Bandeng dan oleh-oleh Juwana Semarang adalah toko oleh-oleh khas Jawa Tengah yang berpusat di kawasan Pandanaran, Semarang. Selain itu, terdapat juga beberapa cabang di sekitar ibu kota Jawa Tengah tersebut.
Bandeng dan Oleh-oleh Juwana Semarang
Bandeng dan oleh-oleh Juwana Semarang adalah toko oleh-oleh khas Jawa Tengah yang berpusat di kawasan Pandanaran, Semarang. Selain itu, terdapat juga beberapa cabang di sekitar kota Semarang seperti di Pamularsih, atau di Ngaliyan.
Telah beroperasi sejak tahun 1981, Bandeng Juwana mempunyai spesialisasi pada bandeng tulang lunak khas Semarang, yang kemudian juga diracik menjadi berbagai jenis penganan seperti bandeng otak-otak, pepes bandeng, bandeng tauco, bandeng goreng telur dan lain lain. Harga berbagai jenis bandeng olahan ini beragam, mulai dari Rp 117 ribu hingga hingga Rp 163 ribu untuk bandeng tulang lunak biasa, Rp 185 ribu untuk bandeng otak-otak atau Rp 187 ribu untuk bandeng dalam sangkar.
Namun selain menjajakan aneka jenis bandeng tulang lunak, tempat ini juga menjual beragam penganan oleh-oleh lainnya seperti enting-enting gepuk, wingko dan sebagainya. Selain itu, kini mereka juga memiliki restoran Elrina yang menyajikan ragam hidangan bandeng dan sajian lokal lain jika ingin menyantap langsung. Di restoran ini tersedia pula beberapa olahan bandeng yang terbilang unik seperti bandeng teriyaki, tongseng bandeng, sate bandeng dan lain lainnya.
Toko ini buka setiap hari dari jam 7 pagi hingga jam 11 malam (Pandanaran) atau jam 9 malam (Pamularsih dan Ngaliyan).
Untuk informasi lebih lanjut bisa menghubungi (024) 76435702 atau melalui email info@bandengjuwana.com, serta bisa mengunjungi website resmi www.bandengjuwana.com.
Melihat Komodo di Pulau Rinca mungkin belum banyak orang yang tahu. Biasanya untuk melihat hewan melata ini, wistawan langsung ke pulau Komodo, di Nusa Tenggara Timur.
Melihat Komodo di Pulau Rinca
Pulau Rinca adalah pulau terbesar kedua setelah Pulau Komodo di gugusan Kepulauan Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Pulau yang hanya bisa ditempuh menggunakan kapal nelayan atau speed boat dari Kota Labuan Bajo ini merupakan habitat hidup komodo.
Sekitar 1.300 ekor komodo hidup bebas di pulau yang tercatat sebagai wilayah penangkaran tersebut. Pada bulan-bulan tertentu, seperti Juni hingga Agustus, spesies kadal terbesar ini akan memasuki masa kawin. Kalau beruntung, wisatawan yang datang ke Pulau Rinca pada bulan-bulan tersebut bakal menyaksikan cara komodo bereproduksi.
Proses reproduksi per pasang komodo tergolong lama, yakni mencapai 7 hingga 8 jam. Maka, dalam sehari, kira-kira sebelas rombongan wisatawan yang datang ke pulau tersebut bakal menyaksikan pertunjukan langka itu.
Dalam prosesnya, komodo betina, yang jumlahnya tercatat lebih sedikit daripada komodo jantan, akan menjadi “rebutan”. Komodo jantan tak pelak berperang untuk mengawini komodo betina. Komodo betina juga tak menutup kemungkinan akan dikawini oleh lebih dari satu komodo jantan.
Setelah musim kawin, komodo menetaskan 15-30 telur dengan masa inkubasi kurang lebih sembilan bulan. Saat penulisdatang ke Pulau Rinca pada 9 Januari 2018, beberapa komodo betina tengah mengerami telurnya. Tak seperti hewan lain yang melindungi telur di bawah perutnya, komodo akan membuat lubang dan menanam telur di bawah tanah.
Fidel Hardi, ranger asal Manggarai Barat, yang ditemuidi Pulau Rinca, mengatakan, masing-masing komodo betina akan memilih satu titik lokasi untuk dijadikan sarang. “Di titik itu, akan dibuat banyak lubang. Tapi lubang yang berisi telur hanya satu,” tutur Fidel. Lubang yang lain dipakai untuk mengelabuhi musuh dan menjauhkan telur dari serangan siapa pun, baik komodo maupun hewan lain. “Karena mungkin saja telur itu dimakan komodo lain. Sebab, pada dasarnya, mereka adalah hewan kanibal,” kata Fidel.
Komodo betina juga tidak setiap hari menunggui sarang atau mengeraminya. Mereka bakal pergi untuk mencari makan. Hanya sesekali komodo betina datang ke sarang tersebut. Setelah enam bulan, komodo betina benar-benar akan meninggalkan telur-telur yang masih tertanam di bawah tanah.
Saat menetas, bayi komodo tidak akan melihat induknya. “Jadi mungkin saja kalau besar nanti, anak komodo itu akan mengawini atau makan ibunya sendiri,” ucap Fidel. Dari 15-30 butir telur, hanya kira-kira 2-3 komodo yang menetas. Komodo bayi akan mengorek-korek tanah dan mencari makan berupa hewan-hewan kecil, seperti serangga melata dan cicak.
Melihat Komodo di Pulau Rinca.
Untuk menyaksikan komodo di Pulau Rinca, wisatawan perlu menyewa kapal dari Labuan Bajo. Biaya sewanya berkisar mulai Rp 1 juta per kapal. Kapal muat diisi hingga sepuluh orang, termasuk awak kapal. Bila low season, seperti bulan Januari itu, kapal menuju Pulau Rinca bisa disewa dengan biaya lebih murah, yakni sekitar Rp 750 ribu per kapal.
Tugu Golong Gilik atau wisatawan sering menyederhanakan dengan sebutan Tugu Yogyakarta merupakan sebuah monumen yang dipakai sebagai lambang dari kota pelajar ini. Selain ke dua sebutan itu, ada juga penamaan sebagai Tugu Pal Putih.
Tugu yang terletak tepat di tengah perempatan Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Margo Utomo (dahulu bernama Jalan Mangkubumi) Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro, mempunyai nilai simbolis dan merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan laut selatan, kraton Jogja dan gunung Merapi. Pada saat melakukan meditasi, konon Sultan Yogyakarta pada waktu itu menggunakan tetenger ini sebagai patokan arah menghadap puncak gunung Merapi.
Tugu Golong-Gilig ini awalnya dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I, pendiri kraton Yogyakarta, pada 1755. Tugu Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton Yogyakarta berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan.
Suasana malam di Yogyakarta. Foto: shutterstock
Tugu Golong-gilik disebut demikian karena puncaknya berbentuk golong (bulat), dan gilig (silinder). Tugu tersebut tingginya 25 meter. Tugu golong-gilig berfungsi sebagai tetenger (penanda) kota dan titik konsentrasi ketika Sultan Hamengku Buwana I bermeditasi di Bangsal Manguntur Tangkil.
Tugu ini menyimbolkan keberadaan raja dalam menjalani proses kehidupannya yang dilandasi manembah manekung (menyembah secara tulus) kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan disertai satu tekad menuju kesejahteraan bersama rakyat (golong gilig).
Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig.
Semuanya berubah pada 1867. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877), tepatnya 10 Juni 1867 (4 Sapar Tahun 1796 J), terjadi gempa tektonik berskala besar di Yogyakarta. Beberapa bangunan runtuh, termasuk Tugu tersebut.
