Tanjidor Grup 3 Saudara Mengalun Ikuti Zaman

Tanjidor grup 3 saudara, warna kesenian Betawi

Tanjidor Grup 3 Saudara mengalun mengikuti zaman, meskipun kini kian jarang meramaikan pesta pernikahan, tapi dinanti di acara-acara kantor pemerintahan.

Tanjidor Grup 3 Saudara

Suara piston, trombon, dan klarinet khas musik Betawi itu kerap terdengar saat saya tinggal di sekitar Rawa Belong, Jakarta Barat, pada 1990-an. Kala ada tetangga yang menggelar pesta pernikahan, lantunan lagu-lagu lawas dari kesembilan pemain tanjidor pun langsung mengundang warga untuk datang. Asyiknya menyaksikan pengantin dan tentunya para seniman bercelana pangsi dengan sarung di leher yang memainkan alat-alat musik jadul.

Kian lama kian jarang terdengar. Hingga saya temukan kembali di panggung di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, juga acara budaya, dan tentunya yang mencuat manakala ibu kota negeri ini merayakan ulang tahunnya. Tanjidor atau tanji, demikian Sait, 71 tahun, dari kelompok tanjidor Tiga Saudara, menyebutnya. Sebenarnya yang asli, menurut dia, adalah tanji. “Ciri khas tanji itu seragam. Terus harus lengkap ada sembilan orang,” katanya. Menjadi tanjidor kalau ada tambahan sinden. “Sinden itu jidoran, ada ngibing juga,” ia menambahkan.

Grup Tiga Saudara yang berdiri sejak 1973 itu kadang-kadang diminta tampil lengkap dengan penyanyi dan penari, yang biasanya diambil dari sanggar lain. Kadang tak melulu penari Betawi. Ada juga jaipongan, dan tentunya tembang-tembang Sunda untuk pengiringnya.

Para pemainnya umumnya berjumlah 7-9 orang. Instrumen yang digunakan adalah piston, klarinet, tenor, trombon, bas, tambur, beduk, panil, dan kecrek. Namun secara umum dibagi dua jenis, yakni alat musik tiup dan pukul, meski ada juga perkusi, yang diwakili oleh kecrek. Dalam komposisi yang lebih lengkap, ditambahkan gong dan kempul.

Yang menjadi ciri khas adalah bas. Bentuknya melingkar dan, saat pemainnya beraksi, alat musik itu membelit tubuh. “Tenaganya harus gede,” ujar Saman, sang peniup. Alat ini pun termasuk barang paling antik di antara perangkat yang ada. Sudah beberapa kali diperbaiki karena tak menghasilkan suara yang prima lagi. Di dekat logonya, ada merek dan tahun produksi—MJH Kessels “Jilburg” Bass 1894. Benar-benar sudah kuno.

Gampang-gampang susah memainkan orkestra tanjidor. Itu karena tanjidor tak ada partitur khusus, yang bisa mempermudah ketika mempelajarinya secara sistematis. Lagu dan iramanya diwariskan dari generasi ke generasi berdasarkan pengalaman mendengar dan merasakan. “Iramanya di hati kita sendiri,” ujar Sait. Karena itu, menurut dia, latihan menjadi hal utama. “Kalau latihan semalam dua jam saja, seharusnya dua bulan udah bisa satu lagu,” katanya meyakinkan. Sayangnya, tak semua pemuda dan anak-anak telaten dalam soal ini. Meski demikian, kini di markas grup tanjidor di Gang Kecapi, Jagakarsa, tak hanya pemain berusia 60-an yang berkumpul, tapi para pemuda pun mulai tampil.

Sait menyebutkan, lagu-lagu yang paling sering dibawakan adalah lagu-lagu Betawi dan Sunda, seperti Jali-jali dan Kicir-kicir. Namun biasanya setiap pertunjukan akan dibuka dengan maras. Lagu-lagu yang dibawakan memang lagu lama, tidak ada lagu baru. Dari alat musik yang tersedia pun tak bisa lahir tembang anyar. Dulu, memang ada lagu-lagu campuran, seperti Portugis dan Belanda, tapi kini sudah tak lagi dilantunkan.

Biasanya, pentas terbagi dalam dia sampai tiga babad yang membawakan maras, kemudian disusul lagu-lagu Betawi, ditambah tembang Sunda. “Biasanya dari jam 9 pagi sampai 4 sore. Lagu Betawi biasanya di pembukaan,” Sait menuturkan. Cuma, memang, jadwal mentasgrup tanjidor semakin jarang. Kebanyakan penyelenggara keriaan di kampung-kampung Betawi saat pernikahan dan khitanan memilih organ tunggal atau orkes dangdut. “Kalah dah bersaing dengan dangdut,” ujarnya.

Akhirnya, hanya acara-acara khusus yang menjadi langganan Tiga Saudara, selain masih ada beberapa perhelatan di Gandul, Jakarta Selatan. Kebanyakan panggilan saat acara di kampus, sekolah, dan kantor pemerintah daerah. Tiga Saudara sebenarnya bukan satu-satunya tanjidor di Jakarta Selatan. Masih ada grup lain di Warung Buncit dan Cijantung. Juga di Jakarta Barat, Jakarta Timur, Depok, Tangerang dan sekitarnya, hingga ke wilayah Bogor. l


Warisan Portugis

Abad ke-18 sering disebut sebagai awal kelahiran tanjidor. Dibawa oleh bangsa Portugis ketika masuk ke negeri ini. Kata tanjidor dinyatakan berasal dari bahasa Portugis, “tanger”, yang dalam bahasa Indonesia berarti bermain musik. Di Portugal, kesenian ini biasanya dimainkan pada saat pawai militer atau upacara keagamaan. Adapun pemainnya disebut tangedor. Tak mengherankan kalau kemudian nama yang merebak adalah tanjidor. Namun grup musik ini kemudian lebih dikenal lagi pada zaman penjajahan Belanda. Benar-benar merebak pada abad ke-19.

Pemainnya merupakan budak-budak dari tuan tanah dari Negeri Kincir Angin. Karena itu, mereka dikenal juga sebagai Slaven-orkes. Grup dibentuk karena para penguasa itu membutuhkan hiburan. Valckenier, salah seorang Gubernur Jenderal Belanda pada zaman itu, tercatat memiliki grup musik yang terdiri atas 15 pemain alat musik tiup, ditambah pemain gamelan, pesuling Cina, dan penabuh tambur Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta.

Ketika penjajah kembali ke negerinya, kelompok musik itu tak langsung bubar. Mereka bertahan meski kemudian tembang-tembang tak lagi bersentuhan erat dengan Belanda dan Portugis. Lebih fokus pada lagu-lagu Betawi bercampur Sunda. Ketika masa penjajahan, yang mereka bawakan antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Cakranegara, dan Welmes. Irama lebih pada mars dan waltz. Sedangkan lagu-lagu Betawi yang dimainkan di antaranya Jali-jali, Surilang, Cente Manis, Kicir-kicir, Sirih Kuning, Stambul, dan Persi. Sementara tembang Sunda semisal Kangaji dan Oncom Lele.

Pada 1950-an, kebanyakan grup tanjidor membuat pentas keliling alias ngamen untuk mencari nafkah. Mereka tampil di depan rumah-rumah elite di daerah Menteng, Kebayoran Baru. Hanya saja, aksi seni mereka tiba-tiba dipangkas oleh keputusan Pemda DKI Jakarta pada 1954, yang melarang grup tanjidor main di pusat kota. Mereka pun akhirnya memilih tampil di pinggiran kota. Karena itulah, perkembangannya terjadi di daerah Tangerang, Depok, dan Bogor. l Berbagai Sumber

Rita N./Nunu N./Dok. TL

Cosplay, Merayakan Kostum Sejak 1960

cosplay adalah permainan kostum yang terus membesar komunitasnya di dunia.

Cosplay menjadi salah satu budaya pop yang menyebar ke banyak belahan dunia. Termasuk di Indonesia. Utamanya digemari oleh orang-orang muda. Begitupun, tak sedikit mereka yang sudah tak lagi terhitung muda yang menggandrunginya. Bisa jadi mereka memang bagian dari budaya pop ini sejak masih belia.

Cosplay, Merayakan Kostum

Istilah itu sendiri adalah penyebutan untuk menggambarkan seseorang yang berdandan atau berkostum menyerupai karakter tokoh dari buku komik, anime, manga, dan film. Dari akar katanya, ada yang menyebut istilah ini merupakan singkatan dari costume dan play, secara harafiah bisa diebut sebagai bermain kostum.

