Keris Desa Aeng Tong-tong Warisan Abad 14

Keris Desa Aeng Tong-tong memiliki sejarah yang panjang. Bahkan sejak abad 14.

Keris Desa Aeng Tong-tong di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, akhir-akhir ini makin dikenal publik awam. Ya, sebab bagi pecinta keris, desa ini sudah lama dikenal dan menjadi salah satu pilihan jika hendak memesan senjata tradisional yang sarat seni ini.

Keris Desa Aeng Tong-tong

Nama Desa Aeng Tong-tong melambung setelah menjadi salah satu dari empat desa wisata dari Provinsi Jawa Timur yang berhasil masuk 50 besar ADWI 2022. Terpilihnya Desa Wisata Aeng Tong-tong dalam kategori “Desa Wisata Terbaik” ADWI 2022 bukan tanpa alasan. Desa ini memiliki budaya serta kearifan lokal yang khas dan tidak dimiliki daerah lainnya, yakni sebagai desa penghasil keris dengan empu terbanyak

Keris Desa aeng Tong-tong menjadi salah satu pilihan para kolektor keris.
Para empu tengah menempa besi untuk menjadi keris. Foto: dok shutterstock

Buat yang masih sedikit asing dengan salah satu desa wisata terbaik di Jawa Timur ini, Desa Aeng Tong-tong merupakan wilayah dataran tinggi dan sebagian besar dataran rendah di pulau Madura. Desa Aeng Tong-tong dikelilingi berbagai sumber daya alam yang melimpah, seperti sawah, ladang tembakau, ladang padi, kebun kelapa, perbukitan, dan banyak lagi.

Desa Aeng Tong-tong adalah desa yang menjadi rumah bagi sekitar 640 empu —sebutan bagi perajin keris—di Sumenep. Kualitas mereka bahkan sudah diakui dunia. Sejak 2014, Sumenep telah mengukuhkan dirinya menjadi Kota Keris. Bahkan UNESCO telah pula menetapkan Kabupaten Sumenep sebagai daerah perajin keris terbanyak di dunia, dan sebagian besarnya ada di Desa Aeng Tong-Tong.

Menilik sejarahnya, dari empat kabupaten yang ada di Madura, salah satu yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan seni yaitu Songeneb atau kini disebut Sumenep. Pemilihan kata Sumenep diresmikan pada masa Penjajahan Belanda agar memudahkan pengucapan.

Desa Aeng Tong-Tong merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep. Desa ini memang memiliki banyak potensi, baik dari segi sumber daya manusia dan sumber daya alamnya.

Terpilihnya desa ini menjadi pusat industri bukan hanya karena keterampilan yang dimiliki masyarakatnya. Tetapi dari sejarahnya, budaya perkerisan yang dimiliki. Keris Desa Aeng Tong-tong mengalami pertumbuhan pesat pada masa pemerintahan Pangeran Joko Tole pada abad 14.

Desa Aeng Tong-tong adalah satu-satunya desa di Indonesia yang hampir 100 persen warganya adalah perajin keris. Menurut Mpu Sanamo, salah seorang perajin keris di desa tersebut, mereka mempunyai rumah asli peninggalan nenek moyang yang masih dipelihara keasliannya sampai saat ini. Di dalamnya ada sebuah pusaka yang diikat di sebuah tiang rumah, dan tidak pernah dipindahkan sampai sekarang.

Mengutipo jurnal Makna Keris dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat di Surakarta (2008) karya Akhmad Arif Musadad, keris sebagai benda pusaka dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Ini menyebabkan banyak mansyarkat yang mengagumi, menghormati dan menyimpannya.

Hingga sekarang, aktivitas membuat keris Desa Aeng Tong-tong masih terus dilestarikan, bahkan sudah menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat desa wisata tersebut. Demi terus melestarikan tradisi ini, budaya pembuatan keris Desa Aeng Tong-tong sudah dikenalkan pada anak-anak sejak memasuki usia sekolah dasar.

Diperkirakan, hingga saat ini ada ratusan empu yang berprofesi secara aktif sebagai perajin atau pembuat keris di Desa Aeng Tong-tong. Biasanya, keris yang dibuat di Desa Aeng Tong-tong digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar, pesanan pedagang, atau bahkan memenuhi para pesanan kolektor baik di dalam negeri atau mancanegara.

Ciri khas keris Desa Aeng Tong ada pada garapan badan kerisnya maupun warangka (sarung keris) yang halus dengan ukiran yang sangat indah. Proses pembuatannya tentu saja sangat panjang.

Keris Desa Aeng Tong-tong diproduksi oleh sekitar 640 empu pembuat keris.
Membakar besi untuk ditempa. Foto ilustrasi: shutterstock

Tak sembarang orang bisa membuat keris. Para empu tidak asal menempa besi panas, mereka juga harus berpengalaman dan paham mengenai seluk-beluk tentang keris.

Proses pembuatan keris dimulai dari pemilihan besi dan penempaan untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan. Dilanjutkan dengan metode penghalusan, menambahkan tembaga atau emas untuk diukir sesuai pesanan, hingga terakhir proses penyepuhan agar mendapatkan warna kering yang diinginkan.

Setidaknya dibutuhkan ribuan lapisan untuk menciptakan keris berkualitas terbaik. Selain itu, untuk bisa mendapat ketajaman keris, pada bagian tengah disisipkan lapisan baja. Setelah itu, keris akan terus ditempa dan diberi lapisan, supaya lebih kuat.

Sampai menjadi sebuah keris setidaknya terdiri dari 150 lipatan. Setelah dirasa cukup, maka bahan dasar tersebut kemudian diperhalus dengan gerinda. “Ditambahkan tembaga atau emas, dan kemudian diukir sesuai pesanan,” ujar Mpu Sanamo, perajin keris lainnya dari Desa Aeng Tong-tong.

Setelah proses penempaan, pembuatan keris dilanjutkan dengan pembentukan bilah dan proses kinatah (ukir besi). Ini dilanjutkan lagi dengan proses warangka atau pembuatan sarung keris dari bahan kayu. Hingga proses terakhir adalah mewarangi atau memberi lapisan pada besi kerisnya, biasanya campuran cairan arsenic dengan air jeruk nipis yang dioleskan atau untuk celupan kerisnya.

Keris Desa aeng Tong-tong adalah prosuk seni yang cocok untuk dikoleksi.
Keris Desa Aeng Tong-tong Sumenep indah untuk dikoleksi. Foto: dok, shutterstock

Proses pembuatannya memang sangat panjang. Tidak heran jika satu keris rata-rata bisa memakan waktu pengerjaan 2 hingga =6 bulan. Hal ini tergantung pada kesulitan dari ukiran serta bentuk keris yang dibuat.

Setelah melewati tahapan pembuatan keris, biasanya para empu di Desa Aeng Tong-tong akan menghelat ritual pencucian keris dan ziarah makam leluhur. Biasanya, ritual tersebut akan dilakukan bersama dengan pesta rakyat dan diramaikan dengan kesenian tradisional.

agendaIndonesia

*****

Gong Factory, 1 Peninggalan Zaman Kolonial

Gong Factory, pabrik gong di Bogor Jawa Barat

Gong Factory, siapa sangka pabrik gong di Bogor, Jawa Barat, ini berdiri sejak zaman kolonial. Gemanya telah terdengar hingga ke mancanegara. Tak hanya memproduksi gong untuk gamelan kesenian Sunda dan Jawa, tapi juga untuk alat musik Batak, Aceh, juga Minang.

Gong Factory Bogor

Lidah api itu menari-nari. Saling berkejaran menjilat ke udara lalu lenyap sekejap. Lantas muncul dengan cepat lidah api baru. Silih berganti tiada henti. Panas yang sangat menyergap seakan tak dihiraukan oleh seorang pekerja di sudut ruangan itu. Matanya mantap tertuju pada sebuah loyang yang sedang mencairkan logam tembaga dan timah. Seorang pekerja lainnya, yang posisinya agak jauh, bertugas menjaga api agar tetap membara. Campuran kedua bahan logam ini nantinya akan dibentuk menjadi lempengan yang siap ditempa menjadi gong.

Kegiatan serupa juga ditemui di tengah ruangan pabrik Gong Factory, Bogor, Jawa Barat. Namun pekerjanya lebih banyak. Setidaknya ada sekitar lima orang. Mereka inilah yang menempa lempengan logam campuran tadi menjadi sebuah gong. Seorang pekerja bertugas menjaga bara api dengan alat pengembus angin (blower). Sementara itu, satu orang pekerja lagi, bertugas meletakkan lempengan logam campuran tadi di tengah bara dengan menggunakan potongan kayu panjang.

Sedangkan sisanya, tiga pekerja, sudah bersiap dengan palu kayu di tangan masing-masing. Setelah lempengan logam yang masih merah menyala diletakkan di tanah, mereka dengan sigap memukulnya bergantian. Hantaman palu berkali-kali itu tidak langsung membentuk gong. Lempengan tadi masih harus dibakar lagi dan ditempa lagi. Begitu seterusnya.

Bara masih menyala. Sambil menunggu lempengan logam dibakar, seorang pekerja berujar kepada saya. ”Palu ini beratnya sekitar 8 kilogram,” katanya. Wow! Terbayang dalam benak saya betapa sulitnya membuat sebuah gong. Mereka harus menghantamkan palu seberat itu berulang kali. Tak mengherankan jika peluh sudah membasahi tubuh mereka di siang itu.

