1 Gendang Mengiring 3G Tari Jaipong

original PML2013100904

Sejak bonang dan gendang mulai ditabuh, hentakan irama rancak menjalar ke seluruh penjuru ruang pertunjukan. Di atas panggung, seorang penari bergerak mengikuti suara gendang menarikan gerakan tari jaipong berputar sembari memainkan selendangnya. Para penonton pun bersiap menyaksikan jaipong Jawa Barat, tari tradisional masyarakat Sunda yang bergulir sejak abad ke-20.

Sejarah Tari Jaipong

Asal-mula jaipong Jawa Barat memang belum terlalu lama, baru sekitar tahun 1976 ketika seniman bernama H. Suwanda (1950–2017) mulai mengulik seni musik dan tari di Karawang. Suwanda adalah seorang maestro seni tradisi Topeng Banjet, tari Ketuk Tilu, sekaligus juru kendang yang mahir. Berbagai kesenian khas Karawang ini ia padukan hingga membentuk irama baru, yang menjadi cikal bakal Tepak Jaipong.

Tepak atau tabuhan kendang Suwanda mengalun cepat dan patah-patah, memicu penari atau pemain teater di depannya untuk bergerak maju mundur dengan dinamis. Banyak orang meyakini bahwa nama jaipong sendiri merupakan onomatope atau kata yang berasal dari tiruan bunyi kendang.

Kreasi baru ini meraih banyak penggemar dengan cepat. Suwanda pun merespons peluang dengan merekam tabuhan kendangnya melalui media kaset. Ia membuat rekaman tanpa label dan mendistribusikannya secara swadaya ke wilayah Karawang dan sekitarnya. 

Gaung tepak kendang semakin meluas, hingga akhirnya sampai ke telinga seniman Bandung, Gugum Gumbira Tirasonjaya. Di tangan Gugum, jaipong menjadi sebuah paket seni pertunjukan yang matang dan lebih terstruktur. Sebagai seorang koreografer, ia mengenal betul perbendaharan pola gerak tari-tari Sunda. Hasilnya, Jaipong berkembang menjadi seni gerak dan irama yang khas dan bisa dinikmati semua kalangan, termasuk masyarakat modern.

Pada tahun-tahun berikutnya, popularitas Jaipong terus menanjak. Bahkan baik Suwanda maupun Gugum sempat mempertunjukkan kesenian ini di luar negeri. Salah satunya, pada 1984, Suwanda pernah melanglang buana ke kota-kota di Jerman Barat. Sementara Gugum, bersama istrinya, Euis Komariah, membentuk kelompok kesenian Dewi Pramanik dan mengadakan pertunjukan di luar negeri. 

Untuk memperkaya khasanah tariannya, Gugum juga menciptakan beberapa macam koreografi untuk Jaipongan, antara lain Keser Bojong, Rendeng Bojong, TokaToka, dan Sonteng. Tangan dingin Gugum telah melahirkan ribuan penari Jaipong yang gencar mengenalkan Jaipong ke penjuru dunia, seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. 

Kini, sudah tak terhitung sanggar tari yang mempelajari dan mempraktekkan tarian Jawa Barat ini. Bahkan ada yang mengkreasikannya dengan tarian daerah lain menjadi tarian nusantara. Jaipong adalah persembahan Jawa Barat bagi Indonesia dan dunia. Maka sudah sepantasnya Jaipong diusulkan ke Unesco untuk menjadi warisan budaya dunia.

Ketika merancang pola gerak tari Jaipong, Gugum Gumbira terinspirasi dari beragam nilai dan tradisi masyarakat Sunda. Terdapat unsur-unsur tarian tradisional Ketuk Tilu dan seni bela diri pencak silat di dalamnya. Sejumlah riset pun dilakukan, untuk menciptakan seni yang tidak hanya mengekspresikan dirinya, tetapi juga berkesan di hati penontonnya.

Ciri khas Jaipong, jika dibandingkan tari tradisional lain yang berkembang kala itu, adalah arah pandangan si penari. Sebagai tari pergaulan dan pertunjukan, mata penari harus selalu fokus memandangi penonton agar tercipta komunikasi yang intens. Penonton pun boleh terlibat secara aktif, salah satunya dengan naik ke panggung dan ikut menari bersama penari.

Selain pandangan mata penari, rangkain gerak Jaipong juga dibuat sedemikian rupa agar mampu menciptakan suasana keakraban dan kegembiraan. Terdapat empat bagian gerak tari Jaipong, yaitu:

  • Bukaan: Pada tahap pembukaan, biasanya sang penari berjalan berputar sambil memainkan atau memutar-mutar selendangnya yang dikenakan pada leher.
  • Pencugan: Ini adalah kumpulan berbagai gerakan lanjutan. Umumnya diiringi dengan tempo musik yang cepat.
  • Ngala: Ngala berarti titik atau perhentian. Gerakannya terlihat patah-patah atau menjadi titik perhentian sebuah gerakan.
  • Mincit: Ini adalah gerakan peralihan dari satu ragam gerak ke ragam gerak lain. Gerakan ini dilakukan setelah ada gerakan ngala.

Rangkaian gerakan yang dinamis tersebut otomatis menghasilkan lenggok pada seluruh bagian tubuh, terutama pinggul. Dari sinilah muncul persepsi masyarakat awam bahwa Jaipong identik dengan 3G, yaitu geol, gitek, goyang. Geol adalah gerakan pinggul yang memutar, gitek adalah gerakan pinggul yang menghentak dan mengayun, sedangkan goyang adalah gerakan pinggul mengayun tanpa hentakan.

Sebenarnya ketiganya bukanlah unsur yang melekat secara eksklusif pada Jaipong. Gerakan pinggul akan secara otomatis muncul pada segala jenis tarian, dari Pendet, Gambyong, sampai Serimpi. Hal yang membedakannya adalah tempo dan variasinya saja. Ritme tiba-tiba cepat dan tiba-tiba melambat ini justru perlu dilestarikan karena telah menjadi karakteristik khas Jaipong.

Dari segi penyajian, Jaipong mempunyai dua kategori, yakni ibing pola yang berarti diberi pola serta ibing saka yang berarti acak. Pada ibing pola, materi tari ditata secara khusus untuk kebutuhan sajian tontonan. Karenanya, kelompok penarinya harus berkemampuan tinggi dan menjalani latihan intensif. Sementara pada ibing saka, tidak ada aturan atau pola gerakan khusus. Penonton bahkan boleh ikut menari di atas panggung dan memberikan imbalan uang (sawer) kepada penari.

Meskipun kebanyakan tarian tersebut hanya dimainkan oleh seorang wanita, pada dasarnya Jaipongan dapat dimainkan berpasangan maupun kelompok. Keselarasan gerak justru akan semakin terlihat jika Jaipong dimainkan oleh tiga sampai lima orang. 

Adapun busana yang dikenakan dalam sebuah pementasan Jaipong sangat beragam. Meski demikian, pada dasarnya seorang penari Jaipong selalu mengenakan sinjang, apok, dan sampur. Sinjang merupakan kain panjang yang berfungsi sebagai celana panjang. Apok adalah baju atau kebaya yang memiliki ciri khas pada pernik dan ornamennya. Sementara sampur adalah selendang yang dikenakan pada leher penari.

Kekayaan unsur itulah yang kemudian menjadikan Jaipong sebagai seni pertunjukan rakyat yang selalu mendapat tempat di hati masyarakat Sunda, Indonesia, dan dunia. Seperti kendang yang tidak dapat dilepaskan dari bonang, saron, gong, rebab, dan juru aloknya, Jaipong pun tak akan lestari tanpa cinta dan semangat generasi muda Sunda untuk terus menarikannya.

Mekotekan Galah Pengusir Bencana

andi prasetyo mekotekan 31

Mekotekan galah mengusir bencana mungkin masih jarang diketahui masyarakat. Namun bagi masyarakat Bali, khususnya di Desa Adat Munggu, ini adalah hal yang biasa. Bahkan telah menjadi tradisi.

Mekotekan Galah Pengusir Bencana

Sepuluh kilometer dari barat Kota Denpasar, penjor-penjor di sepanjang Desa Adat Munggu, Mengwi, bergoyang disapu angin. Bau bambu kemarin sore yang baru ditebang menyapa penciuman. Janur yang menjadi ikon utama Pulau Seribu Pura pun masih kuning segar, belum mengering. Bunga tabur terlihat belum lama diganti. Canang masih utuh, belum juga disauk anjing. Begitu pun, bara belum habis membakar dupa. Atmosfer demikian lekat dengan ritual keagamaan yang hendak atau baru digelar. 

“Pagi tadi, masyarakat Hindu sembahyang di pura dalam. Selama 210 hari sekali, mereka merayakan Kuningan, seperti hari ini,” kata Made Arya, pegiat wisata asal Singaraja, pada pertengahan April lalu. Pantas, suasana perdesaan lebih meriah. Matahari tepat di atas kepala kala kami tiba di desa adat itu. Tok tok tok. Kulkul (kentongan) Pura Puseh dipukul bertala-tala, mengucapkan selamat datang. 

Para pemuda dari 13 banjar di Desa Adat Munggu berhamburan ke luar dari kediaman masing-masing. Mereka mengenakan kostum upacara lengkap, mulai sarung hingga udeng. Satu per satu memenuhi jalan utama menuju pura. 

Made menginjak pedal rem mobilnya pelan-pelan. “Jalan ini dekat dengan persimpangan. Hampir setiap percabangan jalan di Desa Munggu dilalui arak-arakan ngerebek. Jadi tidak bisa parkir di sini,” katanya. Ia lantas membelokkan setir ke depan rumah toko, 500 meter dari simpang empat Jalan Raya Tanah Lot dan Pantai Seseh. 

