebuah rumah adat/Uma Dewa yang tidak boleh menyalakan lampu di dalamnya. Hanya boleh lilin, itupun saat ada peristiwa adat.
Untaian keindahan itu seperti kilauan yang berkilat saat melihatnya dari atas. Namun, masih ada tantangan besar untuk menikmati semuanya, yaitu minimnya infrastruktur. Untuk mengaksesnya dibutuhkan transportasi udara. Dan itu harus merogoh kocek yang dalam. Pemerintah Provinsi NTT memang terus membenahi pariwisata. Potensinya besar adan pantas dinikmati. Namun perlu banyak yang dibenahi, yaitu kesiapan masyarakat untuk menerima tamu, siap jadi tuan rumah dan memiliki ketrampilan yang mendukung.
Bila Anda cukup beruntung untuk menikmati keindahan yang ada di NTT, sudah pasti kenangan akan di bawa seumur hidup. Sulitnya mencapai daerah tersebut akan lunas terbayar ketika sampai di tempat yang dituju dan benar-benar mencicipi keindahan yang tersaji. Itulah NTT yang berkilau.
Sekalipun NTT tidak hanya Kupang, namun kota inilah yang paling terjangkau. Paling tidak perlu sebulan untuk bisa mengunjungi seluruh kawasan NTT ini. Selama di Kupang, ada beberapa tempat yang menarik dikunjungi. Salah satunya Lak Garam. Di sinilah Anda bisa melihat, pembuatan garam secara tradisional.
Keunikannya, garam dihasilkan tidak dengan menjemurnya di pinggir pantai, tetapi memasak airnya. Menarik bukan?
Selanjutnya air terjun Oenesu. Tempat ini memang belum begitu terkenal. Namun, letaknya yang tak begitu jauh dari Kota Kupang jadi salah satu alternatif menikmati suguhan alam yang unik. Lekukan bebatuan yang membentuk pola cantik jadi aroma terkuat tempat ini.
Setelah itu, kunjungilah monyet-monyet ekor panjang yang lucu. Gua Monyet Tenau ini jadi habitat asli 300-an monyet ekor panjang. “Salah satu keunikannya, selama 18 tahun dimenjaga tempat ini, belum pernah menemui monyet yang mati. Tak tahu- lah, mungkin mereka mengubur di tempat khusus dan tersembunyi. Bau pun tak ada,” kata Firman Kay, seorang penjaga gua monyet.
Kuliner Kudus memiliki kekhasan yang hamir tidak dimiliki daerah lain, yakni menggunakan daging kerbau. Ada, setidaknya, tiga masakah khas kota kretek di Jawa Tengah ini yang punya banyak penggemar dan menggunakan daging kerbau. Jika soto Kudus sudah banyak yang tahu, tak begitu dengan sate dan pindang dagingnya.
Kuliner Kudus
Makanan yang sangat familiar dan dikenal sebagai makanan khas Kudus tentu saja soto Kudus. Sudah banyak kedai atau resto yang menjajakannya di banyak kota. Meskipun umumnya yang dijajakan yang menggunakan daging ayam. Jarang yang menawarkan sesuai aslinya dengan daging kerbau. Kalaupun ada yang menawarkan soto Kudus daging, biasanya jika di luar kota Kudus, mereka menggunakan daging sapi.
Jika soto Kudus daging kerbau jarang ada, apa lagi sate dan pindang daging kerbau. Ini termasuk langka bisa ditemukan di luar kota yang dikenal dengan produksi rokok kretek dan jenang atau dodolnya itu.
Rasanya sudah banyak yang tahu kenapa di Kudus ada banyak makanan memilih menggunakan daging kerbau dibanding sapi. Ini, tentu, ada kaitannya dengan sejarah panjang kerukunan umat beragama sejak masa Sunan Kudus.
Saat masa penyebaran agama Islam di kawasan pantai Utara Jawa Tengah, khususnya di sekitar Kudus, Sunan Kudus melihat masyarakat setempat sudah memeluk agama Hindu yang sangat menghormati sapi. Untuk menghormati pemeluk agama Hindu itu, Sunan Kudus lantas melarang pengikutnya menyembelih sapi agar tidak melukai hati pemeluk agama Hindu. Sejak itulah masyarakat yang ingin mengkonsumsi daging memilih menyembelih kerbau sebagai gantinya.
Seperti apa masing-masing masakan tersebut? Pecinta kuliner mungkin tidak asing dengan soto yang hampir tiap daerah memilikinya. Soto Kudus secara hampir mirip, terutama jika memilih yang mengunakan daging ayam. Agak berbeda jika memilih soto daging kerbau.
Soto Kudus umumnya disajikan dalam sebuah mangkuk kecil. Di dalamnya ada nasi, irisan daging kerbau, tauge, bawang putih goreng, dan kuah bening yang kaya rempah. Jika ingin lebih lengkap, bisa ditambahi sate telur puyuh, sate jerohan, perkedel, gorengan, dan paru kerbau yang bakal melengkapi semangkuk soto.
Jika ingin menyoba menyantap soto Kudus saat berada di kota ini, berikut beberapa pilihan warung yang sudah dikenal masyarakat:
Soto kudus Bu Jatmi; Jl. Kyai H. Wahid Hasim No.43, Magersari, Panjunan, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59317
Soto Kudus Pak Haji Sulichan atau Pindsot; Jl. Jend. Sudirman, Barongan, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59313
Soto Kudus Pak Ramidjan: Jl. Kudus – Jepara No.79A, Bakalan, Purwosari, Kec. Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59316
Makanan khas kudus yang selanjutnya adalah nasi pindang kerbau. Dari namanya saja, tentu sudah bisa ditebak bahwa makanan ini menggunakan daging kerbau.
Makan khas Kudus ini sekilas mirip rawon, namun aslinya berbeda. Nasi pindang menggunakan kuah santan yang membuat makanan ini berbeda dengan rawon. Ia memang memiliki tampilan seperti rawon, dengan kuah gelap dan potongan daging. Warna hitamnya berasal dari kluwak, rempah yang digunakan agar rawon menjadi hitam.