Merayakan kostum sejak 1960, kini banyak anak muda di dunia semakin menikmatinya.
Para penggemar permainan kostum di Jepang. Foto: dok shuterstock

Mengutip Epic Cosplay, meski sesungguhnya tidak ada definisi baku, istilah ini biasanya mengacu tindakan memakai kostum untuk membuat kembali penampilan karakter dari karya fiksi. Orang yang melakukan itu disebut cosplayer atau biasa disingkat coser.

Berdasarkan sejarahnya, berbagai penggunaan kostum sudah ada cukup lama. Di Amerika Serikat diyakini mulai muncul sekitar tahun 1960-an. Dulunya populer dengan acara-acara yang mengenakan kostum tertentu, termasuk topeng-topeng berbagai karakter film fiksi. Hal ini mirip seperti perayaan Haloween yang juga mengenakan kostum unik.

Namun permainan kostum ini menjadi mendunia ketika mulai memasuki Jepang pada 1970-an. Mengutip Who Magazine, ada berbagai pandangan terkait mula praktik permainan kostum. Praktik ini dimulai di Jepang pada 1970-an ketika mahasiswa berpakaian seperti karakter manga dan anime favorit mereka di konvensi fiksi ilmiah.

Istilah ini pertama kali digunakan dalam artikel di edisi Juni 1983 oleh Nobuyuki Takahashi dalam majalah My Anime. Dan semakin populer setelah penyelenggaraan costume show yang pertama kali dilaksanakan 1978 di Ashinoko. Pada akhirnya costume show tersebut jadi acara tetap sejak 1980 diselenggarakan oleh Nihon SF Taikai.

Seiring berkembangnya komunitas, kegembiraan ini pun mulai hadir di event pameran, games hingga kompetisi atau kontes tersendiri bagi para penggemarnya. Penggemarnya telah tersebar di seluruh penjuru dunia Amerika, RRC, Eropa, Filipina hingga Indonesia.

Kini istilah ini justru digunakan secara umum untuk berbagai jenis permainan kostum. Dari tahun ke tahun, ia semakin populer dan berkembang pesat tak hanya di Jepang melainkan juga di sejumlah negara.

Di Indonesia istilah ini mulai populer sejak ada sejumlah anak muda yang mengenakan fashion atau style Harajuku. Dan semakin diminati dan muncul dalam berbagai acara dengan kegiatan-kegiatan yang menerapkan permainan kostum.

Secara umum di kalangan pecintanya, ada beberapa pengkategorian kegiatan penggemarnya. Ini juga kadang kemudian merembet pada pembentukan komunitasnya. Pertama adalah Anime atau Manga. Ini berarti berbagai kostum dan aksesoris yang dikenakan adalah ala karakter anime ataupun manga. Ke dua, Game berarti kostum ataupun aksesoris yang dikenakan menyerupai karakter di sebuah games tertentu.

‘Kategori’ ke tiga adalah Dongeng berarti kostum ataupun aksesoris yang dikenakan menyerupai karakter yang ada di dongeng, baik itu film, kartun, ataupun tokoh fiksi lainnya. Lalu ke empat adalah Harajuku Style, yang berarti kostum ataupun aksesoris yang dikenakan ala anak-anak muda yang senang nongkrong di kawasan Harajuku, Tokyo. Dan terakhir Original yang berarti kostum atau aksesoris yang dikenakan seperti karakter tokoh game kerajaan yang lebih modern. Artinya tanpa dipengaruhi karakter anime, tokusastu dan seterusnya.

Di Indonesia sendiri ada sejumlah event yang menjadi ajang berkumpulnya para coser. Berikut lima event yang sukup besar diselenggarakan di Indonesia:

Indonesia Comic Con

Merupakan acara POP Culture dan salah satu event permainan kostum terbesar di Indonesia. Acara ini diselenggarakan untuk merayakan cinta dan semangat para penggemar kostum, Comic dan Pop Culture. Indonesia Comic Con pertama dihelat pada 2015 dan dihadiri dari berbagai komunitas, di antaranya Pop Culture, Comic Artist, Cosplayer dan Youtuber. Acara ini sering mengundang bintang tamu ternama Internasional.

Showtime
Media yang menaungi para komunitas permainan kostum dan mengadakan event di Indonesia secara daring dengan hadiah yang menggiurkan. Para coser juga dapat berinteraksi secara langsung dengan para idolanya. Tidak hanya, itu pada portal ini terdapat juga berita-berita terkini tentang perkembangan mereka di Indonesia.

Ennichisai
Merupakan Festival Seni, Kuliner dan salah satu event Terbesar di Indonesia. Ennichisai atau juga dikenal dengan Festival Little Tokyo diadakan setiap tahun rutin di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.

Gelar Jepang UI
Gelar Jepang UI atau yang sering dikenal dengan GJUI, merupakan event Jejepangan dengan mata acara kebudayaan. Event GJUI diadakan setiap tahun di kampus Universitas Indonesia – Depok, tepatnya di Pusat Studi Jepang.

Clas:H
Clash merupakan salah satu event kostum Indonesia yang diadakan di kota-kota regional. Dengan misi menyebarkan budaya coser dan memberi kesempatan para coser daerah untuk mengambil bagian dalam komunitas di Indonesia dan bahkan dunia.

Ada banyak komunitas penggemar permainan kostum sejak mulai berkembang di Indonesia pada era 2000-an. Salah satunya adalah Cosplay Jakarta yang dibentuk dari berbagai pecinta animasi, manga, video game, dan permainan kostum. Mereka terbentuk sejak 2008 silam dan hingga kini memiliki anggota hingga ribuan. Komunitas ini termasuk yang aktif berkumpul.


Di kota kembang, ada Komunitas Cosplay Bandung adalah salah satu komunitas permainan kostum di kota ini. Sejak berdiri pada 2008, komunitas ini masih aktif hingga kini. Jumlah anggotanya telah mencapai lebih dari 2.000 orang.

Bali juga memiliki beberapa komunitas. Tak hanya itu, terdapat forum yang menggabungkan berbagai komunitas di Bali menjadi satu, yaitu Happy Cosplay. Forum ini didirikan pada tahun 2013 dan masih aktif di dalam dunia permainan kostum sampai sekarang.

Begitun di Yogyakarta ada Albatros Force, atau di Surabaya ada Cosura. Di ibukota Jawa Timur ini juga cukup sering menghelat acara komunitas.

agendaIndonesia                                              

*****

Kopi Indonesia, 6 Yang Pahitnya Lezat

Kopi Indonesia semakin menjadi primadona kulinari dan oleh-oleh dari negeri ini. Foto: shutterstock

Kopi Indonesia menjadi salah satu produk yang terus mengalami kemajuan sangat pesat dan kian digemari para peminumnya. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ini tentu saja karena kepopuleran kopi Indonesia terus meningkat setiap harinya.

Kopi Indonesia

Berdasar Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, konsumsi kopi nasional pada 2016 mencapai sekitar 249.800 ton, dan tumbuh menjadi 314.400 pada 2018. Pada 2021 konsumsi kopi diperkirakan mencapai 370 ribu ton.

Meningkatnya jumlah konsumsi kopi nasional tentunya dibarengi dengan tingkat produksi kopi di dalam negeri. Berdasarkan data BPS 2019, Indonesia berhasil memproduksi kopi sebanyak 742 ribu ton. Dari total keseluruhan kopi Indonesia tersebut, wilayah Sumatera Selatan masih menjadi lumbung kopi terbesar di Indonesia. Provinsi ini berhasil memproduksi kopi sebanyak 184.168 ton, atau hampir setara dengan 25 persen produksi kopi nasional pada 2018. Di tahun yang sama nilai ekspor kopi nusantara berhasil mencapai Rp 9,5 triliun.

Tak hanya itu, kopi Indonesia juga mendapatkan apresiasi pecinta kopi secara global. Indonesia berhasil menjadi produsen biji kopi terbesar ke-4 di dunia (2019). Dengan jumlah rata-rata kopi nusantara yang dihasilkan adalah sekitar 742 ribu ton. Menariknya, pertumbuhan ekspor kopi nusantara terus berlanjut pada periode Januari hingga April 2020 sebesar 1,34 persen, menjadi 158.780 ton, jika dibandingkan periode yang sama pada 2019.

Kopi Indonesia diproduksi dari Sumatera hingga Papua.
Buah kopi sedang dipetik. Foto: shutterstock

Melihat geliat produksi kopi Indonesia, budaya kopi atau ngopi semakin menjadi primadona industri kuliner tanah air. Trend ekonomi yang sedang tumbuh pesat di kota-kota besar hingga kota Kecamatan saat ini adalah menjamurnya kedai kopi.