Setelah memarkir kendaraan, Made tak langsung membaur ke pura. Ia lebih dulu mengeluarkan kamen—kain sepanjang dua meter—model prada Bali dari bagasi. “Kalau mau bergabung ikut upacara mekotekan, pakai kain dulu,” ujarnya. Ia lantas berujar, “Caranya seperti pakai sarung. Kalau perempuan, panjangnya sampai tumit”. Sedangkan laki-laki hanya sampai betis. 

Selepas melilitkan kamen, Made menyodorkan senteng kepada saya. Secarik kain yang menyerupai syal itu dipakai di bagian perut. Dilingkarkan, lalu diikat kuat. Atribut lengkap harus dikenakan. Musababnya, mengikuti ritual mekotekan bukan sekadar menonton pertunjukan budaya. Mekotekan disakralkan sebagai upacara keagamaan lantaran menjadi wujud pertalian antara adat dan hari raya Kuningan oleh masyarakat Hindu di Munggu. Apalagi, rangkaiannya meliputi areal-areal sakral. 

Setelah berjibaku dengan kain, terdengar bebunyian nyaring yang menarik perhatian. Klotek… klotek…. suara kayu beradu aspal mengudara seketika. Tangan para pemuda banjar tampak menggenggam erat kayu pulut setinggi tiga meter. Di ujungnya, terdapat tamiang yang terbuat dari ron atau busung. Juga tersemat bendera kuning dan putih bersimbol dewa-dewa. Beberapa di antaranya menggambarkan ikon Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Tujuannya, sebagai bentuk penghormatan sekaligus simbolisasi keimanan. 

Kemunculan seribuan pemuda itu seperti kelompok barisan prajurit yang hendak maju perang, membentuk pleton-pleton. Ceng-ceng atau kecrak menjadi bebunyianritmis pengantarnya. Iramanya bak genderang penyemangat. Di muka barisan, sejumlah pedanda atau pendeta lebih dulu masuk ke pura. Tugasnya, mendoakan supaya ritual berjalan lancar. 

Di tangan para pemuka agama, digenggam genta atau lonceng dari kuningan. Selama sembahyang, benda itu akan digoyang-goyang hingga memunculkan onomatope nyaring. Kalau sudah berbunyi, berarti ritual pemujaan dan permohonan restu untuk ritual dimulai. 

Klian Desa Adat Munggu, I Made Rai Sujana, ikut dalam rombongan pedanda. Sebelum masuk gapura tempat sembahyang, ia mampir ke wantilan atau balai tempat masyarakat berkumpul guna menjemput para pengiring dan penabuh gamelan. “Saya mau memastikan kalau semua petugas sudah siap,” ujarnya. 

Para pengiring, yakni perempuan berusia 14 hingga 40 tahun, dari tiga banjar yang sudah ditunjuk sebelumnya. Mereka mengenakan pakaian adat lengkap. Tugas mereka, membawa canang persembahan. Di belakangnya, berbaris para penabuh gamelan Bali. Mayoritas anggotanya ialah remaja yang belum genap berusia 20 tahun. “Sudah lengkap, ayo masuk,” ujar si klian. 

“Ritual pertama adalah nedunanIda Bathara di pura dalam,” ucapnya. Hanya ritual pembuka dari depan gapura. Doa mohon keselamatan ini hanya berlangsung 15 menit. Mendekati pukul 14.00, rombongan pedanda ke luar dari area sembahyang. Suara kotekan kembali terdengar. Makin lama, makin santer. Diantar para pemuka agama dan pengiring, rombongan pembawa kayu itu berjalan pelan-pelan mengitari desa. 

Mereka berjalan dengan langkah biasa sambil sesekali bersenda gurau. Belum 300 meter melangkah, di tikungan dekat pohon beringin besar, yang menjadi pintu masuk desa adat, satu per satu anggota pasukan mendekati tetua, yang mereka sebut sebagai anak buah pendeta. Pria berusia 60-an tahun bersorban putih itu memercikkan air rendaman kantil, pandan arum, dan daun kelawo di ubun-ubun peserta atraksi. Daun lala amangan digunakan sebagai perantaranya. Setelah memperoleh “jimat”, si “anak-anak teologi” dianggap sah melakoni ritual. 

Lepas dari ritual percikan air, pasukan dari masing-masing banjar lantas berlarian membentuk kubu. Di setiap persimpangan atau tikungan, sekumpulan pemuda pembawa tongkat pulut membentuk lingkaran. Tongkatnya diangkat, dipusatkan ke titik tengah. Dari kejauhan tampak seperti kerucut raksasa. 

Pemuda banjar lain melakukan hal yang sama. Kubu demi kubu melakukan penyerangan. Tak tek tak tek…. Irama perang kayu membahana. 

Adegan makin barbar ketika seorang dari masing-masing kubu memanjat ke atas galah. Mereka seolah menjadi ujung tombak regu. “Lawan…Dorong…” begitulah teriakan itu memenuhi jalanan sepanjang desa adat. Sesekali, sarung si pemanjat tersangkut tongkat, membuat formasi goyang. Gelak tawa terdengar kompak tak tertahan. 

Kesempatan tersebut dipakai lawan buat menyerang. Mereka mendorong kubu rival dengan tongkat hingga lingkarannya roboh. Lagi-lagi, sorai tawa penonton pecah. Pemandangan akan terus seperti ini. Tak ada patokan kapan ritual berakhir. Selagi masih semangat, mereka akan bertempur. 

Sedangkan para perempuan setia duduk-duduk di emperan jalan atau beranda rumah menyaksikan perang kayu—yang selalu dijumpai setiap enam bulan sekali—sampai bubar. Niluh Sarmini, ibu berusia 45 tahun, yang sudah tiga dasawarsa menjadi pengiring, mengatakan umumnya mekotekan kelar seiring dengan ayun-temayun surya. “Kalau langit sudah kekuningan, semangat sudah kendor, satu per satu membubarkan diri,” ucapnya sambil melucuti kepangan rambut. 

*****

andi prasetyo mekotekan 21
Adat Mekotekan sebagai perayaan penolak bala di Bali. (A. Prasetyo)

PERAYAAN PENOLAK BALA

Bila ditarik ke belakang, secara historis, ritual yang digelar berbarengan dengan hari raya Kuningan ini diadakan sebagai pengingat perjuangan para prajurit Kerajaan Mengwi menaklukkan Kerajaan Blambangan. Dulu kala, Raja Mengwi berkuasa di desa adat tersebut. Namun sekonyong-konyong, wilayah hendak direbut Raja Blambangan. 

Pasukan Mengwi lantas melakukan penyerangan. Untuk menghadapi musuh, Raja Mengwi diberkahi sebuah tombak dan tameng dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setelah menang, mereka merayakan dengan cara yang unik, yakni saling serang antarteman. 

Ngrebek mekotek sudah berjalan sejak 1934. Namun ritual adat yang ditetapkan sebagai warisan budaya nasional nonbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu pernah dibekukan pada 1940 oleh Belanda. Alasannya, berpotensi memunculkan perlawanan. Akibatnya, pada 1946, Desa Munggu dilanda bencana besar dengan angka kematian tinggi. Selain itu, gagal panen dan keributan. Mereka percaya, kemalangan ini lantaran tradisi mekotekan dihentikan. 

Tentang Kayu Pulut:

1. Kayu pulut harus dicari di hutan di kawasan Bangli hingga Singaraja. 

2. Kayu pulut diyakini sebagai replika bambu yang punya bentuk lurus hampir sempurna. 

3. Jenis kayu ini sangat kuat, biasa dipakai untuk bahan bangunan. Namun tak dapat digunakan buat kayu bakar karena bergetah. 

4. Makin lama, kayu pulut makin kuat. Jadi setelah digunakan untuk ritual, pulut akan disimpan untuk dipakai di upacara selanjutnya. 

Rosana & Andi Prasetyo

Wayang Golek Jawa Barat, Bukan Boneka Biasa

original SB2012120317

Wayang golek Jawa Barat, bukan boneka biasa. Rasanya bagi yang menggemari kebudayaan tanah Pasundan tahu betul keistimewaan atraksi ini.

Wayang Golek Jawa Barat

Kala menyaksikan wayang golek, penonton akan disuguhi beragam aksi seni pertunjukan yang komplet, dari teater, lagu, orkestra, hingga sastra.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam ketika para pesinden melantunkan tembang berbahasa Sunda. Itulah tanda dimulainya pertunjukan wayang golek. Para penonton pun bersiap menyaksikan pagelaran teater boneka khas Jawa Barat yang umumnya berlangsung hingga pukul tiga atau empat dini hari.

Wayang golek memang lekat dengan kehidupan masyarakat Sunda. Penyebarannya terjadi pada masa ekspansi Kerajaan Mataram ke Jawa Barat. Dari yang tadinya menggunakan bahasa Jawa berganti menjadi bahasa Sunda. Bentuk, variasi lakon, dan nama-nama tokohnya juga menyesuaikan dengan tradisi setempat.

Bermula dari sarana penyebaran agama Islam dalam rupa kesenian, fungsi wayang golek meluas ke dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Salah satu fungsinya pada tradisi kuno adalah ngaruatatau meruwat. Artinya, membersihkan orang tertentu dari kemungkinan malapetaka. Kegiatan lain yang membutuhkan kehadiran wayang golek ialah syukuran, dari sunatan sampai perkawinan.

Sebagai sarana hiburan rakyat yang bersifat kedaerahan, wayang golek tak boleh dipandang sebelah mata. Pasalnya untuk mewujudkan pertunjukan yang sukses, dalang harus menguasai garapatau keterampilan teknis pementasan yang tidak mudah. Unsur-unsur penentunya antara lain lakon, sabet, kakawen,dan antawacana.