Sekitar tiga jam lamanya, lempengan logam tadi sudah berubah bentuk menjadi gong walaupun warnanya masih menghitam akibat proses pembakaran tadi. Namun proses itu belum terhenti di sana. ”Kita harus mencari nada,” jelas Hidayatullah, seorang pekerja yang diminta menjadi juru bicara dadakan oleh rekan pekerja siang itu.

Dibantu rekan-rekannya, Dayat–begitu ia akrab disapa–kembali menghantam gong dengan palu yang agak ringan. Ya, lebih ringan hantamannya kali ini. Gong tersebut kemudian diangkat dan diketuk sehingga mengeluarkan bunyi. ”Sedikit lagi,” katanya. Proses pencarian nada ini pun berlangsung berulang kali. ”Ini baru dapat nadanya,” ujarnya sembari tersenyum.

Proses pengerjaan gong berdiameter 40 cm dengan berat 4 kg itu, kata Dayat, membutuhkan waktu sekitar sehari. Sebab, setelah ketemu nadanya, gong masih harus dipoles agar muncul warna keemasan. Dalam sehari, Dayat dan rekan-rekan mampu mengerjakan sekitar 2 buah gong berukuran 40 cm. Lain halnya jika harus membuat gong berukuran lebih besar lagi. Tentu butuh waktu yang lebih lama.

Menurut Dayat, Gong Factory biasa membuat pesanan pembuatan gong dengan berbagai diameter, yaitu mulai 25 hingga 60 cm. ”Dari Nong (gong terkecil), Bonang, Saron, Jengglong, sampai gong besar,” paparnya.

Mengenai harga, sebuah gong ditentukan oleh beratnya. Sebagai contoh, gong kecil dengan berat sekitar 3 kg dikenai Rp 900 ribu, ukuran 7 kg seharga Rp 2 juta. Gong berukuran besar dengan berat 10 kg dijual dengan harga Rp 3 juta, sedangkan yang berukuran 20 kg dijual seharga Rp 6 juta.

Pabrik gong yang berada di pinggir jalan raya ini tidak hanya membuat gong Sunda dan Jawa, tapi juga gong Batak, Aceh, dan Minang. Pembelinya tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke. Bahkan, pesanan dari mancaranegara juga dilayani, seperti dari Malaysia, Singapura, Brunei, Austalia, Belanda, dan Amerika.

Tak hanya melayani pembuatan gong, lanjut Dayat, pabrik ini juga sering dikunjungi wisatawan asing yang ingin melihat proses pembuatan gong dan kemudian membelinya untuk oleh-oleh pulang ke negaranya. Turis-turis yang datang beragam, dari berbagai belahan benua, seperti Asia, Eropa, dan Amerika. “Namun yang paling banyak adalah yang berasal dari Amerika Serikat.”

Mungkin, kata Dayat, karena pabrik gong ini sudah lama berdiri. Pabrik gong turun-menurun yang masih tradisional itu kini dikelola oleh generasi ke-6. Pemiliknya bernama Haji Sukarna yang kini berusia lebih dari 80 tahun. Dayat juga meyakini jika pabrik gong tempatnya bekerja merupakan satu-satunya pabrik yang ada di Jawa Barat. Sebagian masyarakat Bogor mengenalnya sebagai Gonghom.

Pabrik gong yang buka setiap hari mulai pukul 8.00 -15.00, kecuali Jumat, ini pun tak pernah berpindah lokasi sejak pertama kali di zaman kolonial. Bangunan pabriknya kini memang sudah menua dan sederhana. Namun hasil karya gong dari Pancasan ini sudah menggema hingga ke mancanegara.

Andry Triyanto-Dok. TL

Seren Taun, Harmoni Angka 18 dan 22

Seren Taun adalah harmoni antara angka 18 dan 22. Mungkin belum banyak paham makna angka-angka tersebut. Namun, rasanya sudah banyak yang tahu jika ritual ini adalah upaya harmonisasi manusia dan alamnya. Sebuah kearifan lokal.

Seren Taun, Harmoni Angka 18 dan 22

Pagi itu, ratusan orang berkerumun di pinggir Jalan Raya Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Mereka menanti rombongan yang mengarak hasil bumi seperti padi, buah-buahan, dan umbi-umbian menuju halaman paseban. Itulah sepenggal perayaan Seren Taun, upacara adat masyarakat Sunda sebagai wujud syukur sekaligus harapan untuk musim panen yang akan datang. Kini acara ini menjadi salah satu kekuatan wisata adat Sunda.

Meski mengusung makna yang sama, prosesi Seren taun berbeda-beda dari satu desa ke desa lainnya. Namun secara umum, masyarakat mempersembahkan hasil bumi dengan membawanya berkeliling kampung dan dilanjutkan dengan ritual menumbuk padi bersama-sama.

Puncak perayaan Seren Taun selalu dilakukan setiap tanggal 22 Rayagung, yakni bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda di Jawa Barat. Jika diselaraskan dengan kalender Masehi, biasanya jatuh sekitar bulan September. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada tanggal 18 Rayagung, ritual dimulai dengan prosesi damar sewu alias seribu lentera. Ketika malam tiba, satu obor besar akan dinyalakan, dilanjutkan dengan menyalakan obor-obor lain di sepanjang jalan desa sebagai simbol penerang jiwa.

Ritual selanjutnya bernama pesta dadung, yakni kegiatan menari dan menyanyi sambil memegang dadung atau tali pengikat kerbau atau sapi. Tradisi ini menjadi ungkapan cinta petani dalam mengelola sawah dan ternak dari segala gangguan (hama). Pesta dadung kerap dibarengi upacara membuang hama ke Situ Hyang.

Berbeda dengan pertanian modern yang menggunakan pestisida, masyarakat agraris konvensional memiliki kearifan untuk sekadar memindahkan hama agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Dengan begitu, baik cacing, belalang, wereng, katak, tikus, ular, maupun manusia sendiri dapat hidup dalam harmoni tanpa ada yang punah atau berlebihan jumlahnya.

Berikutnya adalah malam kidung spiritual sebagai aktivitas sakral dari berbagai agama, adat, dan kepercayaan. Maka tak heran jika dalam upacara Seren Taun biasanya turut hadir para pendeta, pastor, biarawati, kiai, pandita, dan biksu. Selain itu, ada pula para raja dan sultan dari kerajaan lain, seperti Sultan Yogyakarta, Sultan Demak, Raja Sinjai, Raja Nusa Tenggara Timur (NTT), Raja Nusa Tenggara Barat (NTB), Raja Luwu, Raja Agung Tapanuli, dan Ratu Sumatera Utara.

Sementara ritual terakhir sebagai puncak Seren Taun terdiri atas persembahan kesenian, ngajayak atau persembahan hasil bumi, babarit atau tembang rohani, dan rajah pawahaci atau rangkaian doa. Sebagai penutup, ada kegiatan tumbuk padi (nutu) dan makan bersama. Aktivitas nutu diawali dengan pemberkatan aluoleh ketua adat, kemudian diserahkan oleh para pejabat dan undangan khusus.

Pada pesta makan bersama, semua peserta boleh ikut makan nasi tumpeng, tanpa kecuali. Prosesi ini mengabaikan segala sekat dan perbedaan status sosial. Maka untuk kesekian kalinya, Seren Taun kembali mengajarkan pentingnya menyelaraskan segala macam kebinekaan, tanpa menyeragamkannya.

Muasal Seren Taun

Dalam Bahasa Sunda, seren artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, sedangkan taun berarti tahun. Maka Seren Taun dapat dimaknai sebagai penyerahan hasil panen selama setahun sebagai wujud syukur kepada Tuhan dan harapan agar panen tahun mendatang akan lebih baik.

Tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun sejak era kerajaan Sunda purba, ketika masyarakat masih menganut agama nenek moyang yang berbasis kehidupan agraris. Seorang tokoh bernama Kiai Madrais kemudian merumuskan pola ajaran ini dan menerapkannya ke dalam berbagai ritual Seren Taun. Sekarang setelah kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang, ritual Seren Taun dilaksanakan dengan doa-doa Islam.

Selain doa-doa, bagian upacara lain yang menjadi daya tarik ritual Seren Taun adalah pertunjukan tarinya. Masing-masing daerah dapat menampilkan tarian yang berbeda. Namun umumnya terdapat tiga tarian yang selalu muncul, yaitu:

  • Tari Pwah Aci Sanghyang Sri

Nyai Pwah Aci Sanghyang Sri atau lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri merupakan dewi kesuburan yang selalu hadir dalam tradisi masyarakat agraris Nusantara. Tari ini ditujukan untuk menghormati Sang Dewi yang telah memberikan welas asih berupa pangan bagi kelangsungan hidup manusia. Karena tergolong sakral, tarian berkisar pada gerakan tangan mengarah pada mata, hidung, mulut, dan telinga untuk menetralisir rohdalam tubuh manusia agar dapat rataatau seimbang.

  • Tari Ngareremokeun

Berbeda dengan tari lainnya, Ngareremokeun dipentaskan oleh para lelaki dengan ritme yang ringan dan penuh penghayatan. Mereka menari sambil melantunkan kidung pujian diiringi angklung. Setelah itu, satu per satu duduk bersimpuh lalu menggosok gigi dengan sirih dan pinang.

