Kampung Gitar Baki, Berdenting Sejak 1975

Kampung gitar Baki di Sukoharjo atau Solo menjadi kampung dengan keunikan tersendiri. Foto shutterstock

Kampung gitar Baki sering menjadi referensi pemusik gitar atau gitaris jika ingin memperbaiki atau mengubah instrument gitar mereka. Sebab, seringkali toko-toko atau gerai gitar resmi tak menyediakan layanan untuk custom.

Kampung Gitar Baki

Adalah sebuah kampung yang unik. Lokasinya sekitar 12 kilometer di selatan Kota Solo. Kampung itu berada di Desa Mancasan, Kecamatan Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Keunikan kampung itu adalah ratusan kepala keluarganya berprofesi sebagai pengrajin gitar.

Oleh karena itu, tak heran apabila daerah itu mendapat sebutan sebagai kampung gitar Baki. Kadang orang juga menyebut kampung gitar Mancasan.

Kampung gitar Baki memiliki 90 persen warga yang bekerja sebagai perajin gitar.
Sentra kerajinan Gitar di Desa Mancasan, Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Kampung gitar Baki Sukoharjo sudah berdiri sejak 1975. Di sana, banyak warganya yang memproduksi gitar di rumah mereka masing-masing. Berbagai macam jenis gitar mereka hasilkan. Mulai dari gitar akustik model tanduk, gitar klasik, ukulele, rebab dan berbagai jenis alat musik petik lainnya.

Di Kawasan Mancasan, kerajinan gitar sudah menjadi tulang punggung ekonomi masyarakatnya. Konon, kemampuan merakit gitar para penduduk Mancasan sudah diwariskan secara turun temurun.

Kampung gitar Baki Mancasan adalah sebuah desa dengan ratusan kepala keluarga yang berprofesi sebagai pengrajin gitar. Saat memasuki Kampung Gitar Baki Sukoharjo, wisatawan atau pengunjung sudah langsung dapat melihat bagaimana kepiawaian tangan para pengrajin menciptakan berbagai jenis alat musik petik.

Hampir 90 persen warga yang tinggal di Kampung Gitar Baki Sukoharjo bermata pencaharian dan menggantungkan hidupnya dengan membuat gitar. Konon, bertahannya Kampung Gitar Baki Sukoharjo menjadi desa wisata dan sentra gitar berawal dari pemberdayaan masyarakat yang selalu mengedepankan kearifan lokal.

Kemampuan membuat berbagai macam alat musik petik, dan terutama gitar, sudah dimiliki warga secara turun-temurun. Meski begitu, membuat gitar bukan perkara mudah, karena setiap pengrajin membutuhkan keahlian khusus dan ketelatenan agar menghasilkan alat musik yang mulus dan nyaman dimainkan.

Pembuatan alat musik gitar memerlukan proses panjang. Dimulai dari pemilihan bahan alat music yang akan dibuat. Jenis kayunya, ukurannya, juga modelnya. Setelah itu tentu membuat model dan mulai memotong bahan-bahan.

Kampung gitar Baki sudah memproduksi gitar yang diekspor ke sejumlah negara,
Sejumlah produk gitar karya perajin kampung Baki. Foto: dok. shutterstock

Setelah bentuk dasar jadi, pengerjaannya bermula dari penghalusan dengan ampelas, pendempulan, mengampelas kembali. Setelah itu memasuki tahap pengecatan, pelapisan, hingga dikeringkan. Umumnya cara pengeringan cat masih tradisonal, yakni dengan cara dijemur.

Jadi badan gitar yang sudah jadi dicat, lalu dilapisi dengan melamin, dan kemudian dijemur di tempat terbuka. Atau semi terbuka dengan mengangin-anginkan. Jumlah produksi gitar yang dihasilkan seorang pengrajin tergantung tingkat keahliannya, juga tergantung musim.
Faktor utama untuk pengeringan itu matahari. Kalau musim kemarau bisa 10 lusin dalam sepekan, tapi kalau cuaca mendung paling delapan lusin.

Seperti disebut di muka, Kampung Gitar Baki Sukoharjo ini juga menawarkan pembuatan gitar custom. Model gitar khusus yang tidak ada di pasaran. Pemesan bisa menentukan desain dan bahan yang ingin digunakan. Kayu yang ditawarkan biasanya jenis mahoni, jati Belanda, waru, maupun kayu sengon.

Bahkan para pengrajin gitar di kampung ini juga ada yang melayani reparasi gitar pribadi atau sekedar konsultasi masalah gitar. Ini kemungkinan karena masing-masing pengrajin gitar di Mancasan biasanya punya keahlian khusus. Selain ada pengrajin body gitar, di sana terdapat juga pengrajin stang atau neck, dan juga ada tukang stem gitar.

Seiring berjalannya waktu, industri gitar terus berkembang dan meluas hingga ke seluruh wilayah desa. Bermula dari Desa Mancasan, saat ini industri kreatif pembuatan gitar telah meluas sampai ke Desa Ngrombo di Kecamatan Baki dan Desa Pondok di Kecamatan Grogol.

Bukan hanya pengrajinnya yang bertambah, pelanggan yang mengincar gitar lokal buatan Kampung Gitar Baki juga semakin meluas. Tidak hanya dibeli oleh pecinta dan pemain alat musik petik dari Indonesia, gitar asli pengrajin lokal berhasil menarik perhatian pasar internasional.

Hasil karya kerajinan gitar kampung gitar Baki bisa dinikmati di penjuru nusantara seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Magelang, Salatiga, dan Papua. Tak hanya itu, pesanan gitar juga datang dari penjuru dunia lain. Beberapa negara yang pernah menjadi negara tujuan ekspor gitar akustik hingga ukulele buatan dari Kampung Gitar Baki Sukoharjo di antaranya: Singapura, Filipina, Malaysia, Jerman, Italia, dan sejumlah negara di Eropa lainnya.

Sayangnya perajin gitar di kampung ini belum memiliki merek khusus untuk gitar yang mereka hasilkan. Mereka biasanya menggunakan merek kosong sesuai permintaan pelanggan.

Tertarik punya koleksi gitar yang cuma satu-satunya di dunia? Ayo agendakan liburanmu ke Mancasan, Sukoharjo.

agendaIndonesia

*****

Perempuan Sasak Dan Syarat 3 Kain Tenun

Perempuan Sasak menginang di Teras Rumahnya

Perempuan Sasak punya keistimewaan sekaligus keterampilan wajib sebelum menikah. Mereka harus menenun tiga kain. Karena menenun melatih kesabaran dan ketelatenan.   

Perempuan Sasak dan 3 Kainnya

Pagi itu hanya ada Ina Dangker, atau ibunya Dangker, yang asyik dengan alat tenun gedogan di Desa Adat Ende di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Perempuan lain berkumpul di dapur, memasak bersama-sama. Karena hari itu kaum pria tengah bergotong-royong membuat bangunan, jadilah kaum hawa bertugas memasak. Siang tiba, mereka pun begibung atau makan bersama.

“Saya kebetulan memang kurang bisa,” begitu pengakuan perempuan yang pelan-pelan mengatur benang-benang warna-warni itu tentang kepiawaiannya bermain dengan berige. Namun Ina Dangker mengaku masih terus semangat menenun, atau menyesek dalam bahasa Sasak. Maklum, setiap perempuan suku Sasak memang wajib mahir menenun sebelum menikah. Paling tidak, sebelum menikah, mereka harus membuat tiga kain tenun sebagai syarat, yakni kain untuk dirinya, suami, dan mertua perempuannya.

Walhasil, tak ada perempuan Sasak yang tak bisa menyesek. Para penenun pun bisa ditemukan di sejumlah desa. Tak jauh dari Desa Adat Ende, ada Desa Adat Sade. Desa adat yang satu ini terkenal dengan kain tenun lebar pendek yang digandrungi para turis. Selendang khas Sade pun menjadi ciri khas sebagai oleh-oleh. Setelah menyusuri gang-gang kecil yang memisahkan rumah tradisional satu dengan yang lain di kampung ini, wisatawan pun melenggang pulang dengan selendang di leher.