Pilar tugu patah kurang lebih sepertiga bagian. Peristiwa ini dikenang dalam candra sengkala yang berbunyi Obah Trus Pitung Bumi (tujuh bumi terus berguncang), menunjuk pada angka 1796 tahun Jawa.
Gempa yang mengguncang Yogyakarta saat itu membuat bangunan tersebut runtuh. Selama beberapa tahun Tugu Golong Gilig sempat terbengkelai.
Keadaan benar-benar berubah pada 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tersebut. Renovasi ini dilakukan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan mengubah bentuk dan tinggi yang berbeda dengan aslinya.
Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih. Ditengarai, desain baru ini merupakan strategi pemerintah Belanda untuk menghilangkan simbol kebersamaan raja dan rakyat yang ditunjukkan oleh desain tugu sebelumnya.
Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu.
Prasasti pada setiap sisi tugu yang baru tersebut, keempat-empatnya merekam proses pembangunan kembali. Di sisi barat terdapat prasasti yang berbunyi, “Yasan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Kaping VII”. Prasasti ini menunjukkan bahwa tugu tersebut dibangun (kembali) pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Di sisi timur terdapat prasasti yang berbunyi, “Ingkang Mangayubagya Karsa Dalem Kanjeng Tuwan Residhen Y. Mullemester”. Prasasti ini menyebutkan bahwa Y. Mullemester, Residen Yogyakarta waktu itu, menyambut baik pembangunan tugu tersebut. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Belanda tidak terlibat dalam pendanaan.
Di sisi selatan terdapat prasasti yang berbunyi, “Wiwara Harja Manggala Praja, Kaping VII Sapar Alip 1819”. Wiwara Harja Manggala Praja merupakan sengkalan yang menandai selesainya pembangunan Tugu Golong Gilig yang baru.
Wiwara berarti gerbang, mewakili angka sembilan. Harja bermakna kemakmuran, mewakili angka satu. Manggala bermakna pemimpin, mewakili angka delapan. Sementara Praja bermakna negara, mewakili angka satu. Dapat diartikan bahwa perjalanan menuju gerbang kemakmuran dimulai dari pemimpin negara. Sengkalan ini menunjuk pada angka 1819, sesuai dengan tahun yang ditulis di bawahnya.
Di atas tulisan tersebut terdapat lambang padi dan kapas dengan tulisan HB VII, juga lambang mahkota Belanda di puncaknya. Lambang ini adalah lambang resmi yang dipakai oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII.
Di sisi utara terdapat prasasti yang berbunyi, “Pakaryanipun Sinembadan Patih Dalem Kanjeng Raden Adipati Danureja Ingkang Kaping V. Kaundhagen Dening Tuwan Ypf Van Brussel. Opsihter Waterstaat”. Prasasti ini menyebutkan bahwa pelaksanaan pembangunan tugu dipimpin oleh Patih Danurejo V (1879-1899), dan arsitektur tugu dirancang oleh YPF Van Brussel, seorang petugas Dinas Pengairan Belanda yang bertugas di Yogyakarta.
Pada 2015, sebuah miniatur Tugu Golong Gilig dibangun pada sudut perempatan sebelah tenggara tugu. Miniatur ini dibangun sesuai desain awal tugu dan dilengkapi dengan keterangan mengenai sejarah perjalanan tugu sebagai salah satu simbol penting di Kesultanan Yogyakarta.
Pembuatan miniatur ini menjadi jalan tengah bagi kebutuhan masyarakat untuk memahami sejarah dan falsafah dari bentuk tugu hasil rancangan pendiri Yogyakarta, dan kelestarian tugu hasil desain orang Belanda yang kini telah menjadi bangunan cagar budaya sekaligus landmark kota Yogyakarta.
Tugu Yogyakarta ini kini menjadi salah satu spot objek wisata yang banyak diminati ketika wisatwan berkunjung ke kota ini. Banyak sekali para wisatawan yang selalu mengabadikan momen dengan berfoto di depan Tugu Pal Putih ini.
Buah tangan Semarang, Jawa Tengah, bisa disebut punya segudang oleh-oleh bagi mereka yang berkunjung ke sana. Bahkan sebagian sudah menjadi andalan pariwisata daerah ini, sebab banyak yang dicari oleh mereka yang sekadar melewati kota ini.
Buah Tangan Semarang
Di Semarang ada begitu banyak pilihan untuk sahabat maupun kerabat yang mungkin punya memori atas kota ini. Berikut ada lima pilihan oleh-oleh, mulai wingko, bandeng, dan moaci yang sudah terkenal sampai dengan batik dan kopi Semarang. Silakan dipilih.
Landmark-Naturalis
BATIK Indonesia tak hanya dari Solo dan Yogyakarta. Kota-kota lain di Tanah Air ini juga punya batik yang khas. Semarang, misalnya. Motif batiknya identik dengan landmark dan naturalis. Motif naturalis tersebut terinspirasi dari buah asem arang dan burung blekok. Konon nama Semarang diambil dari pohon asem yang tumbuhnya saling berjauhan tersebut. Sementara itu, motif burung blekok dicuplik dari keberadaan habitat blekok liar yang dulu banyak nangkring di kawasan Srondol, Semarang.
Sedangkan landmark menunjukkan tempat-tempat yang menjadi ikon Kota Semarang, seperti Gedung Lawang Sewu dan Tugu Muda. Belakangan, batik semarangan mengalami perkembangan yang pesat, baik
motif maupun warnanya. Di sentra batik Semarang, selembar kain batik dijual dengan harga bervariasi atau tergantung tingkat kesulitan, bahan, dan teknik yang digunakan. Batik tulis, misalnya, dihargai mulai Rp 175-950 ribu.
Batik Temawon; Kampung Batik Gedong No. 239, Semarang
Aneka Bandeng
RASANYA kurang afdal jika berkunjung ke Semarang tak membeli bandeng. Kota ini memang terkenal dengan bandengnya sejak dulu. Selain bandeng presto yang sudah terkenal, kini olahan bandeng lebih beraneka, seperti bandeng presto rasa teriyaki, sate bandeng boneless, bandeng dalam sangkar, bandeng otak-otak, bandeng duri lunak, bandeng asap duri lunak, hingga bandeng vakum.
Penggemar olahan bandeng dapat mampir wajib mampir ke pusat oleh- oleh, seperti Bandeng Juwana di Jalan Pandanaran 57 dan Jalan Pamularsih 70, Semarang. Di tempat ini, wisatawan seakan masuk ke ”surga” aneka olahan ikan bandeng yang menggoda selera. Harganya dari Rp 45-145 ribu per kilogram. Jika pembeli tak ingin repot membawanya sendiri, tersedia pula layanan pengiriman antarkota se- Indonesia.
Bandeng Juwana; Jalan Pandanaran No 57-59, Semarang
Kopi Banaran di Kabupaten Semarang. Foto: Nita/Dok TL
Kopi Banaran
DI KABUPATEN Semarang terdapat perkebunan kopi Banaran dengan luas sekitar 45 hektare. Perkebunan kopi milik PT Perkebunan Nusantara IX itu kini juga dijadikan agrowisata bagi wisatawan, lengkap dengan penginapan. Setelah melepaskan penat dan menambah pengetahuan soal kopi di perkebunan ini, pengunjung dapat pula membeli bubuk kopi di tempat tersebut sebagai buah tangan.