Kini semakin banyak orang yang memilih ngumpul dan kongkow di kedai-kedai kopi. Itu belum lagi dengan semakin banyak orang yang memilih menyeduh dengan cara manual brew sendiri di rumah.

Di balik banyaknya kedai kopi di Indonesia, ada satu hal yang menarik, yaitu kopi-kopi Indonesia dari kebun-kebun di pelosok nusantara tetap menjadi primadonanya. Semakin banyak kedai kopi yang menawarkan berbagai macam kopi origin nusantara. Hal inilah yang menjadikan tingkat konsumsi kopi Indonesia terus naik selama lima tahun terakhir.

Pada 2014-2015 jumlah konsumsi kopi Indonesia hanya sebesar 4.417 kantong, dan meningkat 4.550 kantong (2015-2016). Namun dalam periode 2018-2019 jumlah konsumsi kopi nusantara meningkat hingga mencapai 4.800 kantong berkapasitas 60 kg.

Tak hanya dalam negeri, kopi nusantara juga banyak diminati pecinta kopi dunia. Sebagai contoh, gerai kopi internasional Starbucks Reserve turut menyajikan berbagai jenis kopi nusantara di kedai mereka. Mulai dari kopi Toraja Sapan Village, kopi Jawa Barat, hingga kopi Bali yang ternyata meninggalkan cita rasa tersendiri bagi masyarakat dunia.

Berbicara tentang kopi Indonesia, kita perlu mengetahui jenis-jenis kopi paling terkenal di negeri sendiri, bahkan dunia. Dengan demikian, kalau sedang melakukan perjalanan ke daerah-daerah tertentu, bisa membawa oleh-oleh kopi.

Kopi Aceh Kemenparekraf
Kopi dek kedai-kedai tradisional Aceh. Foto: Dok. Kemenparekraf

Kopi Aceh Gayo

Kopi Aceh Gayo menjadi salah satu jenis kopi nusantara yang cukup populer, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Salah satu karakteristik dari jenis kopi nusantara ini adalah aroma yang kuat dan gurih, dengan tingkat keasaman yang rendah.

Kopi Aceh Gayo ini termasuk jenis arabika karena tumbuhnya di ketinggian sekitar 1.000-1.200 mdpl. Selain itu, daerah Gayo juga sudah masuk sebagai daerah komoditas kopi internasional. Biji kopi Aceh Gayo paling banyak diminati masyarakat Jepang.

Kopi Ciwidey

Kopi Ciwidey juga menjadi salah satu jenis kopi Indonesia, primadona di negeri sendiri. Bahkan, kopi Ciwidey pernah mendapatkan predikat sebagai kopi termahal di Indonesia dan tercatat dalam rekor MURI 2017.

Saat lelang yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan Pacific Coffee Conference di Jakarta pada 2017, kopi Ciwidey dihargai Rp2.050.000 per kilogram. Angka ini sangat mengejutka, khususnya bagi  pecinta kopi, karena harga kopi tertinggi pada lelang sebelumnya hanya sampai di angka Rp 650 ribu per kilogram.

Salah satu alasan mengapa kopi Ciwidey layak dihargai mahal adalah karena rasa dan aromanya yang unik. Kopi Ciwidey memiliki rasa yang cenderung manis saat diminum. Rasa tersebut didapat setelah melewati proses yang cukup panjang demi mendapatkan biji kopi yang berkualitas.

Kopi Toraja

Tak kalah nikmat dari jenis kopi sebelumnya adalah kopi Toraja, yang popularitasnya bukan hanya di nusantara namun hingga mancanegara. Hal ini berkat rasa kopi Toraja yang unik dibandingkan dengan jenis kopi nusantara lainnya.

Keunikan dari kopi Toraja didapat dari perpaduan rasa coklat, tembakau, dan karamel di tiap seduhan kopinya. Tekstur dari kopi Toraja dikenal sangat halus dan harum, sehingga akan membuat setiap orang yang meminumnya menjadi lebih rileks.

Kopi Mandailing

Kopi Mandailing merupakan kopi jenis arabika yang ditanam di daerah Mandailing Natal, Sumatera Utara. Tidak hanya cocok dan populer di kalangan masyarakat Indonesia, kopi Mandailing juga menjadi primadona bagi orang Eropa. Hal ini disebabkan kopi Mandailing memiliki cita rasa yang lezat, kekentalan yang cukup tinggi, namun tingkat keasaman yang rendah.

Selain itu, kopi Mandailing memberikan sentuhan rasa yang unik di lidah. Rasa agak pedas, namun tetap bersahaja. Saat ini kopi Mandailing menarik perhatian pecinta kopi di banyak negara, seperti Jepang, Eropa, hingga Amerika Serikat.

Kopi Bali Kintamani Kemenparekraf
Kopi Bali Kintamani sudah dalam kemasan. Foto: DOk. Kemenpareraf

Kopi Bali Kintamani

Kopi Kintamani dari Bali jadi kopi nusantara yang juga cukup popular di dunia. Kopi ini merupakan jenis kopi arabika, karena ditanam di ketinggian lebih dari 1.000 mdpl. Letak kebunnya kebanyakan di dekat Gunung Batur. Kopi Kintamani memiliki rasa yang cenderung fruity atau terasa segar seperti ada jejak rasa buah. Body dari kopi ini juga tak tebal dengan aroma yang cukup kuat. Rasanya tak terlalu pahit.

agendaIndonesia

*****


Ronggeng Gunung, 1 Juru Kawih Banyak Penari

Ronggeng Gunung shutterstock

Ronggeng Gunung adalah kesenian yang berusaha menghapus citra tak sedap yang kerap dipersepsikan orang soal ronggeng. Di balik tari tradisional ini terselip cerita menarik. Dan, kini muncul sebagai hiburan yang jauh dari kesan vulgar.

Ronggeng Gunung Pangandaran

Suara gendang, gong, bonang, dan kecrek saling bersahutan, membentuk irama sederhana yang terdengar dari kejauhan saat saya memasuki Dusun Cimanggu, Desa Parakanmanggu, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, akhir Januari lalu. Sebuah dusun sederhana ini relatif jauh dari pusat kota Pangandaran. Jalan menanjak menuju dusun pun masih berupa tanah bebatuan.

Siang itu, seorang warga Dusun Cimanggu rupanya sedang melangsungkan acara pernikahan. Dalam bahasa setempat dikenal dengan istilah ‘hajatan’. Panggung yang berdiri di sisi jalan terisi penuh oleh pemusik. Sementara itu, di halaman tempat hajatan berlangsung, sudah ada sekitar 12 orang tengah menari. Enam di antara mereka adalah penari yang mengenakan kebaya. Sedangkan sisanya ialah para tamu undangan, baik pria maupun wanita, baik tua maupun muda.

Mereka terlihat bersemangat menari dan mengikuti alunan musik serta kawih (nyanyian). Gerakannya kompak, ke kiri dan ke kanan. Saya perhatikan gerakan tangan dan kakinya mirip seperti bela diri pencak silat. “Memang mirip dengan pencak silat,” kata Edi Rusmiadi, Ketua Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata Kabupaten Pangandaran, membenarkan dugaan saya.

Kemudian, mereka melangkah ke depan membentuk putaran. Entah sudah berapa kali putaran mereka lalukan. Namun tak sedikit pun terlihat raut lelah di wajah mereka. Bahkan ada sepasang penari yang bertingkah lucu dan membuat geli orang-orang yang menyaksikan. Suasana pun menjadi riuh dan gembira. Tidak terlihat kontak fisik yang menimbulkan kesan vulgar, jauh dari kesan yang selama ini beredar bahwa penari Ronggeng adalah penggoda laki-laki.

“Ini yang dinamakan tarian Ronggeng Gunung,” ujar Apan Rachmat, Ketua Lingkung Seni Jembar Mustika. Pria yang menggunakan pakaian ala Sunda atau pangsi lengkap dengan ikat kepala itu mengatakan jumlah penari Ronggeng tergantung permintaan penggelar hajat. “Bisa enam penari dan bisa juga tujuh penari. Tergantung permintaan,” ucapnya.

Dulu, kata Apan, Ronggeng gunung hanya dibawakan oleh seorang penari, yang sekaligus merangkap sebagai juru kawih (penyanyi). “Belakangan berkembang hadir dengan banyak penari dan hanya satu juru kawih.”