Lakonadalah tema atau peristiwa yang menentukan jalannya cerita. Untuk itu seorang dalang harus menguasai pengetahuan sastra, dari klasik hingga modern. Seperti semua jenis wayang, kisah yang populer adalah Ramayana dan Mahabarata dengan berbagai pilihan lakon, seperti Kumbakarna Gugur atau Kresna Duta.

Selain itu, wayang golek juga kerap mengangkat lakon dari carangan, yaitu cerita yang dibuat sendiri oleh dalang berdasarkan kehidupan sehari-sehari atau cerita rakyat Jawa Barat. Apa pun sumber ceritanya, wayang golek konsisten menyampaikan pesan moral dan kritik sosial. Tentunya dibalut dengan selentingan humor agar penonton bisa terus terhibur.

Sabet adalah segala macam ekspresi dalang yang tertuang melalui gerakan wayang. Salah satu jenisnya adalah cepenganalias teknik memegang wayang. Genggaman tangan saat adegan menari, berjalan, dan perang tentu berbeda-beda.

Jenis sabet lainnya ialah tancepanalias teknik menancapkan wayang ke gedebok pisang. Seorang dalang tidak boleh asal menancapkan wayang. Posisinya disesuaikan dengan kedudukan tokoh. Seorang raja akan ditancapkan di sebelah kanan agak ke atas, sedangkan patih berada di kiri agak ke bawah.Selain menunjukkan kedudukan, tancepanberguna menggambarkan keadaan batin si tokoh.

Kakawenatau suluk merupakan teknik vokal ketika bernyanyi. Di dalamnya ada timbre atauwarna suara, senggol atauornamentasi melodis, rumpaka atau syair, dan gending atau pilihan lagu yang mengiringi. Oleh karena itu, seorang dalang harus memiliki kemampuan olah vokal yang baik agar bisa membangun atmosfer pertunjukan.

Antawacanajuga mengarah pada teknik vokal, tetapi saat terjadi dialog. Dalam satu lakon, biasanya muncul banyak tokoh. Sang dalang harus pintar-pintar mengubah-ubah intonasi dan warna suaranya agar satu tokoh dengan yang lainnya terdengar berbeda. Tentu tak cuma sekadar berbeda, tetapi juga harus konsisten.

Karena cukup rumitnya keterampilan yang perlu dikuasai, dalang tidak bisa bekerja sendiri. Di sampingnya, ada pengrawit (pemain musik), pesinden, dan wirasuara (penyanyi pria) yang turut memberi ‘nyawa’ pada boneka-boneka kayu tersebut. Bertolak dari aneka unsur tersebut, jelas bahwa wayang golek merupakan seni pertunjukan yang kompleks dan menjadi warisan budaya yang amat berharga.

Tokoh Populer

  • Anoman: Kera berbulu putih ini merupakan putra Batara Guru dari Dewi Anjani. Ajiannya antara lain Pancasona, yaitu tahan terhadap bacokan dan Sirna Bobot atau kemampuan meringankan tubuh.
  • Arjuna: Ia adalah putra Pandu ketiga dari ibu Dewi Kunti. Sosoknya halus, tampan, pandai, dan pemberani sehingga disukai wanita. Ia memiliki pusaka keris Pancaroba, Ali-ali Ampal, dan panah Pasopati.
  • Bambang Sumantri: Dia mempunyai adik yang buruk rupa bernama Sukrasana. Suatu hari ia tak sengaja membunuh adiknya sendiri dengan senjata pemusnahnya, Cakrabaskara.
  • Cepot: Astrajingga alias Cepot adalah anak pertama dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Wataknya humoris, emosional, tak membedakan siapa pun, baik ksatria, raja maupun dewa. Lewat banyolan, dia memberikan petuah dan kritik sosial.
  • Dawala:Ia adalah adik dari Cepot. Dawala senantiasa menemani kakaknya pergi, sembari menenangkan kakaknya yang terlalu cepat marah.

 

 

*****

Pesta Sakura, 1 Pesta Hari Raya di Liwa

Pesta Sakura sebagai tradisi Idul Fitri di Liwa, Lampung

Pesta Sakura, ini tak ada kaitannya dengan musim bunga di Jepang. Juga tidak terlait dengan bunga khas matahari terbit itu. Ini adalah tradisi perayaan di saat Idul Fitri yang dilakukan masyarakat di Kabupaten Lampung Barat, Lampung.

Pesta Sakura

Kabut masih menggulung di depan kamar hotel yang terletak di salah satu jalan utama di Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Memang masih pukul 06.00 lewat beberapa menit, tapi suara anak-anak begitu nyaring terdengar. Saya membuka gorden sedikit dan terlihat sekelompok anak sekolah dasar dan menengah. Beberapa tampak tengah membalut dirinya dengan kain panjang bercorak batik. Baik bagian wajah maupun badan. Pesta sakura atau sering disebut sekura segera dimulai.

Pesta Sakura adalah tradisi merayakan Idul Fitri atau Syawalan di Lampung Barat.
Pesta topeng Sakura menjadi tradisi di Liwa, Lampung Barat. Foto: Dok. shutterstock

Memang bukan Hari Raya Idul Fitri seperti lazimnya acara sakura digelar yang umumnya pada 2-10 Syawal. Namun, seperti diungkapkan Bupati Liwa Drs Muchlis Basri dalam pembukaan perayaan ulang tahun kabupaten ini, sakura kini tak hanya setahun sekali, tapi juga diadakan saat perayaan ulang tahun Liwa. Meski hanya melalui parade di pusat kota dan lebih ingin menikmati kesukariaan itu, saya pun bergegas keluar. Sinar mentari perlahan muncul dan hawa mulai menghangat.

Dikelilingi pegunungan dan tak hanya dikenal sebagai penghasil kopi dan sayuran, Liwa juga lekat oleh tradisi seni topeng sakura. Seni ini melekat di beberapa kecamatan, seperti di Belalau, Batu Brak, Liwa, dan Sukau.

“Datang pas Lebaran, sekuraan (perayaan sakura atau pesta sakura) di kampung-kampungnya ramai sekali,” ucap Udin, warga yang saya temui di Batu Brak. Sembari menunjuk gang kecil di antara rumah panggung, ia menyebutkan, “Orang-orang keluar dari gang kemudian keliling pekon (desa).”

Biasanya dimulai pada pagi hari. Satu kelompok akan bergabung dengan kelompok lain hingga keriuhan pun tak terhindarkan. Banyak juga yang menonton. Udin menjelaskan, orang yang bersakura itu tak hanya berjalan, tapi juga berjingkrak-jingkrak dan menari-nari. “Lucu-lucu kadang-kadang,” ucapnya sembari tersenyum.

Sakura juga disebut topeng kayu, tapi kini penutup wajah dibuat lebih bermacam-macam. Selain kayu, ada kain, kertas, dan dedaunan. Tanpa harus ditata sehingga tercipta bentuk indah. Justru dibuat tak beraturan agar terkesan aneh atau lucu, sehingga bisa menghibur. Walhasil, selendang, sarung, daun pisang kering, daun pohon sagu, dan rok perempuan pun bisa dilekatkan pada tubuh orang yang bersakura itu.

Yang ambil bagian bisa anak-anak dan orang tua. Yang pasti ialah kaum Adam. Tak mengherankan di Museum Nasional Lampung bisa ditemukan sakura anak, topeng yang berbentuk kecil dengan wajah seperti menangis, dan sakura tuha yang menunjukkan ekspresi orang sepuh.

Keragaman itu membuat sakura terbagi atas dua jenis. Pagi itu saya menemukan anak-anak sekolah berbalut kain bersih. Inilah yang disebut dengan sakura helau atau betik yang berarti bersih—sakura dengan kain bersih dan rapi.

Selain itu, ada sakura kamak yang dikenal sebagai sakura kotor. Biasanya menggunakan pakaian dan topeng dari tanaman. Pakaian yang dikenakan bak orang bekerja di ladang atau sawah. Hiasannya yang ditempel pun memberi kesan kotor. Sering juga lebih menonjolkan kelucuan, seperti pria dengan gaya ibu hamil.

Salah satu ciri lain dari sakura adalah tingkah polahnya selama berjalan keliling kampung. Orang yang bersakura berniat menarik perhatian orang dan menghibur. Mereka menari-nari, bertingkah lucu, dan kerap juga bergaya seperti binatang. Tak mengherankan ditemukan topeng kayu dengan bentuk hewan beruk yang merupakan peninggalan masa lalu dan kini tersimpan di Museum Negeri Lampung.

Pesta sakura biasanya diakhiri oleh panjat pinang. Nah, sakura kamak-lah yang akan ambil bagian dalam atraksi ini. Sebaliknya, sakura betik hanya menjadi penonton atau penggembira. Yang bersekura betik pada masa lalu adalah pria yang belum menikah atau mekhanai. Sedangkan sekura kamak bisa pria lajang ataupun sudah beristri (khagah).

Pesta Sakura dilaksanakan setiap tanggal 2 hingga 10 Syawal.
Pesta Sakura biasa dilaksanakan antara tanggal 2 hingga 10 Syawal. Foto: Dok. shutterstock

Dalam sebuah pawai karnaval, saya juga menemukan sakura cakak buah. Ditampilkan oleh sebuah sekolah dasar, rupanya sakura yang satu ini merupakan bagian dari sakura kamak. Mereka membawa beberapa buah-buahan seperti yang biasa dibuat untuk panjat pinang. Ada pula kelompok orang bersakura dengan gaya yang superlucu seperti dandanan ala perempuan yang membuat saya tersenyum sendiri. Kreasi orang bersakura memang bermacam-macam. Dan, yang paling penting bisa memancing perhatian orang.

Kata sakura sendiri berasal dari kata sakukha yang berarti penutup muka atau penutup wajah. Tujuan pesta sekura selain menghibur ialah bersilaturahmi dan berakhir pada panjat pinang yang sifatnya bergotong royong atau beguai jejama. Akhir dari pesta siang itu, orang-orang yang bersakura langsung berkumpul di lapangan. Di sana sudah berdiri beberapa pohon pinang dengan hadiah bergelantungan di atas. Keriuhan kembali meruap.