Bubuk kopi dikemas dalam berbagai jenis dan harga. Jenis robusta dengan aroma moka hanya dibanderol Rp 18.500 untuk kemasan 250 gram. Sementara itu, Banaran Gold Classic Blend yang terdiri dari arabika dan robusta dengan komposisi masing- masing 50 persen dijual Rp 19.500 untuk kemasan seberat 230 gram. Yang paling mahal adalah kopi luwak. Dalam kemasan 80 gram, kopi luwak Banaran dibanderol Rp 528 ribu.
Kampoeng Kopi Banaran; Jalan Raya Bawen-Solo Km 1,5 Kabupaten Semarang
Wingko Kereta
MAKANAN yang terbuat dari ketan, gula pasir, kelapa, garam, dan air ini memang sudah dikenal sebagai ikon kulinernya Semarang. Kini wingko babad yang mulai diperkenalkan pada 1946 ini dengan mudah ditemui hampir di semua toko penjual oleh-oleh khas Semarang.
Tak hanya rasa original, penganan khas Semarang itu kini menyediakan berbagai varian rasa, seperti wingko rasa nangka, wingko rasa cokelat, wingko rasa durian, dan wingko rasa pisang. Harganya dari Rp 2.400 per buah. Selain dijual per buah, wingko itu biasanya dijual pula dalam dua paket kemasan, yaitu dus kecil seharga Rp 37 ribu dan dus besar seharga Rp 56 ribu.
Wingko Babad Kereta Api; Jalan Cenderawasih 14, Semarang
Bulat Renyah
BENTUKNYa bulat dan lembut. Saat dimakan, ada kejutan gurih, renyah, dan legit. Sekilas mirip dengan moci asal Sukabumi. Tapi moci khas Semarang ini berisikan lebih banyak kacang tanah. Kalau dulu hanya ada rasa original yang bertaburkan bubuk tepung, moci kini tersedia dalam beberapa rasa baru. Ada rasa talas, stroberi, durian, cokelat, dan pandan. Selain itu, untuk taburan luarnya, ada yang menggunakan wijen.
Pembuatannya yang tanpa menggunakan bahan pengawet ini hanya mampu membuat kue ini bertahan selama satu minggu saja. Tapi kalau disimpan di dalam lemari pendingin bisa bertahan hingga 2 minggu. Per dusnya dihargai dari Rp 16 ribu (isi 10 buah), Rp 25 ribu (isi 16 buah), dan Rp 32 ribu (isi 25 buah).n
Moaci Gemini; Jalan Kentangan Barat No 101 Semarang
Keunikan rumah adat Sasak di Dusun Ende dibangun di desa dengan jumlah kepala keluarga yang tak pernah berubah. Rumah juga dibangun dengan memperhatikan sistem kekerabatan dalam menentukan lokasi.
Keunikan Rumah Adat Sasak
Dari Bandara Lombok Internasional di Praya, Lombok Tengah, hanya dalam hitungan 20 menit, pengunjung sudah bisa sampai di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, NUsa Tenggara Barat. Desa yang masih mempertahankan kampung adatnya. Bahkan menjadi tujuan wisata yang populer. Rumah-rumah suku Sasak—suku asli yang menghuni pulau ini kentara dari luar. Salah satu keunikan rumah adat Sasak bagian atap yang terbuat dari alang-alang seperti menutup bagian utama rumah. Adapun bagian ujungnya hanya 1,5-2 meter dari atas tanah.
Wisatawan bisa minta janjian dengan seorang pemandu untuk menyusuri jalan-jalan kecil dari bebatuan yang memisahkan satu rumah dengan yang lain. Cukup padat. Ada beberapa perempuan yang tengah menenun dan menjual beragam suvenir khas pulau ini. Pengunjung bisa mencermati dinding rumah yang berbahan utama bambu, demikian juga tiang penyangganya.
Jika dizinkan, cobalah memasuki sebuah rumah. Meski harus menunduk di bagian pintu masuknya, ternyata terasa lega juga di bagian dalamnya. Lubang pintu yang rendah juga ternyata mengandung filosofi, yakni para tamu hormat kepada tuan rumah.
Meski tampak sederhana, ternyata sarat akan filosofi kehidupan. Ruang utama terlihat terbagi dalam dua bagian: depan dan belakang yang posisinya lebih tinggi ketimbang depan.
Ada tiga tangga untuk menuju bagian belakang atau bale dalemsebagai salah satu keunikan rumah adat Sasak. Tangga tersebut melambangkan lahir, berkembang, dan mati serta merupakan simbol keluarga (ayah, ibu, dan anak). Ada pula pembagian ruangan yang sesuai dengan fungsinya. Seperti ruangan khusus sang ibu yang melahirkan dan khusus tempat tidur. Bahkan ada tempat khusus menyimpan harta benda dan dapur yang terdiri atas dua tungku yang menyatu dengan lantai.
Lantainya yang berwarna abu-abu terasa adem. Menurut sang pemandu, lantai dibuat dari campuran batu bata, abu jerami, dan getah pohon. Hanya, yang khas lantai akan dilumuri dengan kotoran hewan yang mereka miliki, baik itu kerbau maupun sapi, yang sudah dibakar dan dihaluskan. Justru trik tradisional itu yang membuat lantai terasa adem dan tidak mudah retak. Selain itu, dipercaya bisa mengusir rombongan nyamuk yang ingin bertandang.
Salah satu sudut rumah adat Sasak. Foto: Dok. shutterstock
Bukan hanya rumah dengan bentuk khas, suku Sasak juga mempunyai lumbung padi dengan bangunan yang khusus. Atap seperti gunungan dan tentu juga seperti atap rumah yang ditutupi dengan alang-alang. Bentuknya memang lebih unik ketimbang rumah.
Selain atap gunungan dengan bagian puncaknya yang tumpul dan bagian bawahnya yang mencuat, bale-bale yang terbuka di bagian bawahnya dapat kita temukan. Menjadi tempat penghuni dan keluarga bercengkerama. Di bale-bale itu ada tangga untuk masuk ke bagian penyimpanan padi.
Yang unik lagi, ada pula khusus rumah mungil untuk pengantin baru. “Setelah menikah, mereka akan tinggal di sana,” ujar sang pemandu. Ia menunjuk sebuah rumah yang hanya terdiri atas satu kamar.
Pengunjung pasti merasakan keunikan pasangan baru itu yang seperti berada dalam sebuah kurungan. Ada pula tradisi lama yang unik menyangkut pernikahan. Si pria atau dikenal dengan sebutan teruna akan menculik calon istrinya. Benar-benar tidak boleh diketahui oleh orang tua, seperti menculik sungguhan. Beberapa hari kemudian, keluarga pria mendatangi keluarga wanita.
Berkeliling kampung selama beberapa menit membuat pengunjung tak hanya mengenal rumah suku Sasak, tapi juga sejumlah tradisinya.
Keunikan rumah adat Sasak tak hanya di Ende. Dalam perjalanan ke Senaru, ada pula desa dengan model rumah serupa. Konon rumah tertua dari rumah adat Sasak sudah ada sejak 1089.
Rumah Adat Sasak di Sengkol, Lombok. Foto: Dok: TL/Fran
Berjarak sekitar 75 km dari Mataram, Dusun Senaru tidak sepadat Dusun Sade dan tak ramai dengan turis seperti di Lombok Tengah. Desa adat Senaru di Kecamatan Bayan, Lombok Utara, ini cenderung sepi. Ada gerbang yang menunjukkan kompleks rumah tersebut merupakan desa adat. Saya menemukan keheningan di sana, yakni jarak satu rumah dengan rumah lain tidak terlalu berdempetan seperti di Sade.