Tampilan dari nasi pindang terbilang unik. Nasi ditaruh di atas piring yang diberi lembaran daun pisang. Setelah itu, nasi diberi kuah, daging kerbau yang sudh diiris-iris, daun melinjo hingga telur kecap rebus. Daun melinjo memang menjadi salah satu yang melengkapi sajian masakan ini. Aroma daun melinjo tercium kuat saat hidangan disajikan dengan kuah panas
Jika kebetulan mampir Kudus dan ingin mencicipi nasi pindang Kudus, berikut pilihan yang bisa jadi alternatif.
Nasi Pindang Kerbau 58: Jl. Tanjung, Nganguk, Kramat, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59312
Nasi Pindang dan Soto Kerbau Sidodadi; Wergu Kulon, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59318
Soto Kudus dan Nasi Pindang Pak Rame; Pujasera Taman Bojana, Jl. Simpang Tujuh, Barongan, Demaan, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59313
Kuliner ketiga yang juga menyajikan daging kerbau di Kudus adalah sate kerbau. Kudus memang sangat terkenal dengan kuliner sate kerbau yang paling enak dan sangat gurih sekali rasanya.
Secara umum tidak hampir tidak ada bedanya sate kerbau dengan sate kambing atau sate sapi. Begitupun, meracil sate kerbau berbeda dengan daging sapi atau kambing. Ini penyebabnya karena daging kerbau memiliki tekstur lebih keras dengan serat daging yang lebih besar. Karena itu, bumbunya juge berbeda.
Ada dua macam bumbu dasar untuk mengolah daging kerbau menjadi sate. Pertama, untuk bumbu kuah atau saus, dan kedua bumbu pencampur daging.
Bumbu saus biasanya terdiri dari garam, gula kelapa, cabai, rempah, sedikit kacang tanah, dan srundeng atau parutan kelapa yang sudah dimasak hingga berminyak. Sedangkan bumbu dagingnya menggunakana bawang, ketumbar, garam, asam kawak atau asam jawa, dan gula tebu. Bumbu untuk daging biasanya dibacem. Dengan bumbu semacam itu, tampilan sate kerbau terlihat lebih gelap.
Yang unik, saat mengolah daging kerbau, sebelum ditusuki, ada semacam urat pelapis daging yang harus dikerat dulu. Setelah itu, daging “dipukuli” agar lebih lunak. Setelah itu baru dipotongi dan ditusuki. Selain daging, beberapa warung sate kerbau di Kudus juga menyediakan beberapa menu pilihan lainnya seperti sate lidah, hati, koyor, babat hingga usus. Berikut pilihan warung yang menyediakan sate kerbau di Kudus.
Sate Kerbau dan Garang Asem Iga Alaiudin; Mlatinorowito gang 1 kavling No 25, Pikon, Mlati Norowito, Kota Kudus, Kudus Regency, Central Java 59319
Sate kerbau Pak Min Jastro; Jl. Kyai H. Agus Salim, Getas, Wergu Wetan, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59318
Warung Sate Kerbau Mas Zuhri; Getas, Getas Pejaten, Kec. Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59343
Sate Kerbau 57; Jl. Kutilang No.1, Wergu Kulon, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59317
Bagaimana, Anda tertarik mencobanya? Ayo agendakan wisata kuliner ke Kudus.
Gunung Toba Purba mungkin tak seterkenal danaunya. Padahal jauh di masa lampau, gunung ini pernah meletus dengan dahsyat depngan efek yang luar biasa.
Gunung Toba Purba
Awal Desember lalu, Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba tampak sedikit lebih dingin dari biasanya. Maklum, sejak tengah malam, hujan deras hampir merata melanda pulau itu dan sekitarnya.
Di tepian danau berair biru yang luas itu, sebuah perahu kecil mengapung dengan seorang nelayan di atasnya. Sesekali, ombak kecil menghantam perahu kecil itu dan membuat air danau masuk ke dalamnya. Meski dengan perlengkapan seadanya, nelayan itu terlihat terampil memanen aneka ikan air tawar yang memang melimpah ruah di Danau Toba. Ikan-ikan air tawar itu selanjutnya dijual ke rumah-rumah makan yang terdapat di sekitar Tuk Tuk, sebagian lagi dijual ke pembeli dari Silintong, Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
Ikan air tawar aneka jenis seperti ikan mujair dan nila merupakan kekayaan alam Danau Toba. Danau Toba merupakan danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Danau ini memiliki panorama yang indah, membuatnya menjadi salah satu tujuan wisatawan lokal maupun mancanegara.
Di balik keindahan Danau Toba, tersembunyi jejak letusan maha dahsyat Gunung Toba purba yang terjadi sekitar 74 ribu tahun silam. Ketika itu, gunung raksasa ini meletus dengan dahsyatnya yang berimbas pada kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Berbagai penelitian yang dilakukan geolog dari berbagai negara menyimpulkan bahwa letusan Gunung Toba purba merupakan salah satu letusan super vulkano terbesar sepanjang sejarah.
Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina hingga Afrika Selatan. Letusan terjadi selama seminggu dan melontarkan debu vulkanik hingga ketinggian 10 kilometer di atas permukaan laut.
Menurut beberapa bukti Deoxyribonucleic Acid (DNA) yang ditemukan, letusan ini juga menyusutkan jumlah jumlah populasi manusia di dunia saat itu. Bahkan yang cukup mengejutkan, penyebaran debu vulkanik terekam hingga Kutub Utara. Hal ini menggambarkan betapa dahsyatnya letusan Gunung Toba purba.
Letusan itu menyebabkan terbentuknya kaldera raksasa yang kemudian dikenal sebagai Danau Toba. Akibat tekanan magma dari dalam perut bumi, lalu muncul sebuah pulau di tengah Danau Toba yang diberi nama Samosir. Di pulau inilah diyakini sebagai tempat asal usul leluhur suku Batak.