Keahlian memanjat dan kerja sama yang baik membuat benda-benda di atas pohon pun beralih tangan dengan cepat. Wajah-wajah penuh senyum pun bubar. Pesta usai. l

Dua Versi

Masyarakat Liwa meyakini sakura merupakan seni paling tua peninggalan leluhurnya, yakni buay tumi. Pada saat itu, suku tersebut menganut animisme dan sakura pun merupakan salah satu bentuk pemujaan terhadap penguasa alam dan roh-roh nenek moyang yang cenderung berwajah jelek serta berbusana dari dedaunan atau seadanya.

Jejak dari suku pertama di wilayah Lampung Barat ini adalah Ratu Sekarmong yang memimpin masyarakat buay tumi pada akhir pengaruh Hindu. Pada masa itu, sakura digelar saat panen ataupun bulan purnama, meski tak seorang pun bisa memastikan awal kemunculan tradisi sakura ini.

Namun, selama ini, sakura terkait dengan perayaan Idul Fitri atau datangnya bulan Syawal, sehingga ada peneliti yang memperkirakan sakura di daerah ini muncul pada zaman Islam. Islam menyebar di pesisir Barat Lampung ini sekitar abad ke-13 hingga sakuraan pun diperkirakan dimulai pada masa itu. Sakuraan menjadi ungkapan untuk rasa syukur ketika bulan Syawal datang dan sukacita menyambut hari suci dan besar.

Sementara itu, peneliti yang berbeda memperkirakan sakura dimunculkan pada Hari Idul Fitri setelah masyarakat Liwa menganut Islam, yang sempat terhenti sebelumnya. Seperti diungkapkan salah tokoh masyarakat setempat Habbibur Rahman Lekat Haiman Sukri seperti dikutip dari Penelitian Sejarah Sekala Bekhak Lampung Barat yang dikeluarkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Liwa.

Ia menyatakan sakura pernah tidak memunculkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun akhirnya dihadirkan kembali saat Idul Fitri karena dinilai tepat sebagai acara silaturahmi atau ngejalang sesama warga. l

agendaIndonesia/TL/Rita N.

*****

Pengantin Betawi, Tradisi Unik 4 Bangsa

Pengantin Betawi memiliki akar pada tradisi dan budaya 4 bangsa.

Pengantin Betawi hingga hari ini masih banyak yang menduga ia bagian dari budaya dan tradisi perkawinan Melayu. Sesungguhnya, adat pengantin Betawi merupakan pengaruh dari empat budaya: yakni Cina, Arab, Portugis juga Melayu. Ke empatnya menyatu dalam rias bakal maupun rias besar.

Pengantin Betawi

Mumpung sedang ulang tahun Jakarta, tak ada salahnya membicarakan budaya masyarakat Betawi. Salah satunya adalah adat istiadat perkawinam, dalam hal ini gaya pengantinnya.

Mungkin banyak yang mengira pengantin Betawi itu gayanya biasa-biasa saja. Seringkali pengantin pria dengan jas sedangkan pengantin perempuannya dengan gaun modern.Kadang yang membedakan adanya perkawinan dengan adat Betawi hanyalah sepesang ondel-ondel yang biasanya dipajang di depan rumah atau pagar, atau malah di ujung gang dekat tempat tinggal pengantin perempuan.

Informasi soal gaya pengantin Betawi kami peroleh dari Milla House milik Emma Amalia Agus Bisrie. Kolektor batik nusantara dan berbagai barang khas Betawi ini memang memiliki sederet busana Betawi dari masa ke masa. Di sana pengunjung bisa menemukan busana pengantin Betawi yang msih kental dengan unsur Cina.

Berupa blus satin dengan kerah Shanghai berwarna merah dengan bordir kembang dan burung hong di beberapa titik. Bagian bawah rok atau disebut kun, dibuat dari beludru hitam, dengan hiasan corak dari benang emas, termasuk renda emas di bagian bawahnya.

Teratai atau hiasan di dada pun dari beludru hitam dengan kepingan logam keemasan dalam bentuk kupu-kupu dan bunga. Tak lupa siangko yang menjadi hiasan kepala lengkap dengan tirai-tirai cadar wajah yang membuahkan kecantikan tersendiri. Selopnya bak alas kaki milik Aladin, bagian depannya melengkung. Diberi nama sepatu kasut.

Alas kaki serupa juga yang dikenakan pengantin pria. Hanya busananya lebih condong ke model busana Timur Tengah. Di bagian dalam dikenakan gamis kemudian selempang berbordir. Selanjutnya ditutup jubah panjang dari beludru yang bertaburan bebatuan. Topinya mirip punya Aladin. Bulat dan padat dengan untaian kembang melati di salah satu sisinya.

Pengantin Betawi memiliki perpaduan dari banyak tradisi, setidaknya ada 4 buaya internasional.
Pasangan model pakaian pengantin Betawi. Foto: Dok TL/Milla House

Perpaduan berbagai budaya dari luar memang menjadi ciri khas Suku Betawi. Hingga menyusup dalam soal busananya. “Busana Pengantin Betawi pun merupakan campuran dari Cina, Arab dan Portugis,” ujar Emma Amalia Agus Bisrie.

Ada dua jenis busana pengantin khas Betawi, yakni Rias Bakal atau saat akad nikah dan Rias Besar saat resepsi. Rias Bakal tidak banyak mengalami perubahan. Namun tetap unik karena benar-benar campuran berbagai bangsa dan daerah.

Untuk perempuan, misalnya di bawah mengenakan songket, dengan pilihan songket Palembang, Padang atau Medan. Terutama yang bermotif tombak atau pucuk rebung.

Bagian atasnya dikenakan baju kurung dari sutera atau beludru, dengan hiasan tabur dan benang emas. Di pundaknya dikenakan juga hiasan dada yang disebut teratai itu, sama seperti model awal, dibuat dari beludru dengan hiasan kepingan logam keemasan.

Ini masih dilengkapi perhiasan kerabu alias anting-anting, sunting yang digantungkan ditelinga, siangko dengan cadar tirainya. Ditambah kroon atau mahkota dan 9 atau 11 tusuk konde kembang goyang. Yang khas adalah di bagian kening dibuat goresan bulan sabit.

Busana akad nikah pria yang diberi nama Jas Kain Serebet cenderung sederhana. Sarung Samarinda, Plekat atau Bugis di bagian bawah, kemeja putih dan jas dengan hiasan bunga ros dan anggrek di dada, tapi kadang hanya sebuah saputangan warna merah, plus peci di bagian kepala.

Busana Rias Besar atau resepsi lah yang mengalami perkembangan dari masa ke masa. Busana model Cina yang disebut di awal merupakan busana yang pertama-tama muncul dalam resepsi pernikahan ala Betawi dan disebut Rias Besar Dandanan Care Pengantin Cine.

Sang pria pada masa itu mengenakan Care Haji yang memang diadaptasi dari pakaian Timur Tengah atau busana haji. Ada jubah, alpie atau topi bulat, gamis, dan selempang tanda kebesaran. Dikenakan dari pundak kiri ke pinggang kanan, yang bermakna hal manusiawi jika orang cenderung memilih jalan ke kiri atau melakukan kesalahan, tapi selanjutnya harus ditarik ke kanan, menuju kebenaran.

Pada 1980-an orang cenderung lebih modern. Walhasil, busana pengantin perempuan dibuat dari bahan organdi dan lebih kental dengan unsur Barat.

Rok  terbagi dua bagian, bagian dalam yang menyerupai sarung dengan bagian tengahnya dibuat bordir kerancang, sedangkan rok kedua dibuat lebar.

Busana atas lebih mirip blus biasa hanya penuh dengan payet dan bordir. Hanya hiasan teratai, siangko, macam-macam tusuk konde seperti kembang goyang, kembang rumput, Lam, dan lain-lain masih tetap dimunculkan. Sementara pengantin pria masih setia dengan model Care Haji, hanya muncul dalam variasi warna berbeda.

Beruntung, akhir-akhir ini orang cenderung kembali gandrung pada model tradisional meski dikemas modern. Koleksi busana pengantin milik Milla House menunjukkan perkembangan tersebut. Dua koleksinya, lebih modern namun tetap kental dengan tradisi. Sang perempuan dengan kebaya kerancang nan cantik. Dipadu dengan rok lurus di bagian dalam dan tambahan kiri-kanan yang melebar.

Semakin kinclong dengan hiasan siangko bercadar, mahkota, sunting di telinga, selain juga anting kerabu, dan aneka tusuk konde, seperti kembang goyang, tusuk Lam, kembang rumput. Ada pula dengan rok lebar tapi masih memunculkan corak-corak batik lawas, seperti pucuk rebung dalam hiasannya.

Yang tidak berubah banyak tentunya hiasan di dada dan sanggul buatan (sanggul khas pengantin Betawi yang menggunakan cemara panjang dan dibentuk seperti stupa yang di dalamnya diisi irisan daun pandan) beserta hiasan kepalanya. Yang dua itu memang masih Betawi banget.

Jika suatu saat hendak menikah atau menikahkan putra-putrinya, mungkin bisa mengagendakan dengan gaya pengantin Betawi.

agendaIndonesia/TL/Rita/Aditya/Milla House

*****

Boneka Sigale-gale Pertama Dibuat Tahun 1930

Boneka Sigale-gale dari tradisi Batak Samosir.

Boneka Sigale-gale yang dibalut ulos itu tampak menonjol dalam Festival Danau Toba di Pulau Samosir, Sumatera Utara, beberapa tahun lalu. Tidak seperti biasanya, kali ini boneka itu muncul dalam bentuk raksasa. Tingginya mencapai 16 meter, berdiri menjulang di tepi perairan Tuktuk Siadong, Samosir. Selain bagian badan diselubungi ulos, boneka itu mengenakan penutup kepala tradisional.