Bahkan ada tanah cukup luas hingga 2 meter buat anak-anak berlari-lari. Tidak ada riuh mobil yang lalu-lalang karena desa adat ini berada di kaki Gunug Rinjani. Hawa sejuknya terasa, siang yang sepi karena sebagian besar para pria pergi ke ladang.
Sekitar 90 persen warganya adalah petani. Tepat di sebelah gerbang desa adat, pengunjung bisa menemukan kebun kakao. Siang itu, yang ada hanya seorang kakek dan beberapa anak-anak. Akhirnya, ada ibu-ibu di bagian belakang. Merekalah yang menerangkan beberapa fungsi bangunan.
Desa adat hanya dihuni oleh 20 kepala dan dipertahankan dalam jumlah tersebut, sehingga desa adat tidak berubah menjadi padat. Ukuran rumahnya lebih besar dibanding di Dusun Sade, tapi bentuknya sama.
Dinding rumah juga terbuat dari anyaman bambu dan tanpa jendela. Ruangan terbagi atas ruang utama atau induk (inan bale), yang terdiri atas ruang tidur (bale dalam) dan bale luar yang mempunyai beberapa fungsi, seperti ruang ibu melahirkan, menyimpan harta benda, dan tempat jenasah disemayamkan. Di bagian bale dalam juga ada dapur, tempat penyimpanan makanan, dan perlengkapan.
Atapnya terbuat dari alang-alang dan bentuknya yang menggapai hingga ke bawah dengan bagian puncak datar diilhami oleh Gunung Rinjani yang bisa dicapai dari jalan setapak dekat dusun. Gunung tertinggi di Pulau Lombok ini bernilai sakral bagi suku Sasak. Di Danau Segara Anak, yang berada di Gunung Rinjani, suku Sasak kerap melakukan sejumlah upacara.
Meski berada di kaki gunung, desa adat ini berada di tanah datar. Letak rumah berdasarkan sistem kekerabatan dan orientasi matahari. Rumah satu sama lain yang berhadapan menghadap ke timur adalah hunian saudara yang lebih tua—bermakna penghormatan bagi sang kakak untuk mendapat siraman mentari pagi.
Di bagian tengahnya didirikan bangunan yang disebut berugak. Di sinilah biasanya keluarga berkumpul. Sebenarnya merupakan penghormatan atas rezeki yang diberikan Tuhan, tapi juga difungsikan sebagai ruang keluarga dan menerima tamu. Berugak bertiang empat merupakan simbol syariat Islam: Al-Quran, hadis, ijma, dan qiyas. Benar-benar sarat makna.
Reog Ponorogo selalu menjadi pertunjukan yang menakjubkan. Terutama ketika penari Barongan utamanya muncul dan ‘ndadi’, untuk memperlihatkan ia melakukan aksi yang “agak” tak masuk akal. Misalnya dengan topengnya yang sangat besar, dan pasti berat itu, di sisi kepala masih mengangkat seorang penari. Kata orang ada unsur magisnya.
Reog Ponorogo
Betulkah demikian? Kesenian yang berasal dari Ponorogo, sebuah kota dan kabupaten di sisi barat Provinsi Jawa Timur ini memang unik. Seni pertunjukan reog Ponorogo diyakini telah ada sejak abad ke-11, tepatnya pada masa kerajaan Kediri.
Kata ‘reog’ sendiri dianggap berasal dari istilah ‘angreok’ yang ditulis Mpu Prapanca dalam naskah sastra gubahannya, Nagarakertagama. ‘Angreok’ merupakan istilah yang kurang lebih merujuk kepada sebuah pertunjukan tradisional yang dulunya ditujukan sebagai penyemangat, suri teladan dan hiburan bagi rakyat. Beberapa unsur dan detail dalam pertunjukan tersebut dipercaya sebagai asal usul reog.
Festival Reog Ponorogo menjadi agenda tahunan Pemerintah Daerah Ponorogo. Foto” Pemkab Ponorogo
Jalan cerita sendratari dalam pertunjukan reog Ponorogo disebut sebagai representasi sikap protes Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan Majapahit. Ia merasa gamang atas kondisi kerajaan yang digerogoti korupsi, dan pengaruh Tiongkok, setelah raja menikahi putri Campa dari Tiongkok.
Melihat situasi tersebut, ia mulai khawatir jika Majapahit tak lama lagi akan runtuh. Dari kekhawatirannya tersebut, ia kemudian mendirikan padepokan dan merekrut anak-anak muda untuk belajar ilmu kebatinan dan bela diri.
Harapannya, anak-anak muda ini akan menjadi bibit-bibit yang mampu menumbuhkan kembali Majapahit bila suatu saat nanti benar-benar runtuh. Kendati demikian, ia masih merasa jumlah murid asuhannya masih tak cukup banyak bilamana terjadi pertempuran.
Oleh karena itu, ia berusaha untuk memobilisasi rakyat lewat pertunjukan seni yang memuat nilai dan pesan politis mengenai kondisi kerajaan kala itu. Beberapa penokohan yang terdapat di pertunjukan ini kemudian menjadi cikal bakal unsur kesenian reog kini.
Dalam pertunjukan tersebut, terdapat penari Barongan dengan topeng singa yang memiliki bulu-bulu merak, sehingga menyerupai kipas. Ini merupakan representasi dari raja dan kerajaan yang sedang banyak dipengaruhi oleh kepentingan orang-orang asing.
Kemudian ada penari Jathilan, yang tampil dengan menggunakan kuda-kudaan, sebagai representasi pasukan kerajaan. Mereka digambarkan bertarung melawan penari Warok, yang berdandan serba hitam dengan topeng, sebagai simbol Ki Ageng Kutu dan muridnya.
Pertunjukan sendratari ini terbukti populer dan sangat diterima oleh rakyat pada saat itu, hingga terdengar oleh kerajaan. Mengetahui potensi niat pemberontakan, pertempuran pun pecah dan Ki Ageng Kutu beserta muridnya mampu dikalahkan.
Salah satu pertunjukan Reog Ponorogo. Foto: Kemenparekraf
Namun demikian, kesenian tersebut telah mendapat tempat di hati rakyat. Sehingga pada perkembangannya, pertunjukan seni ini terus diadakan walaupun terdapat modifikasi pada alur cerita dan penokohannya.
Ada pula versi yang menyebut bahwa kesenian serupa reog yang berasal dari era kerajaan Kediri dan memiliki jalan ceritanya sendiri. Versi ini menyebut bahwa kisah sendratari ini terinspirasi dari kisah antara kerajaan Kediri dan Bantarangin.
Diceritakan, Prabu Klanasewandana adalah raja dari kerajaan Bantarangin yang bermaksud untuk mempersunting Dewi Sanggalangit, putri dari kerajaan Kediri. Tetapi pihak kerajaan Kediri pada saat itu masih merasa tak berkenan dan enggan memberi restu.
Akhirnya mereka mengajukan syarat, siapapun yang ingin menikahi sang putri harus mengalahkan pasukan Singo Barong, yang digambarkan berwujud singa berbulu merak. Prabu Klanasewandana lantas menghadapinya dengan pasukan Jathilan dan Warok.
Jathilan digambarkan sebagai pasukan kerajaan yang kewalahan melawan para Singo Barong, sedangkan Warok disebut memiliki ilmu kebatinan yang mampu menandingi dan membantunya mengalahkan Singo Barong tersebut. Ada pula tokoh Bujang Ganong sebagai patih kerajaan.