Tak jauh dari Bandar Udara Internasional Lombok, ada lagi desa penenun yang namanya sudah dikenal. Desa Sukarara, dicapai hanya dalam 20 menit dari bandara yang berada di Kecamatan Praya, Lombok Tengah, tersebut. Siang itu perjalanan saya lanjutkan ke sana, dan kendaraan berhenti di sebuah halaman yang dipenuhi bus dan kendaraan lain. Pengunjung bertebaran di berbagai sudut. Patuha Cooperative, nama yang terpampang dalam papan nama di bagian depan. Dua orang perempuan suku Sasak yang terpaku dengan alat tenun tradisional, gedogan, berada di bagian depan gerai tenun khas Lombok tersebut.

Di tengah hiruk pikuk pengunjung, Amin, pemilik gerai tenun sasak itu masih menyempatkan diri menyambut saya dan kawan-kawan. Senyumnya  mengembang, bahkan langsung sepakat ketika saya dan kawan ingin mengintip para penenun yang ada di rumah-rumah. “Mari,” ucap pria berusia 45 tahu itu, sembari menunjukkan setapak yang sudah tertutup rapi oleh rangkaian paving block.

Sore itu jadilah saya berkeliling Dusun Belong Lauk, Desa Sukarara, Jonggat, Lombok Tengah. Kampung nan  teduh dan bersih. Menemui para perempuan di bale-bale memintal benang dan menatanya dengan alat tenun tradisional. Amin pun bertutur, di kampungnya sempat digelar aksi 1.000 penenun untuk memecahkan rekor MURI. Yang datang, ia sebut, hingga 2.000 orang. Saking banyaknya, jalan-jalan kecil itu pun dipenuhi para penenun. Saya bisa membayangkan keramaian yang terjadi.

Kembali ke gerai tenun sasak, saya mendekati Ibu Par, tampaknya tertua di antara tiga penenun di sana. Berusia 70 tahun, Par masih lincah mengatur benang membentuk sebuah motif. Nenek yang satu itu sudah asyik dengan perlengkapan menenun, seperti jajak, berire, batang jajak, dan pengiring sejak remaja, seperti umumnya perempuan Sasak.

Di depan bangunan sisi kanan, ada pula penenun muda. Dewi, 35 tahun, yang mengaku belajar menenun sejak usia 10 tahun. Pilihan yang tak bisa ditolak baginya karena harus bisa menenun dulu baru nikah. “Kalau tidak, ya, ditunda nikahnya,” ujarnya. Ia pun bertutur, menenun bagi kaum perempuan Sasak sebenarnya melatih kesabaran dan menjadikannya lebih telaten.

Memang ada juga kaum pria yang menenun. Meski ada juga yang berpendapat pria dilarang menenun. “Bala buat kaum laki-laki karena terlalu lama duduk kan bisa impoten,” kata Dewi sembari tersenyum. Maklum, aktivitas menenun bisa membuat seseorang duduk hingga tujuh jam tanpa banyak bergerak. Karena itu, ibu satu anak itu menyebut kaum Adam kebanyakan pergi ke sawah. “Kalaupun mereka menenun, biasanya kaum perempuan yang membuat motif, jadi yang pria hanya tinggal menenun. Karena membuat motif saja sampai dua hari,” ia menjelaskan.

Amin mengungkapkan, ada dua alat tenun yang biasa digunakan, yaitu alat tenun tradisional gedogan dan alat tenun bukan mesin (ATBM).  “Biasanya laki-laki yang pakai ATBM,” katanya. Dengan ATBM, posisi penenun duduk lebih nyaman karena duduk di bangku saat menjalin helai demi helai benang tenun. Berbeda dengan gedogan, di mana penenun duduk di bawah dan seperti terkungkung dengan bilah kayu di belakang dan di depannya.

“Menenun bukan pekerjaan sehari (selesai),” ucap Dewi. Perlu proses panjang. Awalnya menyusun motif yang biasanya perlu waktu dua hari. Semakin sulit motif bisa dilihat dari jumlah bambu yang digunakan. Semakin banyak, berarti tingkat kesulitannya semakin tinggi.

Paling tidak satu helai kain berukuran 2 meter x 60 sentimeter ia rampungkan dalam dua minggu hingga satu bulan, tergantung tingkat kesulitan. “Karena tidak tahu berapa lama (pembuatannya) dan sulit itu maka ada motif subahnale,” kata Amin.

Subahnale berasal dari rangkaian kata “subhanallah”, yang artinya Maha Suci Allah. Salah satu corak lawas berupa susunan geometris segi enam, biasanya di dalamnya diberi corak bunga.

Biasanya dijadikan corak untuk kain tenun songket berbenang emas. Kain ini dikenakan saat mengikuti acara-acara khusus, termasuk saat menjadi pengantin.

Amin menyebut, corak tenun Sasak terus berkembang, baik yang menggunakan benang katun maupun yang bercampur benang emas alias songket. “Motif lama masih banyak, cuma dengan modifikasi,” ujarnya. Beberapa motif lama, seperti subahnale, ragi genap, lepang, dan keker (burung), masih bermunculan.

Selain itu, menurut Amin, kain tenun Sasak banyak memunculkan corak tanaman dan bunga. Ia pun menunjukkan corak itu pada selembar kain songket, jenis motif suluran, dan kembang. Namun, ia menyatakan, sekarang yang tengah digandrungi adalah motif rangrang atau berarti jarang-jarang. Motif ini dulu ditaruh di pinggir, sekarang dimodifikasi dengan ditempatkan di tengah. Corak geometris segitiga dan belah ketupat dengan banyak warna dalam satu kain.

Soal harga, memang kain tenun Sasak tergolong tinggi, apalagi bila dibuat dengan gedogan. “Harga tenunan gedogan dua kali lipat tenunan ATBM,” ucap Amin. Yang paling tinggi, tentunya yang menggunakan benang emas. Untuk selembar kain songket dengan benang emas dijual mulai Rp 3,5 juta. Bila lengkap dengan selendang, bahkan ada yang mencapai Rp 7,5 juta. Harga yang sepadan untuk kesulitan yang tinggi dan proses yang panjang. l

EMPAT PERANGKAT TENUN

Jajak, dua bilah kayu panjang sebagai kaki-kaki alat tenun.

Berire, kayu panjang pipih dengan ujung lancip pembentuk motif tenun. Ujungnya yang lancip akan memudahkan penenun memasukkan setiap helai benang. 

Batang jajak, penahan serta penyambung alat tenun, yang melekat dengan punggung penenun. 

Pengiring, alat penggulung benang bahan.

MOTIF DAN TRADISI

Masa Hindu, corak pada kain tenun Sasak banyak memunculkan pucung rebung yang berbentuk deretan segitiga. Motif ini melambangkan Dewi Sri. Selain itu, ada motif berupa hewan.

Masa Islam, motif lebih banyak memunculkan tanaman, seperti suluran, pepohonan, dan kembang-kembang. Motif hewan yang muncul di masa Hindu diganti dengan kaligrafi Arab di masa ini.

Jenis benang yang digunakan, selain benang katun, benang emas atau perak, yang sudah tentu harganya menjadi lebih tinggi.

Erat dengan tradisi. Seperti kebanyakan masyarakat Nusantara, kain Sasak pun identik dengan tradisi. Seperti untuk baru lahir dibuatkan kain tenun umbag yang bercorak garis-garis dengan rumbai yang ujungnya diikatkan kepeng berlubang. Benda tersebut menjadi lambang kasih sayang. Kain-kain tertentu juga digunakan pada upacara peraq api atau puput pusar, berkuris—mencukur rambut bayi, besunat (khitanan), dan sorong serah aji krama—penyerahan kain tenun dari keluarga mempelai pria kepada mempelai wanita.

R. Nariswari/Frann/Dok. TL/unsplash

Kampung Batik Giriloyo Sejak Abad 17

Berburu batik di Yogyakarta bisa langsung menuju ke kampung batik Giriloyo yang sudah ada sejak abad 17.

Kampung batik Giriloyo Bantul bisa jadi belum seterkenal merek-merek batik atau pusat kerajinan batik lain di Yogyakarta. Tapi, ketika pengunjung ingin mencari kain batik tulis, khususnya motif khas Yogya dan Solo yang khas Kraton Mataram, rasanya kampung Giriloyo layak menjadi salah satu pilihan. Ini adalah sentra batik tulis terbesar yang berada di tenggara Jogjakarta. Di sini, pengunjung dan wisatawan dapat menemukan batik tulis khas Yogyakarta dan Solo yang istimewa.

