Kampung adat Naga di Jawa Barat selalu menarik perhatian mereka yang menyintai budaya dan adat istiadat. Dan itu semua dimiliki kampung yang konon sudah ada sejak abad 16.
Kampung Adat Naga
Kampung Adat Naga ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Yang unik letak kampung ini yang berada di lembah. Tidak hanya itu, Kampung Naga ini masih mempertahankan kearifan lokal dan budaya yang mereka jaga sejak dahulu.
Untuk mencapai Kampung Adat Naga ini dari Garut memakan waktu sekitar 1 jam. Letak kampungnya di sebelah kiri jalan. Uniknya adalah tata letak rumah dan arsitektur yang khas, sesaat sebelum masuk kampung kita harus melapor terlebih dahulu. Dan jangan mencari plang atau gapura tanda masuk desanya. Karena hal itu tidak ada.
Nama Naga sendiri selalu menjadi pertanyaan mereka yang pertama kali mengunjungi kampung adat ini. Dan pada kenyataannya hamper tak ada dokumen otentik yang bisa menerangkan hal tersebut. Tentu ada kisah atau cerita legenda yang mencoba menjelaskannya.Dan semuanya menarik hingga kampung ini, sebelum pandemi, rata-rata dikunjungi 300 wisatawan setiap bulannya.
Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah “Pareum Obor”. Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Maka bila diterjemahkan secara singkat artinya matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah Kampung Naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal-usul kampungnya.
Naga sendiri kita tahu berasal dari hewan mitologi Tiongkok, namun nama kampung ini bukan melambangkan hewan mitos tersebut. Nama ini berasal dari bahasa Sunda nagawir, yang berarti dikelilingi tebing atau jurang (gawir).
Nama itu kemungkinan diambil dari kepercayaan bahwa leluhur masyarakat Kampung Naga berasal dari Kerajaan Galunggung, bernama Sembah Dalem Eyang atau Eyang Singaparna yang merupakan anak dari Prabu Rajadipuntang (Raja Galunggung ke-7).
Ketika terjadi pergolakan penurunan tahta, Prabu Rajadipuntang berhasil meloloskan diri dengan membawa sejumlah pusaka kerajaan. Ia kemudian menemukan sebuah muara di antara Sungai Cikole dan Sungai Cihanjatan. Prabu Rajadipuntang kemudian membagikan pusaka kerajaan ke masing-masing putranya.
Eyang Singaparna mendapatkan warisan ilmu kabodoan (kebodohan). Dengan ilmunya itu, ia mendapat ilham agar mendapat ketenangan hidup bila bersembunyi di sebuah tempat yang terang.
Dalam perjalannya mencari kesahajaan hidup tersebut, Singaparna sampai di tempat yang dianggap aman dan tenang, sebuah lembah di pinggi Sungai Ciwulan. Sebuah lembah yang subur dan indah dengan dikelilingi perbukitan itulah yang kemudian menjadi Kampung Naga.
Kisah tersebut hampir mirip dengan versi sejarah yang ceritanya bermula pada masa kewalian Sunan Gunung Jati. Kisahnya, ada seorang abdi Sunan Gunung Jati bernama Singaparana yang ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari.
Di tempat tersebut sang abdi bersemedi dan dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga
Ada yang mencoba mengaitkan dengan sebuah prasasti yang disebut Piagam Naga. Namun jejak prasasti ini hilang saat terjadi pemberontakan DI/TII Karto Suwiryo pada 1957.
Apa pun versi ceritanya, yang pasti masyarakat Desa Neglasari, Kabupaten Tasikmalaya tersebut masih memegang erat adat istiadat dari leluhurnya. Mereka hidup dalam kesahajaan, tanpa alat elektronik dan kendaraan.
Perbedaan tersebut sangat terlihat jelas, jika dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Adat Naga. Kehidupan masyarakat lokal kampung tersebut terlihat dalam suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan lokal yang masih tradisional dalam kehidupan yang masih sangat melekat sehari-hari.
Hal lain yang terlihat soal kebersahajaan masyarakat kampung tersebut adalah dari rumah-rumah pemukiman penduduk. Bila diperhatikan, rumah penduduk di Kampung Naga ini seperti tanaman berjamur yang berjajar rapih. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik dan keunikan dari letak tatanan rumah di kawasan kampung tersebut.
Seluruh bangunan di kampung ini pun sama persis, yakni rumah panggung yang terbuat dari kayu. Atapnya berupa daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu.
Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah harus menghadap ke utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah barat-timur. Di sini rumah memiliki dua pintu yang sejajar. Bukan pintu depan dan belakang. Masyarakat di sini meyakini adanya pintu belakang akan membuat rezeki yang masuk dari pintu depan bisa keluar lewat belakang.
Jumlah rumah di Kampung Naga juga tidak pernah berubah, yakni 112 unit. Jika ada penduduk yang ingin membangun rumah baru, harus berada di luar kampung. Mereka kemudian akan menyandang predikat warga adat luar.
Kampung Naga memang merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari, di sini masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut.
Penduduk Kampung Naga semuanya beragama Islam. Begitupun, sebagaimana masyarakat adat lainnya, mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya.
Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Misalnya saja, kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus yang masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai, terutama bagian sungai yang dalam. Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari.
Jika pengunjung ada yang ingin menginap, dapat membuat janji terlebih dulu dengan pemandu setempat. Namun pelancong hanya boleh menginap maksimal satu hari.
Jangan lupa pelajari aturan tinggal di sini. Salah satunya, tidak boleh memasuki kawasan hutan larangan, apalagi memetik buahnya. Ini bukan karena alasan mistis, melainkan agar alamnya tetap lestari. Bahkan penduduk yang membutuhkan kayu bakar pun hanya boleh mengambil ranting yang sudah jatuh di sungai atau tanah sekitar hutan.
Berkunjung ke sini belum lengkap jika tidak mencoba sajian kulinernya. Ada pipis, kue singkong yang diisi gula. Menyantap makanan ini lebih nikmat jika ditemani bajigur yang hangat dan manis. Selain kuliner, sempatkan pula membeli kerajinan tangan dari penduduk Kampung Naga.
Sudah punya agenda mengunjungi Kampung Adat Naga?
agendaIndonesia
*****