Prabu Klanasewandana kemudian membawa beberapa Singo Barong tersebut sebagai mas kawin. Akhirnya ia mendapat restu dan pesta pernikahan pun dilangsungkan. Versi cerita inilah yang boleh dibilang paling lazim dipentaskan dalam setiap pertunjukan reog saat ini.
Penari Jathilan pada Reog Ponorogo. Foto: Kemenparekraf
Ada pula kepercayaan warga Ponorogo bahwa reog merupakan kesenian yang berlandaskan ritual penolak bala. Kepercayaan ini menganggap bahwa seni tari dengan menggunakan topeng berwujud setengah singa setengah harimau dapat menghalau hal-hal buruk.
Wujud topeng tersebut adalah representasi dari roh ‘penjaga’ yang telah ada sejak Ponorogo masih berupa hutan belantara dulu. Sehingga dalam perkembangannya, ritual ini berevolusi dan dilestarikan menjadi kesenian reog.
Pada era sekarang ini, reog Ponorogo dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah reog obyog, yakni reog yang cenderung lebih sederhana dan tidak terlalu berpaku pada satu versi cerita. Biasanya reog obyog banyak ditemukan di pedesaan, misalnya pada hari besar atau hajatan tertentu.
Versi yang kedua adalah reog festival, yaitu reog yang biasanya sudah dilatih untuk mengikuti salah satu versi, serta umumnya lebih profesional, utamanya dari segi peralatan. Reog jenis ini tampil pada acara resmi, misalnya pada gelaran Festival Reog.
Festival Reog sendiri adalah acara yang digelar setahun sekali sejak 1997 oleh pemerintah kota Ponorogo. Tujuannya tentu untuk memberi panggung bagi para penampil reog dan mempromosikan kesenian reog sebagai jati diri Ponorogo.
Walaupun punya jenis dan tafsiran yang berbeda-beda, namun secara umum ada beberapa hal yang serupa bagi semua versi. Misalnya, penari Warok biasanya adalah laki-laki berjumlah minimal enam hingga delapan orang, berdandan serba hitam dan bertopeng.
Sedangkan penari Jathilan adalah perempuan berjumlah minimal enam hingga delapan orang, dengan aksesoris kuda-kudaan. Dulu Jathilan diperankan laki-laki dengan dandanan dan tarian yang feminin, namun seiring perkembangan jaman peran ini kini dilakoni oleh perempuan.
Adapun Singo Barong memiliki topeng yang terbuat dari bulu burung merak dan kulit harimau. Ukurannya sangat besar, dengan ukuran panjang sekitar 2,25 meter dan lebar kurang lebih 2,30 meter. Bobotnya pun tergolong berat, berkisar antara 50 sampai 80 kg.
Yang menarik, topeng ini ditopang oleh penarinya dengan gigi. Penari Singo Barong biasanya sudah sangat terlatih, bahkan konon diwajibkan untuk memperdalam ilmu spiritual dengan cara berpuasa, bertapa dan lain sebagainya.
Untuk mengiringi pertunjukan reog, musik pun dimainkan menggunakan beragam alat musik tradisional. Mulai dari kenong, saron, bonang, kempul, gong, kendang, ketipung, angklung, dan slompret.
Hingga saat ini, reog Ponorogo masih terhitung sebagai salah satu kesenian tari tradisional Indonesia yang paling populer. Bahkan populasi di negara lain seperti Malaysia dan Suriname yang notabene masih keturunan Jawa, juga didapat membawa dan mementaskan kesenian ini.
Maka tak heran bila organisasi kebudayaan PBB yakni UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menetapkan reog Ponorogo sebagai salah satu warisan budaya nonbenda. Sebuah kesenian yang hingga kini lekat sebagai ikon kota Ponorogo.
Bau Nyale adalah sebuah perayaan tentang cacing atau nyale merupakan perwujudan putri yang menyerahkan diri dan cintanya kepada rakyat.
Bau Nyale
Pantai Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang pernah saya singgahi beberapa tahun lalu, terasa berbeda kali ini. Keramaian ada di mana-mana. Wajar saja jejeran pantai dari Tanjung Aan hingga Kuta itu terasa riuh. Sebab, saya datang menjelang Upacara Bau Nyale. Ritual tahunan yang digelar saat bulan purnama antara Februari dan Maret bahkan telah dikemas menjadi satu festival. Bau dalam bahasa Sasak berarti menangkap, sedangkan nyale bermakna cacing. Kegiatan utamanya memang memburu cacing saat air laut surut.
Tradisi menangkap cacing yang muncul dari lubang-lubang karang di Pantai Seger maupun Kuta ini bermula dari legenda masyarakat di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Pada zaman dulu, Kerajaan Mandalika, yang berada di daerah itu, memiliki seorang putri yang elok dan memikat sejumlah pangeran. Namun sang putri tidak mau menimbulkan pertumpahan darah akibat masalah cinta.
Ia memutuskan untuk terjun ke laut dari bukit yang berada di Pantai Seger atau dikenal juga sebagai Pantai Mandalika. Lokasinya bersebelahan dengan Pantai Kuta. Dengan cara itu, ia bisa membagi dirinya untuk pangeran yang mencintainya dan juga rakyatnya. Setelah tubuh Putri Mandalika ditelan ombak, muncullah cacing berwarna-warni dari batu karang. Masyarakat setempat meyakini cacing itu jelmaan sang putri.
Nah, setiap tahun, perwujudan sang putri itu selalu muncul di laut pada hari kelima purnama bulan 10 kalender Sasak. Tahun ini, Upacara Bau Nyale digelar pada 19-20 Februari. Namun kini lebih berfokus pada masa Bau Nyale Poto (akhir bau nyale) daripada Bau Nyale Tunggak (awal bau nyale) seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sebenarnya acara menangkap cacing dilakukan juga di sejumlah pantai di Lombok. Setidaknya, ada 16 titik untuk menjaring nyale. Hanya, karena legendanya tumbuh di Pantai Seger, festival selalu dipusatkan di kawasan Kuta. Sebelumnya, sejumlah kegiatan dan ritual digelar. Para tarune (pemuda) menjajal aneka lomba tradisional, di antaranya, bertarung dalam presean—sejenis bela diri dengan senjata sebilah tongkat rotan. Dilengkapi juga dengan tameng dari kulit sapi. Presean digelar di tepi pantai. Suasananya riuh karena teriakan orang berbaur dengan gendingpengiring pertarungan yang terdiri atas dua gendang dan masing-masing satu set petuk, rencek, gong, dan seruling.
Tidak jauh dari Tanjung Aan, yang berada di sebelah Pantai Seger, saya menemukan pacuan kuda anak-anak. Areanya yang besar membikin saya lebih leluasa menyaksikan pacuan kuda dari jauh. Rasanya miris juga menyimak dari dekat. Tanpa pelana dan perlindungan ala kadarnya, sejumlah bocah berusia 9-13 tahun memacu kuda. Peserta datang dari berbagai desa, bahkan juga dari Sumbawa.
Esoknya, saya menemukan keriuhan lain di lobi sebuah hotel di kawasan Kuta. Dung-dung-dang-dang-jreng! Suara tersebut begitu nyaring tertangkap telinga. Terlihat rombongan pria berbalut seragam berupa pakaian tradisional suku Sasak. Mereka rupanya menyambut tetamu hotel. Masing-masing membawa perangkat musik. Mulai gendang beleq (besar), gendang kecil, gong, hingga seruling. Kebanyakan grup gendang beleq terdiri atas belasan kru, dengan semua pemain laki-laki.