Kampung Batik Giriloyo

Sejak 2007, saat berada di Yogyakarta pencinta kain batik banyak yang meluangkan waktunya untuk mendatangi Kampung Batik Giriloyo. Lokasi wisata edukasi kerajinan ini ada di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Kampung batik ini telah dikenal sebagai salah satu sentra batik di DIY yang kaya akan sejarah. Baru tahun 2007?

Menilik sejarahnya, kampung batik Giriloyo sejatinya sudah ada sejak abad 17. Pembatik yang ada di tempat ini telah ada dan merupakan turun-temurun. Hanya saja belum sepopular saat ini.

Pada 2006 gempa bumi mengguncang Yogyakarta, khususnya di wilayah Bantul. Bencana tersebut merusak ratusan ribu rumah dan menyebabkan ribuan orang meninggal. Menyedihkan, namun kemudian juga membawa hikmah. Pembatik yang survive dan keluarganya kemudian berhimpun untuk bangkit.

Peristiwa penyedihkan tersebut menjadi awal berdirinya paguyuban batik, sekaligus pemberdayaan perajin batik di area tersebut. Kampung ini kemudian memiliki Paguyuban Batik Giriloyo, sebuah perkumpulan yang terdiri dari 12 kelompok kecil perajin batik di tiga dusun, yaitu Giriloyo, Cengkehan, dan Karang Kulon.

Kampung batik Giriloyo di Bantul, Yogyakarta adalah pusat produksi batik tulis klasik.
Kampung Batik Giriloyo, Bantul, Yogyakarta, adalah sentra produksi batik tulis klasik. Foto: Dok. shuterstock

Tidak sulit untuk wisatawan menemukan kampung sentra batik tulis ini. Jika berangkat dari pusat kota atau Kraton Yogya, pengunjung dapat mencapainya dalam waktu sekira 30 menit. Rutenya bisa melewati sentra kerajinan perak di Kotagede lalu terminal bus Giwangan terus menuju ke selatan arah makam raja-raja Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang berada di bukit Imogiri.

Dari Kotagede hanya sekitar 20 menit untuk sampai ke kampung Giriloyo yang berada tepat berada di kaki bukit makam raja-raja. Keberadaan warga kampung batik ini memang memiliki hubungan historis dengan keluarga kraton. Banyak yang menjadi abdi dalem, profesi turun temurun warga di kampung batik.

Lalu, apa saja yang ditawarkan kampung ini untuk para pengunjung? Belanja batik, tentu saja. Adalah kain batik tulis asli yang dapat pengunjung beli langsung dari para perajin.

Kelebihannya, wisatawan atau peminat batik dapat mencermati dan bersentuhan langsung dengan batik tulis lebih dekat. Penyuka batik dapat menemukan motif klasik seperti Wahyu Tumurun, Sri Kuncoro, Sekar Arum, Siado Asih, Sido Luhur dan ragam motif pakem yang lain.

Tak hanya moyif klasik, banyak juga motif kontemporer ditemukan di sini dengan sentuhan modern yang semuanya dibuat oleh tangan-tangan terampil dari perajin sekitar yang memang memiliki ketrampilan halus. Semuanya bisa dipilih sesuai kesenangan atau kelengkapan koleksi.

Tapi Giriloyo tak disebut sebagai kampung batik jika orang hanya soal datang dan membeli. Jika ingin pengalaman yang lebih asyik, pengunjung bisa berbelanja sambil mengikuti kursus singkat membatik. Langsung pada perajin batinya.

Kampung batik Giriloyo Bantul orang bisa sekaligus belajar membatik dalam sebuah kursus singkat.
Di Kampung Batik Giriloyo pengunjung bisa sekaligus belajar membatik. Foto: dok. shutterstock

Disebut kursus singkat karena memang waktunya sangat pendek, hanya sekitar 2 jam. DI sana pengunjung yang menjadi peserta kursus singkat akan diajari mulai dari membatik dengan canthing di atas kain kecil, kemudian memproses warna secara sederhana lalu hasilnya dapat dibawa pulang. Jadi seperti eduwisata juga.

Mahalkah harga batik di kampung Giriloyo ini? Banyak sekali pengunjung atau wisatawan yang biasanya membutuhkan informasi tentang kisaran harga batik tulis. Begitu pula dengan batik di Giriloyoini. Harga batik tulis Giriloyo tentu saja sangat bervariatif. Harganya harus dilihat dari segi motif, bahan dan ukuran sama, sering kali pengrajin batik memberikan harga berbeda. Dan memang demikianlah uniknya, karena harga dari satu batik tulis asli sangat tergantung dari hasil pengerjaan sampai selesai, kehalusan dan kerumitan produk yang dibuat sangatlah mempengaruhi nilai jual.

Kisaran harga batik tulis di Giriloyo mulai dari Rp 350 ribu sampai Rp1,5 juta. Kadang ada yang harganya lebih tinggi untuk pesanan motif batik yang sangat rumit.

Adakah kisaran harga tersebut bagi terbilang mahal? Sebagian besar mungkin membenarkan, tapi bagi pecinta batik yang sudah sering keluar masuk butik-butik batik di pusat kota bisa jadi akan mengatakan murah. Setidaknya relatif jauh lebih rendah jika sudah di tangan pedagang besar.

Bagi pecinta batik tulis, pasti sudah sangat mengerti bahwa proses membuat batik tulis sangat panjang dengan biaya produksi yang tidak sedikit. Untuk membuat satu kain batik tulis setidaknya butuh waktu satu hingga satu setengah bulan.

Lamanya waktu pengerjaan tersebut karena setiap satu kain batik harus melewati  beberapa tahap. Mulai dari pemolaan, lalu sekitar 4-5 kali pencantingan yang masing-masing dapat memakan waktu sekitar seminggu, baru kemudian masuk tahap pewarnaan akhir. Bisa beberapa kali pewarnaan.

Dari proses yang panjang dan tradisional tersebut dihasilkanlah satu karya batik yang lebih bernilai dan menawan, yakni batik tulis asli. Fokus produksi di Kampung Batik Giriloyo adalah kain batik tulis, meski demikian ada juga beberapa produk batik cap kombinasi tulis yang harganya lebih murah, tapi jumlahnya tidak banyak.

agendaIndonesia

*****

Motif Tenun Siak, 3 Siku dan 3 Pucuk

Tenun Siak

Motif tenun Siak, 3 siku dan 3 pucuk barangkali sangat sedikit orang di luar wilayah Riau yang mengerti dan memahaminya. Tak hanya itu, bahkan secara wisata, Pekanbaru dan Riau masih sangat sedikit dilirik wisatawan. Baik lokal maupun manca negara. Padahal, di daerah ini dulunya adalah salah satu pusat kebudayaan Melayu.

Motif Tenun Siak

Sejak Indonesia merdeka, mungkin pengetahuan orang mengenai Siak, Pekanbaru atau Provinsi Riau umumnya, erat dengan sawit dan minyak,. Padahal Pekanbaru ternyata punya berlaksa kisah masa lampau yang menarik buat diulik.

Pada masa kolonial Belanda, kota ini pernah menjadi urat nadi perdagangan, khususnya di Sumatera. Lewat sungai Siak yang membelah Kota Pekanbaru, lalu-lintas perdagangan dari luar, seperti Semenanjung Malaya, menuju pedalaman Sumatera, yakni Tapung, Minangkabau, dan Kampar, berlangsung. Kota yang dulunya berjuluk Senapelan ini bahkan pernah menjadi lokasi ditumpuknya berbagai komoditas.

Posisi yang strategis membuat Senapelan berjaya. Orang-orang berbondong datang dari berbagai daerah membawa beragam logistik. Mereka menaiki kapal-kapal tongkang demi barter dan saling-silang kebutuhan pokok.

Makin ke sini, Pekanbaru bukan lagi seperti dulu. Denyut perdagangan lewat Sungai Siak hampir berhenti lantaran jalur darat mulai lancar. Pun dengan sejumlah tradisi Melayu lawasnya. Di antaranya tenun Siak.

