Kota Singkawang, Cap Go Meh Dan 1000 Tatung

Kota Singkawang punya Festival Cap Go Meh yang menampilkan parade tatung.

Kota Singkawang di Kalimantan Barat selalu menjadi pusat perhatian wisatawan saat perayaan Cap Go Meh. Tidak saja di Indonesia, tapi sudah meluas ke manca negara.

Kota Singkawang

Pagi di Singkawang saat hari ke-15 setelah Imlek –karenanya disebut Cap go meh, yang artinya hari ke 15—seluruh penjuru kota ini menjadi riuh dan meriah. Itu tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2021, Cap go Meh yang mestinya jatuh pada Jumat 26 Februari—mungkin tak akan semeriah biasanya. Mungkin pandemi menelan keriuhan itu.

Dalam situasi “normal”, biasanya sejak pagi-pagi sekali kota ini sudah mulai “dibisingkan” dengan suara gendang yang bertalu-talu dan bersahutan dengan gemerincing cymbal. Mereka punya nada dan biarama yang khas. Sehari sebelumnya bahkan biasanya suasana mistis mulai mengintip di sudut-sudut kota. Aroma hio atau dupa mulai meruar dari kelenteng-kelenteng.

Singkawang, seperti disebut di muka, memang terkenal sebagai pusat perayaan Cap Go Meh di Indonesia. Cap Go Meh di kota ini bahkan sudah menjadi agenda festival yang memikat wisatawan dari dalam maupun luar negeri.

Suasana Cap Go Meh sudah mulai terasa sejak tahun baru Imlek, dan getarannya terus terasa selama 15 hari. Puncak acaranya biasanya berupa parade tatung. Istilah tatung ini diberikan kepada para dukun pemanggil roh. Buat yang percaya, mereka ini manusia pilihan dewa di mana roh-roh berkenan manjing atau merasuk ke dalam diri mereka.

Dalam parade, para tatung berpakaian dengan perbagai gaya. Biasanya dengan warna-warna cerah. Warna kostum mereka hitam, kuning, merah atau hijau. Mereka tampil bak dewa, ksatria, jenderal, atau panglima perang. Perisai dan pedang yang mereka bawa berkilau-kilau oleh sepuhan emas dan perak. Mereka biasanya mengusung bendera segitiga yang memuat nama para tatung tersebut. Para tatung ini ada yang berjalan kaki, ada yang ditandu. Ini bukan sekadar atribut festival, tapi memperlihatkan posisi sosial mereka di masyarakat. Sebagian memikul tandu sembari menyipratkan air penolak bala.

Maksud posisi sosial ini adalah kepercayaan publik kepada “kesaktian” mereka. Di luar acara Cap Go Meh, para tatung ini sejatinya adalah paranormal yang mampu meramal nasib dan mengobati penyakit.aJadi, semakin “sakti” seorang tatung dan dipercaya masyarakat yang minta dibacakan nasib mereka, atau datang untuk berobat, artinya akan banyak sumbangan masuk. Dana sumbangan inilah yang salah satunya bisa berwujud tandu yang mereka pakai saat parade.

Bagi yang percaya, tatung ini dipercaya sebagaimana manusia pilihan dewa. Masyarakat Singkawang, dan juga sebagian di kota lain di Kalimantan Barat seperti Pontianak dan Sambas, meyakini mereka dapat membantu manusia mencapai kedamaian, atau pengobatan. Caranya, mereka membiarkan badannya dirasuki roh.

Kota Singkawang terkenal sebagai salah satu China Town dengan Festival Cap Go Meh yang dramatis dengan penampilan para tatung.
Festival Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat, menampilkan parade para tatung. Foto: shutterstock

Saat kerasukan itulah, jarum-jarum besi sepanjang 50 sentimeter bisa menembus pipi, bibir, bahkan lidah mereka tanpa satu tetes darah pun yang menetes. Konon, mereka harus menjadi vegetarian selama tiga hari sebelum upacara atau parade, agar jiwa mereka menjadi bersih dan kuat untuk ditusuk.

Cap Go Meh sejatinya merupakan hari terakhir perayaan Imlek, dan biasanya dilakukan sembahyangan tahun baru untuk memohon berkah. Di Singkawang, ritual sembahyang saat Cap Go Meh ditujukan pada Dewa Langit atau Ket Sam Thoi. Sebagai Kota Seribu Kelenteng, masyarakat Singkawang menganut kepercayaan Konghucu dan mengucapkan syukur pada dewa-dewi kepercayaan mereka.

Banyaknya warga keturunan Tionghoa di Singkawang, yang sering disebut juga sebagai kota seribu klenteng ini, membuatnya menjadi salah satu tempat perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang menarik dikunjungi. Sebagaimana dilaporkan tirto.id yang mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, Singkawang memiliki 246.306 penduduk dan 42 persen di antaranya adalah warga keturunan Tionghoa. Sisanya ada dari suku Jawa, Dayak, Melayu dan lainnya.
Masyarakat Tionghoa sudah ada di kota ini sejak ratusan tahun lalu, atau setidaknya mulai tahun 1740. Orang dari luar ini bisa jadi melihat Singkawang sebagai pecinan besar. 

Nama Singkawang sendiri, masih dari tirto.id, berasal kata San Kew Jong, yang dalam bahasa Hakka berarti: gunung, muara, dan laut. Nama Singkawang mulai dicatat orang Eropa setidaknya sejak 1834, seperti ditulis George Windwor Earl dalam The Eastern Seas. Tidak mengherankan perayaan Imlek dan Cap Go Meh di Singkawang juga menyuguhkan budaya Tionghoa yang kental.
Festival Cap Go Meh sudah puluhan tahun diselenggarakan di Singkawang. Dengan puncak acaranya pada parade para tatung. Konon saking banyaknya tatung yang muncul saat parade, ada yang menyebut 1.000 tatung memenuhi jalanan kota ini.

Bagi yang datang ke Singkawang ketika parade tatung tapi ngeri untuk menyaksikannya, bisa memilih atraksi lain: Festival Lampion. Ini biasanya juga diselenggarakan dalam rangkaian Imlek di Singkawang.Tak hanya barisan lampion yang digantung, tapi juga pawai lampion dan dekorasi Imlek. Berkali-kali festival lampion ini jga memecahkan rekor Muri. Pada 2009 ada 10.895 lampion dinyalakan di Singkawang. Lalu, pada 2018 ada 20.607 lampion dinyalakan.

Tahun 2021 ini, terkait pandemi, mungkin parade tatung akan ditiadakan. Namun, mudah-mudahan ada puluhan ribu lampion yang menyala.

agendaIndonesia

*****

Hombo Batu Nias, Aura Tradisi 400 Tahun Silam

Hombo Batu Nias atau lompat batu di Nias, Sumatra Utara, dikenal sebagai salah satu tradisi masyarakat Nias yang menjadi ikon pariwisata Indonesia. Hombo Batu sendiri sudah ada sejak 350-400 tahun silam.

Hombo Batu Nias

Nataauli Duha masih ingat saat ia pertama kali berlatih lompat batu. Ketika itu, warga Desa Hilimondegeraya, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, ini duduk di bangku sekolah dasar. Nata—sapaan akrabnya—memang tidak langsung melompati batu dengan ketinggian sekitar dua meter. Ia berlatih meloncati tumpukan tanah yang dibuat bersama teman-temannya terlebih dulu. Satu demi satu secara bergantian mereka melampaui tumpukan tanah yang tingginya tidak sampai satu meter itu. Nata menyebut atraksi meloncati tumpukan tanah yang dibuat bersama teman-temannya ini sebagai lompat batu mini.

Rampung dengan tumpukan tanah, pada kesempatan berikutnya mereka bermain lompat tali. Tali yang digunakan terbuat dari bahan yang mudah putus. Ini supaya tidak mencelakakan mereka. Tali itu direntangkan pada dua sisi berseberangan. Semula, mereka bermain dengan ketinggian 50 sentimeter. Setelah itu, secara bertahap, mereka meninggikan posisi tali hingga mencapai satu meter. Bergan- tian mereka memegang dan melompati tali itu. Nata dan teman-teman pun merasakan kegembiraan bermain.