  • Tari Buyung

Tarian ini menggunakan buyung dan kendi sebagai instrumennya. Buyung adalah benda yang biasa digunakan untuk mengambil air di sungai, sedangkan kendi merupakan tempat air sebelum dituang ke cangkir atau gelas. Para gadis harus melenggang di atas kendi, sembari menyunggi buyung di atas kepalanya. Mereka harus bergerak dengan penuh konsentrasi agar tidak jatuh atau menjatuhkan buyung. Atraksi ini menyiratkan pentingnya keseimbangan dalam menjalani kehidupan.

Selain ketiga tarian di atas, upacara yang berlansung selama berhari-hari memungkinkan masyarakat menampilkan banyak tarian Sunda lainnya, seperti Tari Jamparing Apsari dan Puragabaya yang lebih rancak.

Makna di Balik Angka

  • 18

Ritual Seren Taun dimulai sejak tanggal 18 bulan Rayagung. Dalam bahasa Sunda, bilangan 18 diucapkan dalapan welas. Kata ini identik dengan ungkapan welas asih yang berarti cinta kasih dan kemurahan Tuhan yang telah menganugerahi kehidupan bagi umat-Nya.

  • 22

Tanggal penyelenggaraan Seren Taun adalah 22 bulan Rayagung. Bilangan ini sama dengan jumlah padi yang diarak, yaitu 22 kuintal. Pembagiannya, 20 kuintal ditumbuk serta dibagikan ke penduduk dan 2 kuintal dijadikan benih. Dilansir dari situs kuningankab.go.id, angka 20 merefleksikan jumlah anatomi tubuh manusia, sedangkan angka 2 mengacu pada dualitas kehidupan, seperti siang-malam, baik-buruk, dan sebagainya.

Lokasi Perayaan Seren Taun

Setiap tahunnya, upacara Seren Taun berlangsung semarak di berbagai desa adat Sunda. Ratusan orang tumpah ke jalanan setiap hari, padahal rangkaian acara dilakukan selama 5 – 7 hari. Tak hanya melulu dari penduduk daerah di Jawa Barat, Seren Taun bahkan sudah menarik perhatian turis domestik dan mancanegara. Tertarik untuk ikut menyaksikan? Inilah beberapa desa adat Sunda yang menggelar Seren Taun pada setiap bulan September.

  • Kampung Adat Sindang Barang

Kampung Sindang Barang terlatak di Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Kampung Sindang Barang disinyalir merupakan kampung tertua yang berada di Bogor, diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda sekitar abad XII. Di sinilah kebudayaan Sunda Bogor bermula dan bertahan, salah satunya upacara adat Seren Taun yang sesuai dengan mata pencaharian utama warganya, yakni petani.

  • Desa Cigugur

Desa Cigugur berada di lereng Gunung Ceremai, tepatnya di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Perayaan Seren Taun di sini adalah salah satu yang paling meriah. Awal munculnya perayaan Seren Taun di Desa Cigugur adalah ketika Kiai Madrais menetapkan tanggal 1 Muharam sebagai waktu diadakannya upacara Seren Taun. Menurut ajaran Madrais, Sanghyang Sri atau Dewi Padi perlu dihormati dengan upacara religius daur ulang penanaman padi untuk mengendalikan hawa nafsu dan menyelamatkan hidup.

  • Kampung Adat Ciptagelar

Ritual Seren Taun di Kabupaten Sukabumi terselenggara di pelataran alun-alun Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok. Alun-alun kasepuhan selalu ramai oleh warga dan tamu dari berbagai daerah pada puncak acara Seren Taun yang sudah dilakukan sejak 646 tahun silam.

  • Kasepuhan Pasir Eurih

Warga Kasepuhan Pasir Eurih menggelar ritual Seren taun di Desa Sindanglaya, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Ritual Seren Taun juga menjadi ajang silaturahmi antara warga sesama masyarakat Desa Sindanglaya. Dimulai dengan ziarah kubur, dilanjutkan dengan pembacaan dongeng tentang leluhur Pasir Eurih, dan berdoa untuk para leluhur. Puncaknya adalah ngariung, yaitu membawa nasi atau hasil bumi ke kasepuhan kemudian berzikir dan makan bersama.

Dok. TL

Artjog2022, Yogyakarta Merayaan Seni

Artjog 2022 sedang berlangsung di Yogyakarta mulai 7 Juli hingga 4 September 2022.

Artjog2022 digelar sebagai perayaan atas seni dan kesenian Yogyakarta. ArtJog adalah festival, pameran, dan pasar seni kontemporer yang digelar tahunan. Tahun ini digelar mulai 7 Juli hingga 4 September 2022.

Artjog2022

Acara ini pertama kali diadakan pada 2008 dengan nama Jogja Art Fair yang merupakan bagian dari rangkaian acara Festival Kesenian Yogyakarta XX. Pada 2009, Jogja Art Fair tidak lagi menjadi bagian dari Festival Kesenian Yogyakarta. Ini lalu berlanjut pada 2010 namanya berubah menjadi ArtJog. 

artjog2022 berlangsung Jogjakarta Nasional Museum dari 7 Juli hingga 4 September di
Artjog2022 berlangsung di Jogjakarta National Museum. Foto Badan Otorita Borobudur-Kemenpaekraf

ArtJog awalnya digelar di lokasi Taman Budaya Yogyakarta. Ini berlangsung sampai 2015. Tahun selanjutnya, 2016, acaranya mengambil tempat di Jogja National Museum (JNM). Dan masih di sana hingga 2022 ini.

Tahun ini, Artjog2022, atau penyelenggara dalam artjog.id menuliskannya ARTJOG MMXXII, mengambil tema Arts in Common – Expanding Awareness. Tema ini mengakhiri seri ARTJOG arts-in-common yang sejak 2019 membingkai ketiga pameran dalam triplet tematik ‘ruang’ – ‘waktu’ – ‘kesadaran’.

Tema ini dimaknai sebagai upaya perluasan kesadaran yang akumulatif dan resiprokal antara seniman dan khalayak dengan merefleksikan realitas yang kini, masa depan, serta harapan-harapan yang harus diwujudkan.

Salah satu agenda utama dalam Expanding Awareness adalah memberikan perhatian pada kesenian yang mendukung inklusivitas. Hal yang diimplementasikan pada seleksi kuratorial, program-program, dan penyelenggaraan secara lebih luas. ARTJOG arts-in-common bukan melulu soal ‘kesenian untuk semua’, tapi juga tentang cita-cita terwujudnya sebuah dunia bersama.

Kesuksesan Artjog tidak lepas dari peran penting seorang seniman bernama Heri Permad. Pemad sendiri dalam bahasa slank Yogya bisa diartikan “edan”. Berawal dari kegelisahan Heri Permad yang melihat bahwa seniman tidak dikenal cukup luas oleh khalayak.

ArtJog diselenggarakan oleh Heri Pemad Art Management yang berbasis di Yogyakarta.

Dari tribunnewswiki, disebutkan Heri merasa banyak masyarakat Indonesia yang berkompeten dalam bidang seni. Dari penggiat seni, kolektor seni, kurator, hingga seniman.

Selain itu, Heri merasa infrastruktur seniman masih kurang, serta galeri yang belum tersebar luas. Hingga pada akhirnya, Heri Permad memiliki ide untuk mendirikan Jogja Art Fair di Taman Budaya Yogyakarta. Ia kemudian mengajak seluruh seniman yang dikenal untuk berpartisipasi. Tak disangka, ratusan seniman ingin berpartisipasi di Jogja Art Fair.

Saat ini ArtJog2022 bisa disebut sebagai satu diantara pameran seni rupa berskala besar di Indonesia yang paling konsisten penyelenggaraannya. Ia adalah perhelatan yang dinanti oleh banyak kalangan, dari kancah lokal maupun internasional.

Hingga 2010, ketika terjadi perubahan nama baru menjadi ArtJog, boleh dikatakan peserta Artjog masih lingkup nasional. Hingga pada akhirnya, Artjog mulai melebarkan sayap ke dunia internasional. Sejak saat itu, Artjog menyajikan berbagai bingkai kuratorial yang spesifik dan seleksi yang lebih ketat.

Tak hanya sekadar pameran seni kontemporer yang menyajikan karya seni yang dapat dipajang. ArtJog juga memiliki program-program menarik antara lain exhibitiondaily performancemarchandise project, dan fringe.

Dalam program exhibition Artjog memiliki tiga kategori yaitu Special Project, Special Invitation, dan Young Artist Award. Pada kategori Special Project, Artjog membuka ruang untuk presentasi seni lintas disiplin.

Selanjutnya pada kategori Special Invitation, Artjiog akan menampilkan karya-karya terbaik dari para seniman undangan yang karyanya berkaitan dengan tema yang diusung. ArtJog juga membuka kesempatan bagi seniman dan publik berusia di bawah 35 tahun untuk berpartisipasi dalam pameran melalui panggilan terbuka untuk dikurasi. Kategori Young Artis Award dirancang sebagai wujud apresiasi dan menggali potensi seniman muda.

artjog2022 cara masyarakat Yogya merayakan seni.
Artjog2022 merupakan salah satu cara masyarakat Yogyakarta merayakan seni. FotoL BAdan Otorita Borpobudur-Kemenparekraf

Tak hanya menyajikan seni kontemporer dalam bentuk gambar saja, Artjog juga memberikan keberagaman bentuk seni lainnya seperti seni musik, seni pertunjukkan, dan seni tari.