Tenun Siak atau sering orang menyebutnya pula sebagai songket Siak tentu saja berasal dari Siak, Provinsi Riau. Kota yang letaknya sekitar 100-an kilometer dari Pekanbaru, ibukota Riau. Tradisi tenun ini dimulai sejak zaman kesultanan Siak Sri Indrapura. Tepatnya saat Tengku Said Ali, yang bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi bertakhta di Kesultanan Siak. Dari cerita mulut ke mulut, konon tradisi tenun Siak ini mendapat pengaruh dari Kesultanan Trengganu di Malaysia.

Kini praktis tak cukup banyak perajin kain tenun atau songket Siak tradisional. Kalau pun ada, umumnya menggunakan tenun mesin. Di antara yang tak banyak itu, jika Anda tertarik menelusurinya, cobalah datang kawasan Kampung Bandar di sekitar Pelabuhan Bunga Tanjung, pelabuhan rakyat yang menghubungkan Kota Pekanbaru dan Selat Panjang.

Di belakang pelabuhan itu, masih bisa ditemui rumah panggung tradisional khas Siak yang dibangun sejak 1887 yang memproduksi tenun Siak tradisional. Bunyi dari rumah panggung itu seperti beras yang diayak di atas nyiru. Terus kontinyu selama satu hingga dua jam. Paling di antaranya jeda sesekali. Suaranya tenang sekejap, kira-kira 3-5 menit. Setelahnya, bunyi mesin kayu berderu lagi.

Di rumah itulah Wawa Endi, seorang perajin tenun Siak, tinggal dan berproduksi. Di tangannya, alat tenun manual sepanjang kira-kira 160 sentimeter terus-terusan bergemeretak dari pagi sampai sore. Rot penggulung benang dan kain, yang letaknya berseberangan, serta berfungsi merentangkan benang-benang sepanjang dua meter, berputar ganti-gantian.

Wawa adalah satu dari sangat sedikit penenun kain Siak tradisional. Jarinya lihai mengayun lidi pungut untuk membentuk beragam motif bunga cengkeh, sebuah simbol kekayaan masyarakat Melayu. Juga menarikan pola, membentuk berekor-ekor kalong yang berjajar mekanis. Tangan kirinya kadang mengangkat benang yang direntangkan vertikal, sedangkan tangan kanannya menyusupkan lembar-lembar benang emas sesuai pola.

Motif tenun Siak
Motif Tenun Siak. Dok TL-A. Prasetyo

Lembaran emas yang disematkan di kain tenun khas Siak itu diimpor dari Cina. Ada juga yang dari Singapura. Keduanya punya kualitas yang sama dan harganya pun tak jauh beda. Hanya, benang emas dari Singapura membuat kain bertekstur lebih kaku. Biasanya, kain dengan sentuhan benang emas Singapura dipakai untuk sarung, bagi laki-laki, dan selendang bagi perempuan. Sedangkan kain dengan sentuhan benang emas dari Cina acap dijahit menjadi baju.

Nuansa tenunan emas tersebut memperkuat kesan ‘calak’ yang melekat pada selembar kain tenun. Maklum, tenun kebesaran orang-orang Melayu ini memiliki ciri warna-warna cerah dan berani. Dari sejarahnya, benang yang dipakai untuk menghasilkan tenun Siak memiliki warna hijau, kuning, dan merah. Namun dalam perkembangannya, beragam inovasi muncul mendobrak aturan terhadap warna yang dipakai. Warna kain tenun Siak menjadi lebih beragam.

Menyematkan lembar emas di antara 3.486 helai benang tentu tak mudah. Satu lembar kain tenun Siak umumnya selesai dalam waktu 10 hari. Bisa lebih cepat jika si perajin sedang giat bekerja. Atau pesanan yang waktunya mendesak.

Corak atau motif kain tenun Siak Salah satunya kaya akan bunga cengkeh. Bunga cengkeh menyiratkan komoditas utama masyarakat yang tinggal di bumi Melayu. Selain bunga cengkeh, terdapat motif bertabur kalong, yang memiliki filosofi sifat berwibawa dan bertanggung jawab, representasi seorang pemimpin atau raja.

Memang, seturut dengan budayanya, kain tenun Siak merupakan simbol prestisius bagi pemakainya. Kain ini mulanya hanya dipakai di lingkungan kerajaan Siak Sri Indrapura. Yang mengenakan pun orang-orang kalangan bangsawan atau keturunan darah biru. Tak khayal, dari segi motif, tenun Siak mengangkat corak-corak yang mengandung nilai-nilai sakral, loyalitas, dan pengabdian—representasi seorang pemimpin.

Secara umum kain Siak memiliki 3 motif Siku dan 3 motif Pucuk. Masing-masing dengan maknanya. Ada Siku Keluang, Siku Awan, dan Siku Tunggal. Siku Keluang memiliki maknapribadi yang memiliki sifat bertanggung jawab yang menjadi idaman orang Melayu Riau. Siku Awan berartibudi pekerti, sopan santun, dan kelembutan akhlak, menjadi asas tamadun Melayu.

Sedangkan Siku tunggalmencerminkan sikap atau perilaku orang Melayu yang amat mengutamakan “persebatinan iman atau perpaduan umat” baik antara sesama Melayu atau pendatang. Landasan ini yang membuat orang Melayu menerima siapa saja yang datang.

Sementara itu, motif Pucuk juga ada tiga, yakni Pucuk rebung kaluk pakis bertingkat; Pucuk rebung bertabur bunga ceremai, dan Pucuk rebung penuh bertali.

Pucuk rebung kaluk pakis bertingkat berarti Pucuk rebung (kesuburan) mengandung makna kemakmuran hidup lahiriah dan batiniah. Kaluk pakis bertingkat (nilai tahu diri) merupakan sifat yang amat penting, sesuai dengan ungkapan tahu diri dengan perintah, tahu duduk dengan tegaknya, tahu alur dengan patutnya.

Pucuk rebung bertabur bunga ceremai bermakna nilai kasih saying, hormat-menghormati, lemah lembut, dan bersih hati, menjadi acuan dalam budaya Melayu Riau, banyak dilambangkan dengan hampir semua motif bunga. Serta Pucuk rebung penuh bertali yang berarti nilai budaya Melayu sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam yang memberi tuntunan dan bimbingan agar manusia memiliki akhlak mulia sehingga menjalankan kehidupan yang benar.

Di luar motif Siku dan Pucuk, masih ada motif Daun tunggal mata panah tabir bintang, yakni corak dasar Melayu bersumber dari alam flora (bunga, kuntum, daun, dan buah), mengandung nilai falsafah keluhuran, kehalusan budi, keakraban, dan kedamaian. Dan motif Wajik sempurna yang melambangkan sifat Allah yang pemurah agar mendapatkan kasih dan kemurahan dari Allah, sepatutnya manusia bersyukur atas nikmat serta kurnia yang dilimpahkan.

Sehari-hari, kelompok perajin tenun Siak tradisional ini menggarap pesanan dari berbagai kalangan. Mereka menenun dari pukul 10 pagi sampai pukul 4 sore. Penggarapnya berganti-gantian lantaran alat tenun yang tersedia cuma tiga. Sisanya akan menggarap pekerjaan lain, semisal memintal benang, mengemas kain yang sudah selesai ditenun, sampai memasak untuk makan siang.

Waktu berjalan, budaya berganti. Perempuan dari keluarga Siak biasa pun kemudian diajari untuk menyungkit kain warisan kerajaan tersebut. Kemudian, tenun Siak juga tak cuma dipakai kaum bangsawan untuk rangkaian upacara atau seremoni tertentu. Seperti batik, tenun Siak meluas fungsinya menjadi kain yang digunakan untuk beragam acara.

Penduduk biasa pun mulai membuka usaha tenun, di sepanjang Sungai Siak—yang membentang dari Tapoeng, Kampar, dan bermuara di Selat Panjang. Budaya menenun kain merembet sampai Pekanbaru. Bahkan, tenun ini kini lebih populer ditemukan di Pekanbaru daripada di tanah muasalnya.

Beberapa orang mengatakan alasannya karena pasar yang lebih jelas. Selain itu, relevansi historis ternyata turut mempengaruhi. Sejarah Riau mencatat, pada 1762, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan pusat Kerajaan Siak Sri Indrapura dari Mempura Besar ke Bukit Senapelan, wilayah Kampung Bandar. Banyak orang asli Siak bermigrasi ke sana. Mereka disebut sebagai orang Pokan, yakni orang yang merantau akibat perdagangan. Mereka lantas membuka usaha tenun.