Selain tali, mereka menggunakan bambu dan batu yang ditumpuk. Puncaknya, ketika beranjak remaja, mereka akan berusaha menaklukkan batu sesungguhnya dengan ketinggian mencapai sekitar dua meter. “Biasanya, orang tua si anak akan memotong seekor ayam jantan sebagai jamuan ketika anaknya berhasil melompati batu itu,” kata Nata. Hal serupa juga akan dilakukan para bangsawan, yang rumahnya terletak tak jauh dari batu yang dilompati anak-anak itu.

Jamuan ayam jantan dilakukan bukan tanpa maksud. Dalam tradisi Nias Selatan, Sumatera Utara, ayam jantan merupakan lambang ayam yang kuat dan memiliki kemampuan terbang tinggi. “Begitulah harapan orang tua dan kaum bangsawan kepada anak-anak muda supaya mereka memiliki karakter yang kuat laksana ayam jantan yang mampu terbang tinggi,” ujar Nata.

Tradisi lompat batu atau hombo batu sesungguhnya berawal dari keinginan bangsawan untuk menyiapkan laskar kampung atau pasukan pertahanan desa. Pada masa itu, sekitar 350-400 tahun lalu, Nata bertutur, sering terjadi konflik antar-kampung yang berujung perang perebutan kekuasaan.

Konflik itu tidak selalu akibat masalah besar, tapi juga terkadang dari hal-hal kecil. Semisal, saling ejek ketika sama-sama berburu kijang hingga akhirnya memercikkan permusuhan.

Meskipun memiliki leluhur yang sama, konflik antar-kampung itu, menurut Nata, tak terhindarkan. Berdasarkan penelitian arkeologis, Nata mengatakan, leluhur Nias Selatan, yang berasal dari Gomo, mendiami Kecamatan Teluk Dalam sejak 600-700 tahun silam. Jauh sebelum itu, sudah ada kelompok lain yang mendiami Teluk Dalam. Antara kelompok ini dan leluhur Nias Selatan tak jarang terjadi bentrokan. Motifnya bermacam-macam, termasuk soal perebutan dan perluasan kekuasaan.

Supaya perebutan kekuasaan dan pencaplokan kampung lain berjalan mulus, para bangsawan tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan laskar kampung atau pasukan pertahanan desa dengan merekrut anak-anak muda untuk berperang. Anak-anak muda ini harus mengikuti latihan hombo batu. Melalui si’ulu atau kepala suku, fisik mereka digenjot. Mereka dilatih pula supaya bisa melompati batu. Anggota laskar kampung atau pasukan per- tahanan desa yang mampu melewati batu setinggi dua meter berarti sudah siap berperang dan melompati pagar berduri yang tinggi. Memang, desa atau kampung yang akan diserang biasanya menyiapkan pagar berduri yang dipasang tinggi-tinggi mengelilingi desa.

Hombo Batu Nias adalah tradisi masyarakat setempat untuk menghasilkan ksatria-ksatria yang membela tanah air.
Hombo Batu Nias dilakukan untuk mencetak para pemuda menjadi laskar atau pasukan di Nias. Foto: shuterstock

Layaknya seorang kesatria yang maju berperang, keberanian anak-anak muda ini sejatinya dititiskan dari orang tua. “Bila bapaknya seorang kesatria yang pemberani, maka darah kesatria itu menitis dan mengalir ke tubuh anak-anaknya,” ujar Nata. Di pundak anak-anak muda ini, ia menyebutkan, para bangsawan menaruh harapan besar. Sebab, kelak merekalah yang menjaga desa atau kampung dari se- rangan desa lain.

Dalam peperangan itu, jika berhasil mencaplok kampung lain, sang pe- menang akan bertambah kuat karena warga kampung yang kalah menjadi bagian dari kampung yang memenangi peperangan. Dengan bertambahnya jumlah warga, menurut Nata, kampung tersebut semakin kuat. Kekuatan itu bertambah besar jika pada peperangan berikut mereka bisa kembali mengalah- kan kampung lain. Begitu seterusnya.

Di balik perluasan kekuasaan dan perebutan harta, Nata melihat, jalan per- ang dipilih bangsawan untuk menambah jumlah abdi atau pelayan. Ini salah satu motif lain para bangsawan menghendaki terjadinya perang. Kini, peperangan itu memang tidak ada lagi. Hombo batu bersama tarian perang, fataele, sekarang menjadi atraksi wisata memikat yang sewaktu-waktu ditampilkan di Desa Bawomataluo, Teluk Dalam, Nias Selatan.

Mengenakan pakaian warna-warni— hitam, kuning, merah—dan membentuk formasi empat berjajar panjang, warga membawa tameng, pedang, atau tombak. Mereka pun menari mengikuti komando. Dimulai dengan gerakan maju dan mundur sambil mengentak-entakkan kaki ke tanah, mereka lalu meneriakkan yel-yel untuk membangkitkan semangat. Aura peperangan 350-400 tahun silam begitu terasa, seolah dibawa kembali ke masa kini.

agendaIndonesia/Aris Darmawan/shutterstock

*****

Wayang Potehi, Pertunjukan Boneka Sejak Abad 16

Wayang potehi mungkin ingatan orang langsung ke pertunjukan wayang ala peranakan. Tak salah, meski tak 100 persen tepat. Pertunjukan yang hampir musnah ini lahir dari proses akulturasi budaya yang mengajarkan filosofi kehidupan.

Wayang Potehi

Tik-tik-tik-tik-ceng…. Tik-tik-ceng… Bunyi piak ko yang disusul siauw loo muncul silih berganti. Kaisar Lie Sie Bin yang baru saja naik takhta memasuki istana. Dengan suara lantang, sang kaisar memerintahkan pasukannya untuk segera menginvasi wilayah Utara Tiongkok—tempat tinggal bangsa Pak Hoan.

Tak sekadar memerintah, Lie Sie Bin juga turun langsung ke medan perang. Kaisar didampingi oleh jago-jago tua, seperti Cin Siok Po, Uttie Kiong, Thia Kauw Kim, dan penasehatnya yang cerdas, Cie Bouw Kong. Tak ketinggalan, seorang pemuda gagah bernama Lo Tong Ceng Souw Pak atau Lo Tong.

Lo Tong sebagai tokoh utama dikisahkan mengalami banyak konflik. Mulai dendamnya kepada salah seorang panglima Negeri Tong hingga intrik pernikahannya dengan seorang putri dari Negeri Pak Hoan. Pernikahannya hanyalah satu strategi untuk menjatuhkan musuh.

Tik-tik-tik-tik-ceng…. Tik-tik-ceng… Pukulan kayu dan gembreng kecil kembali berbunyi nyaring. Sorot mata anak-anak masih terpaku pada panggung pertunjukan wayang Potehi dengan lakon Lo Tong Ceng Souw Pak yang digelar ketika itu. Mereka begitu antusias menyaksikan pergelaran wayang yang memang jarang digelar tersebut.

Maklum saja, wayang Potehi biasanya memang hanya digelar di kelenteng-kelenteng dan pada waktu-waktu tertentu saja. Namun kini wayang Potehi bisa disaksikan di pusat belanja yang berlokasi di Jakarta Barat itu.

Wayang Potehi sejatinya merupakan seni pertunjukan boneka tradisional asal Tiongkok. Potehi sendiri berasal dari akar kata pou yang berarti kain, te berarti kantong, dan hi yang berarti wayang. Secara harfiah Potehi bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain.

Dalam setiap pertunjukkannya, wayang Potehi diiringi sejumlah alat musik tradisional Tiongkok. Alat musik dari wayang ini biasanya berupa toa loo (gembreng besar), hian na (rebab), piak ko (kayu), bien siauw (suling), siauw loo (gembreng kecil), tong ko (gendang), dan thua jwee (terompret).

Sang dalang, Sugiyo Waluyo Subur, memperkirakan kesenian Potehi dibawa masuk oleh pedagang Tionghoa ke Nusantara pada abad ke-16. ”Kali pertama dimainkan di Kota Semarang,” ujar pria yang dikenal dengan sebutan dalang Subur itu.

Cara memainkannya dengan memasukkan tangan ke dalam pakaian yang dikenakan wayang. Jari tengah digunakan untuk mengendalikan kepala. Sedangkan ibu jari dan kelingking untuk mengendalikan tangan wayang.