Menurut Apan, Ronggeng Gunung sudah menjadi tradisi kesenian Pangandaran sejak lama. Ada beberapa versi tentang lahirnya kesenian tersebut. Namun versi yang terkenal adalah kisah Dewi Samboja. Kala itu, Dewi Samboja sangat bersedih atas kematian Angkalarang, suaminya, yang dibunuh oleh pemimpin bajak laut bernama Kalasamudra. Untuk menghilangkan kesedihan sekaligus kemarahan putrinya, maka ayahandanya, Prabu Siliwangi, meminta Dewi menuntut balas.

Untuk mewujudkan permintaan ayahnya tersebut, Dewi Samboja harus menyamar sebagai seorang penari Ronggeng agar dapat mendekati Kalasamudra. Bahkan Dewi rela mengganti namanya menjadi Nini Bogem. Singkat cerita, tarian Ronggeng di tempat Kalasamudra pun digelar. Ketika menari bersama, Dewi Samboja berhasil membunuh Kalasamudra.

Cerita mengenai asal-usul tari, yang digunakan untuk balas dendam tersebut, membuat Ronggeng Gunung terasa mengenaskan. Namun, ujar Apan, tarian Ronggeng Gunung kini lebih bersifat sebagai hiburan, seperti perkawinan, khitanan, dan penerimaan tamu.

Ronggeng Gunung sebagai sarana hiburan juga diakui Ida Nurbaya, penari Ronggeng, siang itu. “Tarian ini lebih bersifat hiburan. Lewat tarian ini, saya dapat mengenal orang dari berbagai kalangan,” ucap perempuan berusia 34 tahun itu. Ida mengaku mengenal Ronggeng saat usianya 17 tahun. Ida, yang telah berumah tangga dan dikaruniai dua anak itu, tak khawatir dengan kesan negatif sebagai penari Ronggeng.

Hal yang sama juga diamini Yulia Sri Mulyati. Siswa SLTA, yang juga ikut menari Ronggeng Gunung, justru bangga. Bahkan beberapa kali ia sempat diajak memperkenalkan Ronggeng Gunung ke sejumlah daerah, mewakili Kabupaten Pangandaran.

Tak terasa dua jam berlalu. Para tamu yang ikut menari sudah mengembalikan selendang yang diberikan oleh penari Ronggeng. Di ujung selendang sudah terikat sejumlah uang sebagai tanda “sawer”. Namun bukan berarti gelaran Ronggeng Gunung sudah berakhir. Masih ada sesi terakhir yang akan digelar pada malam nanti sebagai bagian dari tradisi seni asli Pangandaran. l

Andry T./Prima M./Dok. TL

Tenun Gringsing, Ikat Ganda Butuh 5 Tahun

Tenun Grinsing Bali salah satu kekayaan budaya Indonesia. Foto shutterstock

Tenun Gringsing menjadi pembicaraan banyak orang ketika dipilih menjadi salah satu tanda mata bagi tamu negara dalam perhelatan G20 di Bali. Ini jelas istimewa, karena kain tenun Gringsing terletak pada teknik pembuatannya, yakni ia satu-satunya kain tenun yang dibuat dengan teknik dobel ikat di Indonesia.

Tenun Gringsing

Proses pembuatan kain tenun yang satu ini dikenal cukup rumit dan membutuhkan waktu lama. Pasalnya, proses penenunan kain tenun Gringsing membutuhkan sekitar dua bulan, sementara untuk motif ikat ganda bisa memakan waktu lebih lama hingga 2-5 tahun.

Bukan hanya itu saja, daya tarik kain tenun Grinsing juga terdapat pada proses pembuatannya yang 100 persen menggunakan tangan, atau tanpa bantuan mesin apapun.

Ciri khas kain tenun Gringsing juga ada pada proses pewarnaannya. Bukan dengan bahan pewarna kimia, kain tenun khas Desa Wisata Tenganan Pegringsingan ini menggunakan warna yang dihasilkan minyak kemiri, agar warnanya lebih pekat dan tahan lama.

Tenun Gringsing motif ikat ganda membutuhkan waktu penenunan hingga lima tahun.
Gadis Bali menggunakan kain tenun Gringsing. Foto: shutterstock

Demi mendapatkan warna yang sempurna, tentu saja membutuhkan proses yang cukup panjang. Menariknya, untuk menghasilkan warna yang nyata pada motif tenun Gringsing membutuhkan waktu lebih dari tiga bulan.

Untuk mendapatkan warna yang sempurna dan sesuai pakem yang telah ditentukan secara turun-temurun, proses pewarnaan kain tenun Gringsing harus dilakukan secara berulang. Proses pewarnaan kain tenun ini juga dilakukan untuk menjaga serta melindungi keaslian dan nilai ritual kain tenun Gringsing.

Daya tarik kain tenun Gringsing juga berasal dari nilai-nilai dalam setiap motif dan warna yang digunakan. Setiap motif dan warna pada kain tenun Gringsing memiliki makna yang melambangkan keseimbangan antar manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhan.

Kain gringsing adalah salah satu warisan budaya kuno Bali yang masih bertahan sampai saat ini. Kata gringsing sendiri terdiri dari kata “gring” yang berarti ‘sakit’ dan “sing” yang berarti ‘tidak’ sehingga dapat dimaknai bahwa kain gringsing merupakan kain magis yang membuat pemakainya terhindar dari bala.

Kain yang berasal dari Desa Tenganan, Bali ini menggunakan teknik ikat ganda dan memerlukan waktu rata-rata lima tahun untuk menyelesaikannya. Proses tenunnya sendiri membutuhkan waktu sekitar dua bulan, tetapi proses pembuatan motif ikat gandanya memerlukan waktu yang lama.

Selain itu, kain tenun asal Karangasem ini juga dipercaya sebagai pelindung. Sehingga, tidak jarang biasanya kain Gringsing digunakan masyarakat Bali dalam upacara pernikahan atau upacara keagamaan.

Aneka Motif Tenun Tenganan
Aneka motif tenun Gringsing. Foto: dok. kompas.com

Sebagai kain tradisional khas Bali, kain tenun Tenganan ini memiliki banyak motif yang menyimpan makna. Seperti motif lubeng misalnya, yang bercirikan kalajengking, dan sering digunakan sebagai busana adat dalam upacara keagamaan.

Selanjutnya motif sanan empeg, yang identik dengan kotak poleng merah hitam. Lalu, ada motif cecempakaan yang dikenal dengan motif bunga cempaka, dan sering digunakan sebagai busana adat dalam upacara keagamaan.

Kemudian juga ada motif cemplong, yang bercirikan sebuah bunga besar di antara bunga-bunga yang kecil di sekitarnya. Selain itu, ada juga motif tenun yang menggunakan tokoh pewayangan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, daya tarik Kain tenun dari Tenganan ini tidak hanya berasal dari motifnya saja. Namun, juga bisa kita melihat dari pewarnaan yang digunakan.

Tidak hanya sekadar menggunakan bahan alami, warna-warna yang dipilih memiliki makna mendalam. Secara umum, kain Gringsing memiliki tiga warna yang disebut dengan Tridatu, yaitu warna merah, kuning, dan hitam.

Warna merah berasal dari akar mengkudu, melambangkan api sebagai panas bumi sumber energi dan kehidupan di bumi. Kemudian warna kuning dari campuran minyak kemiri, melambangkan angin atau oksigen dalam setiap kehidupan manusia. Sedangkan warna hitam yang berasal dari pohon taum, yang melambangkan air pemberi penghidupan bagi seluruh makhluk di bumi.

Dalam acara-acara adat, kain tenun Gringsing biasanya digunakan sebagai selendang atau senteng oleh wanita, sedangkan pria digunakan sebagai ikat pinggang.

Seperti disebut di depan, kain gringsing merupakan satu-satunya tenun ikat ganda yang berasal dari Indonesia. Karena itu, harga kain gringsing Bali sangat mahal, karena selain produksinya yang cukup sulit dan tidak sebentar, ketersediaan bahan yang digunakan untuk membuat kain gringsing juga terbatas.

Tenun Gringsing Tenganan dipakai untuk para penari. Foto: shutterstck
Para penari Rejang Tenganan dalam upacara Usaba di Desa Tenganan. Foto: shutterstock

Kain tenun gringsing disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapañca, di sana tertulis tirai-tirai di salah satu kereta kencana Hayam Wuruk, Sri Nata Wilwatikta, terbuat dari kain gringsing. Hingga hari ini, di tengah masyarakat Tenganan Bali, kain gringsing digunakan untuk berbagai upacara, seperti upacara keagamaan, upacara kikir gigi, dan upacara pernikahan.

agendaIndonesia/berbagai sumber

*****

Tenun Endek Bali, Warisan Kerajaan Gelgel Dari Abad 18

Tenun Endek Bali akan dipakai setidaknya seminggu sekali oleh ribuan pegawai pemerintahan provinsi Bali.