Boneka Sigale-gale

Dalam perhelatan besar tersebut, Sigale-gale memang benar-benar ditonjolkan. Tidak hanya dipajang menyambut para pengunjung atau peserta festival, tapi juga diperke- nalkan sebagai salah satu kesenian rakyat yang melekat dengan suku Batak Toba. Di antaranya dengan karnaval Sigale-gale. Boneka Sigale-gale yang memiliki ukuran serupa manusia diarak sejauh 18 kilometer diiringi irama musik khas Batak dalam karnaval itu. Perjalanan dimulai dari Tuktuk, Samosir. Tidak hanya dibalut baju hitam, tapi juga ada juga boneka yang mengenakan pakaian merah dan kuning. Lengkap dengan kayu di lengan sebagai alat penggerak.

Untuk memperkenalkan lebih jauh, diadakan pula pelatihan pembuatan boneka kayu tersebut, termasuk latihan untuk memainkannya. Maklum, bila ke Samosir, hanya ada beberapa lokasi untuk menyimak pertunjukan tradisional ini. Jumlah pembuat boneka dan dalangnya pun terus menyusut. Walhasil, dalam acara seni budaya ini, Sigale-gale diangkat kembali.

Jika tidak datang bertepatan dengan festival tahunan ini, sebenarnya hanya beberapa langkah dari Pelabuhan Tomok, kisah Sigale-gale sudah bisa dicermati. Tepatnya,di pemakaman Raja Sidabutar. Di sana, boneka kayu itu biasa dipentaskan dengan iringan musik dari tape recorder. Sementara si boneka menari-nari dengan lengan yang digerakkan, anak-anak setempat ikut menari seiring irama yang mengalun.

Boneka Sigale-gale yang terbuat dari kayu seukuran manusia dewasa.
Boneka Sigale-gale yang terbuat dari kayu sebagai salah satu tradisi dan budaya masyarakat Samosir, Sumatera Utara. Foto: Dok. shutterstock

Pertunjukan singkat ini bisa menjadi awal perkenalan dengan boneka kayu yang sudah ada sejak lama. Sebuah versi menyebut tradisi ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Namun, versi lain menyebut, tradisinya sudah lama namun bonekanya sendiri pertama kali dibuat pada 1930. Mana yang benar, walahualam. Yang jelas ini adalah salah satu kekayaan budaya Samosir yang tiada tara.

Kisah Sigale-gale memang melekat dengan masyarakat Samosir. Terdapat beberapa versi soal kemunculan boneka kayu ini. Kebanyakan memang menuturkan kisahnya dimulai pada masa Raja Rahat, yang berasal dari salah satu kerajaan di Samosir. Ia mempunyai anak semata wayang, Raja Manggale. Untuk memperluas kekuasaan, ia mengutus anaknya ke medan perang. Namun sang putra gugur. Sang raja pun sedih bukan alang kepalang. Ia selalu meratap, sehingga rakyat ikut berduka.

Dukun dalam masyarakat setempat, disebut datu-datu, lalu membuatkan boneka kayu yang mirip dengan anak sang raja untuk menghiburnya. Boneka itu dipakaikan ulos serta tali pengikat kepala dalam warna merah, hitam, dan putih, lantas dimasukkan ke peti. Beberapa datu-datu pun memanggil roh Raja Manggale dengan bantuan iringan musik tradisional, sehingga boneka itu bisa bangkit dan manortor atau menggerakkan tangannya seperti menari tortor. Raja merasa bahagia. Ketika dilanda rindu, ia kerap meminta diadakan pertunjukan boneka kayu tersebut. Karena disertai aksi pemanggilan roh, atraksi ini kerap dikaitkan dengan hal mistis.

Tentu, kini tidak ada roh yang dipanggil dalam setiap pertunjukan. Namun cerita itu semakin menyebar dan menjadi ciri masyarakat Toba Samosir. Pertunjukannya pun menjadi atraksi kesenian rakyat setempat. Gerakan boneka yang gemulai saat menari membuatnya dinamakan Sigale-gale. Sigale-gale dalam bahasa setempat artinya lemas, tapi dalam kaitannya dengan boneka ini, istilah itu juga berarti lemah gemulai.

Versi lain menyebutkan, ada seorang ayah yang kehilangan anak lantaran sang anak sakit. Karena suku Batak menganut prinsip patrilineal, pria tersebut sedih bukanmain tidak mempunyai keturunan. Ia pun membuat boneka yang menyerupai anaknya untuk menghibur diri. Langkah itu diikuti oleh para pria yang mengalami hal serupa. Bahkan, boneka itu kemudian digunakan sebagai penolak bala oleh masyarakat.

Boneka Sigale-gale dari Samosir kini menjadi salah satu atraksi budaya yang menarik perhatian wisatawan.
Wisatawan berkunjung ke Samosir dan menikmati atraksi Boneka Sigale-gale. Foto: Dok. shutterstock

Pembuatan boneka tersebut juga dikaitkan dengan kepercayaan animisme yang dianut suku Batak pada masa itu. Masyarakat Samosir meyakini orang yang meninggal tanpa keturunan akan memiliki derajat rendah, bahkan setingkat dengan roh jahat. Karena itu, perlu ada tarian dan sesajen selama seminggu. Dalam kesempatan itulah Sigale-gale menari bersama sanak-saudara orang yang meninggal. Boneka tersebut juga diberi pakaian bagus. Perhelatan ini sebagai doa agar kedukaan tidak datang kembali ke keluarga tersebut.

Pertunjukan tari tortor dengan boneka kayu tersebut bisa ditemukan di Museum Huta Bolon, Simanindo. Bila ke Samosir, setelah tiba di pelabuhan di Tomok, Anda bisa melaju ke kanan, kemudian menemukan Desa Tuk Tuk dengan gerbangnya yang indah. Selanjutnya, Anda akan masuk ke Desa Ambarita, baru kemudian tiba di Desa Simanindo. Di ping- gir jalan utama, museum tersebut dengan mudah ditemukan.

Setiap hari pada pukul 11.00, di museum itu digelar seni tari Batak. Di antaranya pentas Tortor Sigale-gale. Di depan deretan rumah bolon atau rumah adat Batak Toba, boneka kayu manortor diiringi dengan gendang dan instrumen lain. Ada dua boneka: berukuran kecil dan besar. Boneka itu menari diiringi oleh belasan penari. Bahkan, para pengunjung diajak untuk turut menari. Di tengah irama musik, ketika para pengunjung menaruh uang di wadah yang tersedia, para penari pun berucap, “Horas!”

Rita N./TL/agendaIndonesia

*****

Reog Ponorogo, Titisan Seni Abad 11

Reog Ponorogo merupakan seni tari sejak abad 11. Foto: shutterstock

Reog Ponorogo selalu menjadi pertunjukan yang menakjubkan. Terutama ketika penari Barongan utamanya muncul dan ‘ndadi’, untuk memperlihatkan ia melakukan aksi yang “agak” tak masuk akal. Misalnya dengan topengnya yang sangat besar, dan pasti berat itu, di sisi kepala masih mengangkat seorang penari. Kata orang ada unsur magisnya.

Reog Ponorogo

Betulkah demikian? Kesenian yang berasal dari Ponorogo, sebuah kota dan kabupaten di sisi barat Provinsi Jawa Timur ini memang unik. Seni pertunjukan reog Ponorogo diyakini telah ada sejak abad ke-11, tepatnya pada masa kerajaan Kediri.

Kata ‘reog’ sendiri dianggap berasal dari istilah ‘angreok’ yang ditulis Mpu Prapanca dalam naskah sastra gubahannya, Nagarakertagama. ‘Angreok’ merupakan istilah yang kurang lebih merujuk kepada sebuah pertunjukan tradisional yang dulunya ditujukan sebagai penyemangat, suri teladan dan hiburan bagi rakyat. Beberapa unsur dan detail dalam pertunjukan tersebut dipercaya sebagai asal usul reog.

Reog Ponorogo memiliki berbagai versi sejarahnya. Salah satunya dimulai dari zaman Majapahit.
Festival Reog Ponorogo menjadi agenda tahunan Pemerintah Daerah Ponorogo. Foto” Pemkab Ponorogo

Jalan cerita sendratari dalam pertunjukan reog Ponorogo disebut sebagai representasi sikap protes Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan Majapahit. Ia merasa gamang atas kondisi kerajaan yang digerogoti korupsi, dan pengaruh Tiongkok, setelah raja menikahi putri Campa dari Tiongkok.

Melihat situasi tersebut, ia mulai khawatir jika Majapahit tak lama lagi akan runtuh. Dari kekhawatirannya tersebut, ia kemudian mendirikan padepokan dan merekrut anak-anak muda untuk belajar ilmu kebatinan dan bela diri.

Harapannya, anak-anak muda ini akan menjadi bibit-bibit yang mampu menumbuhkan kembali Majapahit bila suatu saat nanti benar-benar runtuh. Kendati demikian, ia masih merasa jumlah murid asuhannya masih tak cukup banyak bilamana terjadi pertempuran.

Oleh karena itu, ia berusaha untuk memobilisasi rakyat lewat pertunjukan seni yang memuat nilai dan pesan politis mengenai kondisi kerajaan kala itu. Beberapa penokohan yang terdapat di pertunjukan ini kemudian menjadi cikal bakal unsur kesenian reog kini.

Dalam pertunjukan tersebut, terdapat penari Barongan dengan topeng singa yang memiliki bulu-bulu merak, sehingga menyerupai kipas. Ini merupakan representasi dari raja dan kerajaan yang sedang banyak dipengaruhi oleh kepentingan orang-orang asing.