Para tetua adat di Samosir mengatakan Danau Toba merupakan sebuah fenomena yang tidak saja penting bagi bangsa Indonesia, tapi juga masyarakat dunia. Danau Toba masih menyimpan sejuta misteri yang patut untuk diungkap. Inilah yang menjadi daya tarik geolog lokal maupun mancanegara untuk melakukan penelitian mendalam tentang Danau Toba.
Kawasan Danau Toba yang tersebar di tujuh kabupaten memiliki potensi geologi purba terbaik di muka bumi ini. Atas dasar itulah Danau Toba dan kawasan sekitarnya diusulkan sebagai anggota Geopark UNESCO sejak 2012 silam. Sebagai geopark, Toba memiliki 42 geosite yang dibagi dalam empat geo area yakni Kaldera Haranggaol, Porsea, Sibandang dan Pulau Samosir.
Khusus untuk Samosir, kekayaan potensi geopark dan budaya suku Batak dapat menarik banyak wisatawan domestik maupun mancanegara di masa mendatang. Keragaman potensi wisata dan jejak letusan gunung purba inilah yang akan menjadi surga wisata geopark di Danau Toba.
Gabungan antara budaya masyarakat Batak dan wisata geopark merupakan modal besar untuk mengembangkan kawasan Danau Toba dan sekitarnya di masa mendatang. Geoparkpurba Toba diakui sebagai anggota Global Geopark Network UNESCO pada 2019 yang lalu. Sembilan tahun setelah diusulkan.
Danau Toba memang menarik sebagai destinasi wisata. Bukan hanya keindahan alam yang dapat dinikmati, tapi budaya suku Batak yang mengakar kuat menjadikan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pilihan wisatawan lokal maupun internasional.
Berkaitan dengan sejarah suku Batak, di Pulau Samosir terdapat peninggalan-peninggalan sejarah masyarakat Batak di masa lampau. Di Tomok, misalnya, terdapat makam Raja Sidabutar, penguasa kawasan Tomok di masa lalu. Makam batu berusia ratusan tahun ini terbuat dari batu utuh tanpa persambungan dipahat untuk tempat peristirahatan Raja Sidabutar.
Pertunjukan boneka Sigale-gale di Tomok. Foto: Dok. TL/Tony H
Peninggalan sejarah masyarakat Batak dari batu juga terdapat di Desa Siallagan, Desa Ambarita. Obyek wisata ini adalah Batu Parsidangan, terbuat dari batu yang disusun sedemikian rupa pada masa pemerintahan Raja Siallagan sebagai tempat untuk men- gadili dan mengksekusi para kriminal. Di sekitar Batu Parsidangan terdapat pohon-pohon berukuran besar yang rindang. Masih di lokasi yang sama, terdapat Museum Huta Bolon, tempat penyimpanan benda-benda kuno masyarakat Batak. Di lokasi ini wisatawan juga dapat melihat pertunjukan Sigale-gale, sebuah boneka dari kayu yang dibalut busana adat Batak lengkap dengan kain Ulos. Boneka Sigale-gale dapat menari mengikuti irama musik tradisional gondang.
Di sebelah utara Pulau Samosir, terdapat obyek wisata alam berupa pemandian air panas. Letaknya hanya sekitar 3 kilometer dari Pangururan. Tak jauh dari pemandian air panas, tepatnya di Desa Lumban Suhi-suhi, Anda dapat menjumpai kelompok masyarakat yang masih mengerjakan tenun tradisional Ulos.
Bagaimana dengan wisatawan yang ingin menikmati suasana pantai? Jangan khawatir, Danau Toba memiliki pantai yang tak kalah indahnya dengan pantai di Bali. Namanya Pantai Sukken. Pantai ini memiliki pasir putih yang masih alami dan menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba.
Sedikit bergeser ke tengah pulau, terdapat sebuah danau kecil, Sidihoni. Danau ini menjadi keunikan tersendiri dengan sebutan ‘danau di atas danau’. Obyek wisata lain yang tak kalah menarik untuk dikunjungi adalah Aek sipitu dai (air tujuh rasa) di daerah Boho, Desa Limbong.
Aek sipitu dai adalah tujuh buah pancuran yang masing-masingnya memiliki rasa berbeda-beda. Air yang mengalir di pancuran ini berasal dari tujuh buah mata air yang bergabung di dalam satu tempat labuan (bak panjang) namun ketika dialirkan ke tujuh pancuran rasanya bisa kembali terpisah.
Sroto Sokaraja atau kadang juga disebut Sroto Banyumas dengan mudah diidentikan dengan sajian soto yang banyak macamnya di Indonesia. Lalu apa istimewanya, dan mana yang paling wajib dikunjungi kalau pas main ke Banyumas atau Purwokerto?
Sroto Sokaraja
Masyarakat Indonesia sangat familiar dengan makanan berkuah seperti soto. Di negeri ini Indonesia sendiri banyak sekali jenis soto mulai dari soto Betawi, soto Lamongan, soto Madura, soto Banjar, atau coto Makasar. Di antara sajian berkuah masing-masing daerah itu, ada sroto Sokaraja yang menjadi kuliner andalan masyarakat Banyumas, Jawa Tengah.
Sokaraja adalah kota kecamatan yang terletak kurang lebih 8 kilometer di sebelah timur kota Purwokerto, Jawa Tengah. Secara geografis kecamatan ini ada di Kabupaten Banyumas, namun orang lebih sering mengidentikannya dengan Purwokerto. Selain jaraknya tidak terlalu jauh, yang terakhir ini memang lebih besar kotanya.
Mungkin tak cukup banyak orang pernah mendengar nama Sokaraja, namun ia punya satu makanan khas yang menjadi ikon kuliner Provinsi Jawa Tengah, yaitu sroto Sokaraja. Masyarakat setempat menyebut sroto, namun sejatinya ia masuk keluarga soto.
Meski termasuk jenis soto, namun sroto sokaraja memiliki perbedaan yang mendasar dengan soto-soto pada umumnya. Jika soto dari daerah lain memakai nasi, sroto sokaraja mirip dengan coto Makassar, menikmatinya dengan ketupat. Buras kalau di Makassar. Begitupun, tentu saja orang tetap bisa menyantapnya bersama nasi putih.