Tenun Endek Bali mungkin akhir-akhir ini tidak semencuat kain-kain tenun dari Nusa Tenggara. Barat maupun Timur. Namun tenun ini sejatinya mempunyai jejak sejarah yang panjang.

Tenun Endek Bali

Suara gelak tawa terdengar nyaring. Kepala saya langsung menengadah ke lantai kedua bangunan terbuka yang berada di Banjar Jerokapal, Desa Gelgel, Kabupaten Klungklung, Bali, itu. Ada alat tenun yang terbuat dari kayu. Jari dan tangan ibu-ibu pun terlihat di atas alat tersebut. Bibir mereka sesekali melontarkan gurauan. Suara kayu beradu tawa. Begitulah suasana khas di Pertenunan Astiti. Mulai menenun pukul 9.00, mereka meneruskan warisan leluluhur membuat tenun endek dan songket.

Salah satunya Ketut Suryani, yang berkenalan dengan alat tenun sejak remaja.  Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, mulai pukul 09.00, ia menggeluti alat tenun. Dia baru beranjak dari tempat menenun pukul 17.00. Dalam satu hari, bisa dihasilkan selembar kain katun endek berukuran 2,25 meter, jenis kain yang jadi ciri khas kabupaten tempat kerajaan-kerajaan Bali di masa lalu itu.

Terkenal dengan Kerajaan Gelgel, Klungkung tak hanya menyisakan bangunan istana dan bersejarah, tapi juga kerajinan tenun. Tenun mulai dikenal pada abad ke-18. Semula kain tenun hanya dikenakan kaum bangsawan atau untuk upacara di pura. Kini kain dikenakan sehari-hari, bahkan seragam berbagai instansi. Sejumah desa di Klungkung dikenal menjadi pusat tenun. Desa Sulang pun sama dengan Geolgel.

Di Gelgel, tempat tenun endek dan songket pun mudah ditemui. Di Jalan Raya Gelgel saja, saya menemukan Dian’s Rumah Songket dan Endek, selain Pertenunan Astiti. Memang tidak di jalan utama, tapi keduanya memasang papan nama cukup besar sehingga mudah dibaca turis atau konsumen. Para penenun umumnya berusia 30-40 tahun. Namun saya menemukan pula ibu berusia 75 tahun yang masing rutin menenun. Wayan Rasaini–nama ibu tersebut – berkutat dengan alat tenun tradisional, cagcag. Alat ini membuatnya harus duduk di lantai, seperti terkungkung dengan alat. Ibu-ibu lain menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Mereka membuat endek.

Kain songket, seperti pada umumnya, diselipi benang-benang emas sehingga terkesan mewah saat digunakan untuk acara dan upacara khusus. Kain endek juga digunakan untuk upacara di pura, selain dikenakan untuk busana sehari-hari. Para penenun memulai kerja memintal benang atau ngulak sesuai dengan corak yang telah disiapkan.

 “Pola motif yang buat anak-anak sekolah,” ujar Ketut Suryani. “Mereka biasanya ke sini setelah pulang sekolah,” ujarnya. Walhasil, para penenun pun tinggal berkarya mengikuti pola ikatan benang. Anak-anak sekolah yang dimaksud ialah pelajar sekolah menengah jurusan desain yang rutin datang mengikat benang mengikuti pola motif yang dibuat pemilik pertenunan, Drs I Nyoman Sudira, MM.


Pensiunan pegawai sekretariat DPRD Klungkung ini sebenarnya baru terjun membantu istrinya setelah memasuki masa purnakarya. Ia mulai mewarnainya sendiri, baik dengan pewarna alam maupun sintetis. Sebelumnya urusan tersebut diserahkan ke orang lain. Tak hanya itu, pria sepuh ini juga memanfaatkan teknologi untuk pembuatan pola dan memindahkan ke gulungan benang lebih mudah dan singkat. Hasilnya tak hanya dijual di balai kerja, tapi juga di  dua gerai di Pasar Seni Semarapura, Klungkung, dan di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar. Harga kain endek berukuran 2,25 meter dijual mulai Rp 200 ribu.

Penasaran dengan Desa Sulang, yang juga dikenal dengan kampung penenun, saya pun melanjutkan perjalanan ke desa tersebut, tepatnya di Banjar Kawan, Kecamatan Dawan, Klungkung. Saya mampir ke gerai Endek Gurita milik Kadek Antari, MPd, yang dibuka 4 tahun lalu. Saya bertemu dengan seorang penenun, I Dewa Ayu Nyoman Arti, 50 tahun. Perempuan yang sudah 34 tahun menggeluti bidang ini mengaku hanya berdua menenun di tempat tersebut. “Tapi di sekeliling ini ada 50 orang yang nenun di rumah sendiri-sendiri,” ujarnya.

Nyoman Arti mengaku membuat kreasi sendiri, kecuali ada pesanan. Ia pun lebih banyak membuat motif polos. Kadang corak kotak-kotak yang sekarang banyak permintaan. Harga dipatok tergantung jenis benang. Katun endek berbahan benang katun dengan pewarna alam dijual mulai Rp 600 ribu. Namun kain dengan pewarna sintetis mulai Rp 250 ribu. Kalau bahannya benang sultra, harganya bisa hingga dua kali lipat. l

Teknologi & Motif

Kain Endek, seperti umumnya kain tenun, dibuat dengan teknik ikat. Benang-benang yang akan digunakan harus terlebih dulu diikat sesuai dengan pola. Bila pengerjaannya manual, dibutuhkan berhari-hari, bahkan seminggu. Dengan bantuan teknologi, I Nyoman Sudira terlebih dulu membuat desain di layar komputer dengan program coral drew dan mencetak di selembar bahan untuk spanduk. Kini, hanya dalam 5 menit, pola sudah berpindah ke atas pintalan benang. “Memindahkan pola itu perlu waktu seminggu karena satu jam saja sudah pegal, kan pakai spidol untuk membuat garis satu per satu,” ujar Nyoman.

Nyoman menyebut, dengan teknologi, corak tenun endek bisa dibuat variatif. Ia mengungkapkan tenun endek punya motif asli. Di antaranya wajik atau ceplok. Namun, secara umum, corak endek  meniru pola songket yang umumnya banyak meniru bentuk alam, termasuk flora atau patra. Pada umumnya, bagi umat Hindu, kembang melambangkan kesucian hati. Selain itu, fauna atau karang banyak melambangkan sifat dewa. Disamping itu, ada juga corak dari tokoh pewayangan.

Yang menjadi corak khas Gelgel adalah burung merak, bintang, bulan, digabung dengan motif kembang-kembang atau sulur alias tumbuhan menjalar. Soal warna, trennya berubah-ubah. Tahun ini, misalnya, Nyoman menyebut, tren warnanyacenderung merah muda, sedangkan tahun lalu biru.

Di Desa Sulang, Kecamatan Dawan, tepatnya di gerai Endek Gurita, kemunculan tenun dibarengi dengan teknik lukis dengan corak kupu-kupu dan bunga. Walhasil, ini menjadi label, karena perpaduan seni tenun dan lukis membuat endek lebih berwarna. l

Rita N./B. Rahmanita/Dok TL

Cemilan dari Liwa Lampung, 5 Yang Khas

Cemilan dari Liwa Lampung

Cemilan dari Liwa Lampung tampak seperti kudapan pasar biasa, namun setelah dicoba terasa unik dan khas. Saat sore-sore sambil bercengkerama, kita bisa mencecap nikmatnya kopi robusta atau kopi luwak dipadu kue tar, kue cucuk, atau lainnya.

Cemilan dari Liwa Lampung

Liwa di bagian Barat Lampung boleh jadi namanya dikenal  setelah bencana gempa hebat pada Februari 1994. Namun kabupaten ini mempunyai sederet oleh-oleh yang juga membuat namanya sering disebut-sebut. Yang sudah pasti tentunya kopi robusta dan juga kopi hasil fermentasi dalam pencernaan hewan luwak yang dikenal sebagai kopi luwak.

Selain itu, ada sejumlah kue adat khas Lampung yang bisa menjadi teman untuk menyeruput kopi. Sejumlah perkebunan pun bisa disinggahi dan turis bisa membeli langsung.