Wayang Potehi merupakan akulutrasi kebudayaan Tiongkok dan kearifan lokal Nusantara.
Pertunjukan wayang potehi biasanya dilakukan di tempat-tempat yang penontonnya tidak terlalu banyak. Foto: shutterstock

Konon, wayang Potehi disebut-sebut berasal dari balik jeruji penjara kerajaan Tiongkok. Alkisah, lima orang narapidana akan dieksekusi mati karena pelanggaran hukum berat. Berita eksekusi ini menciutkan nyali empat orang di antara pesakitan tersebut. Mereka pun sedih meratapi nasib.

Hal yang berbeda justru terlihat pada seorang pesakitan. Sang narapidana ini justru menyambut sisa hidupnya dengan gembira. Ia mengajak rekan-rekannya tersebut untuk mengisi detik-detik terakhir hidupnya dengan menghibur diri sendiri. Akhirnya, mereka secara spontan membuat pertunjukan boneka dari kain dengan iringan bunyi-bunyian yang berasal dari berbagai benda yang ada di sel mereka.

Tak disangka, dari beraneka barang yang ada, seperti piring, panci, dan perkakas hadir musik yang enak didengar. Pertunjukan boneka ini pun ternyata tidak saja menghibur mereka, tapi juga narapidana lain dan bahkan para sipir penjara. Cerita tentang pertunjukan kelima orang narapidana ini akhirnya sampai ke telinga kaisar. Atas kebijaksanaan sang kaisar, kelima narapidana tersebut mendapatkan kesempatan melakukan pertunjukan di hadapan sang kaisar dan memperoleh pengampunan.

Di Indonesia sendiri, kesenian tradisional ini mengalami pasang-surut sepanjang perjalanan sejarahnya. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, kesenian ini cukup populer di tengah masyarakat. ”Tetapi pada awal era Orde Baru berkembang, sentimen negatif terhadap budaya Tionghoa membuat seni wayang ini mengalami masa surut. Keberadaannya hilang di tengah masyarakat,” kata dalang Subur menceritakan.

Seiring era Reformasi, perlahan kesenian ini kembali menggeliat. Kesenian Potehi mulai dipentaskan di berbagai tempat seperti kelenteng atau pada saat perayaan ritual keagamaan. Bahkan saat ini pertunjukan wayang Potehi pun marak merambah ke sejumlah pusat belanja, khususnya saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. ”Wayang Potehi telah menjadi budaya Indonesia dan perlu dilestarikan,” ujar Rida Kusrida, Public Relations Mal Ciputra, Jakarta.

Sebagai sebuah kesenian, wayang Potehi menunjukkan bahwa ia lahir dari sebuah proses akulturasi yang panjang. Potehi mampu bertahan menjadi sebuah kesenian yang dapat merontokkan sekat-sekat kesukuan dan membentuk kesenian serta kebudayaan Indonesia. Satu hal yang jelas kentara ialah dalang Potehi tidak melulu dimainkan oleh orang Tionghoa. Contohnya ialah dalang Subur ini. Pria asal Surabaya ini justru berasal dari suku Jawa. ”Saya sendiri memeluk agama Islam,” kata dalang Subur.

Dalang yang memulai kariernya saat masih berusia 12 tahun itu mengungkapkan kisah-kisah wayang Potehi seperti Lo Tong Ceng Souw Pak, Sun Go Kong, Sie Jin Kui, Cu Hun Cau Kok, dan sebagainya serta mengajarkan filosofi kehidupan manusia yang masih berlaku pada masa kini.

agendaIndonesia/Andry T./Frann./TL/shutterstock

*****

Tradisi Pasola Sumba, di Antara 200 Makam Megalit

Tradisi pasola di Sumba Nusa Tenggara Timur merupakan ritual yang mengharapkan berkah yang Kuasa.

Tradisi pasola, sebuah tradisi perang berkuda dengan senjata tombak di padang rumput di tengah makam-makam megalitikum. Sebuah tradisi para ksatria dan penghormatan bagi kuda.

Tradisi Pasola Sumba

Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur punya satu tradisi yang unik, pasola. Ini merupakan tradisi tua tentang pahlawan berkuda dengan senjata tombak. Dulu yang digunakan adalah betul-betul lembing tajam. Kata pasola sendiri dicuplik dari kata sola atau hola yang berarti lembing kayu. Dalam konteks tradisi, pasola merupakan perang adat dengan dua kelompok ksatria berkuda saling berhadapan dengan menunggang kuda dan membawa lembing atau tombak.

Pasola digelar setahun sekali di sejumlah kampung di Pulau Sumba sebelah barat. Biasanya tradisi ini dilakukan di bulan Februari atau bulan Maret, tergantung desa atau kampung yang menyelenggarakan.

Kodi, Wanokaka, Wainyapu,dan Tosi adalah sejumlah kampung penyelenggaranya. Kampung-kampung tersebut bisa dicapai dengan berkendaraan darat dari Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat. Perjalanan hampir tiga jam, melalui jalan-jalan kecil berliku serta membelah sabana yang luas. Di beberapa perkampungan yang dilewati kita akan disuguhi pemandangan sejumlah kuburan batu megalit dan makam-makam yang menghitam.

Pasola diawali dengan adat nyale, yakni upacara rasa syukur masyarakat Sumba atas anugerah yang diperoleh yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. Cacing laut dalam bahasa Sumba disebut sebut sebagai nyale.

Adat tersebut dilaksanakan pada waktu purnama dan cacing-cacing laut keluar di tepi pantai. Para Rato, yakni pemuka suku, akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari. Saat nyale pertama didapat oleh Rato, akan dibahas apakah ia gemuk, sehat, dan berwarna-warni, atau sebaliknya. Jika gemuk dan sehat, itu konon pertanda pada  tahun tersebut masyarakat akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Jika sebaliknya, kemungkiakan akan ada malapetaka.

Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding dan masyarakat umum. Belakangan, ketika adat ini menjadi atraksi, ia juga disaksikan wisatawan asing maupun lokal.

Di hamparan padang datar nan luas dan rumah adat beratap ilalang yang bagian tengahnya tinggi sekali itu dilingkari lebih dari 200 makam megalit berwarna kehitaman. Kemudian, para rato atau tetua adat melafalkan mantra meminta agar cuaca cerah.

Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berujung tumpul. Walaupun berujung tumpul, permainan ini kadang dapat menjatuhkan. Dalam pasola, ke dua kelompok ksatria Sumba saling berhadapan, kemudian memacu kuda secara lincah sambil melesatkan lembing ke lawan. Para peserta juga mesti tangkas menghindari terjangan lembing yang dilempar lawan.

Dahulu, saat pasola dipergunakan lembing kayu bermata tajam. Namun kemudian penggunaan lembing kayu dilarang pemerintah kolonial Belanda karena dianggap dapat memicu gangguan ketertiban. Ritual perang berkuda “yang berdarah-darah” di Sumba sesungguhnya telah lama dilarang pemerintah. Kemudian, perang berkuda pun dipoles menjadi lebih ramah dan aman. Lembing bermata tajam diganti tombak kayu tumpul. Tetapi kuda tetap digunakan. Sebab, dalam ritual adat ini, kuda merupakan bagian yang penting.

Bahkan ada mantra yang dilafalkan para rato untuk memberkati kuda yang hendak berangkat perang. Kenapa kuda yang didoakan, bukan penunggangnya? Pararato menyebut, di Sumba kuda begitu dihormati. Saat perang, penunggang boleh saja tewas, tapi kuda harus tetap hidup. Sebab, kuda akan dikorbankan dalam sebuah ritual. Roh sang kuda disebutkan akan mengikuti sang pemiliknya, sehingga tetap menjadi tunggangannya di alam lain.

Tradisi pasola merupakan ritual tua tentang pahlawan berkuda dengan senjata tombak.
tradisi Pasola menjadi ritual budaya di awal tahun untuk meminta berkah bagi tanah Sumba.

Setelah doa dipanjatkan rato, masyarakat yang menonton mengeluarkan teriakan panjang tak henti-henti: “Nyale! Nyaleeee…”. Beberapa saat kemudian kuda nyale dibawa tiga orang rato keluar dari medan pertempuran. Ini merupakan tanda pertempuran dimulai. “Kuda nyale” merupakan kuda titisan dewi pesisiran yang bersemayam di dasar lautan itu. Kuda nyale juga merupakan kuda yang pertama memasuki arena pasola untuk memulai peperangan.