Selain itu, hal lain yang menjadi ciri khas sroto adalah pelengkapnya berupa sambal kacang, seperti yang biasa digunakan untuk bumbu pecel. Sambal kacang yang digunakan umumnya tidak terlalu pedas dan lebih terasa gurih. Ada lagi kondimen lain yang melengkapi kekhasannya, yakni kerupuk lokal yang sering disebut sebagai kerupuk cantir. Biasanya berwarna merah atau putih.
Pada umumnya, penikmat sroto Sokaraja bisa memilih dua jenis daging yang hendak disantap, yakni ayam atau sapi. Kuah yang dipergunakan pun sama dengan dagingnya, artinya jika menggunakan daging ayam maka kuah yang digunakan juga kuah kaldu ayam. Sedangkan kuah yang digunakan jika menggunakan daging sapi yaitu kaldu sapi.
Pada mulanya daging yang digunakan dalam sroto Sokaraja yaitu daging ayam yang digoreng dengan campuran bumbu. Tetapi seiring berjalannya waktu tidak hanya daging ayam yang digunakan tetapi juga menggunakan daging sapi. Kuah soto yang digunakan didominasi oleh warna kuning dari kunyit dan dibuat dari kaldu daging ayam maupun kaldu daging sapi. Untuk menambah cita rasa kuah soto, ditambahi dengan jahe, lengkuas dan juga daun sereh.
Pada proses penyajian sroto Sokaraja, jika kita mampir di warung-warung di Purwokerto sampai ke Banyumas, konsumen biasanya ditawari juga untuk melengkapinya dengan tempe mendoan. Tempe yang diiris tipis dan digoreng dengan baluran tepung. Biasanya digoreng setengah matang.
Lalu, jika wisatawan hendak mencicipi saat mampir ke Purwokerto, warung manakah yang layak dipilih? Warung sroto yang terkenal dan sudah berdiri puluhan tahun serta menjadi langganan masyarakat di Sokaraja dan sekitarnya adal dua Soto Kecik dan Soto Lama. Namun, seriring waktu, pilihan pun bertambah. Berikut alternatif yang bisa dipilih:
Raja Soto Lama H. Suradi
Warungnya berada di jalan protokol, Raja Soto Lama H. Suradi ini memiliki dua pilihan soto yang berbeda, yaitu daging sapi dan daging ayam. Sajian sate telur puyuh, mendoan, serta aneka gorengan lainnya tersedia di meja yang sangat pas untuk disantap bersama soto.
Lokasi: Dusun I Sokaraja Kidul, Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
Soto Kecik Sokaraja
Selain rasa, keunikan sroto Kecik adalah jam bukanya yang 24 jam, alias nonstop. Ini berbeda dengan yang lain, yang tutup sore atau selepas Isa. Buka selama nonstop, ini mempermudah para wisatawan untuk menyantapnya kapanpun tanpa takut kehabisan. Yang spesial dari soto di sini adalah tersedia jeroan yang bisa dipesan untuk menambah rasa.
Lokasi: Jl. Jendral Sudirman, Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
Sroto H. Loso
Sroto ini dimiliki H. Loso, namun banyak orang menyebutnya dengan Soto Jalan Bank karena letaknya di Jalan R.A. Wiryaatmaja atau Jalan Bank. Sesuai dengan nama lokasinya, soto ini berada di dekat Museum Bank Rakyat Indonesia (BRI). Lokasinya sangat mudah dicari karena soto di Banyumas ini berada di pusat kota dan sangat dekat dengan alun-alun kota.
Lokasi: Jl. RA Wiryaatmaja No.15, Pesayangan, Kedungwuluh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
Sroto Sutri
Bak surga daging, dari kejauhan saja wisatawan akan melihat para pelayan yang membawakan semangkuk soto yang penuh daging sapi. Sroto Sutri ini juga menjadi salah satu soto legendaris di Banyumas karena telah berdiri dengan usia tua dan kini berhasil memiliki dua cabang. Yang harus diketahui, jika penasaran ingin menyantapnya, datanglah di waktu-waktu awal karena soto ini seringkali ludes terjual dengan cepat.
Lokasi:Cabang 1 – Jl. Pramuka No.09, Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Cabang 2 – Jalan Kertadirjan, Sokaraja,Banyumas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
Nasi koyor kota lama Semarang adalah kuliner yang unik dan otentik ibukota Jawa Tengah ini. Kuliner ini bahkan terbilang antik dan legendaris karena walau sudah ada sejak lama, tapi masih ramai diminati hingga kini.
Nasi Koyor Kota Lama
Koyor, ini sebutan untuk bagian urat atau otot sapi di bagian lutut, memang cukup lazim menjadi bagian dari beberapa masakan nusantara. Begitu pun di Semarang, koyor justru menjadi bagian utama dari resep kuliner unik tersebut.
Yang membuatnya unik adalah resep nasi dengan koyor yang diramu ala ‘krengsengan’ yang menggunakan santan, dipadu dengan tambahan seperti telur, tahu, tempe, serta daging ayam atau sapi. Resep ini sudah menjadi kuliner yang menggoda lidah sejak berpuluh tahun lalu.
Jalan Letjen Suprapto, Semarang, lokasi Nasi Koyot Kota Lama di kota tersebut. Foto: unsplash
Hal yang perlu diingat adalah walaupun mungkin secara sekilas agak terlihat dan terasa mirip, tetapi koyor tidak sama dengan kikil. Kalau koyor adalah bagian di area lutut sapi, maka kikil adalah bagian tulang rawan kaki sapi.
Untuk mengolah koyor jadi masakan juga terbilang tak sulit, tapi juga tak mudah. Butuh ketelatenan dalam proses pengolahan yang bisa berlangsung beberapa jam agar koyor menjadi kenyal. Bumbu yang diracik pun harus sesuai agar mendapatkan cita rasa gurihnya.
Maka tak heran jika hingga saat ini banyak warung penjaja kuliner ini yang masih mempertahankan cara tradisional dengan menggunakan arang. Ini dilakukan agar mendapatkan besaran api tertentu dalam memasak koyor.