Kemudian ada penari Jathilan, yang tampil dengan menggunakan kuda-kudaan, sebagai representasi pasukan kerajaan. Mereka digambarkan bertarung melawan penari Warok, yang berdandan serba hitam dengan topeng, sebagai simbol Ki Ageng Kutu dan muridnya.

Pertunjukan sendratari ini terbukti populer dan sangat diterima oleh rakyat pada saat itu, hingga terdengar oleh kerajaan. Mengetahui potensi niat pemberontakan, pertempuran pun pecah dan Ki Ageng Kutu beserta muridnya mampu dikalahkan.

Festival Reog Ponorogo Kemenparekraf
Salah satu pertunjukan Reog Ponorogo. Foto: Kemenparekraf

Namun demikian, kesenian tersebut telah mendapat tempat di hati rakyat. Sehingga pada perkembangannya, pertunjukan seni ini terus diadakan walaupun terdapat modifikasi pada alur cerita dan penokohannya.

Ada pula versi yang menyebut bahwa kesenian serupa reog yang berasal dari era kerajaan Kediri dan memiliki jalan ceritanya sendiri. Versi ini menyebut bahwa kisah sendratari ini terinspirasi dari kisah antara kerajaan Kediri dan Bantarangin.

Diceritakan, Prabu Klanasewandana adalah raja dari kerajaan Bantarangin yang bermaksud untuk mempersunting Dewi Sanggalangit, putri dari kerajaan Kediri. Tetapi pihak kerajaan Kediri pada saat itu masih merasa tak berkenan dan enggan memberi restu.

Akhirnya mereka mengajukan syarat, siapapun yang ingin menikahi sang putri harus mengalahkan pasukan Singo Barong, yang digambarkan berwujud singa berbulu merak. Prabu Klanasewandana lantas menghadapinya dengan pasukan Jathilan dan Warok.

Jathilan digambarkan sebagai pasukan kerajaan yang kewalahan melawan para Singo Barong, sedangkan Warok disebut memiliki ilmu kebatinan yang mampu menandingi dan membantunya mengalahkan Singo Barong tersebut. Ada pula tokoh Bujang Ganong sebagai patih kerajaan.

Prabu Klanasewandana kemudian membawa beberapa Singo Barong tersebut sebagai mas kawin. Akhirnya ia mendapat restu dan pesta pernikahan pun dilangsungkan. Versi cerita inilah yang boleh dibilang paling lazim dipentaskan dalam setiap pertunjukan reog saat ini.

Reog Ponorogo terdiri dari Singo Barong, Warok dan jathilan.
Penari Jathilan pada Reog Ponorogo. Foto: Kemenparekraf

Ada pula kepercayaan warga Ponorogo bahwa reog merupakan kesenian yang berlandaskan ritual penolak bala. Kepercayaan ini menganggap bahwa seni tari dengan menggunakan topeng berwujud setengah singa setengah harimau dapat menghalau hal-hal buruk.

Wujud topeng tersebut adalah representasi dari roh ‘penjaga’ yang telah ada sejak Ponorogo masih berupa hutan belantara dulu. Sehingga dalam perkembangannya, ritual ini berevolusi dan dilestarikan menjadi kesenian reog.

Pada era sekarang ini, reog Ponorogo dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah reog obyog, yakni reog yang cenderung lebih sederhana dan tidak terlalu berpaku pada satu versi cerita. Biasanya reog obyog banyak ditemukan di pedesaan, misalnya pada hari besar atau hajatan tertentu.

Versi yang kedua adalah reog festival, yaitu reog yang biasanya sudah dilatih untuk mengikuti salah satu versi, serta umumnya lebih profesional, utamanya dari segi peralatan. Reog jenis ini tampil pada acara resmi, misalnya pada gelaran Festival Reog.

Festival Reog sendiri adalah acara yang digelar setahun sekali sejak 1997 oleh pemerintah kota Ponorogo. Tujuannya tentu untuk memberi panggung bagi para penampil reog dan mempromosikan kesenian reog sebagai jati diri Ponorogo.

Walaupun punya jenis dan tafsiran yang berbeda-beda, namun secara umum ada beberapa hal yang serupa bagi semua versi. Misalnya, penari Warok biasanya adalah laki-laki berjumlah minimal enam hingga delapan orang, berdandan serba hitam dan bertopeng.

Sedangkan penari Jathilan adalah perempuan berjumlah minimal enam hingga delapan orang, dengan aksesoris kuda-kudaan. Dulu Jathilan diperankan laki-laki dengan dandanan dan tarian yang feminin, namun seiring perkembangan jaman peran ini kini dilakoni oleh perempuan.

Adapun Singo Barong memiliki topeng yang terbuat dari bulu burung merak dan kulit harimau. Ukurannya sangat besar, dengan ukuran panjang sekitar 2,25 meter dan lebar kurang lebih 2,30 meter. Bobotnya pun tergolong berat, berkisar antara 50 sampai 80 kg.

Yang menarik, topeng ini ditopang oleh penarinya dengan gigi. Penari Singo Barong biasanya sudah sangat terlatih, bahkan konon diwajibkan untuk memperdalam ilmu spiritual dengan cara berpuasa, bertapa dan lain sebagainya.

Untuk mengiringi pertunjukan reog, musik pun dimainkan menggunakan beragam alat musik tradisional. Mulai dari kenong, saron, bonang, kempul, gong, kendang, ketipung, angklung, dan slompret.

Hingga saat ini, reog Ponorogo masih terhitung sebagai salah satu kesenian tari tradisional Indonesia yang paling populer. Bahkan populasi di negara lain seperti Malaysia dan Suriname yang notabene masih keturunan Jawa, juga didapat membawa dan mementaskan kesenian ini.

Maka tak heran bila organisasi kebudayaan PBB yakni UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menetapkan reog Ponorogo sebagai salah satu warisan budaya nonbenda. Sebuah kesenian yang hingga kini lekat sebagai ikon kota Ponorogo.

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Bau Nyale, Saat Hari Ke-5 Purnama Kalender Sasak

Bau Nyale adalah sebuah perayaan tentang cacing atau nyale merupakan perwujudan putri yang menyerahkan diri dan cintanya kepada rakyat.

Bau Nyale

Pantai Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang pernah saya singgahi beberapa tahun lalu, terasa berbeda kali ini. Keramaian ada di mana-mana. Wajar saja jejeran pantai dari Tanjung Aan hingga Kuta itu terasa riuh. Sebab, saya datang menjelang Upacara Bau Nyale. Ritual tahunan yang digelar saat bulan purnama antara Februari dan Maret bahkan telah dikemas menjadi satu festival. Bau dalam bahasa Sasak berarti menangkap, sedangkan nyale bermakna cacing. Kegiatan utamanya memang memburu cacing saat air laut surut.

Tradisi menangkap cacing yang muncul dari lubang-lubang karang di Pantai Seger maupun Kuta ini bermula dari legenda masyarakat di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Pada zaman dulu, Kerajaan Mandalika, yang berada di daerah itu, memiliki seorang putri yang elok dan memikat sejumlah pangeran. Namun sang putri tidak mau menimbulkan pertumpahan darah akibat masalah cinta.

Ia memutuskan untuk terjun ke laut dari bukit yang berada di Pantai Seger atau dikenal juga sebagai Pantai Mandalika. Lokasinya bersebelahan dengan Pantai Kuta. Dengan cara itu, ia bisa membagi dirinya untuk pangeran yang mencintainya dan juga rakyatnya. Setelah tubuh Putri Mandalika ditelan ombak, muncullah cacing berwarna-warni dari batu karang. Masyarakat setempat meyakini cacing itu jelmaan sang putri.

Nah, setiap tahun, perwujudan sang putri itu selalu muncul di laut pada hari kelima purnama bulan 10 kalender Sasak. Tahun ini, Upacara Bau Nyale digelar pada 19-20 Februari. Namun kini lebih berfokus pada masa Bau Nyale Poto (akhir bau nyale) daripada Bau Nyale Tunggak (awal bau nyale) seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sebenarnya acara menangkap cacing dilakukan juga di sejumlah pantai di Lombok. Setidaknya, ada 16 titik untuk menjaring nyale. Hanya, karena legendanya tumbuh di Pantai Seger, festival selalu dipusatkan di kawasan Kuta. Sebelumnya, sejumlah kegiatan dan ritual digelar. Para tarune (pemuda) menjajal aneka lomba tradisional, di antaranya, bertarung dalam presean—sejenis bela diri dengan senjata sebilah tongkat rotan. Dilengkapi juga dengan tameng dari kulit sapi. Presean digelar di tepi pantai. Suasananya riuh karena teriakan orang berbaur dengan gendingpengiring pertarungan yang terdiri atas dua gendang dan masing-masing satu set petuk, rencek, gong, dan seruling.

Tidak jauh dari Tanjung Aan, yang berada di sebelah Pantai Seger, saya menemukan pacuan kuda anak-anak. Areanya yang besar membikin saya lebih leluasa menyaksikan pacuan kuda dari jauh. Rasanya miris juga menyimak dari dekat. Tanpa pelana dan perlindungan ala kadarnya, sejumlah bocah berusia 9-13 tahun memacu kuda. Peserta datang dari berbagai desa, bahkan juga dari Sumbawa.

Esoknya, saya menemukan keriuhan lain di lobi sebuah hotel di kawasan Kuta. Dung-dung-dang-dang-jreng! Suara tersebut begitu nyaring tertangkap telinga. Terlihat rombongan pria berbalut seragam berupa pakaian tradisional suku Sasak. Mereka rupanya menyambut tetamu hotel. Masing-masing membawa perangkat musik. Mulai gendang beleq (besar), gendang kecil, gong, hingga seruling. Kebanyakan grup gendang beleq terdiri atas belasan kru, dengan semua pemain laki-laki.