Kadang suasana agak menghangat, karena penonton saling lempar ejekan. Beberapa ksatria pasola yang sebelumnya panas karena minum peci, minuman khas Sumba, terkadang hanyut dalam suasana yang memanas. Juga lembing-lembing pun beterbangan di udara terik. Penonton pun sering ikut suasana bersorak dan mendesak ke tengah arena. Saat itulah, polisi memohon dengan sangat sopan agar penonton kembali ke area pinggiran arena. Tapi permintaan itu seperti lesap ditelan gemuruh penonton.

Meski suasana memanas, ada pantangan saat melempar lembing kayu. Pada saat kuda yang ditunggangi salah satu pihak bermanuver dan membelakangi lawan untuk kembali ke kubunya, adalah pantangan untuk dijadikan sasaran. Terlebih jika si ksatria di atas kuda tersebut telah kehabisan senjata.

Derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang penunggangnya menjadi musik alami yang mengiringi permainan ini. Pekikan para penonton perempuan yang menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi tegang dan menantang. Pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen.

Jika pandemi usai, catat di agendamu Februari atau Maret untuk berkunjung ke Sumba dan menikmati semangat pasola.

agendaIndonesia

*****

Saparan Bekakak Tradisi Dimulai Pada 1755

Saparan Bekakak sebuah tradisi di Desa Ambarketawang, Sleman, Yogyakarta

Saparan Bekakak adalah ritual tolak bala di Desa Ambarketawang yang digelar masyarakat setempat agar tak ada lagi musibah di pegunungan kapurnya. Sebuah proses yang selalu diikuti ribuan masyarakat. Sempat terhenti selama pandemi Covid-19 pada 2020 dan 2021, tahun ini dilaksanakan lagi pada September lalu.

Saparan Bekakak

Ribuan warga masyarakat menyaksikan upacara tradisi budaya ’Bekakak’ di Desa Amabarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat sore itu. Kegiatan budaya setiap bulan Sapar (kalender Jawa) itu diawali dengan kirab yang diikuti 5.000 orang lebih ini.

Saparan Bekakak dimaksudkan untuk mengenang dan menghormati leluhur sekaligus cikal bakal Desa Ambarketawang, Kyai dan Nyai Wirosuto yang terkubur oleh guguran batu gamping di wilayah setempat.


Kegiatan sudah terasa sejak Kamis sore pada September lalu di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat sibuk menyiapkan sebuah acara spesial. Mereka membuat bekakaktemanten, yakni perwujudan sepasang pengantin Jawa yang terbuat dari hasil bumi.

Dibuat pula beberapa detail prosesi pernikahan khas Jawa pada bekakak, seperti midodareni. Malam harinya, “pasangan pengantin” tersebut dibawa ke balai desa bersama beberapa genderuwo raksasa. Mirip ogoh-ogoh atau genderuwo dalam perayaan Nyepi di Bali. Ini merupakan perwujudan roh jahat yang dianggap menjadi penyebab musibah.

Saparan Bekakak menjadi tradisi paling tua di Yogyakarta.
Ogoh-ogoh dalam Saparan Bekakak di Desa Ambarketawang Yogya. Foto: Dok. Kominfo

Puncak acara kegiatan adat itu adalah pawaiSaparan bekakak yang berlangsung Jumat selepas tengah hari. Masyarakat sudah menanti di pinggir jalan. Iring-iringan dimulai dengan  pertunjukan tari yang menceritakan kisah tentang bekakak.

Setelah itu rombongan mengawali pawai dari Lapangan Ambarketawang menuju Gunung Gamping. Daerah bekas bukit kapur ini menjadi awal munculnya tradisi yang digelar di bulan Sapar menurut tanggalan Jawa atau Safar menurut kalender Islam.

Saparan Bekakak, nama tradisi yang digelar untuk tolak bala ini, cukup disebut Bekakak. Seperti penyelenggaraan sebelumnya, kegiatan ini diikuti perwakilan dari semua dusun di Desa Ambarketawang dengan mengirimkan kelompok seni.

Umumnya mereka berdandan seperti bregada alias prajurit keraton yang membawa umbul-umbul dan alat musik. Satuan bregada tersebut adalah Wirabraja, Ketanggung, Patangpuluh, Surakarsa, Dhaeng, Mantrijero, Nyutra, Jagakarya, Prawiratama, dan Bugis.

Tak ketinggalan gunungan yang terbuat dari hasil bumi persembahan perwakilan pedagang di Pasar Gamping. Gunungan tersebut dibagikan pada penonton di sepanjang jalur pawai sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran yang diberikan.

Walaupun sempat turun hujan, Saparan Bekakak yang berlangsung pada menjelang pertengahan September itu tetap meriah dengan hadirnya komunitas seni budaya dari berbagai daerah di luar Gamping. Bahkan ada yang dari Bantul. Total sekitar 45 grup ambil bagian dalam acara ini.

Tradisi tersebut diakhiri dengan “penyembelihan”bekakakdi lokasi terakhir. Namun sebelumnya dipanjatkan beberapa doa. Setelah itu, bekakak dan berbagai persembahan dibagikan kepada panitia acara dan warga yang hadir.

Selain kemeriahan, pawai ini juga memaksa petugas kepolisian bekerja keras menertibkan lalu lintas. Sebab, sebagian rute karnaval melintasi Jalan Wates yang berstatus sebagai jalan nasional. Antrean kendaraan besar, seperti bus dan truk, membentuk parkir massal.

Mungkin banyak pengguna jalan mengeluh, tapi sepertinya mereka tak bisa berbuat apa-apa bahkan protes sekalipun. Itu karena pamor Saparan Bekakak begitu besar. Sebab, usia acara ini jauh lebih tua dibanding status Jalan Wates sebagai jalan nasional, bahkan jika dibandingkan dengan umur republik ini.

Kemunculan tradisi ini dimulai pada 1755, kala Kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua sesuai dengan hasil penandatanganan Perjanjian Giyanti, Kasunanan yang berpusat di Surakarta (Solo) dan Kasultanan Ngayogyakarta di Yogyakarta. Tak lama kemudian, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja pertama Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.

Sambil menunggu pembangunan keraton baru selesai, Sultan memilih tinggal di pesanggrahan Ambarketawang yang terletak di daerah Gamping, Sleman. Di masa itu, daerah ini memang penuh dengan bukit gamping atau kapur. Dari situ pula nama daerah ini berasal.

Semasa tinggal di Ambarketawang, Sultan ditemani oleh beberapa abdi dalem alias pelayan raja. Mereka yang paling setia adalah sepasang suami-istri Ki Wirasuta-Nyi Wirasuta.

Setelah pembangunan keraton selesai, Sultan meninggalkan tempat tinggal sementaranya dan mendiami istana tanpa ditemani dua pelayan terbaiknya itu. Ki Wirasuta-Nyi Wirasuta memilih tetap tinggal di Ambarketawang karena merasa cocok dengan lingkungannya.

Keduanya bekerja sebagai penambang gamping, seperti kebanyakan warga setempat. Namun musibah terjadi. Suami-istri itu meninggal ketika sedang menambang. Mereka tertimbun batuan kapur yang longsor. Tragedi yang sama kembali berulang menimpa warga lain dan kebanyakan terjadi di bulan Sapar.

Pasangan Bekakak
Pasangan Bekakak yang akan dikorbankan.

Kesedihan melanda Sultan ketika mendengar cerita memilukan ini. Setelah bersemedi, ia memerintahkan warga Desa Ambarketawang untuk melakukan sebuah prosesi tolak bala setiap bulan Sapar. Tujuannya untuk meminta perlindungan kepada Tuhan.

Wujud upacara adat tersebut ialah penyembelihanbekakak. Biasanya, dibuat dari tepung ketan atau tepung beras yang di dalamnya diisi juruh alias sirup gula merah. Sedangkan untuk waktu pelaksanaannya ialah tiap bulan Sapar, tepatnya pada Jumat, antara tanggal 10 hingga 20.