Biasanya, koyor yang sudah dicuci bersih akan direbus dulu sebelum dimasak. Bahan-bahan seperti jahe, daun jeruk, daun salam, lengkuas dan garam juga digunakan saat merebus. Tujuannya agar ia menjadi empuk serta menambah rasa gurih secara alami.
Proses ini rata-rata bisa berlangsung selama setidaknya tiga jam. Setelah matang, ia dipisahkan dan dipotong-potong. Kemudian ia direndam kembali dengan campuran santan dan gula merah agar bumbunya meresap.
Barulah sesudah koyor dapat dimasak dengan bumbu halus bawang putih, bawang merah, kunyit, ketumbar dan kemiri. Setelah disajikan, koyor yang empuk dan kenyal akan berpadu dengan paduan rasa manis, gurih dan spicy.
Selain disuguhkan dengan nasi dan beberapa tambahan lauk, biasanya di dalam nasi koyor terdapat pula sayur kacang panjang. Terkadang nasi koyor kota lama bahkan juga dihidangkan dengan gudeg.
Di Semarang, para pemburu kuliner masa lalu masih bisa menemukan beberapa warung-warung penjual nasi koyor tersebut. Salah satu yang bisa dibilang paling terkenal dan legendaris adalah Warung Nasi Koyor Kota Lama.
Terletak berdekatan dengan gedung Marba dan gedung Spiegel di kawasan Kota Lama, warung ini disebut sudah berdiri sejak 1955. Yulianti bersama dengan suaminya adalah generasi kedua yang melanjutkan bisnis kuliner ini.
Menurutnya, warung ini dulunya buka di situ karena ayahnya pernah bekerja sebagai petugas keamanan di area gedung Marba. Berbekal resep warisan keluarga, warung berbentuk semi permanen hanya selebar trotoar tersebut didirikan dan mampu terus eksis hingga kini.
Kedai Nasi Koyot Kota Lama Semarang. Foto: Dok. Biro Komunikasi Publik Kemenparekraf
Setelah melanjutkan bisnis orang tuanya sejak 2015 lalu, ia memutuskan untuk mempertahankan bentuk dan keaslian dari warung tersebut. Nyatanya, itu tak menurunkan animo pengunjung, bahkan hingga kalangan figur publik seperti pejabat.
Warung tersebut juga masih mempertahankan cara memasak dengan arang. Menurut Yuli, cita rasa serta aroma masakan yang dibuat menjadi lebih spesial. Potongan koyornya pun tergolong besar-besar. Tak kurang sekitar tujuh kilogram koyor yang digunakan setiap harinya.
Namun diakuinya pula bahwa belakangan ini menu yang tersedia tak selengkap dulu. Padahal, warung ini sebelumnya juga menyediakan menu-menu lain seperti masakan paru, iso, babat dan limpa.
Hal ini disebabkan sulitnya mendapat pasokan bahan baku, setelah Pasar Johar tempat Yuli memperoleh bahan-bahan tersebut dipindahkan. Ditambah lagi, ternyata peminat menu-menu tersebut dewasa ini agak menurun.
Kendati demikian, minat pengunjung kepada nasi koyor kota lama sebagai sang menu utama tersebut tak kunjung surut. Meskipun normalnya warung buka dari jam 09.00 hingga sore hari, tapi tak jarang makanan sudah ludes terjual sejak jam makan siang.
Dalam satu porsi nasi koyor Kota Lama, biasanya sudah mendapatkan tambahan gudeg, sambal goreng tahu, sayur kacang panjang dan kering tempe. Telur, tahu dan tempe juga tersedia sebagai tambahan. Porsinya pun terbilang cukup banyak dan mengenyangkan.
Seporsi nasi koyor di warung ini dihargai Rp 25 ribu, walau terkadang naik sedikit menjadi Rp 28 ribu bila hari libur. Kalau ingin menambah lauk seperti telur dan lain lain hanya perlu menambah sekitar Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu. Secara umum, harganya cukup terjangkau.
Hanya saja, karena memang selalu ramai pengunjung dan cenderung cepat habis, pelancong yang ingin mencoba harus bersiap datang dari awal sejak warung mulai buka. Selain itu, tempatnya memang kecil, sehingga berpotensi harus mengantri untuk dapat meja dan tempat duduk.
Pempek Palembang adalah makanan khas daerah itu yang terbuat dari ikan yang digiling halus dan dicampur dengan tepung sagu, air, garam, dan bahan-bahan lainnya. Makanan ini memiliki rasa gurih dan kenyal, dan biasanya disajikan dengan kuah cuko, potongan timun dan sambal.
Pempek Palembang
Asal-usul pempek Palembang hingga saat ini tidak diketahui secara pasti, namun ada beberapa teori yang mengaitkan asal-usulnya dengan sejarah Palembang. Salah satu teori menyatakan bahwa pempek berasal dari pengaruh budaya kulinari Tionghoa di Palembang pada abad ke-16. Pada masa itu, orang Tionghoa membawa teknik pembuatan fish ball dan fish cake ke Palembang, yang kemudian berkembang menjadi pempek.
Teori lain merujuk ke masa yang lebih lampau dan menyatakan bahwa pempek sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya berkuasa di Palembang atau Sumatera Selatan pada abad ke-7 hingga ke-13. Pada masa itu, makanan yang terbuat dari ikan dan sagu telah dikenal sebagai makanan yang populer di kawasan tersebut.
Pempek Kapal Selam cirinya ada telor di dalamnya. Foto: shutterstock
Teori ke dua ini, mengutip laporan kompas.com, yang mengutip buku Pempek Palembang Makanan Tradisional dari Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan, pempek diduga sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya atau sekitar abad 7 Masehi.
Dugaan itu berdasarkan temuan di Prasasti Talangtuo yang menyatakan bahwa tanaman sagu sudah ada di Palembang sejak abad ke-7. Selain itu disebutkan pula bahwa pempek adalah hasil karya dari masyarakat Kayu Agung, suku yang gemar berdagang menggunakan kapal pinisi. Suku Kayu Agung atau Komering Kayu Agung adalah suku asli Indonesia yang berasal dari kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatra Selatan. Ketika itu para penduduk Kayu Agung berdagang dengan cara barter kemudian mendapatkan sagu dan ubi. Mereka kemudian mengkreasikan antara sagu dengan ikan yang ditangkap saat berlayar dalam perjalanannya berdagang.