Menjelang Festival Bau Nyale, keramaian memang tak putus-putus. Di kampung-kampung pun warga membuat penyambutan. Mereka memotong ayam, lalu memanggang dan memadukannya dengan ketupat. Ini suguhan wajib yang telah menjadi tradisi. Sore hari, suasana kian ramai di sepanjang Pantai Tanjung Aan hingga Kuta. Warga dari berbagai penjuru Lombok berdatangan. Turis-turis pun tak mau kalah ikut nimbrung.

Langit semakin gelap, saya melihat air laut surut semakin jauh. Meski perburuan cacing yang dikenal dengan nama nyale oleh warga setempat mulai dilakukan dinihari, obor-obor di tepi pantai sudah terlihat. Ada juga orang yang mencari peruntungan lebih awal. “Kadang memang nyale sudah mulai bermunculan pas matahari tenggelam, tapi yang benar-benar banyak nanti pukul 03.00 atau 04.00 gitu,” ujar Adi, warga Desa Rimbitan, Pujut, yang setiap tahun ikut berburu nyale.

Saya pun memilih beristirahat agar benar-benar bisa ambil bagian dalam perburuan cacing yang memiliki nama Latin Polychaeta dan hidup di dasar laut itu. Jenis cacing ini muncul ke permukaan laut atau muara setahun sekali untuk berkembang biak. Namun warga Lombok mengaitkannya dengan legenda Putri Mandalika.

Festival Bau Nyale telah menjadi sarana promosi wisata Lombok Tengah, sehingga tradisi pun dikemas dengan rangkaian hiburan. Tidak hanya dendang khas suku Sasak dan drama tentang Putri Mandalika, tapi juga ada penyanyi-penyanyi dari luar kota. Setelah berbagai keramaian di panggung, warga berburu cacing pada pukul 04.00. Di tengah kegelapan, saya ikut beramai-ramai dengan warga menuju Pantai Seger.

Jalan menuju pantai bukan pasir nan mulus seperti dua pantai di sebelahnya, Kuta dan Tanjung Aan. Berada di antara bukit kecil, jalannya agak berliku. Pantainya penuh dengan batu karang. Ketika air surut, pulau kecil di depannya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Dan saat surut itulah dari batu karang muncul cacing berwarna-warni, seperti hijau dan kuning.

Seolah diberi aba-aba, warga semakin maju ke tengah pantai. Mereka membungkuk, mengorek-ngorek batu karang, lalu menjumput cacing dan memasukkannya ke botol, ember, atau wadah lain yang dibawa. Kebanyakan warga mengolah cacing ini dengan cara dipepes. Ketika mentari mulai muncul, sedikit demi sedikit orang mundur dengan ember atau botol berisi cacing. “Kalau dapatnya sedikit, nanti di pasar juga suka ada yang jual,” ujar Adi, sembari menyebutkan bahwa hidangan dari cacing ini rasanya memang luar biasa. Waaah! l

Lokasi lain untuk berburu nyale

1. Pantai Kaliantan, Lombok Timur

2. Pantai Sekongkang, Sumbawa Barat

3. Pantai Wanukaka, Sumba Barat

Info

1. Akomodasi saat digelar Festival Bau Nyale di Lombok Tengah selalu penuh. Jadi, pesanlah kamar sejak jauh-jauh hari agar bisa mendapatkan hotel yang lokasinya tidak jauh dari pantai tempat festival digelar.

2. Deretan Pantai Tanjung Aan, Seger, dan Kuta berada di Lombok Tengah, yang bisa dicapai dari Bandara Internasional Lombok dalam 30 menit.

3. Datanglah minimal tiga hari sebelum festival, sehingga Anda bisa menyaksikan berbagai atraksi tradisional. Di sekitar kawasan Kuta juga terdapat beberapa pantai lain yang layak dikunjungi, seperti Pantai Mawun, Teluk Gerupuk, Pantai Selong Belanak, dan Pantai Mawi. Selain itu, ada Desa Sade dan Desa Sukarara, yang dikenal dengan adat dan kerajinan tradisionalnya.

agendaIndonesia/Rita N./Subekti/Dok. TL

*****

Tari Kecak, Seni Tari Popular Mulai 1930

Tari Kecak Bali, kesenian tradisional yang mengandung makna spiritual. Foto: unsplash

Tari kecak rasanya salah satu seni tari tradisional Bali yang sudah sangat popular. Di Tengah acara G20 di Bali November 2022 ini, rasanya seni ini yang akan mendapat cukup banyak perhatian, selain tari Pendet yang ditampilkan untuk menyambut para tamu negara. Tetapi mungkin belum banyak yang mengetahui makna spiritual yang menjadi alasan ikon budaya pulau Dewata ini menjadi tradisi yang terus dilestarikan hingga kini.

Tari Kecak

Secara umum, tari kecak merupakan seni tari yang diperagakan oleh sejumlah laki-laki yang duduk melingkar. Jumlah penari ini bisa mencapai puluhan hingga ratusan orang, ditambah beberapa penari yang tampil di tengah-tengah para penari laki-laki yang melingkar tersebut.

Penari-penari yang tampil di tengah lingkaran tersebut lantas menampilkan sendratari epos Ramayana, yakni kisah Rama yang berupaya menyelamatkan Shinta dari Rahwana. Dalam upayanya ini Rama dibantu pasukan kera yang dipimpin Hanoman.

Para penari yang melingkar itu adalah representasi dari pasukan kera tersebut, sebagai latar dari lakon yang diperagakan. Para penari biasanya akan tampil dengan kain kotak-kotak yang dikenakan seperti sarung di pinggang, tanpa mengenakan baju.

Tari Kecak merupakan simbol taolak bala dalam masyarakat Bali.
Tari Kecak Bali merupakan bagian dari cerita Ramayana. Foto: DOk. Kemenparekraf

Sebagai latar lakon yang dipertunjukkan, para penari tersebut kemudian akan menari dengan mengangkat tangannya ke atas dan menggoyangkannya ke kanan atau ke kiri, sambil berseru kata ‘cak’, atau ‘cak-cak’ berulang kali secara berirama. Bagi telinga awam, seruan ‘cak’ yang berulang inilah mengapa tari ini kemudian lazim disebut tari kecak.

Dalam pertunjukan tari ini, tidak ada alunan musik dari alat musik yang dimainkan untuk mengiringi jalannya pertunjukan. Hanya ada suara kerincing yang dipakai di kaki dan tangan para penari di dalam lingkaran, serta tentunya seruan ‘cak’ dan ‘kecak’ yang khas itu. Kadang ditambah tiruan gamelan dari mulut para penari. Semacam acapela.

Di balik lakon bertema pewayangan Hindu tersebut, tari kecak disebut punya keterkaitan dengan seni tradisional Bali lainnya, yaitu ritual tari sanghyang. Ritual ini merupakan perpaduan unsur mistik dengan kepercayaan luhur masyarakat Bali.

Ritual ini diyakini telah ada sejak masa pra-Hindu di wilayah Bali. Pada dasarnya, para penampil ritual ini adalah orang-orang yang disebut tidak sadarkan diri dan disusupi oleh hyang (roh), sehingga dapat bergerak dan menari sendiri tanpa terkendali.

Bahkan, para penari ritual tersebut dapat menginjak api sambil menari atau melakukan gerakan tarian yang tak lazim dilakukan manusia pada umumnya. Konon, ini merupakan cara berinteraksi secara spiritual dengan sang Pencipta, meminta agar dihindarkan dari keburukan.

Ritual ini pun sejatinya bukanlah sebuah pertunjukkan yang marak dipertontonkan untuk umum, karena nilai sakralnya. Biasanya ritual ini dilakukan pada situasi tertentu yang dianggap mencemaskan, seperti saat serangan wabah penyakit, dan lain sebagainya.

Tari Kecak Bali PARIWISATA ATRAKSI shutterstock 1332483425 Aries Hendrick Apriyanto 660c40fe2d
Tari Kecak dibawakan oleh puluhan hingga ratusan penari. Foto: Shutterstock

Tari kecak sendiri secara mendasar juga ditujukan sebagai ritual penolak bala. Beberapa elemen dari ritual tersebut seperti beberapa penari-penarinya yang juga dirasuki dan menginjak bara api, serta sesajen juga kerap terdapat pada pementasan tari ini.

Selain itu, penampilan kisah Ramayana dalam pertunjukannya juga mengandung pesan moral seperti usaha dan perjuangan yang pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan. Serta pentingnya untuk tidak serakah, pun selalu ingat dan berserah diri kepada sang Pencipta.

Menurut sejarahnya, tari kecak mulai dipopulerkan pada tahun 1930-an. Semua berawal ketika Walter Spies, seorang seniman asal Jerman yang tinggal di Bali sedang mendalami kesenian tradisional setempat, termasuk ritual tari sanghyang.

Ritual tersebut meninggalkan impresi yang mendalam baginya, sehingga ia kemudian berdiskusi dengan temannya, seorang seniman tradisional Bali bernama I Wayan Limbak. Mereka lantas berkolaborasi dan mengaransemen pertunjukan tari kecak seperti yang dikenal saat ini.

Kala itu, I Wayan Limbak sendiri tengah mengembangkan gerakan-gerakan baru pada tari baris, yakni tari tradisional Bali yang berakar pada tari perang di masa lalu, sebagai tanda pemuda-pemuda dianggap sudah dewasa dan siap bertarung. Tari ini biasanya diiringi oleh gamelan.

Dari kolaborasi itu, tercetus ide untuk mengintegrasikan gerakan yang tengah dikembangkan tersebut ke dalam sendratari Ramayana. Namun alih-alih diiringi gamelan, penampilan tersebut kemudian diiringi oleh seruan ‘cak’ dan ‘kecak’ yang berirama, layaknya sebuah ritual.