Meski dihantam inovasi atau bergerak meluas dari tanah asalnya, tak ada yang berubah dari nilai simbol tenun Siak, utamanya perihal motif. Penenun tetap mempertahankan corak demi corak, sesuai bentuk mula tenun tersebut berkembang. Stylisasi flora, fauna, dan alam sekitar, terjaga utuh di lembaran kain berharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah itu.

F. Rosana/A. Prasetyo

Tenun Sutera Sengkang, Budaya Sejak 1400

Tenun Sutera Sengkang khas masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan.

Tenun sutera Sengkang dari Sulawesi Selatan memperlihatkan kekayaan budaya dan tradisi Indonesia, khususnya bagi masyarakat Bugis. Sulawesi Selatan dengan masyarakat Bugis-nya merupakan salah satu masyarakat di Indonesia yang memiliki budaya menenun kain sutera sejak tahun 1400-an.

Tenun Sutera Sengkang

Ada begitu banyak keunikan adat istiadat mulai dari tradisi dan upacara adat, hingga rumah adat yang dimiliki suku ini. Salah satu di antaranya adalah kain tenun sutera.

Sutera dalam bahasa Bugis disebut “sabbe”, hasil dari ulat sutera ini kemudian dijadikan kerajinan tenun yang menjadi kebanggaan suku Bugis. Hasilnya dipergunakan anggota masyarakat sebagai pakaian adat. Dan di antara motif kain sutera Bugis yang terkenal, adalah kain tenun sutera Sengkang.

Kain tenun Sengkang adalah kain sutera motif warisan nusantara Sulawesi Selatan. Sengkang merupakan ibu kota dari Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan. Berjarak kurang lebih 250 kilometer dari Makassar, Sengkang dikenal sebagai kota penghasil sutera terbesar di Sulawesi Selatan

Tenun Sutera Sengkang menjadi ciri khas produksi masyarakat Kabupaten Wajo.
Danau Tempe yang ada di kabupaten ini. Foto: situs Desa Lampulung

Bagi masyarakat Bugis kain tenun memiliki nilai tradisi dan budaya dari nenek moyang mereka yan sudah berusia ratusan tahun. Kain tenun menjadi pakaian keseharian dan sebagai alat untuk menutup tubuh dalam dalam menahan pengaruh dari alam sekitar.

Kain tenun sutera Sengkang juga digunakan sebagai hadiah dan simbol status  yang dianggap suci. Tak hanya itu kain tenun juga merupakan pakaian dan benda yang digunakan dalam upacara adat.

Di Kabupaten Wajo terdapat mulai dari petani ulat sutera hingga perajin tenun sutera. Salah satu desa di kabupaten ini, yakni Desa Pakanna, bahkan dijuluki sebagai kampung penenun. Wajo merupakan daerah penghasil sutera terbesar di Sulawesi Selatan.

Dari hulu ke hilir, hampir seluruh wilayah di Kabupaten Wajo ini dipenuhi oleh petani ulat sutera hingga perajin tenun sutera. Produktivitas sutera tersebut, memicu pengembangan produksi kain tenun Sengkang yang dikenal sebagai kain sutera motif warisan nusantara dari Sulawesi Selatan.

Proses pembuatan benang sutera menjadi kain kain sutera oleh masyarakat umumnya masih dengan cara tradisional. Demikian pula dengan proses penenunan dari benang menjadi kain, masih menggunakan peralatan tenun tradisional.

Alat tenun tradisional di sini disebut alat tenun gedongan. Dari alat ini diproduksi kain-kain tenun sutera dengan bergabai macam motif dan corak. 

Tenun Sutera Sengkang memakai alat tenun tradisional. Foto: iStock

Pelbagai jenis corak dan motif yang diproduksi seperti “Balo Tettong”, ini motif bergaris atau tegak; motif “Makkulu” yang artinya melingkar; motif “Mallo’bang” yang berarti berkotak kosong; atau motif “Balo Renni” ini artinya berkotak kecil.

Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan “Wennang Sau” atau lusi timbul serta corak “Bali Are” dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas.

Motif khas tenun sutera Sengkang di antaranya adalah Sirsak Coppobola, Ballo Makalu, Ballo Renni, Cabosi dan Lagosi serta motif nusantara lainnya.

Setiap motif kain tenun Sengkang memiliki makna simbolisnya masing-masing. Misal saja, motif Mappagiling. Motif ini konon dibuat oleh seorang wanita yang ditinggal  suaminya namun akhirnya suaminya kembali pulang karena melihat motif tersebut yang dibelinya dari seorang pedagang sutera yang menjual kain motif hasil tenunan istrinya.

Setiap warna juga dipertimbangkan, sebab bagi masyarakat Bugis, setiap warna memiliki makna tertentu. Misalnya saja warna merah yang berarti berani karena benar, putih yang berarti kesucian, hijau yang berarti subur dan makmur, dan kuning yang berarti indah serta mulia.

Dalam penggunaan warna sering juga dihubungkan dengan sifat kejiwaan seseorang, seperti warna hitam dihubungkan dengan kedukaan, merah dihubungkan dengan perasaan gembira, dan putih dihubungkan dengan kesucian.

Tenun sutera Sengkang dengan aneka motifnya. Foto: IG Tenun Sengang

Ciri khas dari kain sutra Sengkang ini adalah motifnya yang memiliki warna warni mencolok dan berpola vertikal. Masing-masing motif memiliki makna tersendiri yang menunjukan status pemakainya seperti misalnya perbedaan motif kain untuk wanita lajang dan sudah menikah.

Kerajinan tenun sutera Sengkang tersebut memperkaya budaya dan keragaman di Indonesia. Masih banyak anggota masyarakat yang menggunakannya sebagai pakaian adat. Juga kain tenun sutera Sengkang ini. 

Kain tenun Sengkang, selain memiliki nilai tradisi dan budaya adat yang digunakan dalam upacara adat, kain tenun Sengkang tersebut juga digunakan sebagai hadiah dan sebagai simbol yang dianggap suci.

Untuk mendapatkan kain tenun Sengkan ini pecinta kain Nusantara selain bisa melancong ke Sengkan di Wajo. Bisa pula main ke Makassar, di mana cukup banyak toko cindera mata di sini yang menjualnya. Salah satunya di pusat oleh-oleh Makassar, Toko Aneka Sutra. 

Harga kain sutera Sengkang sangat bervariasi tergantung kerumitan pembuatannya dan lebar kain. Harga yang dibanderol untuk sutera sutera Sengkang ini bervariasi mulai dari Rp150 ribu hingga jutaan rupiah.

agendaIndonesia

*****

Tenun Sekomandi, Persaudaraan 480 Tahun

Tenun sekomandi berusia sekitar 480 tahun, ternasuk tenun tertua di dunia.

Tenun sekomandi adalah warisan leluhur masyarakat Kalumpang-Mamuju di Sulawesi Barat. Tenun ini  dipercayai sebagai salah satu tenun tertua di dunia dengan rentang usia lebih dari 480 tahun.

Tenun Sekomandi

Nama tenun ini terdiri dari dua kata, yaitu “seko” yang artinya persaudaraan atau kekeluargaan, serta “mandi” yang artinya kuat atau erat. Secara garis besar, tenun sekomandi bermakna ikatan persaudaraan yang kuat. Setiap corak dan warna benang dari tenun sekomandi mengandung makna spiritual. 


Meski sudah berusia ratusan tahun, masih cukup banyak masyarakat yang belum mengenalnya. Padahal, tempat perajin kain tenun sekomandi di Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, sudah menjadi salah satu destinasi wisata yang sering dikunjungi wisatawan. Di sana, para pelancong dapat menyaksikan langsung proses pewarnaan dan pemintalan benang yang kemudian dijalin menjadi kain tenun sekomandi.