Ada pula teori yang bersumber dari cerita mulut-ke mulut, yakni bermula dari seorang pria keturunan Tionghoa yang biasa dipanggil Apek atau paman. Dalam bahasa Hokkian, paman disebut “empeg” atau “apeq”. Ia hidup di masa pemeritahan Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin II.
Apek ini, disebutkan tinggal di pinggiran Sungai Musi, memiliki ide untuk memanfaatkan potensi ikan yang melimpah. Selain digulai dan digoreng, ia berkeinginan mengolah potensi ikan tersebut menjadi sajian lain.
Akhirnya, Apek pun mengolah ikan hasil tangkapannya dan mencampurnya dengan tepung. Sajian tersebut sekilas mirip dengan makanan bakso yang dibawa pedagang Tiongkok ke Palembang. Apek pun kemudian menjual makanan buatannya dengan cara berkeliling. Saat itu, ia belum memberikan nama kepada hasil racikannya.
Awalnya pempek dikenal dengan nama Kelesan yang tidak lain merupakan alat yang digunakan untuk menghaluskan daging ikan berbentuk cembung dengan semacam kuping di sisi yang berhadapan. Belakangan, konon namanya kemudian berubah di tangan pembeli. Ketika ada pembeli yang ingin mencobanya, mereka pun memanggil Apek dengan ujung namanya saja, yakni “Pek…Pek.”
Pempek adaan bentuknya seperti bakso goreng. Foto: shutterstock
Di masa penjajahan Belanda, pempek menjadi makanan yang populer di kalangan penduduk asli Palembang. Para pedagang Belanda dan Cina yang berdagang di Palembang juga menyukai makanan ini dan membawanya ke tempat lain di Indonesia. Seiring dengan waktu, pempek menjadi makanan yang populer di seluruh Indonesia dan bahkan mendunia.
Hingga saat ini, pempek masih menjadi makanan khas Palembang yang sangat populer. Kini, pempek sudah memiliki banyak varian, seperti pempek lenjer, pempek kulit, pempek kapal selam, dan lain sebagainya. Pempek juga telah menjadi industri kecil yang menghidupi banyak orang di Palembang dan sekitarnya.
Sekitar 1916, makanan pempek mulai dijajakan di kawasan keraton, sekitar Masjid Agung dan Masjid Lama Palembang. Awalnya, pembuatan pempek menggunakan ikan belida, namun karena ikan tersebut semakin langka dan harganya mahal para pedagang kemudian mengganti dengan ikan lain. Umumnya ikan tenggiri.
Untuk menyantap pempek Palembang, pedagang biasanya menyajikan dengan cairan yang disebut cuko. Ini adalah saus yang biasanya disajikan sebagai pelengkap saat makan pempek Palembang.
Sekarang juga ada pempek yang dibakar. Foto: shutterstock
Cuko terbuat dari air, cuka, gula merah, garam, udang ebi, cabai rawit, dan bawang putih yang dihaluskan. Bahan-bahan tersebut kemudian direbus hingga matang dan tercampur secara merata. Saus cuko ini memiliki rasa asam, manis, pedas, dan sedikit gurih yang sangat cocok untuk dipadukan dengan pempek.
Ada beberapa variasi cuko yang dijual di pasar, tergantung dari selera dan kebiasaan masyarakat setempat, namun umumnya rasa dan komposisi bahan dasar cuko untuk makan pempek Palembang hampir sama di berbagai daerah.
Sejak dahulu, cuko khas Palembang memiliki cita rasa pedas. Namun, seiring masuknya pendatang dari luar Sumatera, saat ini banyak ditemukan cuko dengan rasa manis.
Ada beberapa jenis pempek Palembang:
Pempek kapal selam: berbentuk seperti kapal selam dengan isian telur ayam dan udang di dalamnya.
Pempek lenjer: ini sering disebut ibu dari pempek, berbentuk panjang dan pipih, dengan tekstur yang lembut dan kenyal.
Pempek keriting: Pempek ini berbentuk seperti keriting atau keriting rambut.
Pempek adaan: Pempek ini berbentuk bundar dan pipih, dengan tekstur yang lembut dan kenyal.
Pempek kulit: Pempek ini terbuat dari kulit ikan tenggiri yang digiling halus dan dicampur dengan bahan-bahan lainnya.
Pempek lenggang, ini adalah adonan dasar pempek campur telur bebek. Kemudian, diletakkan di atas daun pisang berbentuk kotak.
Pempek isi udang: berbentuk bundar dan pipih, dengan isian udang di dalamnya.
Pempek tahu: Pempek ini terbuat dari tahu yang diisi dengan campuran ikan dan bahan-bahan lainnya.
Setiap jenis pempek memiliki ciri khas dan rasa yang berbeda-beda, namun semuanya tetap mengandung cita rasa asli khas Palembang.
Jika sempat main ke Palembang dan pengen mencicipi pempek yang enak, berikut beberapa pilihannya:
Pempek Noni 168 di Jalan Jenderal Sudirman 952 20 Ilir III, Palembang
Pempek 26 Ilir, Jalan Beringin Janggut, Talang Semut, Palembang
Pempek Ek Dempo 103, Jalan Lingkaran, Ilir Timur I, Palembang
Pempek Candy, Jalan Jendral Sudirman, Sungai Pangeran, Palembang
Pempek Leny, Jalan Petanang, Palembang
Pempek 71 Prabumulih, Jalan Bangau 088, Prabumulih
Pempek Pak Raden, Jalan HM Dhani Effendi, Palembang
Lokal dan barat di Puhu Restaurant and Lounge, menyatu dalam setiap menu yang disajikan di Padma Ubud, Bali. Hidangan lokal yang sarat bumbu, dan olahan Barat yang sesuai dengan lidah asing.