Untuk sejumlah kue-kue khas setidaknya ada dua pilihan pembuat kue: Toko Kue Dua Putri yang berada di Jalan Lintas Liwa, Kecamatan Balik Bukit, dan Toko Dina, Jalan Cuk Nyak Dien No 079, Pasar Liwa. Pilihan penganannya seperti berikut ini.  

Kue Tar

Salah satu dari kue adat khas Lampung ini menjadi kue yang wajib dalam hantaran dalam sebuah upacara adat. Mengingatkan saya pada kue serupa yang ditemukan di Bengkulu. Hanya di Bengkulu dibuat dalam loyang ukuran besar, sedangkan di Lampung Barat dibuat dalam bentuk mungil untuk konsumsi per orang.

Yang menjadi ciri adalah selai yang berada di bagian tengah terasa legit. Terbuat dari tepung terigu, pertama-tama si pembuat membuat lapisan dasar pada cetak kue berbentuk bunga itu, lalu diberi selai, dan baru ditutup oleh adonan lagi. Menjadi unik karena bentuk dan motif bunganya. Per buah dijual Rp 2.500. Dijual juga per paket, misalnya, isi 36 buah seharga Rp 45 ribu.

Kue Cucuk

Yang satu ini terbuat dari tepung ketan dan kue sejenis ini bisa ditemukan di beberapa daerah lain di Indonesia. Hanya, setiap daerah memberi nama yang berbeda. Ada yang hanya memberi lubang besar di bagian tengah, sehingga dikenal sebagai kue cincin atau kue ali. Nah, di Liwa disebut dengan nama kue cucuk atau cucur.

Perpaduan antara tepung ketan dan gula merah ini juga menjadi oleh-oleh khas. Ada tiga lubang kecil yang menjadi ciri khas dari daerah ini. Nurmega, pemilik Toko Dina di Pasar Liwa, pun menunjukkan cara pembuatannya kepada saya. Adonan dibuat bulat-bula kecil dan kemudian dipipihkan hingga tipis lalu diberi tiga lubang dengan batang kayu sebesar sumpit. Baru digoreng. Harga per buah Rp 2.500 dan tersedia juga dalam kemasan.

cemilan dari Liwa Lampung berupa kue-kue khas setempat yang unik.
Kue kumbang luyang dari Liwa Lampung yang mirip dengan kue kembang goyang di tempat lain di Indonesia. Foto: Dok. TL

Kumbang Luyang

Yang satu ini pun tak asing bagi saya karena di sejumlah daerah, di Sumatera dan Jawa, bisa ditemukan olahan serupa. Dikenal sebagai kembang goyang karena adonan yang dibuat encer itu menggunakan cetakan besi berbentuk bunga dan digoreng di atas minyak panas dengan cara digoyang-goyang. Ketika sudah garing, penganan ini akan lepas dari cetakannya.

Kami menemukannya di Toko Kue Dua Puteri di Jalan Lintas Liwa, Kecamatan Balik Bukit, Liwa, dan di toko oleh-oleh di Pasar Liwa. Dibuat dalam rasa manis dan asin. Per kemasan dipatok Rp 25 ribu.

Buak Iwa

Buak dalam bahasa Lampung berarti kue, sedangkan iwa bermakna ikan. Kue ikan ini memang bentuknya berupa ikan dan tersedia bermacam-macam ukuran. Dari dua toko yang saya sambangi, keduanya menawarkan yang berbeda dan sama-sama berbentuk ikan.

Sesungguhkan kue bolu biasanya memiliki keunikan pada bentuknya. Dari ukuran kecil dijual seharga Rp 2.000. Mudah ditemukan di toko oleh-oleh atau kue di Liwa.

Gula Merah dan Kopi Luwak

Selain beberapa jenis kue, gula merah pun menjadi oleh-oleh khas kota yang sejuk ini. Anda bisa menemukan gula aren asli yang dibentuk bundar dan dibungkus oleh daun pisang yang mengering. Berat per buahnya 1 kilogram dan harganya Rp 16 ribu. Bisa ditemukan di toko oleh-oleh atau pasar.

Daerah pegununan ini juga terkenal dengan perkebunan kopinya. Kebun kopi robusta tersebar di daerah Way Tenong, Sumber Jaya, dan Sekicau. Bila pulang melalui sisi pegunungan ini, Anda dengan mudah menemukan jajaran pohon kopi dan penjaja bubuknya. Namun bisa juga ditemukan di toko oleh-oleh. Bila ingin yang spesial tentu kopi luwak yang sudah diproses dalam percernaan luwak. Saya temukan di Way Tenong. Melihat kebun, kelincahan luwak, dan tentu saja menyeruput si hitam pekat ini. Mantap!

Rita N/TL/agendaIndonesia

*****

Desa Adat Sasak Ende Dan 29 Rumahnya

Keunikan rumah adat Sasak di Desa Ende.

Desa Adat Sasak Ende adalah perkampungan Suku Sasak di Lombok yang dikenal terus bertahan menjaga adat leluhur. Termasuk jumlah rumahnya yang 29 buah.

Desa Adat Sasak Ende

Papu Linip, 75 tahun, tersenyum lebar. Perempuan tua itu dibalut busana tradisional lambung berwarna hitam dan kain tenun Sasak. Ia sudah hafal betul menyambut tetamu yang datang ke Desa Adat Ende di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Sebagai salah satu kampung yang mempertahankan tradisi dan budaya suku Sasak, kedatangan wisatawan menjadi bagian dari keseharian masyarakat di sini.

“Papu” dalam bahasa Sasak bermakna nenek, sedangkan “Linip” adalah nama anak pertamanya. Sebelum menjadi nenek, ia dikenal sebagai Ina Linip, atau ibunya Linip. Demikian tradisi suku Sasak memanggil seseorang. Para pria disebut ama, sedangkan kakek disebut mame. Seperti umumnya perempuan tua, sehari-hari ia anteng mengunyah sirih dan kapur di beranda rumahnya atau nyiruh. “Bisa lima kali sehari,” ucapnya.

Desa Adat Ende terdiri atas 29 rumah dan 125 jiwa. Rumahnya dikenal sebagai bale tani, maknanya tak lain rumah petani. Sebab, semua warga memiliki mata pencarian sebagai petani. Bangunan lain adalah lumbung dengan kaki-kaki bangunan lebih tinggi. Merupakan tempat penyimpanan padi. “Satu lumbung untuk satu keluarga besar,” kata Papu Linip.

Selain itu, ada berugak, yang menjadi tempat berkumpul warga. Pada bangunan tanpa sekat ini, warga bisa bercengkerama, atau menenun. Adapun bangunan lain yang saya temukan adalah bale jajar, yang biasanya digunakan untuk pesta pernikahan dan tempat bermusyawarah antarwarga. Sesuai dengan tradisi, keempat bangunan terbuat dari bahan alam. Bagian atas menggunakan alang-alang kering, yang setiap 5-6 tahun akan diganti. Kemudian, kayu digunakan untuk tiang-tiang.

Yang unik adalah lantai tanah di bagian depan bale tani. Bagian luar rumah tersebut tidak menggunakan semen. Sebagai penggantinya, digunakan perekat alami yang sudah turun-temurun dari nenek moyang suku Sasak, yakni kotoran sapi atau kerbau.

Desa Adat Sasak Ende

Menurut sang pemandu, yang tak lain cucu Papu Linip, bagian luar bale tani tersebut dibiarkan berupa tanah karena mengacu pada ajaran Islam, manusia berasal dari tanah. Lantas, dipilih kotoran kerbau atau sapi karena dua hewan tersebut lambang kerja keras. “Dipilih kotoran yang masih baru karena daya lekatnya lebih tinggi,” ia menjelaskan.

Tanah yang sudah pecah-pecah menjadi tanda perekat itu sudah habis. Jadi bale luar tersebut kembali diolesi kotoran. Biasanya, ketika bale tani diolesi kotoran pada pagi hari, penghuni sudah bisa kembali menempati rumahnya saat asar. Artinya, bau kotoran sudah hilang. “Biasanya dua kali seminggu,” kata Papu Linip tentang pengolesan kotoran hewan itu. Dalam tradisi suku Sasak, yang harus mengoleskan kotoran adalah kaum perempuan. Sebab, perempuan-lah yang mengurus rumah tangga.