Sesungguhnya ada tiga jenis kain tenun yang dimiliki oleh Provinsi Sulawesi Barat. Ke tiganya masing-masing adalah kain tenun sekomandi yang merupakan warisan masyarakat Kalumpang, Kabupaten Mamuju. Kemudian ada kain tenun Sutera Suku Mandar, dan ke tiga adalah kain tenun Sambu (sarung) dari Kabupaten Mamasa. Ketiganya cukup popular, namun memang masih jarang yang membahas tenun ini.

Tenun sekomandi dari masa ke masa memiliki 11 macam motif.  Namun, motif tenun Mamuju ini yang paling popular ialah motif Ulu Karua. Ada pula motif Baba Deata, atau motif Ulu karua lepo, dan motif lelen sepu.

Motif Ulu Karua bermakna delapan ketua adat atau delapan pemangku adat. Menurut sejarah atau mitosnya, penamaan “Ulu Kalua” berasal dari sejak zaman dahulu, saat nenek moyang mereka pergi berburu dengan anjingnya, lalu masuk ke dalam gua. Ketika keluar gua, anjing itu menggigit daun bermotif. Itulah asal mula motif pertama tenun sekomandi, Ulu Karua.

Proses pembuatannya pun cukup unik. Tenun ini berasal dari kulit kayu yang diproses dengan cara ditumbuk, lalu diolah untuk dipintal. Selanjutnya, bahan tersebut diberi pewarna alami, seperti tanaman cabai yang terlebih dahulu diracik kemudian dicampurkan dengan pewarna lainnya untuk memperindah kain tenun masyarakat Mamuju ini.

Tenun Sukomandi sudah berusia sekitar 480 tahun dan merupakan salah satu tenun tertua di dunia.
Tenun ikat Sukomandi khas Mamuju, Sulawesi Barat. Foto: Dok. Kemanparekraf

Selanjutnya, proses pembuatan kain sekomandi dimulai dengan pemintalan benang yang berasal dari biji pohon kapas yang kadang juga menggunakan kapuk. Benang-benang yang sudah terpintal tersebut kemudian diberi warna sesuai pesanan. Dahulu pemberian warna pada benang sekomandi menggunakan pewarna alami yang berasal dari alam.

Untuk warnanya sendiri, kain tenun Sekomandi didominasi oleh warna coklat, merah dan krem, dengan warna dasar hitam. Pembuatan sehelai kain tenun Sekomandi bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Tenun ikat Sekomandi diperkirakan mulai diproduksi oleh masyarakat adat di wilayah kalumpang yang kini tersebar di kecamatan Bonehau dan Kecamatan Kalumpang Kabupaten Mamuju. Sekomandi oleh masyarakatnya dahulu dipakai untuk acara adat seperti ritual, pesta pernikahan, alat tukar/barter, seserahan mempelai pengantin dan lain sebagainya.

Seiring dengan perkembangan zaman, kain tenun ini kemudian dibuat ke dalam berbagai model fashion, salah satunya jaket bomber yang akan dipakai Menparekraf Sandiaga dalam acara Manakarra Fair 2022 Kamis malam, 14 Juli 2022. Ini adalah berkat inovasi dan kolaborasi yang dilakukan oleh para perajin di Rumah Tenun Sekomandi. Dengan demikian penghasilan para penenun bisa lebih meningkat.

Harga kain tenun sekomandi saat ini semakin tinggi seiring dengan meningkatnya minat masyarakat. Kain tenun sekomandi dengan motif sambo tanete, misalnya, untuk yang ujuran panjang 12 meter bisa dihargai hingga Rp 12 juta.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno berharap dengan bantuan semua pihak, termasuk perbankan dan Kemenparekraf, masyarakat bisa memasukkan Rumah Tenun Ikat Sekomandi ini dalam Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia. “Jadi nanti ke depan baju hari Kamis-nya Pak Gubernur ini mungkin diselipkan ada ornamen Sekomandi. Ini sebagai bagian dari penghargaan kita kepada produk produk tenun lokal kita,” kata Menparekraf Sandiaga.

Buat para pecinta kain tenun tentu bisa langsung datang ke tempat pembuatan kain tenun ini di Kalumpang. Desa itu merupakan salah satu pusat tenun Sekomandi khas Mamuju. Bagi Wisatawan yang ingin berkunjung ke tempat tersebut, dapat menempuh perjalanan sekitar 12 Km dari pusat Kota Mamuju, dengan waktu tempuh kurang lebih 15 menit menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat.

agendaIndonesia

*****

Lurik Motif 3-4, Lurik Khas Abdi Dalem

Motif kain lurik

Lurik motif 3-4, lurik khas abdi dalem Kraton Yogyakarta. Mungkin ini jarang ada yang tahu. Motif 3-4, dalam narasi aslinya disebut motif telu pat, ini artinya tiga-empat.

Lurik Motif 3-4

Kain lurik, sejak lama seakan diidentik sebagai bahan pakaian yang dipakai oleh para bangsawan dan abdi dalem di kalangan kraton Yogyakarta. Motif telu pat yang disebut di muka adalah yang biasa dipergunakan oleh para abdi dalem. Biasanya menggunakan pewarnaan biru dengan kombinasi hitam atau putih.

Motif telu pat, yang berarti tiga-empat, itu disebut demikian karena merujuk pada jalinan tenunan benang. Tiga garis benang berjejeran dengan empat garis benang warna lainnya.

Ini tak sembarangan jejeran benang. Ada filosofinya. Pola jejeran benang itu konon menandakan kedekatan antara sinuhun atau raja dan rakyatnya. Seperti layaknya motif kain-kain tradisional yang berasal dari dalam kraton-kraton di Jawa, motif lurik juga diciptakan para sultan melalui proses perenungan yang dalam. Ada harapan dan cita-cita dari sang sultan dalam setiap tarikan benangnya.

Lurik konon berasal dari kata dalam bahasa Jawa lorek yang berartigaris atau garis-garis. Bentuknya sederhana seperti pagar. Harapannya supaya para pemakai lurik selalu terlindungi hidupnya dalam kesederhanaan.

Saat ini boleh dikata hanya dalam hitungan jari industri rumahan di Yogyakarta yang menghasilkan kain lurik secara tradisional menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Selebihnya sudah dikelola perusahaan kain dengan mesin tekstil. Yang memprihatinkan, para penenun kain lurik ini rata-rata mereka yang sudah berumur. Jarang sekali terjadi regenerasi penenun kain lurik di Yogyakarta.

Saat ini, usia penenun kain lurik paling muda sekitar 40 tahunan. Cukup banyak yang berusia 50-60. Dari generasi sebelumnya, masih ada yang berumur 80 tahunan, tapi mereka biasanya menenun dari rumah. Pemilik pekerjaan yang datang ke rumah mereka memberikan order dan petunjuk. Jika ada yang baru. Namun biasanya mereka menenun motif-motif yang sudah lama mereka kerjakan.

Awal tahun 60-an adalah masa-masa kejayaan penenun kain lurik. Di desa Krapyak Wetan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, cukup banyak penenun yang mengerjakan kain lurik di rumah. Di desa itu, di daerah Sewon Bantul, saat ini masih dapat ditemui sejumlah perajin kain lurik. Tapi jumlahnya sangat sedikit.

Hingga akhirnya tiba masanya kain lurik bisa dihasilkan mesin tekstil. Selain efisiensi dari rantai produksi dan waktu pengerjaan, kain lurik hasil mesin harus diakui hasilnya lebih halus. Proses produksinya pun sangat cepat. Akibatnya bisa diduga, jumlah perajin lurik tradisional di kampung-kampung di Bantul pun anjlok. Kalah melawan kerasnya persaingan dengan mesin.

Tentu, ada yang masih mencoba bertahan dengan menghasilkan lurik-lurik dari ATBM. Mereka menggunakan bagian depan rumahnya menjadi ruang pamer kain-kain lurik siap jual buatan pekerjanya. Sedangkan produksi mengunakan bagian belakang rumah.

Tenun lurik hasil ATBM umumnya memiliki dua lebar yang berbeda, yaitu 70 dan 100 sentimeter. Ini tergantung panjang alat tenun. Panjang satu gulungan motif bisa mencapai 100 hingga 150 meter. Keseluruhan proses penenunannya bisa mencapai waktu satu bulan. Semua tergantung tenaga penenun. Ada juga yang sanggup mengerjakan10 meter dalam waktu sehari saja. Kain-kain lurik yang sudah jadi siap dijual dalam kisaran harga Rp 30-50 ribu per meter.