Selain itu Artjog mengundang seniman dan pekerja kreatif untuk membuat dan memasarkan produk agar dapat ditemui oleh publik. Hingga saat ini terdapat 62 produk yang bergabung dengan Artjog.

Dalam soal standardisasi dan edukasi, ArtJog memiliki program bernama Curatoral Tour. Di sini pengunjung akan diajak untuk berkeliling ruang pameran dengan dipandu oleh tim curator Artjog.

Pada program Meet The Artist, Artjog memfasilitasi publik untuk bertemu dan berbincang langsung dengan seniman yang terlibat dalam pameran Artjog. Program ini memberikan pertukaran pengetahuan dan dialog antara seniman dan publik.

ARTJOG MMXXII

7 Juli-4 September 2022

Jogjakarta National Museum

Jl. Prof. DR. Ki Amri Yahya No.1, Pakuncen, Wirobrajan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55167

agendaIndonesia

*****

Tari Barong Bali 1 Simbol Kebaikan Lawan Kejahatan

Tari Barong Bali

Tari Barong Bali 1 simbol kebaikan lawan kejahatan. Ini dipercaya masyarakat pulau Dewata. Karena itu, awalnya tari-tari Barong dipergelarkan pada acara-acara khusus di banjar-banjar di Bali. Belakangan, tari-tari yang sakral ini makin disenangni para wisatawan dan peminat seni tari dan kebudayaan.

Tari Barong Bali

Sekitar pukul 09.00, saya ke luar tergesa dari hotel di pantai Kuta, Badung, Bali. Tak sempat sarapan, dan mandi pun secepat kilat. Ingin segera rasanya mengulang pengalaman di masa kecil ketika pertama kali menginjak Pulau Dewata. Saat masih duduk di sekolah dasar, dalam liburan ke Bali, orang tua saya mengajak menonton pertunjukan Tari Barong dan Keris. Saya masih ingat tempatnya, di Batu Bulan, Sukawati, Gianyar. Namun pagi ini saya putuskan untuk menonton di lokasi lebih dekat, tidak jauh dari Sanur.

Jalanan tidak terlalu padat di akhir pekan, padahal semalam melewati jalan-jalan seputar Kuta dan Seminyak membutuhkan kesabaran. Badan jalan dipadati kendaraan, sedangkan trotoar dipenuhi pejalan kaki. Hanya dalam 20 menit, saya sudah berada di Jalan Waribang No. 21, Kesiman, Denpasar. Beberapa bus sudah terparkir di bagian depan. Di bagian belakang pun area sudah dipenuhi kendaraan roda empat. Saya menuju loket tempat pertunjukan bernama Uma Dewi Kecak & Sanghyang ini. Tiket masuk Rp 100 ribu per orang.

Pertunjukan masih 30 menit lagi, tapi tempat duduk sudah hampir terisi penuh. Logat berbagai daerah dari penonton terdengar silih berganti mampir ke telinga saya. Belum lagi obrolan dalam bahasa asing. Turis lokal dan mancanegara, sama-sama berharap pada satu hal: menyimak tarian yang merupakan simbol kebaikan dalam budaya Bali.

Tak lama pemukul gendang menunjukkan aksi, diikuti para pemain gamelan semar pegulingan dengan memunculkan suara nang ning nong neng. Para penonton pun langsung terdiam. Dalam gending pembukaan, penari Barong muncul. Kaki bergerak disusul gerakan lain, termasuk bagian pinggul. Tak lama sang kera pun datang, melucu dan menggoda hingga para penonton pun terbahak hingga tiga penyerang datang.

Panggung pun berganti pemain, ada dua penari berlenggok. Inilah babak pertama. Keduanya adalah pengikut Rangda yang tengah mencari para pengikut Dewa Kunthi. Tari Barong memang menggambarkan pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Rangda-lah dalam panggung ini

yang menjadi bagian dari sisi buruk. Dicuplik dari kisah Mahabharata, rangkaian Tari Barong menunjukkan kondisi yang ada dalam kehidupan, selalu ada sisi baik dan buruk. Keduanya bertarung, dan tak ada yang menang. Memunculkan tokoh-tokoh tak hanya Barong dan Rangda, tapi juga Dewi Kunti dan anaknya Sahadewa, kemudian Dewa Siwa, serta Kalika, salah satu pengikut Rangda. Di akhir pertunjukan digelar Tari Keris yang dibawakan sejumlah pria.

Dibumbui banyolan, tarian ini memungkinkan sebagian penonton yang tak paham inti cerita tertawa. Namun, namanya juga kehidupan, yang buruk dan baik bisa jadi muncul bersamaan, juga yang serius dan penuh canda pun sama-sama berdampingan. Di akhir acara, sejumlah penonton berburu foto bersama para pemain di atas panggung.

Berfoto menjadi akhir yang menyenangkan bagi semua pihak. Para penonton benar-benar senang bisa berdampingan dengan penari, Rangda, Dewa Siwa, dan Sahadewa. Senyum melebar terlihat dalam setiap jepretan. Tentu saja, Barong paling banyak didekati, mulutnya beradu karena terus digerakkan. Lewat lubang itulah para penonton bisa memberi donasi khusus buat para pemain.

Saya pun mengintip di bagian dalam Barong. Ada dua orang yang terlihat bertubuh tergolong kurus. Keduanya disebut juru saluk atau juru bapang. Masing-masing memiliki tugas,

di depan untuk menggerakkan bagian kepala, sedangkan satu lagi menggoyangkan bagian belakang. Topeng yang biasa dipertontonkan untuk pertunjukan Tari Barong dan Keris merupakan perpaduan wujud dari singa, macan, sapi, dan naga yang dikenal sebagai jenis Barong Ket.

Badan Barong Ket terlihat mewah karena dihiasi dengan kulit dan ratusan kaca cermin berukuran kecil. Bulu-bulu yang menutup tubuhnya terbuat dari sejenis tanaman pandan dan injuk. Sesungguhnya, seperti dituturkan salah seorang petugas, Tari Barong merupakan salah satu tari sakral bila dipertunjukkan di pura. Dalam berbagai prosesnya, termasuk pembuatan topeng dan pemilihan pemain, harus dilakukan sejumlah upacara. “Pemainnya benar-benar terpilih, harus melakukan upacara terlebih dahulu dan menunggu yang ‘membisiki’,” papar Ketut.

Demikian juga dalam pembuatan topengnya, harus diambil dari pohon-pohon khusus, yang biasanya ditemukan di permakaman atau pura. “Pohon tersebut memiliki bagian yang cembung,” ia menambahkan. Kayu untuk membuat topeng pun terlebih dulu dibuat upacara, sehingga dari upacara sampai pembuatan selesaibisa memakan waktu hingga empat bulan. Setelah proses panjang tersebut, baru bisa dibawakan. Khusus di area pertunjukan untuk para turis, biasanya digelar setiap pagi dengan durasi sekitar 60 menit.

RITA N.-TL

Tari Barong Bali
Tari Barong Bali dalam sebuah pertunjukan di pulau Dewata. Dok. Rita N-TL

JENIS-JENIS TARI BARONG

Barong Ket atau Barong Keket

Sosoknya menjulang tinggi, dua kali lipat orang dewasa. Sosok laki-laki dinamakan Jero Gede, sedangkan pasangannya disebut Jero Luh. Jenis ini dibuat untuk mengelabui makhluk- makhluk halus yang menebar bencana. Gerakan tarinya merupakan yang terlengkap. Badannya berhias ukiran rumit dan kaca-kaca kecil. Diberi

pula rambut yang terbuat dari sejenis pandan dan injuk.

Barong Bangkal

Bangkal adalah babi dewasa jantan. Karena itu, barong ini menyerupai

babi. Babi betina dinamakan bangkung sehingga sering juga disebut Barong Bangkung. Biasanya Barong Bangkal dibawa mengelilingi desa pada hari raya Galungan-Kuningan.

Barong Landung

Hanya dibawakan oleh seorang penari, di bagian perut barong dibuat lubang sebagai celah pandang sang penari. Musik pengiring tarian Barong Landung adalah gamelan Batel.

Barong Macan

Jenis barong yang menyerupai macan ini dibawa mengelilingi desa. Barong yang diiringi gamelan batel ini cukup dikenal.

Barong Kedingling

Disebut juga Barong Blasblasan.
Ada juga yang menyebutnya Barong Nong Nong Kling. Banyak ditemukan di sekitar Gianyar, Bangli, dan Klungkung. Bentuknya berbeda sekali dengan jenis barong lain. Sebab, barong ini lebih menyerupai kostum topeng yang masing-masing karakter ditarikan oleh seorang penari. Tokoh- tokohnya seperti dalam Wayang Wong. Pertunjukannya diiringi gamelan batel atau babonangan.

Barong Gajah

Sesuai dengan namanya menyerupai gajah. Termasuk barong langka dan dikeramatkan. Biasanya dipentaskan di daerah Gianyar, Tabanan, Badung, dan Bangli.