Lantas, si nenek pun memperagakan cara mengolesnya. Ternyata menggunakan tangan langsung. Kotoran hewan itu dicampur dengan sedikit air, tanah liat, bambu, kayu, dan alang-alang. Keunikan lain, atap pada bagian depan atau di bale luar dirancang pendek. Inilah salah satu tradisi agar tamu yang masuk memberi penghormatan terlebih dahulu.

Bale luar menjadi ruang tidur kaum pria dan anak-anak usia 10 tahun ke atas. Sedangkan bagian dalam dijadikan tempat tidur kaum hawa, selain menjadi dapur dan tempat menyimpan perabot. Pria yang masih menjadi pengantin baru akan tidur di dalam bersama istrinya, hingga mempunyai satu anak. Untuk tidur, mereka beralaskan tikar dari daun pandan.

Tidak jauh dari bale tani dan lumbung, ada juga kandang hewan. Selain bertani, masyarakat beternak. Bahkan sapi menjadi sesuatu yang paling berharga bagi masyarakat. Sebab, sapi punya aneka fungsi, merupakan traktor tradisional di sawah, bisa juga dijual bila memerlukan dana, dan kotorannya juga digunakan untuk menyemen rumah.

Bahkan, bila sapi dicuri, yang mencarinya bisa seluruh warga. Bahkan bukan hanya warga satu kampung, melainkan juga kampung tetangga. Gotong royong menjadi ciri lain suku Sasak. Baik saat ada warga yang ditimpa kedukaan, maupun pesta hingga membuat bangunan.

Saat saya datang, kaum lelaki tengah membuat bangunan di bagian depan gerbang masuk, dan kaum perempuan memasak bersama-sama. Saat hidangan sudah matang, mereka makan bersama atau begibung. Sajiannya berupa nasi, dengan sayuran yang dibubuhi gurita hingga hidangan bersantan itu terasa gurih.

Karena para perempuan kebanyakan memasak, yang menenun hari itu tidak terlalu banyak. Ina Dangker, atau ibunya Dangker, hari itu memilih bermain berira, salah satu alat tenun. Nah, berira ini juga menjadi senjata bila ada maling. Konon, maling pun lebih takut kepada wanita karena kekuatannya bisa luntur. Menenun menjadi keahlian yang wajib dimiliki perempuan Sasak. Bahkan menjadi syarat sebelum menikah, sehingga anak-anak perempuan belajar menenun sejak masih duduk di bangku sekolah dasar.

Di Desa Rambitan, selain Desa Adat Ende, ada Desa Adat Sade. Jaraknya hanya sekitar 5 kilometer. Bila dibanding Ende, perkampungan Sade lebih padat. Selain di Lombok Tengah, ada Desa Adat Segenter di Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Desa Adat Suku Sasak ini berada di dekat jalur pendakian ke Gunung Rinjani dari sisi Senaru. Konsepnya lebih-kurang sama, dan ruang antara rumah cukup lebar sehingga nyaman dikelilingi. Satu lagi yang berbeda dengan kampung Sasak di Lombok Tengah, tentunya hawa di sekitarnya yang sejuk karena berada di daerah pegunungan. l

Kawin Lari & Nyokolan

Bila kebanyakan suku mempunyai cara lamaran dengan sejumlah kerumitan, pada suku Sasak yang ada keunikan. Sebab, bila sudah sama-sama suka, untuk bisa menikah ada tradisi menculik calon mempelai wanita. Yang melakukan tak lain sang kekasihnya. Dilakukan tengah malam, si wanita tentunya sudah diberi tahu terlebih dulu, dia akan diculik dan dibawa ke rumah keluarga laki-laki. Keluarga perempuan biasanya menunggu hingga 24 jam, sampai yakin bila anak perempuannya telah diculik untuk dinikahi sang pujaan hatinya.

Selain itu, untuk pestanya, dikenal dengan nyongkolan, yakni mengarak pengantin keliling kampung untuk memperkenalkan kepada warga. Diiringi gendang khas Lombok yang dikenal dengan gendang beleg atau gendang besar. Tentunya, terasa meriah. l

Rita N./Frann/Dok. TL

Kampung Adat Cireundeu, Singkong Sejak 1918

Kampung adat Cireundeu di Cimahi mempertahankan tradisi leluhur.

Kampung adat Cireundeu mirip dengan desa-desa adat lain di Jawa Barat. Perkembangan peradaban mendorong bergesernya fungsi kebutuhan primer. Bahan makanan menjadi komoditas dan rumah menjadi instrumen investasi. Di tengah laju modernitas itu, sejumlah daerah di Jawa Barat masih mempertahankan pola kehidupan tradisional. Masyarakat adat ini teguh memegang warisan leluhur untuk senantiasa hidup selaras dengan alam.

Kampung Adat Cireundeu

Sebagian besar warga kampung-kampung adat di provinsi ini menggantungkan mata pencaharian sebagai petani. Mereka menjaga kelestarian lingkungannya dengan menghindari produk-produk sintetis, seperti pupuk, plastik, obat, dan sabun dari bahan kimia. Dengan keunikan karakteristik ini, kampung adat justru menjadi magnet bagi orang-orang yang jenuh dengan aktivitas serba instan dan udara kota yang polutif.

Kampung adat Cireundeu berada di Kelurhan Leuwigajah, Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Rumah Kampung adat Cireundeu. Foto: Dok. shutterstock

Kampung adat Cireundeu yang berada di kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Cimahi, Jawa Barat, agak berbeda dari kampung adat lainnya. Tanaman pertaniannya bukan padi, melainkan singkong. Masyarakatnya tidak mengonsumsi beras sebagai makanan pokok, tetapi rasi, singkatan dari beras singkong.

Awalnya pada 1918, penduduk Kampung adat Cirendeu mulai berpindah pola makan, dari beras ke singkong. Ini terjadi sesudah penjajah menyita lahan padi mereka melalui pemberlakuan tanam paksa atau Cultuurstelsel.

Sesudah itu, mereka terus melanjutkan peralihan tersebut mengikuti arahan dari Haji Ali atau Mama Ali yang menjadi tokoh setempat sampai terjadi bencana alam pada sekitar 1920-an. Pada saat itu terjadi bencana kekeringan yang berdampak pada kebun dan sawah masyarakat Cireundeu. Keluarga Haji Ali pun mulai mengenalkan pemanfaatan singkong yang diolah jadi beras.

Kamp;ung Adat Cireundeu terkenal karena hanya mengkonsumsi beras singkong.
Beras singkong atau rasi produksi masyarakat Kampng adat Cireundeu. Foto: Javalane

Seluruh warga kampung tersebut diminta Haji Ali untuk menanam singkong. Hal itu karena singkong dapat bertahan dalam bermacam kondisi. Semenjak itu masyarakat kampung adat tersebut mulai berpindah dan mengganti nasi dengan rasi, yaitu beras singkong untuk makanan utama mereka.

Sampai sekarang, secara turun temurun penduduk adat mengonsumsi singkong yang dinamakan dengan rasi untuk jadi pengganti makanan pokok. Cara pengolahan singkong dilakukan dengan cara digiling, kemudian diendapkan lalu disaring sehingga menghasilkan aci atau sagu.

Ampas dari olahan tersebut kemudian dikeringkan serta dibuat jadi rasi atau beras singkong. Selain itu, singkong juga diolah jadi bermacam camilan seperti opak, cireng, bolu, atau simping, bahkan jadi dendeng kulit singkong yang dijual sebagai oleh-oleh sesudah dikemas. Rasa kenyang karena mengkonsumsi singkong lebih lama daripada padi. Karenanya penduduk kampung adat ini hanya makan dua kali sehari.

Kampung adat Cireundeu dikelilingi sejumlah gunung, seperti Gunung Cimenteng, Gunung Gajahlangu atau Gunung Kunci.
Warga kampung adat Cireundeu mengolah singkong jadi bahan panganan. Foto: Dok. Javalane

Kampung adat Cireundeu berada di tempat yang sekelilingnya tertutup oleh gunung, lokasi tepatnya berada di lembah Gunung Cimenteng, Gunung Gajahlangu, dan Gunung Kunci.

Nama Kampung Cireundeu ternyata berasal dari nama pohon, yaitu “pohon reundeu”. Pohon ini banyak ditemui tumbuh di sekitar daerah tersebut dan diyakini tanaman tersebut mempunyai khasiat jadi tanaman herbal yang dapat digunakan untuk penyembuhan banyak penyakit.