Kini setelah lebih dari dua setengah abad, Saparan Bekakak masih hidup. Hal ini menjadikannya sebagai salah satu upacara adat paling tua yang masih berlangsung di Yogyakarta. Bahkan di era modern, ritual ini bukan sekadar tradisi, melainkan berfungsi sebagai acara hiburan, sebab ada pawai seni budaya yang mengiringinya.

agendaIndonesia

*****

Saung Angklung Udjo, Bergoyang Mulai 1966

Saung Angklung Udjo Bandung melestarikan budaya dengan cara gembira. Foto: Saung Angklung Udjo

Saung Angklung Udjo puluhan tahun menjadi salah satu identitas budaya tradisional Sunda di Bandung, Jawa Barat. Utamanya, tentu, mengenalkan alat musik khas masyarakat Sunda, yakni angklung. Di sini tak sekadar pertunjukan, pengunjung juga dapat belajar tentang sejarah angklung, cara memainkannya, serta menonton beragam pertunjukan seni tradisional Sunda.

Saung Angklung Udjo

Sejatinya, tempat ini didirikan sebagai upaya edukasi dan pelestarian budaya tradisional Sunda, termasuk seni musik angklung. Dengan format yang ringan, sederhana dan menyenangkan bagi pengunjungnya, diharapkan semakin banyak yang tertarik melestarikan budaya tersebut.

Didirikan pada 1966, tempat ini memiliki panggung serta etalase untuk memamerkan alat musik tradisional seperti angklung, calung, arumba dan lain lainnya. Selain itu, karya seni lainnya seperti lukisan dan sebagainya kerap dipamerkan pula di sini.

Adalah seorang seniman tradisional Sunda bernama Udjo Ngalagena yang merasa tergerak untuk berkontribusi lebih besar pada kesenian yang membesarkan namanya serta memberinya penghidupan. Sebagai tanda kontribusinya, ia pun mendirikan tempat ini.

Angklung sendiri merupakan salah satu alat musik tradisional Sunda yang diyakini muncul pertama kali sekitar abad ke-12. Angklung lazim digunakan dalam ritual budaya dan keagamaan di masa kerajaan kala itu.

Saung Angklung Udjo ikut mengembangkan teknik permainan angklung.
Alat musik angklung seperti yang diajarkan di Saung Angklung Udjo Bandung. Foto: dok. shutterstock

Salah satu ritual tersebut dilakukan bagi para kaum tani. Pada masa kerajaan Hindu, kepercayaan masyarakat kala itu meyakini bahwa permainan angklung akan membawa berkah dari Dewi Sri, dewi kesuburan. Harapannya, pertanian mereka selalu subur dan sukses panen.

Angklung digunakan pula sebagai penanda perang atau keadaan bahaya. Dan pada perkembangannya, ia juga digunakan dalam pertunjukan musik yang diselenggarakan kerajaan saat itu. Dari situlah, budaya seni musik angklung berlanjut hingga kini.

Alat musik ini terbuat dari bambu yang dibuat menyerupai pipa-pipa yang tersangga. Untuk memainkannya, angklung digoyangkan agar badan pipa bambu tersebut berbenturan dan menimbulkan suara.

Setiap angklung memiliki nada yang berbeda-beda, sehingga dibutuhkan lebih dari satu angklung untuk dapat membuat sebuah pertunjukan musik. Oleh karena itulah seni musik angklung biasanya dimainkan secara ensemble.

Nama angklung sendiri disebut berasal dari sebuah istilah dari bahasa Sunda yaitu angkleung-angkleung, yang kurang lebih artinya gerakan yang mengikuti irama. Ini didasari pada cara memainkan angklung yang digoyang-goyangkan.

Secara etimologi, angklung juga disebut berasal dari kata angka yang berarti nada dan kata lung yang berarti patah atau putus. Ini merujuk pada jenis suara yang dikeluarkan oleh alat musik ini biasanya cenderung putus-putus atau hanya satu kali suara.

Walaupun angklung biasanya dimainkan dengan cara digoyangkan, tetapi ada juga teknik-teknik lain, seperti misalnya cetok yang berarti pipa bambu ditarik-tarik dengan cepat. Atau tengkep dimana salah satu pipa bambu ditahan saat digoyangkan.

Pada 1938, seorang maestro angklung bernama Daeng Soetigna menciptakan angklung dengan nada diatonis. Angklung jenis ini dapat memainkan lagu-lagu dengan kunci dan tangga nada pada umumnya, sehingga bisa digunakan pada orkestra sekalipun.

Angklung jenis inilah yang kemudian paling dikenal secara luas hingga kini. Udjo, yang kebetulan merupakan sang murid pada saat itu pun kemudian turut membantu mempopulerkan jenis serta kesenian alat musik ini.

Namun seperti halnya kebanyakan seni budaya tradisional pada umumnya, perkembangan zaman menjadi tantangan berat dalam melestarikannya. Kekhawatiran inilah yang membuat pria yang akrab dipanggil mang Udjo tersebut memutuskan mendirikan Saung Angklung Udjo.

Di tempat ini ia pun mengembangkan teknik-teknik permainan angklung, serta rajin menggelar pertunjukan seni musik angklung. Bersama sang istri, Uum Sumiati, ia dengan giat mengelola tempat ini dalam upaya mempopulerkan kesenian tersebut agar tak punah dimakan waktu.

Baginya, Saung Angklung Udjo didirikan agar menjadi pusat pertunjukan seni budaya tradisional seperti angklung dan lain lainnya yang mampu menarik banyak pengunjung. Tetapi lebih dari itu, ia juga ingin tempat ini berfungsi sebagai media edukasi bagi setiap pengunjungnya.

Pada perkembangannya Saung Angklung Udjo pun menjadi pusat pertunjukan, pengembangan dan edukasi bagi seni musik angklung serta kesenian tradisional Sunda lainnya. Bahkan setelah mang Udjo tutup usia pada tahun 2001, tempat ini terus dikelola oleh anak-anaknya.

Saung Angklung Udjo Konser Saung Angklung Udjo
Salah satu pertunjukan di Saung Angklung Udjo, di mana penonton kadang ikut tampil. Foto: Saung Angklung Udjo

Satu ciri khas dari Saung Angklung Udjo adalah pertunjukan yang biasanya diadakan pada sore hari. Biasanya setiap jam 15.00 hingga jam 17.00 tempat ini mengadakan beragam pagelaran seni budaya Sunda seperti angklung, arumba, tari topeng, sampai wayang golek.

Begitu padatnya pengunjung yang berminat menonton pertunjukan ini, beberapa kali diadakan pula pertunjukan pada pagi atau siang hari. Pada 1995 pun dibangun panggung yang cukup besar yang mampu menampung kapasitas sekitar 500 orang.

Tak hanya itu, beberapa kali seniman-seniman dari Saung Angklung Udjo ditanggap untuk tampil di tempat lain dalam berbagai acara. Yang lebih hebat lagi, beberapa di antaranya bahkan berlangsung di luar negeri.

Selain menghidupi seniman-seniman yang berkarya di sana, Saung Angklung Udjo juga menjadi sumber rejeki bagi para pengrajin alat musik tradisional Sunda. Di tempat ini pengnjung juga bisa membeli dan/atau memesan beragam jenis alat musik tradisional tersebut sebagai souvenir.

Selain menjual dan mempromosikan, tempat ini juga berkomitmen untuk membantu para pengrajin agar senantiasa mendapatkan bahan baku terbaik. Ditambah lagi, mereka juga memberi pelatihan agar kualitas alat musik buatan mereka senantiasa baik.

Sesuai dengan semangat ‘memberi kembali’, banyak warga lokal sekitar yang diberdayakan menjadi pengrajin. Selain itu, beberapa dari penghasilan tempat ini juga disisihkan untuk membiayai pendidikan anak-anak kurang mampu di sekitarnya.

Kalau tertarik untuk berkunjung, harga tiket masuknya Rp 60 ribu untuk hari biasa dan Rp 70 ribu pada akhir pekan. Untuk wisatawan mancanegara, harga tiketnya menjadi 110 ribu saat weekdays dan Rp 120 ribu kala weekend.

Selain pertunjukan seni tradisional Sunda serta edukasi tentang kesenian Sunda, di tempat ini juga disediakan beragam jenis hidangan ala Sunda. Cocok bagi yang ingin santap siang sekaligus menikmati setiap pengalaman yang ditawarkan tempat ini.

Adapun harga souvenir seperti angklung beragam dari ukurannya. Untuk yang berukuran besar dihargai Rp 300 ribu, sedangkan yang berukuran sedang harganya Rp 250 ribu. Selain itu ada pula alat musik lain, misalnya gambang yang dijual Rp 275 ribu.