Seiring dengan perkembangan zaman, para penenun kain lurik kini tidak hanya menggarap motif-motif tradisional milik kraton. Banyak desain dan motif baru. Upaya pemerintah melestarikan jenis kain ini, memunculkan kreasi desain-desain baru. Terlebih saat ini, banyak sekolah dan kantor yang menggunakan kain lurik sebagai seragam pada hari-hari tertentu. Tiap lembaga kadang menginginkan desain sendiri.

Di Yogyakarta sendiri kain lurik kalah populer cengan batik. Para penenun luriknya pun tak sebanyak pemegang canting batik. Meski banyak sumber sejarah menyebutkan bahwa kain lurik usianya lebih tua dari batik dan bahkan dikenal masyarakat Jawa sejak zaman

Salah satu relief di Candi Borobudur pun ada yang menggambarkan perempuan sedang menenun. Ada pula prasasti Raja Erlangga yang pernah menyebutkan salah satu motif kain lurik sebagai Tuluh Watu. Dari berbagai penemuan sejarah itu, diketahui bahwa lurik tidak hanya dikenal masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Jika memiliki kesempatan berkunjung ke perajin tenun lurik, Anda akan tertarik melihat proses skir, yaitu proses penyusunan motif untuk selembar kain lurik. Benang-benang yang akan digunakan, disusun menyerupai bentuk rak. Melihat proses skir layaknya tarian ribuan benang warna-warni.

Biasanya para penenun menggunakan benang katun putih yang kemudian diberi pewarna sintetis. Setelah motif disusun dalam proses skir, benang-benang tersebut akan ditenun melalui ATBM.

Selain didesak modernisasi teknologi tekstil, jumlah perajin kain lurik ATBM yang jumlahnya tidak banyak, juga semakin berkurang. Ini terjadi di saat tiba musim tanam dan panen di sawah. Para perajin lurik beralih menjadi buruh tanam di sawah-sawah yang penghasilannya lebih cepat.

Jumlah penenun lurik memang semakin sedikit, meski kain lurik pamornya masih lumayan moncer seiring kampanye pelestarian jenis kain ini. Namun, jika melihat dari perajinnya, kini hanya hitungan jari. Jika berkunjung ke sentra perajin lurik, kini ruangan produksinya praktis sepu. Suara alat tenun yang beradu pun nyaris seperti gending monggang. Gending kematian.

Dari Liputan TL.

Kurnia Lurik

Krapyak Wetan RT 05 Nomor 133 Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta

Tak jauh dari cagar budaya Panggung Krapyak

Produk-produknya sudah bisa dipesan lewat media online di Instagram @kurnialurik_jogja

Sari Puspa Lurik

Desa Wisata Kerajinan Sangubanyu, Sumberrahayu, Moyudan, Sleman

Sekitar 15 kilometer dari pusat kota Yogyakarta

Bisa dicapai melalui Jalan Godean ke arah Selatan atau dari Jalan Wates ke arah Utara

Pedang-pedang Indah Cibatu Sejak 1985

Pedang-pedang indah Sukabumi, selain indah juga syarat sejarah. Foto: TL-Rully kesuma

Pedang-pedang indah Cibatu, Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, adalah kerajinan yang tak hanya elok, pedang-pedang ini pun dipesan karena nilai sejarahnya. Tak selamanya alat yang berkesan keras dan berbahaya ini sesungguhnya memiliki nlai seni yang tinggi. Bahkan juga ada syiar agama.

Pedang-pedang Indah

Betul, ada kisah sejarah perjuangan Rasulullah dan para sahabatnya terkait pedang-pedang indah itu. Kisahnya, di seantero jazirah Arab orang mengenal Amru bin Abda Wudd sebagai kesatria Quraisy yang ganas. Ketika Perang Khandaq berlangsung, ia menantang duel para pengikut Nabi Muhammad. “Siapa di antara pengikut Muhammad yang berani berduel denganku?” ujarnya.

Tantangan tersebut tak ayal membuat para sahabat Nabi kecut. Mereka mengenal betul siapa Amru bin Abda Wudd. Tak hanya memiliki tubuh yang besar dan tegap, Amru mahir memainkan tombak dan pedang. Suasana menjadi hening dan mencekam. Tak seorang pun menerima tantangan tersebut.

Ali bin Abi Thalib, yang mendengarkan tantangan itu, gelisah. Ia memohon izin kepada Nabi untuk melayani tantangan tersebut, tapi tak dikabulkan. Beberapa kali memohon, akhirnya Ali diizinkan juga.

Pertarungan dahsyat tak terelakkan lagi. Suara keras benturan pedang terjadi berulang-ulang. Tak beberapa lama, pertarungan berhenti. Tubuh Amru bin Abda Wudd ambruk dengan bahu terbelah. Wajah Rasulullah berseri-seri melihat kemenangan Ali. Beliau lantas bersujud syukur di atas tanah dan mengucapkan, “Laa saifa illa Dzulfiqar wa laa fataa illa Ali.” Artinya, tidak ada pedang kecuali Pedang Dzulfiqar dan tidak ada pemuda segagah Ali.

“Kalimat itu tergores di sarung Pedang Dzulfiqar atau Dzulfaqor,” kata Haji Aas Asyari, perajin pedang, golok, dan pisau di Cibatu, Sukabumi. Ia pun menunjuk ke salah satu pedang berwarna emas.

Pedang-pedang indah Cibatu, SUkabumi, dipesan untuk kecintaan pada keindahan, bukan kekerasan,
Pedang-pedang indah karya Pak Haji Aas Asyari, Sukabumi. Foto: Dok. TL/Rully K

Pedang yang dipajang di salah satu dinding ruangan itu memang lebih mencolok ketimbang pedang-pedang indah lainnya. Selain warnanya berkilau, desainnya menawan. Bentuk pedang itu melengkung khas pedang Arab. Begitu pula gagangnya.

Namun, kata pria yang akrab disapa Pak Haji itu, pedang tersebut hanyalah replika pesanan dari salah satu konsumen. “Pedang yang asli konon sudah tidak ada lagi. Karena sudah dibuang ke laut. Sebab, berbahaya jika jatuh ke tangan orang lain,” ujarnya.

Selain memiliki pedang bermata dua yang memiliki simbol jihad dan keberanian Ali bin Abi Thalib itu, Haji Aas menyimpan Pedang Al-Battar. Sama halnya dengan Pedang Dzulfiqar, pedang ini replika pesanan seorang konsumen. Meski replika, kata Pak Haji, pedang itu dibuat nyaris sama dengan bentuk aslinya.

Untuk Pedang Al-Battar, misalnya, di sarung dan gagangnya terdapat 555 butir batu permata. Khusus di gagangnya, bertabur 150 butir permata. Walhasil, pedang dengan panjang hampir 100 sentimeter itu lumayan berat. Menurut dia, pedang aslinya masih tersimpan di Museum Topkapi, Istanbul, Turki.

Pria 61 tahun ini mengaku mewarisi keahlian ayahnya, Haji Syarifudin, yang memulai usaha sedari muda, pada 1985. Selain melayani pembuatan pedang-pedang indah untuk para kolektor, Haji Aas melayani pembuatan samurai, golok, dan pisau dari perguruan bela diri, termasuk Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI. Pelanggan tetapnya adalah Ikatan Pencak Silat Indonesia dan Persatuan Pencak Silat dari Belanda.

Mengenai harga, ia mengatakan tergantung pada bahan dan tingkat kerumitan. “Karena desain yang rumit membutuhkan waktu pengerjaan yang lama,” ucapnya. Untuk senjata tajam jenis golok, harganya bisa lebih dari Rp 250 ribu. Sedangkan harga pedang atau samurai mencapai setidaknya Rp 5 juta.

Meskipun masih menggunakan peralatan sederhana, perajin yang menamai usahanya Golok Pusaka itu sudah menghasilkan ribuan senjata tajam. Pedang-pedang indah karyanya tidak hanya dipesan pelanggan atau peminat dari Indonesia, tapi juga hingga mancanegara, seperti negeri seberang Brunei Darusalam dan Malaysia.