Lokal dan Barat di Puhu
Agak temaram saat tiba di ruangan terbuka dari Puhu Restaurant & Lounge, restoran dengan menu Asia dan internasional, yang berada di Padma Resort Ubud di Payangan, Gianyar, Bali. Bangku kayu yang simpel dan suasana malam di luar menjadi tawaran lain di samping hidangannya. Untuk yang bersama dengan pasangan, bisa duduk di bagian luar dengan bisikan alam yang lebih terasa. Di dalam, lebih hangat dengan dekorasi kayu, termasuk pilar-pilar kayu yang besar. Ditambah iringan musik sang pianis, dengan tembang-tembang 1990-an.
Rasa lapar dari sore hari membuat saya memilih sajian dengan karbohidrat tinggi. Apalagi kalau bukan nasi, sesuai dengan perut Asia, meski hidangan internasional pun bertebaran di menu. Mata saya pun langsung menangkap kata nasi goreng. Ehmm … ada beberapa pilihan olahan khas lokal ini. The Puhu nasi goreng spesial berada di paling atas dalam daftar hidangan. Ada pula nasi goreng senggol Payangan—nasi goreng kampung dengan ayam goreng, udang goreng, sate daging sapi, dan telur mata sapi. Namun saya memilih nasi goreng buntut. Untuk perut yang kosong, selain mengenyangkan, paduan nasi goreng buntut dengan sambal hijau, sate daging sapi, dan omelet itu memang rasanya terbilang jempolan.
Kebanyakan koki resto dengan mayoritas tamu orang asing akan mengurangi kadar rempah dan rasa pedasnya. Tapi tak demikian dalam olahan di Puhu ini. Rasa pedas pada sambalnya membuat lidah cukup kepanasan, dan rempah pada buntutnya pun cukup kuat. Dalam menu, pada hidangan seharga Rp 118 ribu ini, memang tertera gambar cabai. Bila tak mau rasa pedas, bisa memilih dua jenis nasi goreng lainnya.
Hidangan yang kemudian saya pilih pada makan malam berikutnya pun lagi-lagi bertanda cabai. Saya pun dibikin mabuk kepayang oleh sambal hijau yang dipadu dengan bebek goreng dan tumis bayam. Bebek nan garing dengan sambal hijau yang pedas benar-benar membikin selera makan langsung melonjak. Sajian seharga Rp 128 ribu itu membuat rasa lelah langsung sirna, dan saya pun bisa beristirahat dengan tenang setelah seharian mengunjungi beberapa obyek wisata di pulau ini. Pilihan sajian Indonesia lainnya, bila ingin berkuah, bisa berupa soto ayam, sop buntut goreng atau rebus, atau rawon sapi.
Seorang staf pun menuturkan, sang koki adalah orang Bali, bahkan asli dari Desa Puhu. Dikenal sebagai Chef CK. Banyak menonjolkan olahan lokal dengan bumbu yang berlimpah, tapi dengan pengalamannya bekerja di sejumlah resto di berbagai negara, sang juru masak pun piawai memasak hidangan Eropa atau internasional lainnya.
Malam itu, rekan saya memilih menu internasional. Mulai surf and turf, tak lain dari dua potong daging panggang yang dibikin bulat, dengan udang sungai besar, bayam, kentang, dan asparagus. Harga dipatok Rp 246 ribu. Daging panggang yang empuk. Berikutnya, ia mencoba pan roasted ricotta cheese stuffed chicken breast, olahan ayam dengan keju dan ricotta yang cukup mengenyangkan dan tentunya penuh protein. Jadilah penggemar makanan lokal dan internasional sama-sama puas. Untuk minuman, silakan pilih macam-macam mocktail, jus, atau wine yang memang tersedia di cellar.
Puhu Restaurant & Lounge; Padma Resort Ubud; Banjar Carik, Desa Puhu; Payangan, Gianyar, Bali
SUGUHAN LAIN
Sebagian ruang Puhu Restaurant & Lounge terbuka. Sekalipun duduk di bagian dalam, Anda tetap bisa menghirup udara luar dan menatap ke luar karena pintu memang terbuka lebar. Bila mampir di sore hari, atau saat langit belum gelap, perbukitan hijau, juga taman-taman dengan bambu-bambu di beberapa sisi, bisa ditemukan di sekeliling hingga 180 derajat sejauh mata memandang. Hotel memang berada di ujung sebuah bukit, hingga lembah di depan resto pun menjadi suguhan spesial bagi para tamu.
Di bagian tengah, di antara taman, ada juga kolam luas yang terlihat seperti tanpa tepi. Kolam yang melebar ini menjadi pemandangan khas saat orang berada di Puhu. Sementara interior ruang yang banyak menggunakan kayu, berhiaskan pilar besar. Langit-langit pun terbuat dari kayu. Atmosfer cokelat yang alami, harmonis dengan suguhan alam di sekeliling. Di balkon dengan meja khusus dua orang, udara luar langsung menjadi santapan pertama. Pagi menjadi saat makan sembari menghirup udara segar, sedangkan malam menjadi makan romantis dengan langit berbintang dan hamparan air yang terkena cahaya lampu. Di lounge dan bar, bila ingin melepas lelah setelah makan malam, bisa ditemukan beragam wine, cocktail, dan gin. l
Lawar nyawan adalah sensasi menikmati makan lawar dengan kondimen nyawan atau tawon atau lebah. Buat wisatawan asing di Bali, ini salah satu makanan ekstrim di Indonesia.
Lawar Nyawan
Lawar adalah salah satu kuliner khas Bali. Dan dari beberapa jenis lawar yang ada, boleh jadi lawar nyawan adalah salah satu yang paling unik. Kuliner khas pulau Dewata tersebut merupakan resep tradisional yang coba terus dilestarikan hingga kini.
Pada dasarnya, lawar adalah masakan yang memadukan ragam sayuran, serutan kelapa muda dan daging cincang yang dibumbui terasi serta bumbu ala Bali. Daging yang digunakan pun beragam, dari sapi, kambing, babi, cumi-cumi, bebek, ayam bahkan labi-labi atau bulus.