Irama tersebut lantas diatur oleh aba-aba seseorang di dalam kumpulan lingkaran tersebut layaknya seorang konduktor. Seseorang lainnya kemudian bernyanyi sesuai alur ceritanya, didampingi oleh sang dalang yang menarasikan jalan cerita.

Setelah aransemen secara keseluruhan telah jadi, tari ini kemudian dipertunjukan kepada umum di beberapa desa, utamanya di wilayah Gianyar. Setelah populer, kini tari ini dipentaskan di berbagai tempat lainnya, seperti Uluwatu, Tanah Lot, dan Garuda Wisnu Kencana.

prabu panji SXM0NC45wU0 unsplash
Rama dan Sinta sebagai bagian pergelaran Tari Kecak. Foto: unsplash

I Wayan Limbak juga sempat membawa pertunjukan tari ini ke berbagai negara-negara lain, sehingga banyak turis mancanegara yang tertarik untuk melihat pentas tari ini secara langsung. Dewasa ini, tari kecak juga kerap jadi pertunjukan dalam festival atau perayaan tertentu di Bali.

Kendati terkadang dipertunjukkan pada siang atau malam hari, tari kecak idealnya dipentaskan pada waktu petang saat matahari terbenam, kira-kira jam 18.00. Terutama jika pengunjung menonton di pura-pura seperti di Uluwatu atau Tanah Lot.

Yang menarik, tari kecak bisa dibilang masih merupakan salah satu seni tradisional yang sangat dibanggakan dan dijaga oleh masyarakat Bali. Banyak dari para penarinya yang sehari-hari merupakan pekerja di berbagai bidang lain.

Setelah selesai bekerja, mereka baru tampil sebagai penari kecak. Meskipun umumnya mereka juga mendapat penghasilan dari tiket penonton yang kerap kali ramai, tetapi justru semangat mereka lebih kepada usaha melestarikan kebudayaan Bali yang begitu ikonik ini.

Terlebih dengan nilai-nilai ajaran Hindu yang terkandung di dalamnya, serta kepercayaan luhur agar terhindar dari hal-hal buruk, membuatnya menjadi kesenian yang sangat lekat dan dipegang teguh oleh masyarakat Bali hingga kini.

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Ogoh-ogoh di Malam Bulan Mati Ke-9

Ogoh-ogoh identik dengan hari Nyepi, hari sakral bagi masyarakat hindu Bali. Ia diibaratkan nafsu atau hal buruk yang harus dilepaskan dari diri. Figur-figur ogoh-ogoh dulu seperti bentuk raksasa atau mahluk yang seram. Makin ke sini, bentuknya tidak melulu menyeramkan, tapi juga ada yang cantik atau lucu.

Ogoh-ogoh

Tahun 2021 ini mungkin Hari Raya Nyepi akan semakin sepi, sebab pawai ogoh-ogoh sudah dipastikan tidak diizinkan digelar merujuk pada situasi pandemi Covid-19. Tentu ada yang terasa ‘hilang’ bagi masyarakat Bali. Namun ini adalah situasi yang harus dihadapi. Artikel ini adalah kisah pelaksanaan ogoh-ogoh beberapa tahun silam.

Malam masih belum jatuh betul, masih ada sedikit cahaya ketika keramaian itu muncul di sejumlah banjar atau kampung di Bali. Tetabuhan dipukul. Patung raksasa dengan wajah menyeramkan, yang dikenal sebagai ogoh-ogoh, tampak menonjol di antara barisan pria dengan balutan kain kotak-kotak di bagian bawah tubuhnya. Busana tradisional itu dilengkapi udeng atau ikat kepala yang menjadi ciri pria Pulau Dewata.

Situasi itu adalah hal yang biasa saat menyambut Hari Nyepi, masyarakat menggelar Malam Pengerupukan atau Malam Penyepian. Boneka raksasa ogoh-ogoh memang khusus dimunculkan sehari sebelum Hari Raya Nyepi atau pada tilem sasih kesanga (bulan mati yang ke sembilan). Tahun 2021 ini, dalam kalender Masehi, jatuh pada 14 Maret.

Ogoh-ogoh merupakan simbolisasi menjauhkan hal-hal yang buruk bagi masyarakat Bali.
Pawai mengarak ogoh-ogoh di malam menjelang Hari Raya Nyepi di Bali. Foto: Dok. shutterstock

Sebelumnya, umat Hindu melakukan upacara yang disebut Bhuta Yadna dalam bentuk Mecaru mulai di tingkat keluarga, banjar, desa, hingga kecamatan. Tujuannya, mensucikan diri dari segala bentuk kotoran sekaligus memohon kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala, dan Batara Kala supaya mereka tidak mengganggu lagi. Ogoh-ogoh pun baru diarak saat senja mulai turun atau sekitar pukul 6 sore.

Ogoh-ogoh mungkin semcam seni patung dalam tradisi Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu, Bhuta Kala simbol kekuatan alam semesta dan waktu yang tidak terukur. Dalam perwujudannya digambarkan sebagai sosok yang menyeramkan. Biasanya berupa raksasa, terkadang juga makhluk hidup lain dalam penampakannya yang tidak biasa.

Banyak pula yang mengambil tokoh-tokoh pewayangan lengkap dengan fragmen tarinya. Belakangan, tak hanya ogoh-ogoh dalam tampilan yang menyeramkan yang diarak warga, ada juga yang cantik atau lucu serupa tokoh kartun di televisi.

Biasanya, ogoh-ogoh terbuat dari bahan yang ringan, seperti koran, kertas semen, styrofoam,dan kapas. Ini agar ketika sudah jadi ia jadi mudah diarak, termasuk oleh anak-anak. Sebab bentuknya umumnya gigantis. Besar sekali. Ada puluhan orang dari satu banjar yang ikut mengarak ogoh-ogoh dengan iringan musik, baik gong, gamelan, maupun baleganjur, alias bunyi-bunyian dari bambu, semisal kentongan. Terkadang dilengkapi penari serta lelucon, sehingga masyarakat benar-benar terhibur. Ingar-bingar gamelan, kentongan, dan bunyi-bunyian berlangsung dari sore hingga menjelang malam. Biasanya, ogoh-ogoh kembali ke banjar masing-masing sekitar pukul 22.00. Namun tak jarang arak-arakan dilakukan sampai larut malam.

Anak-anak dan orang dewasa ikut memeriahkan Malam Pengerupukan. Semua aktivitas tersebut baru berhenti total saat kulkul atau kentongan besar di banjarberbunyi. Itu tanda bahwa seluruh aktivitas harus disudahi. Akhirnya, setelah diarak, ogoh-ogoh dibakar atau dipralina. Diharapkan roh jahat yang ada dalam diri raksasa tidak mengganggu umat Hindu.

Sebagai karya seni, ogoh-ogoh tidak dibuat dalam semalam. Perlu persiapan sebulan. Sepulang bersekolah atau bekerja, para pemuda melakukan persiapan di balai banjar masing-masing. Tidak hanya membuat ogoh-ogoh, tapi mereka juga berlatih baleganjur. Lebih tepatnya, melakukan harmonisasi antara tarian ogoh-ogoh dan tetabuhan. Seminggu sebelumnya, latihan intensif dilakukan.

Atraksi inilah yang mengundang kekaguman wisatawan. Meski pada Hari Nyepi itu Bali seperti pulau tanpa kehidupan, banyak wisatawan datang sebelum perayaan. Prosesi ke masa hening menarik perhatian turis. Tepat di hari H, semuanya sepi dan sunyi. Hanya suara burung berkicau dan kukuruyuk ayam dari kejauhan yang terdengar begitu nyaring. Bahkan anjing pun ikut diam karena tidak ada orang yang melintas.

Hari itu suasana Bali benar-benar seperti pulau mati. Tidak ada aktivitas apa pun. Umat Hindu menyebutnya Catur Brata, yaitu amati geni (tidak ada cahaya atau api), amati lelungan (tidak bepergian), amati karya (tidak melakukan pekerjaan sehari-hari) dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Bagi yang mampu, dianjurkan juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadiHari ini biasanya digunakan untuk merenung agar menjadi manusia yang lebih baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

Ogoh-ogoh pada akhirnya dibakar setelah diarak keliling banjar, ini menyimbolkan hal-hal buruk menjauh dari masyarakat.
Pembakaran ogoh-ogoh di akhir pawai menandakan agar hal-hal buruk hilang dan enyah dari masyarakat Bali. Foto: Dok. shutterstock

Rangkaian Acara Sebelum Nyepi

Hari Raya Nyepi merupakan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan atau kalender Caka, yang dimulai pada 78 Masehi. Jatuh pada tilem kesanga atau bulan mati kesembilan, yang dipercaya hari penyucian para dewa di pusat samudra. Para dewa itu membawa intisari amerta atau air hidup. Untuk itu, umat Hindu memuja mereka. Tujuan utama peringatan Hari Raya Nyepi adalah memohon kepada Ida Sang Hyang Wishi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) untuk mensucikan Bhuana Alit,alam manusia mikrokosmos,dan Bhuana Agung, makrokosmos.

 Di samping Malam Pengerupukan dengan atraksi ogoh-ogoh, dua hari atau tergantung kesepakatan masyarakat adat setempat, sebelum Penyepian, ada kegiatan yang disebut Melasti atau Mekiis. Pada hari tersebut, semua sarana persembahyangan yang ada di pura diarak ke pantai atau danau. Sebab, laut atau danau dianggap sebagai sumber air suci yang bisa digunakan untuk mensucikan segala leteh atau kotoran yang ada dalam diri manusia dan alam. Selain menampilkan iring-iringan umat Hindu yang membawa sesajen dan benda sakral dari pura, ada suguhan kesenian. Orang-orang beriringan ke pantai atau danau sambil melakukan sembahyang.

agendaIndonesia/TL

*****