Barong Asu

Jenis barong langka yang menyerupai anjing. Hanya terdapat di beberapa desa di Tabanan dan Badung. Biasanya dipentaskan dengan berkeliling desa (ngelelawang) pada hari-hari tertentu dengan iringan gamelan batel atau tetamburan atau Balaganjur.

Barong Brutuk

Yang satu ini tergolong langka dan hanya ditarikan pada saat khusus. Terbuat dari batok kelapa, dan badannya dari daun pisang kering, serta bentuknya lebih primitif. Barong ini melambangkan makhluk-makhluk suci di Pura Pancering Jagat, Trunyan, Kintamani. Penarinya adalah remaja yang telah disucikan.n

Menikmati 1 Tradisi Batik Pecinan Lasem

Berburu batik jangan sampai melewatkan mampir ke Lasem. Di sini ada batik dengan motif campuran oriental dan Jawa.

Menikmati 1 tradisi pecinan Lasem, Jawa Tengah, seperti menggambarkan perjalanan sejarah Nusantara yang tak lepas dari terpaan budaya Tionghoa. Lasem telah kesohor sebagai kota pecinan tua di Indonesia. Konon, kota ini merupakan peradaban masyarakat Tionghoa pertama di tanah Jawa.

Menikmati 1 Tradisi Batik Pecinan

Mengunjungi Lasem seperti menyusuri lorong waktu. Di sini, waktu seakan berhenti. Gedung-gedung bangunan milik masyarakat setempat di sana masih lawas. Pemiliknya hidup mempertahankan keaslian warisan pendahulu mereka. Little China atau Tiongkok Kecil, begitulah orang-orang menyematkan julukan pada Lasem, sebuah kecamatan kecil di Rembang, Jawa Tengah. Kota ini kemudian menjadi magnet bagi para penyuka sejarah. Juga para pegiat budaya Cina.

Lasem tak ayal kian hari menjadi derah tujuan wisata. Namanya lekat dengan embel-embel destinasi sejarah. Pariwisata Lasem berkembang seiring dengan meningkatnya hobi masyarakat Indonesia untuk berwisata. Dari sini pula dikenal sesuatu karya seni khas, batik Lasem yang telah dikenal seantero Nusantara.

Menjangkau Lasem dari Jakarta tidaklah sulit. Bahkan, jikapun memiliki bujet terbatas, Anda masih bisa nekat menyambangi kota itu dengan cara murah dan nyaman. Langkah pertama dari Jakarta ialah memilih transportasi kereta api menuju Semarang, ibu kota Jawa Tengah.

Ada kereta api ekonomi-AC KA Tawang Jaya yang berangkat dari Jakarta pukul 23.00 dari Stasiun Pasar Senen dan tiba di Stasiun Poncol Semarang pukul 06.30. Atau bisa memakai kereta Tawang Jaya Premium dengan jadwal keberangkatan pagi. Namun waktu tiba di Semarang pukul 13.35. Bila memilih kereta ini, Anda akan tiba di Lasem sore menuju malam.

Di Semarang, setelah tiba di stasiun, wisatawan harus menuju Terminal bus Turboyo di pinggiran kota Semarang arah Demak. Biaya bus patas menuju Lasem ialah Rp 45 ribu. Ada juga pilihan bus ekonomi dengan tarif Rp 25 ribu. Namun, karena akan menempuh perjalanan lebih-kurang 3 jam, sebaiknya memilih patas AC agar nyaman.

Bisa pula menggunakan angkutan udara. Dari Bandara Soekarno Hatta atau Halim Perdanakusuma menuju bandara Ahmad Yani di Semarang. Dari sana bisa menggunakan mobil sewaan atau seperti di atas, menggunakan bus antarkota dari Turboyo.

Sesampainya di Lasem, wisatawan akan merasakan atmosfer yang lain, yang mungkin belum pernah dirasakan di kota mana pun. Ada begitu banyak peninggalan yang memiliki warna Tionghoa di kota ini. Mulai dari arsitektur bangunannya, dari rumah tinggal hingga ke masjid. Dan tentu saja batik Lasem-nya yang khas.

Dahulu pada era 1950-an, batik masih begitu berjaya di kota itu. Kota Lasem begitu ramai pendatang saban hari. Orang dari mana pun, seperti Surabaya, Semarang, Kudus, Solo, berkunjung khusus untuk belanja batik.

Namun para pengusaha batik ini kemudian harus gigit jari pada era Orde Baru. Usaha batik meredup. Bahkan motif batik pun yang boleh diproduksi dibatasi. Pola khas Lasem yang memiliki corak pecinan seperti barong, naga, tulisan Mandarin dan sejenisnya tak boleh diproduksi. Ini tentu berkaitan dengan kondisi sosial politik saat itu. Ada sensitifitas jika berkaitan dengan Tionghoa atau Cina pasca tumbangnya rezim Orde Lama.

Padahal, menurut Opa Gandor, warga Lasem yang dituakan di kawasan pecinan kota ini, keturunan Cina di Lasem adalah warga asli Nusantara. Peradaban Cina masuk Lasem sudah ratusan tahun dideteksi keberadaannya. Keturunannya pun sudah sampai garis kedelapan atau sembilan saat ini sejak Cina masuk ke Lasem sekitar tahun 1300-an. Diperkirakan ada sekitar 7.000-an orang Cina masuk Lasem waktu itu dan semuanya pria yang lalu menikah dengan perempuan setempat.

Saat ini praktis industri batik di Lasem umumnya adalah produksi rumahan. Ada beberapa yang merupakan peninggalan pengusaha lama yang tersisa. Misalnya, Batik Pusaka Beruang milik pengusaha bernama Santoso Hartono atau biasa dipanggil pak San. Menurut Opa Gandor, pak San adalah satu dari segelintir pebisnis batik yang bertahan di Lasem.

Lalu apa istimewanya batik Lasem dibandingkan dengan motif batik lain di tanah air. Sebab kita tahu, batik merupakan kain tradisional khas Nusantara yang memiliki beragam jenis dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, bahkan sudah diakui dunia sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi oleh UNESCO.

Tradisi membatik di sejumlah kota di Jawa,] sampai sekarang masih dilestarikan dengan baik. Sebutlah Solo, Yogyakarta, Pekalongan, kemudian ada Cirebon, bahkan Madura. Dari banyaknya jenis batik dari berbagai daerah di Indonesia itu membuat setiap perajin batik di tiap daerah memiliki motif yang unik dan berbeda-beda.

Dan batik Lasem memiliki keunikan tersendiri. Dari sejarahnya di atas, lahir batik dengan motif yang merupakan perpaduan antara dua budaya, yakni Jawa dan Tionghoa. Dari paduan antar dua budaya tersebut terciptalah batik Lasem.

Menurut sejarah, munculnya batik Lasem terkait erat dengan kisah Laksamana Cheng Ho, panglima perang dari Tiongkok yang mendarat di tanah Jawa. Lasem adalah tempat mendarat pertama kali pasukan Cheng Ho dalam ekspedisinya ke selatan pada sekitar tahun 1403-1433. Kota ini juga diperkirakan sebagai daerah yang pertama kali kedatangan masyarakat Tionghoa di Jawa.

Dalam Babad Lasem yang ditulis ulang oleh Raden Panji Kamzah pada 1858, diceritakan bahwa Bi Nang Un selaku anak buah kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho dari Tiongkok bersama istrinya bernama Na Li Ni memutuskan tinggal di Bonang, Jawa Tengah. Dari babad tersebut diyakini kalau Na Li Ni adalah orang pertama yang membuat batik lasem bermotif burung hong, seruni, liong, mata uang, dan banji dengan warna merah ciri khas masyarakat Tionghoa.

Seiring dengan berkembangnya zaman, batik Lasem yang berciri khas warna mencolok, seperti merah, hijau botol, dan biru tua ini mulai mempunyai berbagai motif. Corak yang ada pada batik lasem dominan dengan motif hewan yang dipadukan dengan motif tumbuh-tumbuhan khas Jawa.

Secara umum, batik Lasem memiliki dua motif utama, yakni motif Tionghoa dengan gambar burung hong, naga, ayam hutan, dan sebagainya, sedangkan motif non-Tionghoa bergambar sekar jagad, kendoro kendiri, kricak, grinsing, dan lainnya. Motif kricak, atau kricakan, juga diketahui sebagai bentuk “dokumentasi” pembatik Lasem atas kerja rodi membangun jalan raya pos di masa Gubernur Jendral Daendels.

Tertarik main ke Lasem? Berikut beberapa nama perajin dan sentra batik di kota pecinan ini.

Batik Pusaka Beruang

Berlokasi di Jalan Eyang Sambu-Jatirogo

 

Batik Bu Kiok

Berlokasi di Karangturi Gang 6

 

Batik Nyah Sutra

Terletak di Karangturi.

 

Batik Maranatha

Berlokasi di Karangturi

 

Kampung Batik Babagan

F. Rosana

Keroncong Tugu Warisan Portugis Sejak Abad 16

Keroncong Tugu Warisan Portugis

Keroncong Tugu warisan Portugis sejak abad 16 hingga kini masih terus bergema di kawasan Jakarta Utara. Tak banyak lagi yang memainkannya, memang, tapi Keroncong Tugu seolah menjadi prasasti keberadaan bangsa Eropa pertama yang menancapkan kakinya di Nusantara itu di negeri ini.