Saung Angklung Udjo buka dari jam 08.00 hingga jam 17.00. Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi (022) 7271714 atau via email info@angklung-udjo.co.id serta mengunjungi situs resmi angklungudjo.com dan akun Instagram resmi @angklungudjo.

Saung Angklung Udjo

Jl. Padasuka no. 118, Bandung

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Rumah Gadang, Pasak Untuk Sambungan 2 Bagian

Dolan ke Sumatera Barat biasanya orang berkunjung ke rumah gadang. Foto: shutterstock

Rumah Gadang boleh dikata adalah salah satu rumah tradisional di Indonesia yang paling indah. Bentuk atapnya memiliki beberapa kisah yang menginspirasi penciptaannya.

Rumah Gadang

Entah kenapa, di Indonesia setiap rumah makan masakan Minangkabau atau Padang senantiasa menyertakan elemen rumah tradisional suku bangsa ini. Sebuah atap yang melengkung. Ada yang dengan niat serius membangun replika atap rumahnya sebagai eksterior rumah makan, meski tak sedikit yang membuat gambarnya di kaca etalase lauk-pauk. Apapun bentuknya, ini membuat semua orang langsung paham: ini rumah makan padang.

Rumah Gadang atau Rumah Godang merupakan nama umum yang disematkan orang pada rumah adat masyarakat Minangkabau. Sering pula disebut dengan nama Rumah Baanjuang dan Rumah Bagonjong. Semua nama ini sesuai dengan maksud penyebutannya.

Rumah adat masyarakat dari Provinsi Sumatera Barat ini mempunyai sejumlah ciri yang sangat khas dan indah. Yang pertama tentu saja bentuk atap yang melengkung seperti tanduk kerbau, dan badan rumah landai seperti badan kapal. Bentuk atap yang melengkung dan runcing ke atas itu disebut gonjong. Oleh karena itulah mengapa rumah gadang disebut juga rumah bagonjong.

Mengutip dari Wikipedia, asal-usul bentuk bentuk atap rumah gadang yang mirip tanduk kerbau sering dihubungkan dengan cerita rakyat “Tambo Alam Minangkabau”. Cerita tersebut bercerita tentang kemenangan orang Minang dalam peristiwa adu kerbau melawan orang Jawa.

Selain cerita tersebut, versi lain menyebutkan kalau atap berbentuk tanduk di rumah adat minangkabau itu terinspirasi dari bentuk kapal “Lancang” yang melintasi Sungai Kampar. Saat tiba di muara sungai, kapal diangkat ke daratan dan diberikan atap dengan menggunakan tiang layar yang diikat dengan tali. Namun karena bebannya berat, maka tiang pun menjadi miring dan melengkung yang serupa dengan gojong.

Manapun kisah yang betul, atau yang dipercaya, rumah gadang ratusan tahun telah menjadi simbol kebesaran masyarakat setempat. Ia sekaligus menjadi sesuatu yang dianggap mewakili jati diri warga Minangkabau.

Selain soal nama, hal menarik dari rumah Gadang adalah dari teknologi konstruksinya. Rumah Gadang yang asli dibangun dengan tidak menggunakan paku untuk merekatkan dan menyambungkan dua bagian kayu untuk bangunan. Untuk itu, masyarakat setempat menggunakan pasak kayu bergoyang. Dasar pemikirannya adalah kearifan lokal untuk menyiasati jika terjadi gempa. Jadi saat terjadi gempa, rumah akan berayun mengikuti ritme gempa. Akibatnya, rumahnya tidak akan roboh.

Dikutip dari Buku Rumah Gadang yang Tahan Gempa tulisan Gantino Habibi pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tiang-tiang rumah Gadang tidak ditanamkan ke tanah tetapi bertumpu ke atas batu datar yang kuat dan lebar. Ini juga dilakukan dengan pemikran untuk menyiasati ketika terjadi gempa. Rumah Gadang akan bergerak di atas batu datar tempat tiang itu berdiri.

Rumah bagonjong menurut aturan aslinya memiliki beberapa karakteristik atau ketentuan khusus. Misalnya saja, soal jumlah ruangan yang ditentukan dari jumlah perempuan yang menghuni rumah tersebut. Anak-anak dan perempuan yang telah berumur memiliki kamar yang lebih dekat ke arah dapur. Sedangkan gadis remaja umumnya ditempatkan di satu kamar di ujung yang berseberangan. Ruangan dalam rumah terbagi menjadi lanjar dan ruang, dengan jumlah ruang dalam satu rumah berjumlah ganjil antara 3 hingga 11.

Pada pelataran atau halaman rumah, terdapat sepasang bangunan yang berfungsi sebagai lumbung, namanya rangkiang. Selain itu, tak jauh dari bangunan rumah biasanya terdapat surau. Selain berfungsi sebagai tempat beribadah, surau juga menjadi tempat tinggal lelaki dewasa yang belum menikah.

Rumah Gadang memiliki ornamen pada dinding-dinding kayunya. Ornamen yang membuatnya lebih indah.
Rumah Gadang dengan ornamen indah pada dindingnya.

Salah satu karakteristik rumah gadang adalah hiasan eksterior bangunan berupa ornamen ukiran kayu yang menjadi pengisi bidang persegi dan lingkaran di permukaan luar bangunan. Motif ukiran yang umum ditemukan adalah tumbuhan merambat, bunga, dan buah. Ada juga motif-motif geometris segitiga, segi empat, dan jajar genjang (belah ketupat). Motif-motif ini memenuhi dinding, daun jendela, tiang-tiang, dan daun pintu

Jendela rumah Gadang biasanya memiliki ukuran yang besar. Bentuk jendelanya mengikuti bentuk rumahnya yang miring dan tidak simetris. Pada jendela terdapat bingkai yang terbuat dari papan. Jumlah jendela rumah Gadang biasanya terdiri dari 8 jendela di bagian depan, dua  di bagian kiri, dan dua di bagian kanan.

Rumah gadang biasanya didirikan di atas tanah milik keluarga induk dalam suatu suku atau kaum. Rumah ini diwariskan antargenerasi berdasarkan garis keturunan perempuan, sesuai asas matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau.

Dulunya tidak semua wilayah di Sumatera Barat dapat dibangun rumah adat seperti ini. Rumah bagonjong hanya didirikan di kawasan tertentu yang berstatus nagari. Karena itulah, eksistensi rumah bagonjong atau rumah gadang di luar Minangkabau terjadi karena aturan adat yang melemah seiring perkembangan zaman.

agendaIndonesia

*****

Tato Orang Mentawai, 7 Motif Titi Sebagai Identitas

Tato Orang Mentawai

Tato orang Mentawai atau Titi, dalam masyarakat Mentawai bukan sekadar rajah di kulit mereka. Ia mengandung makna dan menjadi ciri khas masyakat setempat. Ada pula pembuat khusus, ia disebut sipatiti.

Tato Orang Mentawai

Di sejumlah desa di Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, seperti Desa Madobag atau Ugai, masyarakat asli setempat masih melakukan rajah pada kulit mereka. Jika kita berkunjung ke uma, ini sebutan untuk rumah tradisional suku Mentawai, biasanya saat bertemu dengan yang empunya uma, kita akan melihat torehan garis lurus, lengkung, tebal, halus, hingga setiap titik berwarna kehitaman di sekujur kulit tubuhnya. Itulah yang disebut titi, tato khas mereka.

Bagi mereka yang tak memahami titi, mungkin goresan itu hanya sebagai jenis motif rajah saja. Tapi tunggu dulu, ternyata setiap bentuk goresan itu ada maknanya. Termasuk posisi mereka dalam masyarakat tersebut.

Dua orang laku-laku dengan usia yang sama, misalnya, titi-nya bisa berbeda. Bahkan kadang buat mata awam, bisa saja rajah di kedua pria tersebut terlihat sama. Tapi ternyata ada bagian yang berbeda. Misalnya, yang satu tidak memiliki dua simbol di bahu kanan-kirinya. Atau, seorang pria muda Mentawai, bisa saja sama sekali tak punya titi di kulit tubuhnya.

Seni tato Mentawai memang memiliki daya tarik tersendiri. Konon, ini merupakan salah satu seni rajah tubuh tertua di dunia, bahkan ada yang menyebut ia lebih tua dari seni tato di Mesir. Sayangnya, titi perlahan memudar. Masyarakat Mentawai masa kini tak lagi suka memaparkan identitas diri mereka melalui medium sekujur kulitnya. Terutama di kalangan generasi mudanya. Padahal, dulunya itu adalah simbol jati diri mereka dari waktu ke waktu.