Menjelang Festival Bau Nyale, keramaian memang tak putus-putus. Di kampung-kampung pun warga membuat penyambutan. Mereka memotong ayam, lalu memanggang dan memadukannya dengan ketupat. Ini suguhan wajib yang telah menjadi tradisi. Sore hari, suasana kian ramai di sepanjang Pantai Tanjung Aan hingga Kuta. Warga dari berbagai penjuru Lombok berdatangan. Turis-turis pun tak mau kalah ikut nimbrung.
Langit semakin gelap, saya melihat air laut surut semakin jauh. Meski perburuan cacing yang dikenal dengan nama nyale oleh warga setempat mulai dilakukan dinihari, obor-obor di tepi pantai sudah terlihat. Ada juga orang yang mencari peruntungan lebih awal. “Kadang memang nyale sudah mulai bermunculan pas matahari tenggelam, tapi yang benar-benar banyak nanti pukul 03.00 atau 04.00 gitu,” ujar Adi, warga Desa Rimbitan, Pujut, yang setiap tahun ikut berburu nyale.
Saya pun memilih beristirahat agar benar-benar bisa ambil bagian dalam perburuan cacing yang memiliki nama Latin Polychaeta dan hidup di dasar laut itu. Jenis cacing ini muncul ke permukaan laut atau muara setahun sekali untuk berkembang biak. Namun warga Lombok mengaitkannya dengan legenda Putri Mandalika.
Festival Bau Nyale telah menjadi sarana promosi wisata Lombok Tengah, sehingga tradisi pun dikemas dengan rangkaian hiburan. Tidak hanya dendang khas suku Sasak dan drama tentang Putri Mandalika, tapi juga ada penyanyi-penyanyi dari luar kota. Setelah berbagai keramaian di panggung, warga berburu cacing pada pukul 04.00. Di tengah kegelapan, saya ikut beramai-ramai dengan warga menuju Pantai Seger.
Jalan menuju pantai bukan pasir nan mulus seperti dua pantai di sebelahnya, Kuta dan Tanjung Aan. Berada di antara bukit kecil, jalannya agak berliku. Pantainya penuh dengan batu karang. Ketika air surut, pulau kecil di depannya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Dan saat surut itulah dari batu karang muncul cacing berwarna-warni, seperti hijau dan kuning.
Seolah diberi aba-aba, warga semakin maju ke tengah pantai. Mereka membungkuk, mengorek-ngorek batu karang, lalu menjumput cacing dan memasukkannya ke botol, ember, atau wadah lain yang dibawa. Kebanyakan warga mengolah cacing ini dengan cara dipepes. Ketika mentari mulai muncul, sedikit demi sedikit orang mundur dengan ember atau botol berisi cacing. “Kalau dapatnya sedikit, nanti di pasar juga suka ada yang jual,” ujar Adi, sembari menyebutkan bahwa hidangan dari cacing ini rasanya memang luar biasa. Waaah! l
Lokasi lain untuk berburu nyale
1. Pantai Kaliantan, Lombok Timur
2. Pantai Sekongkang, Sumbawa Barat
3. Pantai Wanukaka, Sumba Barat
Info
1. Akomodasi saat digelar Festival Bau Nyale di Lombok Tengah selalu penuh. Jadi, pesanlah kamar sejak jauh-jauh hari agar bisa mendapatkan hotel yang lokasinya tidak jauh dari pantai tempat festival digelar.
2. Deretan Pantai Tanjung Aan, Seger, dan Kuta berada di Lombok Tengah, yang bisa dicapai dari Bandara Internasional Lombok dalam 30 menit.
3. Datanglah minimal tiga hari sebelum festival, sehingga Anda bisa menyaksikan berbagai atraksi tradisional. Di sekitar kawasan Kuta juga terdapat beberapa pantai lain yang layak dikunjungi, seperti Pantai Mawun, Teluk Gerupuk, Pantai Selong Belanak, dan Pantai Mawi. Selain itu, ada Desa Sade dan Desa Sukarara, yang dikenal dengan adat dan kerajinan tradisionalnya.
D’Lempis sebuah komunitas yang unik: mereka yang hobi melempar pisau. Namun, ini bukan aksi sok pamer, melainkan justru cara melatih konsentrasi yang mengasyikkan.
D’Lempis
Kakinya melangkah mantap memasuki arena. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Sedangkan di pinggangnya tergantung sebuah sarung kulit yang memuat tiga bilah pisau. Langkah pria bernama Ellen Ramlan itu terhenti sekitar 2 meter di depan target lingkaran. Ia langsung memasang kuda-kuda.
Matanya menyorot tajam target di depannya. Sebilah pisau kini sudah berada dalam genggamannya dan siap dilempar. Clebs… Pisau menancap tepat di tengah target lingkaran. Begitu pula dengan pisau kedua dan ketiga. Clebs dan clebs.
Selintas terlihat mudah. Saya pun tertarik mencobanya. Hasilnya? Sungguh sangat mengecewakan. Tak ada satu pun pisau yang tepat sasaran. ”Memang harus sering berlatih,” ujar Ellen Ramlan, Ketua D’ Lempar Pisau Indonesia (D’Lempis) di Bandung, Jawa Barat.
Seorang pemula, kata pria yang akrab disapa Chief oleh rekan-rekannya itu, membutuhkan waktu paling tidak 30 menit agar lemparan pisau dapat tertancap pada target. ”Hanya tertancap dan belum tepat mengenai sasaran. Dibutuhkan latihan, konsentrasi, kondisi fisik, serta psikis pelempar yang prima,” ia menjelaskan.
Menurut Ellen, ada beberapa teknik memegang pisau yang harus dikuasai. Sebab, hal tersebut berkaitan erat dengan jarak lempar. Pegangan pada gagang cocok untuk jarak ganjil, misalnya 3 meter, 5 meter, 7 meter, dan seterusnya. Adapun pegangan pada bilah pisau (blade) cocok untuk jarak genap, seperti 2 meter, 4 meter, 6 meter, dan seterusnya.
”Posisi kaki juga harus diperhatikan,” ucap Ellen, mengingatkan. Jika si pelempar terbiasa menggunakan tangan kanan, kaki kiri harus berada di depan. Begitu pula sebaliknya. Hal ini dilakukan guna meminimalkan risiko kaki terluka jika pisau terlepas atau jatuh.
Meski selintas terlihat menyeramkan, olahraga lempar pisau ini justru melatih konsentrasi dan memberikan keasyikkan tersendiri. ”Banyak efek positif yang dapat diraih, di antaranya adalah melatih konsentrasi, emosi, dan koordinasi gerak tubuh. Ya, mirip dengan olahraga biliar dan golf,” kata Arri Alkatiri, bagian humas D’Lempis.
Anggota D’Lempis dalam sebuah acara di Bandung, Jawa Barat. Foto: Dok. D’Lempis
Tak mengherankan jika animo penggemar lempar pisau tumbuh sangat pesat. Selain pusatnya berada di Bandung, Arri menyebutkan chapter D’ Lempis ada di Lampung, Jakarta, Bekasi, Yogyakarta, Kolaka (Sulawesi), Tasikmalaya, Cilegon, Solo, Malang, Samarinda, dan Manokwari.
Para anggota terdiri atas berbagai profesi, mulai mahasiswa, karyawan, dosen, guru, fotografer hingga ibu rumah tangga! Hah, ibu rumah tangga? Ya, salah seorang yang sempat saya temui adalah Lily Hitler. Perempuan berusia 50 tahun ini awalnya mengaku hanya mengantar anaknya, Zulfikar Aria Ramadhan, untuk berlatih lempar pisau. Namun saat mencobanya, dia mengaku ketagihan. ”Olahraga ini selain melatih ketangkasan, juga mampu melepaskan kejenuhan,” ujarnya.