Mereka memegang teguh warisan tradisi leluhur yang mengakar kuat. Sebagian besar penduduk Cirendeu tak suka merantau serta berpisah dengan sanak saudaranya. Kampung ini dihuni oleh 65 kepala keluarga yang sebagian besar bermata mata pencahariannya sebagai petani singkong. Luas Kampung Adat tersebut sekitar 64 hektare, yang sekitar 60 hektarenya diperuntukan bagi pertanian dan sisanya menjadi pemukiman.

Demi kelestarian alam, penduduk membagi hutan menjadi tiga bagian, yaitu leuweung larangan (hutan larangan), leuweung tutupan (hutan reboisasi), dan leuweung baladahan (hutan pertanian). Leuweung Larangan atau hutan larangan yakni hutan yang pepohonannya tak boleh ditebang karena pohon-pohon tersebut berfungsi sebagai penyimpanan air khususnya bagi penduduk Kampung adat Cireundeu.

Leuweung Tutupan atau hutan reboisasi yakni hutan yang dipakai untuk reboisasi. Pepohonan di hutan ini bisa atau boleh dipergunakan, tapi penduduk harus mengganti pohon lama dengan menanam pohon yang baru.

Leuweung Baladahan atau hutan pertanian, yakni hutan yang bisa digunakan oleh masyarakat setempat untuk berkebun. Biasanya lahan tersebut ditanami dengan jagung, singkong atau ketela, kacang tanah, dan umbi-umbian.

Masyarakat adat di Kampung Cireundeu kebutuhan airnya didapatkan dari mata air yang berada di lereng Gunung Gajahlangu. Mata airnya bernama Caringin. Tak hanya Caringin, kampung ini juga mengandalkan mata air yang bernama Nyimas Ende.

Bagi perempuan yang sedang haid dilarang untuk mendekat ke area mata air ini agar lokasi mata air terjaga kesuciannya. Menurut kepercayaan penduduk setempat itu adalah kabuyutan atau hal yang dihormati sekali.

Salah satu hal yang juga terus dipertahankan masyarakat desa ini adalah prinsip hidupnya. Mereka memegang teguh “Ngindung ka waktu, mibapa ka jaman. Artinya, senantiasa melestarikan cara, ciri, dan keyakinan masing-masing, tetapi tetap beradaptasi pada perubahan zaman. Misalnya, mengikuti perkembangan teknologi berupa listrik, televisi, atau ponsel. 

Jika berkunjung pada malam tahun baru Saka Sunda, yang biasanya jatuh pada bulan Oktober, wisatawan akan berkesempatan menyaksikan Upacara Syura-an yang dirayakan sebagai rasa syukur atas rahmat Tuhan. Para pemuka adat, warga, dan pemerintah kota akan datang dan turut meramaikan acara adat tersebut.

agendaIndonesia

*****

Tari Topeng Cirebon, 5 Jenis Yang Unik

Tari Topeng Cirebon merupakan kesenian yang pernah dipakai untuk menyebarkan agama Islam di Jawa Barat.

Tari topeng Cirebon merupakan salah satu kesenian asli daerah di pesisir utara Jawa Barat. Dan sesuai namanya, tarian ini dimainkan dengan mengenakan topeng atau kedok sebagai aksesoris utama. Topeng-topeng yang dipergunakan ini merupakan simbol-simbol dari karakter yang dimainkan dalam tarian tersebut.

Tari Topeng Cirebon

Tari topeng tidak hanya menyuguhkan keindahan dalam gerak, namun juga sarat akan aneka simbol yang penuh makna. Simbol-simbol ini direpresentasikan dalam bentuk topeng, jumlah topeng, hingga jumlah gamelan pengiringnya.

Masing-masing topeng memiliki makna yang disampaikan dalam setiap tari topeng. Ini meliputi nilai kepemimpinan, cinta, dan kebijakan yang disampaikan melalui media tari.

Tari topeng Cirebon memiliki akar pada kesenian di daerah lain di sekitar wilayah tersebut. Ini meliputi tari-tari topeng dari Subang, Indramayu, Majalengka, Jatibarang, hingga Brebes. Sampai saat ini masih belum diketahui pasti pencipta dari tarian ini. Pasalnya ada banyak versi cerita yang kerap dianggap sebagai asal usul tarian topeng.

Tari Topeng Cirebon awalnya hanya dipentaskan di dalam kraton Cirebon. Kraton asepuhan Cirebon.
Kraton Kasepuhan Cirebon. Foto: Dok. TL

Salah satu versi cerita yang paling terkenal adalah tari topeng dibuat pertama kali pada zaman Majapahit. Pasca runtuhnya kerajaan terbesar di Nusantara tersebut, tari topeng dipertahankan oleh Kesultanan Demak. Lalu menyebar ke wilayah Cirebon yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Demak.

Meski saat ini tari topeng menyebar di berbagai kalangan di Cirebon, namun awalnya tidak demikian. Tari topeng masih menjadi tarian eksklusif di dalam Keraton saja. Hingga suatu ketika raja-raja Cirebon tak memiliki dana memelihara semua kesenian Keraton.

Akibatnya para penari dan penabuh gamelan mencari sumber pendapatan di luar Keraton. Dan akhirnya tarian ini menyebar menjadi kesenian rakyat hingga ke pelosok-pelosok Cirebon.

Setelah Islam masuk pada masa Sunan Gunung Jati, tepatnya pada 1470, Cirebon kemudian dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam. Pada masa itu tari topeng Cirebon pun dipergunakan sebagai media untuk mengenalkan agama Islam bersama dengan seni pertunjukan lain.

Setiap tari topeng Cirebon menggunakan jenis topeng yang berbeda-beda, setidaknya ada lima jenis topeng yang umum dipentaskan. Ke lima jenis topeng itu dikenal dengan nama Panca Wanda, yakni masing-masing topeng Kelana, Tumenggung, Rumyang, Samba, dan Panji.

Tari Topeng Cirebon shutterstock
Warna topeng mencermikan sifat dan sikap lakon yang dijalani penarinya. Foto: dok shutterstock

Tiap detail dari tari topeng memiliki nilai filosofis tersendiri. Nilai filosofis tersebut bisa dilihat dari karakteristik topengnya. Ini digambarkan melalui warna dari masing-masing topeng yang juga melambangkan siklus hidup manusia.

Misalnya, topeng panji yang memiliki wajah putih bersih memiliki makna suci seperti bayi yang baru dilahirkan. Sedangkan topeng samba yang memiliki karakter anak-anak sebagai simbol keceriaan dan kelincahan.

Masa dewasa diwakili dengan topeng rumyang, gerakannya pun semakin mantap menunjukkan manusia yang mendekati kemapanan. Topeng temanggung menceritakan siklus kehidupan manusia yang telah menginjak masa kematangan dan kemapanan sempurna.

Sedangkan topeng kelana menggambarkan seseorang yang sedang marah. Biasanya, saat mengenakan topeng kelana gerakan yang akan dilakukan penari bercirikan gerak tubuh energik, lincah, dan bersemangat. Gerak tari topeng kelana menggambarkan seseorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah, dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu.

Tari topeng Cirebon merupakan jenis tarian sakral yang membutuhkan ritual khusus sebelum mementaskannya. Menurut kepercayaan setempat, umumnya para penari akan melakukan puasa, pantang, hingga semedi sebelum melakukan tari topeng.

Bahkan sebelum melakukan pertunjukkan tari topeng, masyarakat percaya bahwa harus disediakan dua sesaji. Dalam sesaji yang pertama berisi bedak, sisir, dan cermin yang melambangkan perempuan. Sedangkan, sesaji yang kedua berisi cerutu dan rokok sebagai lambang lelaki. Ada juga bubur merah yang menjadi lambang manusia dan bubur putih sebagai lambang dunia atas.

Selain itu, tari topeng Cirebon tidak bisa dipisahkan dari gerakannya yang indah nan gemulai. Ciri khas tarian ini terletak pada gerakan tangan yang gemulai dengan diiringi musik gendang dan rebab yang mendominasi sepanjang pementasan.

Tari Topeng Cirebon pada zaman dahulu biasanya dipentaskan menggunakan tempat pagelaran yang terbuka berbentuk setengah lingkaran, misalnya di halaman rumah, di blandongan atau tenda-tenda pesta atau di bale yakni panggung yang memakai obor sebagai penerangannya. Begitupun dengan berkembangnya zaman dan teknologi, tari Topeng Cirebon pada masa modern juga dipertunjukan di dalam gedung dengan lampu listrik sebagai tata cahayanya

Saat ini tari topeng Cirebon tidak hanya dipentaskan dalam hajatan di kampung-kampung saja. Tarian ini telah eksis hingga panggung mancanegara, seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat.

agendaIndonesia

*****