Keroncong Tugu Warisan Portugis

Kangen musik keroncong? Cobalah sesekali mampir ke markas Keroncong Tugu di Koja, Jakarta Utara. Di sini sesekali kelompok musik yang terdiri dari delapan orang kadang manggung di gazebo yang disulap menjadi panggung musik. Delapan pemusik berpakaian koko, bertopi baret, dan berkalung syal ala Portugis berjajar di gazebo.

Adalah Guido Quiko yang kini sering tampil sebagai frontman. Ia sejatinya pemain gitar kelompok ini, namun sesekali ia ikut melantunkan lagu.

Dengan jumlah penonton yang tak terlalu banyak, Keroncong Tugu terus bersemangat memainkan nomor-nomor lama yang masih memanjakan telinga penggemar mereka. Seperti malam itu. Setelah menyapa pendek penonton, Guido lantas saling memberi isyarat ke pemusik lainnya. Layaknya sebuah kode, tujuh musikus di belakangnya langsung siap dengan alat masing-masing.

Guido lebih dulu membunyikan sepotong melodi. Terdengar alunan gitar yang harmonis. Entakan rebana lantas spontan menyambutnya. Begitu pula dengan contrabass, violoncello, macina, frunga, dan biola. Masing-masing membentuk melodi yang padu. Lagu Oud Batavia berdengung merdu.

Suara Guido masuk, melantunkan lirik dengan bahasa yang cukup asing: campuran antara Portugis Kreol, Belanda, dan Melayu. Dalam beberapa bagian, terucap satu-dua kata berdialek Betawi yang humoris. Pemusik lain juga menyelingi dengan celotehan yang memantik gelak tawa. Hasilnya, ketukan 4/4 dengan chord yang diulang-ulang tak membikin penonton bosan.

Meresapi lagu membawa ingatan ke zaman 1950-an. Di masa itu, Portugis melakukan pelayaran pertamanya ke Malaka, di bawah “asuhan” Alfonso de Albuquerque. Dalam bayangan, budak-budak kapal berpesta hampir tiap waktu. Mereka asyik bergoyang tarian Moresca. Ditambah dengan iringan rentak musik serupa.

Alunan crong-crong dari macina dan frunga makin lirih. Tempo rebana melambat. Suara Guido tak terdengar. Dentuman contrabass dan instrumen violoncello melambat. Hanya bunyi bow menggesek senar biola masih santer. Violinis separuh baya, yang mengambil posisi di samping Guido, menutup lagu dengan gangsar.

Tuntas menamatkan Oud Batavia, Gatu Matu giliran menjadi lagu pelipur. Kali ini Guido mengajak rekan penyanyinya, Nining Yatman, tampil di panggung. Perempuan dengan cengkok yang kental itu sudah lama bergabung dengan orkes Keroncong Tugu. Memakai setelan kebaya Betawi, Nining menampilkan figur sebagai “keturunan gang kelinci” sesungguhnya. Rautnya riang, gerakannya lincah. Kala berdendang, ia melafalkan lagu dengan laur, meski lirik harus diujarkan penuh lantaran bahasanya gado-gado. Penonton ikut bergoyang, terbius tarian Nining.

Lagu yang didendangkan Nining, yang bercerita tentang kucing hutan tapi dikisahkan dalam bahasa Portugis Kreol, itu makin mempertegas karakter permainan kelompok Guido dan kawan-kawan. Selain kostumnya yang menyerupai pengembara suku Moor—bertopi baret—dari irama, syair, dan gaya memainkan alat musik, nyata betul bahwa seni yang dibawakan merupakan hasil akulturasi budaya. “Kami memang keturunan Portugis yang ‘tertinggal’ di Batavia,” tutur Guido tersenyum.

Guido merupakan generasi keempat keluarga Quicko. Kemunculan musik keroncong tak lepas dari sejarah kedatangan moyang Guido ke Batavia—kini jadi Jakarta. Mulanya, ketika Belanda datang ke Malaka pada 1641, orang-orang Portugis, yang sebelumnya berkuasa, “dibuang”. Sekitar 23 dari 800 keluarga yang didepak Belanda disingkirkan ke kawasan hutan belukar di tenggara Batavia, yang kini menjadi Kampung Tugu. Di sana, mereka terasing dari keramaian. Sebagai hiburan, 23 keluarga itu menciptakan alat musik dari kayu waru dan pohon-pohon yang ada di sekitarnya. Bentuknya menyerupai gitar. Namun senarnya hanya lima. Mereka menyebutnya jitara. Kala dibunyikan, suaranya nyaring. Crong-crong. Karena itu, mereka menamai keroncong untuk perpaduan musik jitara dan bunyi-bunyian lain.

Lantas, berkembanglah jitara dengan ukuran yang lebih kecil. Namanya macina dan frunga. Macina memiliki empat senar, sedangkan frunga tiga senar. Keduanya memiliki ukuran yang berbeda, dengan suara yang berlainan pula. Setelan chor­d-nya pun tak sama. “Frunga memiliki setelan internasional. Kalau macina naik empat nada,” tutur Guido.

Macina dan frunga dibentuk dari kayu kembang kenanga agar kuat dan suaranya nyaring. Senarnya terbuat dari kulit kayu waru yang dikeringkan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, lantaran keterbatasan bahan baku dan alasan keefektifan, peranti tersebut dapat digantikan dengan senar pancing. Suaranya sama: memantulkan karakter yang tegas. Bahkan, di panggung terbuka, seperti malam itu, tanpa pengeras suara pun, irama garukan senar macina dan frunga terdengar paling nyaring.

Jitara kini tak dibuat lagi karena ukurannya terlalu besar. Guido pun memboyong gitar, bukan jitara, saat tampil. “Karena jitara besar, kayunya pun otomatis harus yang ukurannya besar. Selain terhambat pembuatan, pohon bisa habis ditebang untuk membikin jitara,” ujarnya. Yang dipertahankan dari tradisi moyangnya adalah frunga dan macina. Kedua alat musik itulah kini yang menjadi nyawa Keroncong Tugu.

Komponen lain yang dihadirkan untuk menyelaraskan musik adalah rebana, biola, violoncello, contrabass, dan gitar. “Rebana muncul untuk menguatkan kesan Betawi. Hanya kami (Keroncong Tugu) yang memakainya,” ucapnya. Rebana bertindak sebagai perkusi, sedangkan yang lain membentuk melodi.

Nyanyian-nyanyian berikutnya berkumandang. Larut kian membakar panggung. Selendang Mayang, Gang Kelinci, Cafrinho, dan Moressco berturut-turut menghibur. Jiwa-jiwa militan mengawinkan nada demi nada. Sekali garuk senar, nyawa satu sama lain menyatu. Tak heran kalau Malaysia, Timor Leste, Belanda, dan beberapa kota di Indonesia doyan mengundang kelompok itu manggung.

Mempertahankan Tradisi

Di masa lalu, Keroncong Tugu berhasil membius masyarakat sekitar. Lambat laun, perkampungan keturunan Portugis itu menjadi tenar. Dua-tiga di antaranya lantas “memboyong” keroncong ke luar dan mengembangkan dengan pakem baru.

Setelah kondang, Keroncong Tugu dibuat menjadi kelompok resmi. Pemukanya adalah Joseph Quicko. Ia bergerilya mulai 1925. Sayangnya, perjalanan musik Keroncong Tugu tak terlampau mulus. Saat keadaan politik tak stabil pada 1950-1970-an, kelompok ini dibekukan. Kala Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, baru ia meminta Keroncong Tugu kembali dihidupkan.

Kala itu, kepemimpinan kelompok di tangan Jacobus Quicko, adik Joseph Quicko. Tak lama setelah bendera kelompok yang semula bernama Orkes Pusaka Keroncong Morresco Tugu Ano 1971 itu berkibar, Jacobus meninggal. Tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Samuel Quicko, ayah Guido. Ia didapuk sebagai punggawa hingga 2006. Kini bendera kepemimpinan sudah beralih ke tangan Guido.

Meski sudah melewati fase empat kepemimpinan, formasi Keroncong Tugu tetap dipertahankan. Pakem, aransemen, dan gayanya tak membelot. “Sebab, kami mempertahankan tradisi,” ucap Guido.

F. Rosana/A. Prastyo

Alat-alat Musik

Biola atau fiddle dimainkan dengan cara digesek. Tugasnya, membangun melodi. Memiliki empat senar, di antaranya bernada G, D, A, dan E.

Violoncello atau disingkat cello masih satu keluarga dengan biola. Cara membunyikannya dengan digesek. Bisa pula dipetik. Tugasnya sebagai fondasi dalam suara orkestra.

Contrabass sering juga disebut doublebass karena suara yang dihasilkan lebih rendah dua oktaf dibandingkan dengan violoncello. Ukuran alat musiknya juga lebih besar. Bahkan paling besar di antara semuanya.

Gitar menjadi pembentuk melodi. Alat musik yang digunakan dalam keroncong ini fungsinya menggantikan jitera.

Macina adalah gitar kecil bersenar empat. Suaranya nyaring dan membentuk anomatope: crong-crong. Inilah yang disebut nyawanya keroncong.

Frunga lebih kecil daripada macina. Senarnya tiga, dengan setelan yang berbeda dengan macina. Frunga dibuat lebih kecil agar pukulan iramanya berbeda dan sebuah instrumen menjadi kaya nada.