Selain harus melalui ritual, pembuatan tato bagi suku Mentawai harus dilakukan bertahap. Tahap pertama dilakukan saat seseorang berusia 11-12 tahun atau masa akil balig. Rajahnya pun hanya boleh dilakukan di bagian pangkal lengan. Tahap kedua, kala orang tersebut berusia 18-19 tahun dan rajahan dilanjutkan ke bagian paha. Tahap ketiga, di masa dewasa di bagian tubuh lain.

Setiap motif titi, yang dirajahkan pada kulit tubuh, memiliki arti. Masing-masing merepresentasikan simbol-simbol penghormatan orang-orang suku Mentawai pada roh dan pada keyakinannya. Secara umum, dikenal tujuh macam motif yang berlaku bagi laki-laki dan tiga motif bagi perempuan, yaitu Sarepak Abak, Durukat, Sikaloinan, Gagai, Boug, Saliou, dan Soroi.

Tato Orang Mentawai Proses Mentato
Proses membuat titi di masyarakat Mentawai.

Sarepak abak, biasanya ditorehkan di punggung, melambangkan keseimbangan kehidupan di alam. Ini merupakan representasi dari cadik (penyeimbang) pada pompon (perahu) yang menjadi alat transportasi sehari-hari.

Durukat, ditorehkan di bagian dada, simbol jati diri suku, menunjukkan batas wilayah kesukuan. Umumnya memanfaatkan garis-garis halus yang kemudian diisi titik-titik dan motif lokpok (bentuknya menyerupai daun). Sikaloinan, ditorehkan pada bagian pangkal lengan hingga siku, simbol jati diri suku, merepresentasikan paipai sikaloinan (ekor buaya).

Gagai, ditorehkan pada lengan laki-laki/perempuan, simbol kepiawaian menangkap ikan. Motif Boug, ditorehkan pada bagian paha, simbol jati diri suku, penggambarannya memanfaatkan bentuk garis-garis lengkung. Saliou, ditorehkan pada betis hingga pergelangan kaki dengan ragam rias lengkung garis yang indah.

Sementara itu, Soroi, khusus kaum pria, simbol jati diri kesukuan, biasanya ditorehkan pada bagian pusar, merepresentasikan keindahan rumbai-rumbai bulu ekor ayam.

Satu catatan penting, terlihat sekali bahwa seorang sipatiti tidak boleh mengabaikan faktor simetris dalam pelaksanaan tugasnya. Pengaturan jarak dari setiap gores garis hingga titik diperhitungkan dengan penuh presisi dalam hitungan satu jari, dua jari, tiga jari, empat jari, dan seterusnya.

Untuk membuat titi, tidak bisa dilakukan sembarang orang. Untuk melakukannya, suku Mentawai mengenal keberadaan sipatiti. Meski tidak diangkat secara adat, ia adalah seorang laki-laki dan tidak boleh perempuan yang dipercaya sebagai sang pembuat tato. Ia seorang yang memiliki keahlian merajah sekaligus memahami simbol-simbol yang lazim digunakan termasuk maknanya. Setiap pertemuan, jasa seorang sipatiti akan dibayar dengan seekor babi atau beberapa ekor ayam.

Proses pembuatan titi tidak sesederhana. Sebelumnya, harus digelar acara adat Punen Kepa untuk menyingkirkan pengaruh jahat dan ancaman terjadinya malapetaka di kampung yang warga yang akan membuat titi. Pada puncak punen, biasanya dilakukan perjalanan ke Siberut, yang diyakini sebagai asal orang Mentawai. Perjalanan laut yang dikenal dengan istilah bulepak itu dilakukan beramai-ramai dalam satu sampan bermuatan cukup besar. Di daerah itu, mereka harus mengambil manik-manik khas Siberut sebagai syarat.

Apabila semua berhasil membawa manik-manik khas Siberut kembali dengan selamat, warga bisa memulai menjalani upacara inisiasi pembuatan titi, yang dikenal dengan nama Punen Enegat. Upacara tersebut dipimpin oleh sikerei atau seorang dukun Mentawai dan dilakukan di putukurat, yang merupakan tempat khusus berlangsungnya proses pembuatan titi.

Titi adalah sebuah kearifan lokal, ia tak harus menjadi milik semua orang, namun tentu sayang jika ini akan terus memudar.

agendaIndonesia

*****

Ulos, Pernikahan, Kelahiran, Dan Kematian (2)

Ulos sibolang

Ulos dalam adat dan tradisi Batak bukan sekadar lembaran kain yang dipakai dalam upacara-upacara istiadat. Di dalamnya mengandung makna yang luar biasa dalam. Ia memiliki arti sejak perjodohan, kelahiran, hingga kematian.

Ulos, Jenis Dan Kegunaannya

Di dalam adat Batak, remaja yang baru belajar menenun memang hanya diperboleh membuatkan ulos parompa yang digunakan untuk menggendong anak. Tingkat kemahiran ditentukan oleh jumlah lidi yang digunakan. Pada tingkat mahir, penenun biasanya menggunakan tujuh buah lidi sekaligus. Itu yang disebut marsipitu lili. Pada level ini, mereka telah bisa membuat semua jenis kain ini. Dalam membuatnya, semakin banyak lidi yang digunakan, maka corak pun semakin beraneka.

Ulos Jugia. Disebut juga ulos naso ra pipot atau pinunsaan. Hanya untuk orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki dan perempuan. Nilainya tertinggi dan disimpan dalam parmonang-monangan (lemari).

Ragi Hidup. Rangkaian dua kata ini bermakna lambang kehidupan. Coraknya memberi kesan kainnya hidup. Muncul dalam warna hitam-putih. Memiliki nilai tinggi. bisa digunakan untuk kesempatan suka maupun duka. Pada saat pernikahan, kain ini diberikan orang tua pengantin wanita kepada ibu pengantin pria. Bila ada sesepuh meninggal, ulos ragi hidup dikenakan oleh si sulung. Jenis ini paling banyak ditemukan dalam upacara adat Batak.

Ragi Hotang. Diberikan kepada pengantin agar terjadi ikatan batin seperti rotan (hotang). Disebut juga sebagai ulos marjabu. Disampirkan ke bahu keduanya, ujung kanan dipegang pengantin pria dan kiri wanita, lalu diikat di tengahnya. Sedangkan saat kematian, digunakan untuk menutup jenasah atau membungkus tulang manakala penguburan untuk kedua.

Ulos Sadum. Memiliki warna ceria, dengan dominasi warna merah, sehingga banyak digunakan untuk upacara suka cinta. Meski bisa juga untuk suasana lara.

Ulos Runjat. Digunakan orang kaya dan digunakan sebagai ulos edang-edang yang digunakan untuk ke pesta pernikahan.  Diberikan juga kepada pengantin oleh keluarga terdekat.

Ulos Sibolang. Lebih banyak digunakan orang untuk acara duka cinta, namun sebenarnya bisa juga digunakan untuk suasana suka cita. Lazimnya pada saat berduka digunakan yang dominan hitam sedangkan saat suka lebih banyak warna putih. Yang putih ini pun digunakan dalam upacara pernikahan. Orang tua pengantin perempuan mangulosi ayah pengantin pria, untuk mabolang-bolangi (menghormatinya).

Suri-suri panjang. Coraknya berbentuk sisir memanjang dan dulu digunakan untuk hande-hande atau ampe-ampe. Lebih panjang dari yang biasanya,  hingga dua kalinya.

Mangiring.  Motifnya beriringan dan merupakan simbol dari kesuburan dan kesepakatan. Diberikan orang tua sebagai parompa kepada cucunya. Digunakan juga untuk pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali oleh kaum Adam dan sebagai tudung oleh kaum Hawa.

Bintang Maratur. Memunculkan bintang-bintang yang beraturan sebagai lambang dari orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Bahkan juga dalam soal kekayaan dan kemuliaan, ditunjukkan berada dalam tingkatan yang sama. Corak ini juga menunjukkan harapan agar setelah anak pertama lahir anak-anak lainnya.

Sitoluntuho-bolean. Biasanya digunakan sebagai ikat kepala bagi pria atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna, kecuali diberikan kepada anak baru lahir sebagai parompa.