Lawar nyawan adalah kembangan dari masakan khas Bali, lawar. Foto: dok. shutterstock
Makanan ini dulunya disajikan untuk perayaan adat atau syukuran keluarga di Bali. Pada awalnya, lawar disajikan dengan darah daging hewan tersebut. Ini karena lawar dianggap melambangkan keseimbangan antara Brahmana (darah), Iswara (serutan kelapa muda), dan Wisnu (terasi).
Selain itu, lawar juga dikenal memiliki campuran rasa manis, asin, pedas dan asam yang melambangkan keharmonisan. Maka dalam acara perayaan tersebut ia menjadi simbol doa dan harapan agar hidup senantiasa harmonis dan adil/seimbang.
Setiap daerah di Bali pun memiliki ciri khas lawarnya masing-masing. Misalnya, di daerah Gianyar dan Badung, lawar yang disajikan dominan menggunakan sayur kacang panjang. Sementara di Buleleng lebih banyak menggunakan daun pepaya dan nangka muda.
Pada perkembangannya, kuliner ini pun turut beradaptasi dengan perkembangan zaman. Contohnya, agar dapat menjangkau peminat lawar dari kalangan Muslim, kini tersedia lawar putih alias tidak menggunakan darah hewan.
Selain itu, daging babi yang biasanya menjadi bahan baku masakan ini dulunya juga digantikan dengan daging sapi, kambing, cumi-cumi, bebek maupun ayam. Bahkan daging bulus yang dulu pernah juga dimasak menjadi lawar kini sudah tak lazim digunakan.
Tetapi mungkin yang beberapa orang belum banyak tahu, ada satu jenis lainnya, yaitu lawar nyawan. Disebut demikian karena menggunakan nyawan yakni lebah atau sarang lebah.
Lawar Nyawan dari Resto Piring Mas. Foto: dok. gofood
Secara bahan baku dan cara memasaknya, lawar jenis ini kurang lebih mirip seperti kebanyakan. Namun yang membuatnya unik dan berbeda adalah penggunaan sarang lebah dalam masakannya sebagai tambahan kondimen.
Sarang lebah yang digunakan pun tidak bisa sembarangan. Hanya sarang yang berisi larva atau anak lebah saja yang dapat dimasak menjadi lawar, karena memakan lebah dewasa akan beresiko tersengat.
Karena kebutuhan yang khusus inilah, lawar nyawan terbilang langka dan tidak semua dapat menyajikannya. Selain karena kelangkaannya, membeli bahan baku nyawan atau sarangnya pun tak bisa dibilang murah. Harganya bisa menyentuh Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu per kilogram.
Padahal, rata-rata restoran yang menyajikan kuliner ini butuh setidaknya 5-20 kilogram nyawan setiap harinya, bahkan dapat mencapai 30 kilogram ketika musim liburan dan banyak pengunjung. Kondisi ini dapat semakin dipersulit ketika musim hujan dan panen sulit dilakukan.
Hal itu disebabkan karena kebiasaan lebah yang cenderung lebih banyak berkembang biak pada saat musim kemarau. Untuk mengatasinya, beberapa restoran kemudian melakukan budidaya sarang lebah secara mandiri.
Uniknya, proses pembuatannya malah terbilang relatif cukup mudah. Sarang lebah yang sudah dipanen, berukuran sekitar segenggaman tangan yang masih berisi larva atau anak lebah, langsung direbus hingga matang dan terurai.
Untuk membuat bumbunya, digunakan bahan seperti bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, kemiri, sereh, lengkuas, cabe rawit dan terasi. Setelah diulek, bumbu kemudian ditambahkan serutan kelapa muda untuk diuleni.
Sayur yang digunakan biasanya adalah potongan kacang panjang, nangka muda dan taoge yang direbus. Sesudahnya, nyawan yang sudah matang dipotong-potong, kemudian ditumis dengan bumbu, serutan kelapa muda dan sayur. Setelah matang, lawar nyawan siap disajikan.
Lawar nyawan biasa disajikan dengan nasi, terkadang dengan tambahan seperti sate lilit. Sarang lebah yang lunak dan gurih, bercampur dengan bumbu khas Bali yang kaya akan rasa, membuatnya jadi kuliner yang begitu unik.
Tak hanya itu, makanan ini disebut sarat dengan kandungan proteinnya yang berasal dari larva atau anak lebah di dalamnya. Dipercaya ia mampu mengatasi berbagai masalah tubuh seperti panas dalam, asam lambung, tekanan darah tinggi dan resiko stroke, hingga vitalitas pria dewasa.
Seperti disebutkan di atas, saat ini tak banyak restoran yang menyajikan kuliner tradisional nan unik ini. Salah satunya yang cukup terkenal adalah Warung Piring Mas yang terletak di Desa Sangeh, Kabupaten Badung.
Restoran ini dikenal menyediakan beragam hidangan tradisional Bali, termasuk salah satunya adalah lawar nyawan. Sang pemilik restoran, Ida Ayu Prita Putrayani, mengaku terinspirasi dari ibunya yang sejak dulu kerap membuat masakan tersebut.
Setelah berhenti dari pekerjaannya pada 2006, ia memulai usahanya dengan menu utama resep kuliner unik warisan keluarganya tersebut. Untuk mendapatkan pasokan nyawan, ia menjalin kerja sama dengan petani lebah madu di Karangasem untuk berbudidaya sarang lebah.
Di restoran ini, wisatawan bisa memesan masakah khas ini dengan pilihan pakai atau tanpa sayuran. Harganya pun termasuk terjangkau, berkisar antara Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu, sudah termasuk nasi, sate lilit ayam, kacang tanah goreng, sup dan jamur crispy.
Selain itu, di restoran yang buka dari jam 09.00 sampai 20.00 ini terdapat pula jenis-jenis lawar lain, serta kuliner khas Bali lainnya seperti ayam betutu. Harganya juga berkisar antara Rp 25 ribu hingga Rp 35 ribu. Bahkan mereka juga menjual madu murni dalam botol.
Warung Piring Mas
Jl, Paninjauan, Desa Sangeh, Kabupaten Badung, Bali