Pembentukan komunitas ini, kata Ellen, memang sengaja dilakukan guna merangkul orang-orang yang memiliki hobi melempar pisau. Melalui wadah ini pula, ia menambahkan, setiap anggota bisa saling berbagi berbagai hal mengenai dunia melempar pisau, dari trik melempar, jarak melempar pisau, pemahaman tentang cara memegang pisau dengan benar, hingga meminimalkan penggunaan pisau untuk kejahatan.
Ke depan, Ellen berharap olahraga lempar pisau ini dapat menjadi salah satu cabang olahraga yang resmi dipertandingkan baik di tingkat nasional maupun internasional. Komunitas ini sejatinya sudah berdiri sekitar 1987. Awalnya, komunitas ini didirikan oleh para mahasiswa seni rupa Institut Teknologi Bandung yang mengisi waktu luang setelah kuliah. Lama-kelamaan hobi tersebut berkembang dan terbentuklah komunitas D’Lempis.
Kegiatan demikian sempat vakum lama dan baru mulai aktif lagi pada 2010. ”Pada saat itu juga, D’Lempis membuka anggota untuk umum,” kata Arri. Hingga saat ini, baik calon anggota maupun anggota komunitas D’Lempis sudah lebih dari 1.000 orang. Dalam menyaring anggota, D’Lempis cukup ketat. Calon anggota akan dinilai dalam tiga bulan pertama. ”Penilaian meliputi dedikasi, peningkatan kemampuan, hingga kejiwaan,” kata dia.
Menurut Arri, penilaian faktor kejiwaan sangat penting. Sejak awal dibuat aturan tegas untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Para anggota didoktrin untuk tidak melukai makhluk hidup ataupun yang menyerupai makhluk hidup dengan menggunakan pisau lempar atau alasan apa pun. ”Bahkan, kami melarang setiap anggota melempar pisau ke pohon,” tuturnya.
Setelah lulus, calon anggota akan resmi dilantik menjadi anggota dalam komunitas yang resmi terdaftar dan diakui oleh International Knife Throwers Hall of Fame yang bermarkas di Austin, Texas, itu. Pada saat itu pula, kata Arri, mereka telah resmi menjadi “warga negara logam”.
Kayak arus deras adalah alternatif jika ingin memompa adrenalin di derasnya arus sungai. Selain arung jeram yang sudah lama dikenal, olahraga atau aktivitas ini kian digemari. Untuk memulainya, minimal punya pengetahuan soal teknik dasar olahraga kayak.
Kayak Arus Deras
Arus Sungai Cipunagara, Subang, Jawa Barat, mengalir sangat deras. Seakan tak rela dilintasi benda apa pun. Siapa saja yang melintas niscaya diempas kuat-kuat. Bagi kayaker, arus yang memicu adrenalin ini justru menggoda untuk dikalahkan. Berbekal teknik dan kegigihan, seorang kayaker mencoba melintas. Yup, bukan main, ia berhasil melewati derasnya arus sungai dengan tingkat jeram tinggi tersebut. Luar biasa!
Kayak arus deras memang tidak sepopuler arung jeram di sungai. Medan yang cukup sulit dan risiko tinggi, seperti tenggelam, mungkin menyebabkan olahraga ini tidak punya banyak penggemar. Atas dasar itulah Muhammad Ihsan, Tedy Bugiana, dan Ira Shintia, dibantu Toto Triwidarto, Puji Jaya, Agus Hermansyah, serta Sigit Setianto dari Sekolah Kayak Tirtaseta, mendirikan Bandung Kayak Community (BKC).
“Keberadaan BKC ini sebenarnya hanya untuk mencoba menghimpun penggemar dan peminat serta berupaya memasyarakatkan olahraga kayak arus deras,” kata Kang Ihsan—panggilan Muhammad Ihsan suatu kali. Komunitas yang didirikan Januari 2012 itu biasanya memanfaatkan liburan akhir pekan dengan mendatangi sungai-sungai yang berada di sekitar Bandung. Di antaranya Sungai Cipunagara dan Ciherang di Subang, Sungai Cimanuk di Garut, dan Sungai Ciwulan di Tasikmalaya.
Jika menyambangi lokasi yang relatif jauh dari Bandung, para anggota komunitas biasanya berkoordinasi terlebih dulu untuk mendiskusikan segala hal yang berhubungan dengan pengarungan, transportasi, dan urusan teknis lainnya. Sedangkan untuk latihan rutin, BKC melakukannya di Sungai Cikapundung, yang masih berada di Kota Bandung.
Hingga saat ini komunitas yang bermarkas di Jalan Dago Hegar, Bandung, itu memiliki 45 anggota. Yang paling muda berusia 10 tahun, sementara yang paling tua 50 tahun. Profesi anggotanya beragam. Dari pelajar sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, mahasiswa, hingga pekerja profesional. Ada juga perempuan.
Seorang kayaker sedang berusaha melintasi arus deras. Foto: Dok. Bandung Kayak Community.
Untuk bergabung dalam komunitas ini, tentu ada persyaratannya. Yang pasti, tidak wajib memiliki peralatan kayak sendiri. Maklum, peralatan kayak belum diproduksi di dalam negeri. BKC biasanya menyediakan peralatan kayak yang dimiliki anggota lainnya untuk digunakan bersama-sama saat latihan dan pengarungan. Menurut Kang Ihsan, sejatinya siapa pun boleh bergabung dengan BKC—sebagai organisasi berbasis komunitas. Namun sebaiknya, Kang Ihsan menyarankan, calon anggota pernah mengikuti kursus kayak bersertifikat atau alumnus sekolah kayak.
Namun bagi calon anggota yang belum pernah kursus kayak, tak usah khawatir. BKC juga mendirikan sekolah khusus kayak. Sekolah Kayak BKC namanya. Di sekolah yang didirikan lewat kerja sama dengan Sekolah Kayak Tirtaseta dari Purbalingga ini, ada pelajaran soal teknik kayak, seperti membalikkan kayak sendiri ketika terbalik (rolling), menyelamatkan diri (self-rescue), dan mendayung maju-mundur (eddies-in and eddies-out).
Pelatihan kayak tingkat dasar dilakukan selama tiga hari dan terdiri atas beberapa sesi. Sesi pertama, biasanya diadakan di kolam renang untuk membiasakan diri dengan air. Namun sesi-sesi berikutnya dilakukan di sungai. Dalam pelatihan tersebut, para peserta diharapkan menguasai setidaknya 95 persen kurikulum pelatihan. Untuk dapat mengikuti pelatihan tersebut, setiap peserta hanya dikenai biaya Rp 1,5 juta. Khusus pelatihan di sungai, para peserta akan dibawa ke Sungai Cipunagara, Subang.
Hingga saat ini Sekolah Kayak BKC sudah menghasilkan lima angkatan. Mayoritas lulusannya langsung bergabung dengan BKC. Tak mengherankan jika BKC selalu diidentikkan dengan Sekolah Kayak BKC. Padahal, menurut Kang Ihsan, siapa pun bisa menjadi anggota BKC. “Cuma kebetulan, BKC mayoritas diisi lulusan dari Sekolah Kayak BKC.”
Di usianya yang relatif masih muda, BKC terus menata organisasi. “Insya Allah, ke depan akan disusun lebih baik lagi. Mengingat jumlah anggota yang sudah semakin banyak,” ujar Kang Ihsan. Yang terpenting, ia menambahkan, olahraga kayak arus deras mendapat tempat di hati warga Bandung, sehingga bisa dikembangkan bersama-sama. Ayo, dayung terus!