Lalu, apakah Pak Haji melayani pembuatan golok pusaka yang konon memiliki kesaktian? “Bisa saja. Tapi sekarang sudah jarang yang memesan golok seperti itu. Pembuatannya lebih rumit dan lama karena butuh ritual. Yang mengerjakannya juga harus berpuasa terlebih dulu dan menentukan tanggal pembuatannya,” ujar Pak Haji, yang mengaku masih memiliki kemampuan seperti itu. Wow!

DI Cibatu sendiri kini tumbuh semacam sentra kerajinan senjata tajam. Tak hanya pedang dan golok, namun juga pisau-pisau khusus. Banyak pelanggan luar negeri yang dating untuk memesan pisau-pisau ini.

agendaIndonesia/TL/Andry T./Rully K.

*****

Kerajinan Cirebon, 4 Yang Bisa Dikoleksi

Kerajjnan Cirebon ternyata banyak macamnya, ada yang dari kaca.

Kerajinan Cirebon tak Cuma batik Trusmi yang sudah sangat popular itu. Ada kerajinan lain di kota Udang ini yang perlu dilirik dan bisa dikoleksi. Tentu, Trusmi tetap wajib dikunjungi jika mampir ke kota di pesisir utara Jawa Barat ini.

Kerajinan Cirebon

Cirebon ternyata merupakan gudang aneka kerajinan tangan dengan bahan baku yang beragam. Kulit kerang, kaca, dan rotan dimunculkan dalam corak dan nuansa berbeda karena kentalnya perpaduan budaya Cina, Arab, dan domestik Jawa Barat, khususnya Cirebon sendiri. Pengunjung pasti leluasa dan nyaman berjalan-jalan karena bisa membeli cenderamata itu di lokasi perajin maupun toko-toko suvenir yang ada di tengah kota.

Berikut ada 4 kerajinan Cirebon yang bisa menjadi pertimbangan dikoleksi atau jadi cindera mata.

Batik Trusmi yang Mendunia

Urutan pertama kerajinan Cirebon yang wajib kunjung tentu saja pusat pembuatan batik Trusmi bila berkunjung ke kota ini. Pertama kali memasuki Kampung Trusmi, Kecamatan Plered, yang berjarak 4 kilometer dari pusat Kota Cirebon, biasanya pengunjung akan melihat beberapa pekerja menjemur kain batik yang masih berlapis lilin dalam cuaca terik.

Kerajinan Cirebon paling popular tentu saja batik Trusmi dengan motif megamendung
Batik Cirebon dengan morif yang maling terkenal, mega mendung. Foto: dok.shutterstock

Coba saja masuki salah satu dari puluhan toko yang menjual batik di pusat pembuatan dan penjualan batik Cirebon itu. Biasanya akan tampak puluhan pekerja sibuk menyelesaikan pembuatan batik. Ada teknik berbeda-beda, di antaranya tulis, cap, atau kombinasi keduanya.

Batik Cirebon memiliki kekhasan dalam warna dan motif. Dari corak, sedikitnya ada lima jenis, yakni batik wadasan atau Keratonan, geometris, byur, Pangkaan, dan Semarangan. Tapi yang paling sering diburu pengunjung adalah batik Keratonan.

Motif yang khas adalah singo barong, naga seba, sawat, dan mega mendung dengan warna-warna cerah. Batik ini dijual seharga Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah.

Batik Trusmi, Desa Trusmi, Kecamatan Plered, Cirebon

Dekorasi Rumah dari Kerang

Di sebuah industri rumahan di Desa Astapada, seberang flyover tol Kecamatan Tengah Tani, Cirebon Barat, para pekerja menyulap limbah kerang menjadi perabotan unik dan berkualitas. Usaha berlabel Multi Dimensi Shell Craft ini dimiliki Nur Handiah Jaime Taguba. Bingkai foto, cermin, lampu gantung, kursi, tempat tidur, dan bahkan helm tak luput dilapisi kulit kerang. Harganya sangat variatif, dari Rp 10 ribuan hingga jutaan.

WA2013051425
Kerjainan Cirebon yang berbahan kerang. Foto: Dok. TL

Mulanya, Nur mengekspor kerang sebagai bahan baku ke Korea. Kemudian, ia pun tergerak untuk mengolah sendiri. Ia menggunakan kerang simping, yang lebar, sebelum bereksperimen dengan jenis kerang lainnya. Karya kerajinan Nur awalnya hanya punya dua warna dasar, yakni perak dan emas, tapi lantas diberi warna beragam. Pemesannya pun berasal dari mancanegara, seperti Timur Tengah, Amerika, Eropa, dan juga Asia, semisal Jepang.

Multi Dimensi Shell Craft, Desa Astapada, Kecamatan Tengah Tani,  Kabupaten Cirebon

Lukisan Kaca Terbalik

Pada siang yang terik di sebuah galeri di Jalan Kartini, Hendy, sibuk mengelap kaca berukuran 50 sentimeter. Kuas dan cat besi berserakan. Ia memang menggunakan kaca bening tak berwarna untuk menuangkan imajinasi.

Uniknya, ia melukis secara terbalik atau di belakang kaca, sehingga gambar bisa dinikmati dari sisi depan. Teknik melukis ini diperkirakan hadir di Cirebon sejak empat abad silam bersamaan dengan masuknya Islam ke Kota Udang.

Di masa pemerintahan Panembahan Ratu, lukisan kaca digunakan untuk media dakwah karena obyek lukisan adalah tokoh wayang dan kaligrafi ayat Al-Quran atau hadis. Kemudian, lukisan kaca berkembang mengikuti zaman, para seniman seperti Hendy pun melukis motif tradisional Cirebon secara abstrak.

Ada ratusan pelukis kaca di kota ini. Mereka kebanyakan menggambar obyek karakter wayang, seperti Arjuna, Kresna, dan Rama, selain potret pribadi atau keluarga. Harga lukisan mulai ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah, tergantung tingkat kesulitan gambar. Beberapa kali Hendy mengaku melukis dengan tiga atau lima lapis kaca untuk menguatkan dimensi lukisan pesanan pembeli. Tentunya kreasi itu harus dibayar dengan harga tinggi.

Galeri Lukisan Kaca, Kedai Kopi Rempah Brana, Jalan Kartini No 20, Cirebon

Kerajinan dan Perabotan Rotan

Jika pengunjung keluar dari gerbang tol Plumbon, sekitar 500 meter di kanan-kiri Jalan Tegalwanangi menuju Kota Cirebon, mereka akan menemukan deretan kios penjual kerajinan Cirebon berbahan rotan. Desa Tegalwangi adalah sentra kerajinan rotan, yang menjadi salah satu komoditas unggulan Cirebon.

Jika masuk lebih jauh ke dalam desa itu, wisatawan bisa menyaksikan puluhan pegawai industri rumahan tengah membuat kursi, meja, pembatas ruangan, kuda-kudaan, keranjang, tutup makanan, dan lain-lain.

Jika perlu, jangan langsung menentukan satu toko untuk membeli. Cona masuki tiga atau empat tempat produksi rotan yang memiliki fungsi berbeda. Pertama, tempat pemotongan rotan dan, kedua, tempat pengolahan bahan baku rotan menjadi berbagai kerajinan.

Kaum pria biasanya membuat kerangka dan memanaskan rotan dengan api, sehingga bisa dibentuk sesuai keinginan. Sedangkan kaum perempuan menganyam rotan dan mematenkan anyaman ke kerangka dengan menggunakan strapless listrik.

Rampung dibuat, rotan dibawa ke lokasi ketiga untuk tahap finishing. Serabut dihilangkan dengan cara ditempelkan ke api. Proses terakhir adalah pewarnaan dengan mencelupkan rotan ke dalam bak yang telah diisi pewarna. Setelah itu, rotan dijemur dan siap untuk didistribusikan.

Industri rotan ini kini tak seramai beberapa tahun lalu karena para perajin semakin sulit memperoleh bahan baku rotan dari Kalimantan. Beberapa pengusaha pun menggantinya dengan rotan sintetis. Namun sebenarnya masih cukup banyak permintaan kerajinan rotan dari berbagai daerah di Indonesia. Harga barang bisa dipatok mulai puluhan ribu hingga Rp 2 juta untuk satu set meja dan kursi.

Sentra Kerajinan Rotan, Desa Tegalwangi, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon

agendaIndonesia/TL

*****