Rebana menjadi alat musik khas dalam kelompok Keroncong Tugu. Tugasnya menjadi perkusi dan memperkuat tempo. Fungsinya mirip dengan gendang, hanya suaranya berlainan.

Batik Motif Pekalongan, Keren Sejak Abad 17

Batik motif Pekalongan muncul sejak abad 17, dengan motif yang berkembang sesuai zamannya.

Batik motif Pekalongan adalah salah satu  batik yang termasuk jenis klasik di Indonesia. Batik dari kota di Jawa Tengah ini sudah melampui perjalanan sejak abad 17.

Batik Motif Pekalongan

Pekalongan memang telah menjadi salah satu pusat produksi batik di Indonesia, ia juga dikenal sebagai Kota Batik. Sejarah batik Pekalongan bisa dirunut sejak abad 17, masa ini kerajinan batik mulai berkembang di sini.

Pada masa itu, batik motif Pekalongan popular sebagai kain yang dipakai sebagai pakaian formal dan upacara adat. Selama berabad-abad, motif-motif batik Pekalongan terus berkembang, mencerminkan pengaruh budaya lokal dan internasional.

Pekalongan merupakan kota di wilayah utara pulau Jawa dan berada di Provinsi Jawa Tengah. Dari Jakarta kota ini berjarak 384 kilometer, sedangkan dari Semarang jaraknya sekitar 100 kilometer.

Batik motif Pekalongan memiliki pengaruh dari Arab, Cina dan Jawa.
Museum Batik di Pekalongan, di mana orang bisa belajar tentang sejarah batik. Foto: wikimedia commons

Batik Pekalongan mencatat adanya  pengaruh kebudayaan dari masyarakat sekitar yang selalu berubah-ubah dan saling meniru pada awalnya. Ini menimbulkan kreativitas para perajin batik Pekalongan untuk selalu membuat motif batik baru.

Salah satu daya tarik utama batik pekalongan adalah keunikan motifnya. Corak dan motif yang dipergunakan mencakup berbagai elemen, seperti bunga, binatang, tokoh wayang, dan pola geometris. Desainnya yang indah dan rumit mencerminkan keahlian tangan para perajin batik motif Pekalongan.

Satu hal yang mencolok dari batik daerah ini adalah warna-warna yang dipakai dalam membatik yang membuatnya menarik perhatian. Penggunaan warna-warna yang cerah dan kontras memberi citra yang menawan.

Dari kisahnya, batik di sini menjadi lebih berkembang setelah ada pengusaha batik Belanda bernama Eliza Van Zuylen membangun workshop di wilayah tersebut. Berdasarkan arahan Eliza, ada motif-motif batik Pekalongan baru yang berhasil diciptakan oleh para perajin batik.

Interior Museum Batik Pekalongan wikimedia commons
Ruangan dalam Museum Batik Pekalongan. Foto: dok. wikimedia common

Eliza Van Zuylen dari catatan sejarahnya merupakan salah satu orang yang memiliki peran besar atas kemunculan motif-motif baru batik. Melalui tangannya, batik Pekalongan mampu menembus pangsa pasar Eropa. 

Para pembeli batik Van Zuylen rata-rata memang para bangsawan Eropa. Eliza popular di Eropa dalam rentang waktu antara  1923 hingga akhir 1946.

Pengusaha ini sangat terkenal dengan produk batiknya yang dikenal kehalusan kainnya dengan motif batik tumbuh-tumbuhan. Hingga sampai saat ini batik seperti itu dikenal sebagai ciri khas batik motif Pekalongan, di samping motif Jlamprang.

Apa saja sesungguhnya motif-motif batik Pekalongan ini? Berikut ini beberapa ciri motif batik daerah sini.

Motif asli Pekalongan adalah motif Jlamprang, yaitu suatu motif semacam nitik yang tergolong motif batik geometris. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa motif ini merupakan suatu motif yang dikembangkan oleh pembatik keturunan Arab.

Motif batik jlamprang diyakini dan diakui oleh beberapa pengamat motif batik, sebagai motif asli Pekalongan. S.K. Sewan Santoso dalam bukunya Seni Kerajinan Batik Indonesia yang diterbitkan Balai Penelitian Batik dan Kerajinan , Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian RI (1973), mengatakan bahwa motif Jlamprang di Pekalongan dipengaruhi oleh Islam.

Artinya, motif ini lahir dari perajin batik di daerah ini ada yang keturunan arab yang beragama Islam. Seperti diketahui, agama ini melarang menggambar binatang maupun manusia atau mahluk hidup lainnya dalam kain batik maupun lukisan. Ini membuat para perajin batik memiliki ide kreatif yaitu dengan membuat motif batik secara geometris dengan cara nitik pada motif batik jlamprang.

Namun ada pendapat berbeda. Pendapat berbeda ini menilai Jlamprang merupakan motif batik yang muncul karena pengaruh kebudayaan Hindu Syiwa.

Motif Batik Pekalongan shutterstock
Salah satu motif batik Pekalongan yang dekoraif. Foto: shutterstock

Dr. Kusnin Asa memiliki pendapat bahwa motif batik Jlamprang merupakan suatu bentuk motif yang kosmologis dengan mengedepankan satu pola ceplokan dalam bentuk lung-lungan juga bunga padma yang menunjukan sebuah makna mengenai peran dunia kosmis yang datang sejak agama Buddha dan Hindu berkembang di tanah Jawa.

Pola ceplokan pada motif yang distilisasi dalam bentuk yang lebih dekoratif menunjukan bahwa corak tersebut merupakan peninggalan dari masa prasejarah yang selanjutnya menjadi warisan agama Hindu juga Buddha.

Begitupun batik motif Pekalongan yang klasik sejatinya adalah motif semen. Motif ini hampir sama dengan motif klasik semen dari daerah Jawa Tengah lain, seperti Solo dan Yogyakarta.

Di dalam motif semen terdapat ornamen berbentuk tumbuhan dan garuda/sawat. Perbedaan antara batik di sini dan batik Solo atau  Yogyakarta adalah pada produk Pekalongan klasik hampir tidak ada cecek. Pada batik klasik, semua pengisian motif berupa garis-garis.

Selain itu, beberapa kain batik yang diproduksi di Pekalongan mempunyai corak Cina. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ornamen Liong berupa naga besar berkaki dan burung Phoenix pada motif batiknya. Burung Phoenix merupakan sejenis burung yang bulu kepala dan sayapnya berjumbai, serta bulu ekor berjumbai juga bergelombang.

Kain batik pekalongan yang dikembangkan oleh pengusaha batik halus keturunan China kebanyakan memiliki motif berupa bentuk-bentuk realistis dan banyak menggunakan cecek-cecek, serta cecek sawut (titik dan garis).

Sementara itu, soal pewarnaan yang cerah, disebutkan bahwa penduduk daerah pantai menyukai warna-warna yang cerah seperti warna merah, kuning, biru, hijau, violet, dan orange. Sedangkan warna soga kain batik berasal dari pewarnaan tumbuhan.

agendaIndonesia

*****

Alat Musik Sasando, 1 Alat Berbagai Dawai

Alat musik sasando berasal dari Pulau Rote Nusa Tenggara Timur.

Alat musik sasando adalah instrumen asli Nusantara. Ia tepatnya adalah alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sasando merupakan alat musik berdawai yang dimainkannya dengan cara dipetik menggunakan jari.
Dari segi bentuk, sasando sudah bisa menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Karena, alat musik petik ini terbuat dari daun lontar yang melengkung, berbentuk setengah lingkaran.

Alat Musik Sasando

Sasando memiliki bentuk yang unik dan berbeda dengan alat musik berdawai lainnya. Pada bagian utama Sasando berbentuk tabung panjang yang terbuat dari bambu khusus. Bagian bawah dan atas bambu terdapat tempat untuk memasang dan mengatur kencangnya dawai.


Pada bagian tengah bambu biasanya diberi senda atau penyangga, di mana dawai direntangkan. Senda sendiri berfungsi untuk mengatur tangga nada dan menghasilkan nada yang berbeda setiap petikan dawai. Sedangkan wadah berfungsi untuk resonansi yang berupa anyaman daun lontar yang sering disebut haik.


Dari segi suara, resonansi yang dihasilkan daun lontar menghasilkan suara yang khas, dan tidak bisa ditemukan pada alat musik lainnya. Petikan sasando menghasilkan suara yang sangat indah, romantis dan sangat khas. Tak heran kalau keunikan bentuk, bahan, dan melodi dari sasando berhasil menarik perhatian banyak wisatawan yang berkunjung ke NTT.

Bermain Sasando shutterstock
Seorang anak sedang belajar memetik sasando. Foto: dok. shutterstock

Dalam beberapa kesempatan kenegaraan, sasando ikut meramaikan kegiatan. Misalnya pada acara KTT ASEAN di Labuan Bajo. Sebelum gelaran acara tersebut, sasando pun telah mendunia karena pernah tampil dalam salah satu side event G20 di Labuan Bajo 2022 lalu.

Pada acara G20 itu, sasando ditampilkan pada ajang Spouse Program yang dihadiri 19 anggota G20, enam negara undangan, dan sembilan organisasi internasional. Alat musik sasando inipun menjadi cendera mata yang diberikan oleh Ibu Iriana Joko Widodo kepada Ibu Negara Tiongkok, Madam Peng Liyuan.