Tari kecak rasanya salah satu seni tari tradisional Bali yang sudah sangat popular. Di Tengah acara G20 di Bali November 2022 ini, rasanya seni ini yang akan mendapat cukup banyak perhatian, selain tari Pendet yang ditampilkan untuk menyambut para tamu negara. Tetapi mungkin belum banyak yang mengetahui makna spiritual yang menjadi alasan ikon budaya pulau Dewata ini menjadi tradisi yang terus dilestarikan hingga kini.
Tari Kecak
Secara umum, tari kecak merupakan seni tari yang diperagakan oleh sejumlah laki-laki yang duduk melingkar. Jumlah penari ini bisa mencapai puluhan hingga ratusan orang, ditambah beberapa penari yang tampil di tengah-tengah para penari laki-laki yang melingkar tersebut.
Penari-penari yang tampil di tengah lingkaran tersebut lantas menampilkan sendratari epos Ramayana, yakni kisah Rama yang berupaya menyelamatkan Shinta dari Rahwana. Dalam upayanya ini Rama dibantu pasukan kera yang dipimpin Hanoman.
Para penari yang melingkar itu adalah representasi dari pasukan kera tersebut, sebagai latar dari lakon yang diperagakan. Para penari biasanya akan tampil dengan kain kotak-kotak yang dikenakan seperti sarung di pinggang, tanpa mengenakan baju.
Tari Kecak Bali merupakan bagian dari cerita Ramayana. Foto: DOk. Kemenparekraf
Sebagai latar lakon yang dipertunjukkan, para penari tersebut kemudian akan menari dengan mengangkat tangannya ke atas dan menggoyangkannya ke kanan atau ke kiri, sambil berseru kata ‘cak’, atau ‘cak-cak’ berulang kali secara berirama. Bagi telinga awam, seruan ‘cak’ yang berulang inilah mengapa tari ini kemudian lazim disebut tari kecak.
Dalam pertunjukan tari ini, tidak ada alunan musik dari alat musik yang dimainkan untuk mengiringi jalannya pertunjukan. Hanya ada suara kerincing yang dipakai di kaki dan tangan para penari di dalam lingkaran, serta tentunya seruan ‘cak’ dan ‘kecak’ yang khas itu. Kadang ditambah tiruan gamelan dari mulut para penari. Semacam acapela.
Di balik lakon bertema pewayangan Hindu tersebut, tari kecak disebut punya keterkaitan dengan seni tradisional Bali lainnya, yaitu ritual tari sanghyang. Ritual ini merupakan perpaduan unsur mistik dengan kepercayaan luhur masyarakat Bali.
Ritual ini diyakini telah ada sejak masa pra-Hindu di wilayah Bali. Pada dasarnya, para penampil ritual ini adalah orang-orang yang disebut tidak sadarkan diri dan disusupi oleh hyang (roh), sehingga dapat bergerak dan menari sendiri tanpa terkendali.
Bahkan, para penari ritual tersebut dapat menginjak api sambil menari atau melakukan gerakan tarian yang tak lazim dilakukan manusia pada umumnya. Konon, ini merupakan cara berinteraksi secara spiritual dengan sang Pencipta, meminta agar dihindarkan dari keburukan.
Ritual ini pun sejatinya bukanlah sebuah pertunjukkan yang marak dipertontonkan untuk umum, karena nilai sakralnya. Biasanya ritual ini dilakukan pada situasi tertentu yang dianggap mencemaskan, seperti saat serangan wabah penyakit, dan lain sebagainya.
Tari Kecak dibawakan oleh puluhan hingga ratusan penari. Foto: Shutterstock
Tari kecak sendiri secara mendasar juga ditujukan sebagai ritual penolak bala. Beberapa elemen dari ritual tersebut seperti beberapa penari-penarinya yang juga dirasuki dan menginjak bara api, serta sesajen juga kerap terdapat pada pementasan tari ini.
Selain itu, penampilan kisah Ramayana dalam pertunjukannya juga mengandung pesan moral seperti usaha dan perjuangan yang pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan. Serta pentingnya untuk tidak serakah, pun selalu ingat dan berserah diri kepada sang Pencipta.
Menurut sejarahnya, tari kecak mulai dipopulerkan pada tahun 1930-an. Semua berawal ketika Walter Spies, seorang seniman asal Jerman yang tinggal di Bali sedang mendalami kesenian tradisional setempat, termasuk ritual tari sanghyang.
Ritual tersebut meninggalkan impresi yang mendalam baginya, sehingga ia kemudian berdiskusi dengan temannya, seorang seniman tradisional Bali bernama I Wayan Limbak. Mereka lantas berkolaborasi dan mengaransemen pertunjukan tari kecak seperti yang dikenal saat ini.
Kala itu, I Wayan Limbak sendiri tengah mengembangkan gerakan-gerakan baru pada tari baris, yakni tari tradisional Bali yang berakar pada tari perang di masa lalu, sebagai tanda pemuda-pemuda dianggap sudah dewasa dan siap bertarung. Tari ini biasanya diiringi oleh gamelan.
Dari kolaborasi itu, tercetus ide untuk mengintegrasikan gerakan yang tengah dikembangkan tersebut ke dalam sendratari Ramayana. Namun alih-alih diiringi gamelan, penampilan tersebut kemudian diiringi oleh seruan ‘cak’ dan ‘kecak’ yang berirama, layaknya sebuah ritual.
Irama tersebut lantas diatur oleh aba-aba seseorang di dalam kumpulan lingkaran tersebut layaknya seorang konduktor. Seseorang lainnya kemudian bernyanyi sesuai alur ceritanya, didampingi oleh sang dalang yang menarasikan jalan cerita.
Setelah aransemen secara keseluruhan telah jadi, tari ini kemudian dipertunjukan kepada umum di beberapa desa, utamanya di wilayah Gianyar. Setelah populer, kini tari ini dipentaskan di berbagai tempat lainnya, seperti Uluwatu, Tanah Lot, dan Garuda Wisnu Kencana.
Rama dan Sinta sebagai bagian pergelaran Tari Kecak. Foto: unsplash
I Wayan Limbak juga sempat membawa pertunjukan tari ini ke berbagai negara-negara lain, sehingga banyak turis mancanegara yang tertarik untuk melihat pentas tari ini secara langsung. Dewasa ini, tari kecak juga kerap jadi pertunjukan dalam festival atau perayaan tertentu di Bali.
Kendati terkadang dipertunjukkan pada siang atau malam hari, tari kecak idealnya dipentaskan pada waktu petang saat matahari terbenam, kira-kira jam 18.00. Terutama jika pengunjung menonton di pura-pura seperti di Uluwatu atau Tanah Lot.
Yang menarik, tari kecak bisa dibilang masih merupakan salah satu seni tradisional yang sangat dibanggakan dan dijaga oleh masyarakat Bali. Banyak dari para penarinya yang sehari-hari merupakan pekerja di berbagai bidang lain.
Setelah selesai bekerja, mereka baru tampil sebagai penari kecak. Meskipun umumnya mereka juga mendapat penghasilan dari tiket penonton yang kerap kali ramai, tetapi justru semangat mereka lebih kepada usaha melestarikan kebudayaan Bali yang begitu ikonik ini.
Terlebih dengan nilai-nilai ajaran Hindu yang terkandung di dalamnya, serta kepercayaan luhur agar terhindar dari hal-hal buruk, membuatnya menjadi kesenian yang sangat lekat dan dipegang teguh oleh masyarakat Bali hingga kini.