Jika ditarik lebih jauh ke belakang, popularitas sasando di dunia juga pernah dipresentasikan oleh sosok bernama Djitron Pah. Ia  mengenalkan alat musik sasando ke dunia lewat ajang Asia’s Got Talent pada 2015.

Melalui ajang pencarian bakat tersebut, Djitron Pah berhasil membawa sasando mendunia melalui rangkaian tur ke Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Belanda, Italia, Finlandia, Jerman, hingga Taiwan. Melihat dari berbagai aspek, memang sangatlah layak jika sasando mendunia.

Namun, dari mana sesungguhnya alat musik sasando lahir? Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Sasando bermula dari kisah Sangguana yang terdampar di Pulau Ndana dan jatuh cinta dengan putri Raja. Mengetahui Sangguana jatuh cinta terhadap putrinya, sang raja memberikan syarat kepada Sangguana untuk membuat alat musik yang berbeda dari musik lainnya.

Sangguana pun bermimpi, dalam mimpi tersebut ia memainkan alat musik yang berbentuk indah dan memiliki suara yang merdu. Kemudian ia membuat Sasando dan diberikan kepada sang raja. Sang raja lalu mengizinkan Sangguana, menikahkaan putrinya dengan Sangguana.
Sasando sendiri berasal dari bahasa Rote, yaitu Sasandu yang berarti bergetar atau berbunyi. Sasando sering dimainkan untuk mengiringi nyanyian syair,tarian tradisional dan menghibur keluarga yang berduka.

Orang NTT Memainkan Sasando shutterstock
Pemetik tradisional alat musik sasando. Foto: shutterstock


Jika kita mengulik lebih dalam tentang alat musik sasando khas NTT ini, ternyata ada banyak jenisnya. Setidaknya ada tiga jenis sasando yang populer, yaitu sasando gong, sasando biola, dan sasando elektrik.

Pertama, sasando gong khas Pulau Rote, yang merupakan sasando autentik dengan 12 dawai dari tali senar nilon sehingga ketika dipetik akan menghasilkan suara mengalun, lembut, dan merdu. Alat musik sasando jenis ini kerap dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu tradisional masyarakat Rote.

Ke dua, jenis sasando biola. Kabarnya, sasando biola mulai berkembang di Kupang pada akhir abad ke-18. Alat musik petik ini merupakan hasil modifikasi dari Edu Pah, pakar pemain sasando. Bedanya dengan sasando gong, sasando biola bentuknya yang lebih besar dan memiliki 48 buah dawai. 

Karena dimodifikasi agar menyerupai biola, sasando jenis ini bisa menghasilkan suara halus dan merdu seperti biola. Biasanya sasando biola dimainkan untuk mengiringi lagu pada tarian tradisional masyarakat NTT.

Mengikuti perkembangan teknologi, kini ada pula jenis sasando elektrik. Alat musik ini pertama kali diciptakan oleh Arnoldus Edon pada 1960-an. Alasannya karena sasando tradisional hanya bisa didengarkan pada jarak dekat saja, sehingga perangkat elektronik ditambahkan agar suaranya bisa didengar lebih jauh.

Umumnya, sasando elektrik terdiri dari 30 dawai. Badan sasando tetap menggunakan daun lontar untuk mempertahankan bentuk aslinya. Perbedaan sasando elektrik terdapat pada spul atau transduser yang mengubah getaran dawai menjadi energi listrik, yang kemudian masuk ke dalam amplifier untuk menghasilkan suara yang lebih kencang.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Jazz Di Alam Terbuka, 3 Yang Unik

Jazz di alam terbuka salah satunya Jazz Atas Awan di Dieng sebagai bagian dari .Dieng Culture Festival

Jazz di alam terbuka pasti menjadi tontonan yang asyik. Lepas dari ruang yang serba terbatas, music dinikmati seraya menikmati alam terbuka. Tentu ada tantangannya, mungkin tata suara perlu penanganan khusus agar keindahan musik tetap asyik menyusuk ke telinga.

Jazz Di Alam Terbuka

Di Indonesia menikmati musik jazz sambil merasakan sejuknya udara pegunungan dan indahnya lanskap alam punya beberapa pilihan. Penggemar musik jazz bisa menjadikannya salah satu itenarary dari rangkaian agenda liburannya.

Berikut ada beberapa pilihan menikmati jazz di alam terbuka.

Jazz Gunung Bromo

Ternyata pertunjukan musik jazz tidak hanya enak ditonton di dalam gedung bermesin penJazzdingin. Musik jazz juga asik dinikmati di tengah sejuknya udara pegunungan. Jazz Gunung salah satunya. Pergelaran rutin tersebut biasanya diadakan pada pertengahan tahun ke dua alias antara Juli hingga Desember.

Jazz di alam terbuka salah satunya jazz gunung Bromo di Jawa Timur yang sudah berjalan selama 13 tahun.
Jazz Gunung Bromo di Jawa Timur. Foto: Dok. TL/Rosana

Tahun 2022 ini perhelatan tersebut memasuki penyelenggaraan yang ke 13. Perjalanan yang pendek, ibarat manusia ia sudah masuk masa akil balik. Tahun ini rencananya akan digelar pada Jumat dan Sabtu, 22 dan 23 Juli 2022.

Pentasnya yang kesohor mampu memikat wisatawan internasional. Setiap tahun, ada sekitar 4.000 pengunjung hadir menikmati pergelaran tersebut. Tahun ini akan diselenggarakan di Amphitheater, Jiwa Jawa Resort Bromo, Probolinggo, Jawa Timur.

Pertunjukan jazz di alam ini pasti unik. Panggungnya hanya beratapkan awan. Penonton duduk di kursi bebatuan dan beralaskan rumput. Sambil menikmati artis-artis ternama, penonton bisa melihat panggung amphitheater terbuka di Jiwa Jawa Resort Bromo dengan latar belakang keindahan Pegunungan Tengger. Jadi penonton akan mendapatkan dua keindahan sekaligus.

Jazz di alam terbuka ini diinisiasi tiga serangkai: Sigit Pramono, Butet Kertarajasa, dan almarhum Djaduk Ferianto. Nikmati musiknya, dan jika beruntung bisa dapat bonus matahari terbit di Bromo.

Sesungguhnya, Jazz Gunung ini akan punya “saudara kembar”, yakni Jazz Gunung Ijen. Namun pelaksanaanya belum seperti yang diselenggarakan di Gunung Bromo.

Jazz Atas Awan Dieng

Pertunjukan musik jazz bertajuk “Jazz Atas Awan” kembali digelar di dataran tinggi Dieng pada 2022. Pertunjukan yang dimulai diselenggarakan pada 2010 ini digelar di seputaran Kompleks Candi Arjuna, Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, sebagai bagian dari Dieng Culture Festival.

Dieng Culture Festival atau DCF sudah menjadi agenda tahunan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara. Gelaran jazz ini merupakan ruang apresiasi terhadap musikus-musikus muda lokal yang menggeliat di dunia pertunjukan jazz di Indonesia.

Ciri khas Jazz Atas Awan ialah panitia tidak memberi tahu siapa saja artis yang akan tampil. Mereka menyimpan rapat-rapat bintang tamu. Panitia ingin orang hadir ke Dieng Culture Festival bukan karena artisnya, tapi lantaran ingin menyaksikan harmonisasi kemegahan gunung dan lantunan musik yang syahdu. Suhu yang mencapai 4 derajat Celsius membuat penonton wajib menggunakan pakaian hangat selama menonton.

Tahun ini jazz di alam yang dikenal dengan sebutan Jazz Atas Awan ini akan  hingga 4 September 2022 di Desa Wisata Dieng Kulon, Kecamatan Batur. Selain ada pertunjukan music, pengunjung bisa menikmati rangkaian candi-candi Pandawa, atau Telaga Warna. Tertarik? Ayo agendakan liburan akhir pekanmu.

Maumere Jazz Fiesta Flores

Tak hanya berlangsung di gunung, jazz di alam terbuka juga bisa dilaksanakan di tepi laut atau pantai. Dan, siapa bilang Indonesia bagian timur sepi akan hiburan musik berkelas.

Di Nusa Tenggara Timur ada Maumere Jazz Fiesta Flores yang pernah digelar pertama kali pada Agustus 2017. Ajang jazz di alam terbuka ini pernah diselenggarakan lagi pada 2018. Sayangnya setelah itu belum terselenggara lagi.

Pilihan tempat untuk pelaksanaan perdana pentas ini jatuh di hutan mangrove atau bakau milik Babah Akong dengan luas lebih-kurang 70 hektare. Letaknya di Desa Magepanda, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka. Salah satu pelopor musik jazz era modern, Barry Likumahuwa, turut mengisi acara ini.

Festival jazz di hutan bakau merupakan acara pertama di Indonesia yang mempromosikan kawasan timur Indonesia lewat pertunjukan musik. “Konser ini terbuka luas untuk masyarakat dan digelar gratis. Kita ingin daerah ini semakin dikenal melalui potensi budaya dan wisatanya. Hal-hal unik akan terus dilakukan demi daerah dan masyarakat Kabupaten Sikka,” ujar Melchias Markus Mekeng, tokoh masyarakat Maumere.

agendaIndonesia

*****