Jungkit. Ini jenis nanidondang atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari kain tersebut.

Lobu-lobu. Yang satu ini digunakan untuk keperluan khusus, terutama orang yang sering dirundung malam, misal kematian anak, karena itu dipesan langsung oleh yang memerlukannya.


Dua Ulos

(berdasar ukuran)

  1. Na Balga. Inilah jenis untuk kelompok masyarakat papan atas. Biasanya digunakan pada upacara adat saat mangulosi maupun digunakan sebagai pakaian resmi.
  2. Na Met-met. Jenis yang hanya digunakan sehari-hari. Ukurannya panjang dengan lebarnya jauh lebih kecil dari biasanya. Tidak digunakan dalam upacara adat.

Arti harfiah. Berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindungi dari  udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber panas bagi manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiganya, yang paling nyaman dan akrab dengan kehidupan tak lain kain tradisional ini.

Penggunaan. Kain ini digunakan bisa digunakan dari bagian tubuh atas hingga bawah. Dihadanghon bila disampirkan di bahu atau menjadi selendang. Untuk wanita disebut hoba-hoba  (bahu) atau ampe-ampe (selendang). Diabithon sebagai sarung atau saong. Dililithon ketika  dililitkan di kepala atau pinggang.  Pada pria disebut detar bila digunakan sebagai penutup kepala dan haen bila digunakan di bawah.

Uis atau Hiou. Suku Batak menyebut kain yang digunakan upacara adat dan sehari-hari adalah ulos. Suku Karo menamainya uis. Untuk jenisnya ada nama sendiri, seperti uis beka buluh, uis jungkit dilaki, uis nipeh padang rusak, uis nipes benang iring. Sedangkan suku Simalungun mengenalnya sebagai hiou. Muncul dengan motif yang berlainan juga, termasuk kekhasan pada penggunaannya sebagai penutup kepala.

Rita N./Toni H./Dok. TL

Adat Sekaten, Beda Yogya dan Solo (2)

Adat Sekaten Solo secara umum sama dengan yang digelar Kraton Yogyakarta, urutan detilnya yang ada perbedaan. Foto: Surakarta.go.id

Adat Sekaten yang diselenggarakan di Surakarta atau Solo secara garis besar, rentetan kegiatan serta pelaksanaannya bisa dibilang cukup serupa dengan yang diadakan di Yogyakarta. Kalau pun ada perbedaan, itu lebih pada detail-detail kecil.

Adat Sekaten

Adat Sekaten Solo juga diadakan selama sepekan dan pada kurun waktu yang sama pula dengan yang di Yogyakarta. Rangkaian acaranya pun mirip, ditandai dengan dikeluarkannya gamelan pusaka keraton Kasunanan Surakarta menuju ke Masjid Agung Surakarta.

Selama satu minggu, kedua gamelan pusaka Surakarta, Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari, dimainkan selama gelaran adat Sekaten berlangsung. Di sela-sela permainan tersebut, juga aka nada pembacaan doa-doa serta ayat-ayat suci Al-Quran.

Adat Sekaten Solo memiliki beberapa hal yang berbeda dengan yang diselenggarakan di Yogyakarta.
Keraton Surakarta Hadiningrat. Foto: shutterstock

Konon, gamelan Kyai Guntur Madu merupakan peninggalan dari era Sri Susuhunan Pakubuwono IV, sementara Kyai Guntur Sari adalah peninggalan dari masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo di kerajaan Mataram.

Sebelum kegiatan tersebut, ada pula ritual yang dilakukan bagi para pengrawit (pemain seni karawitan) yang bertugas. Melakukan puasa, memberikan sesajen berupa kembang dan buah buahan kepada kedua gamelan pusaka, serta mengenakan seragam khusus selama acara berlangsung merupakan beberapa di antaranya.

Acara dibuka dengan adat Miyos Gongso, yaitu dibawanya kedua gamelan pusaka tersebut menuju area bangsal utara dan selatan masjid oleh sekitar 120 abdi dalem keraton. Dari situ, Kyai Guntur Madu akan dimainkan terlebih dulu, baru setelahnya Kyai Guntur Sari dimainkan.

Adat permainan pembuka kedua gamelan tersebut, yang disebut sebagai Ungeling Gongso, dianggap sebagai representasi akan dua kalimat syahadat. Ketika Kyai Guntur Madu dimainkan pertama kali, gending yang dimainkan berjudul ‘Rabbuna’ yang berarti Tuhan, representasi dari kalimat ‘aku percaya tiada Tuhan selain Allah’.

Setelahnya, pengrawit memainkan Kyai Guntur Sari dengan gending berjudul ‘Roukhun’. Secara etimologi, kata ini bermakna nabi atau khalifah, yang kemudian bisa dimaknai sebagai kalimat ‘aku percaya Nabi Muhammad adalah rasul Allah’.

Setiap harinya gamelan akan dimainkan mulai dari jam 09.00 sampai waktu sholat Dzuhur. Kemudian dimainkan lagi setelah sholat Ashar sampai waktu Maghrib. Setelah Isya, gamelan dimainkan kembali sampai pukul 24.00.

Gamelan juga tidak boleh dimainkan dari Maghrib di hari Kamis hingga setelah sholat Jumat. Kesemuanya menjadi tanda menghormati sholat lima waktu serta hari Jumat yang sakral bagi umat Muslim, sejalan dengan khitah Sekaten sebagai alat syiar Islam.

Ada pula beberapa adat lain yang serupa, misalnya seperti mengunyah sirih ketika gamelan pertama kali mulai dimainkan. Adat ini dipercaya sebagai doa agar senantiasa sehat dan awet muda.

Begitu pula budaya pasar malam sebagai pelengkap perayaan Sekaten. Di Solo, pasar malam Sekaten diadakan di alun alun utara dan selatan. Warga pun dapat datang serta berpartisipasi dengan berjualan kuliner-kuliner khas Solo, sebagai wujud turut meramaikan gelaran tersebut.

Tetapi memang ada beberapa perbedaan kecil pada detail pelaksanaan acara. Seperti misalnya tidak adanya budaya pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW serta Udhik-Udhik, alias menebarkan koin logam, beras dan bunga seperti yang dilakukan Sri Sultan di Yogyakarta.

Pada perayaan adat Sekaten di Solo juga tidak terdapat adat Numpak Wajik sebagai tanda persiapan pembuatan gunungan yang akan diarak pada acara puncak Grebeg Mulud. Tidak ada pula prosesi Kundur Gongso, yaitu pengembalian gamelan-gamelan pusaka kembali ke tempatnya.

Sebaliknya, salah satu adat Sekaten Solo yang tidak terdapat di perayaan Sekaten Yogyakarta adalah penggunaan janur kuning sebagai hiasan di bangsal masjid. Nantinya, beberapa janur tersebut akan diperebutkan warga sekitar sebagai tanda keberkahan.

Selain itu, di Yogyakarta gamelan-gamelan pusaka sudah mulai dimainkan pada malam sebelum pekan puncak perayaan Sekaten dilangsungkan. Pertunjukan gamelan ini berlangsung dari pukul 19.00 hingga 23.00.

Setelahnya, baru akan terjadi prosesi pemindahan gamelan-gamelan tersebut menuju Masjid Gede Kauman. Sementara di Solo, gamelan baru mulai dimainkan setelah prosesi Miyos Gongso dilaksanakan.

Perbedaan lainnya juga terletak pada detail pelaksanaan acara puncak, yakni Grebeg Mulud. Di Yogyakarta, gunungan yang dibuat biasanya sekitar 5 hingga 6 buah. Adapun di Solo, gunungan yang dibuat hanya ada dua, yaitu gunungan jaler dan estri.

Gunungan jaler merepresentasikan gunungan laki-laki, sedangkan gunungan estri sebagai gunungan perempuan. Lain daripada itu, gunungan tersebut sama-sama diarak dari keraton menuju masjid untuk didoakan, sebelum dibawa keluar dan diperebutkan oleh warga.

Adat Sekaton Solo diselenggarakan dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW.
Patung Slamet Riyadi sebagai salah satu landmark Surakarta yang berada di mulut masuk Alun-ALun Utara Keraton Solo. Foto: Dok. shutterstock

Isi dari gunungan tersebut pun sama-sama hasil alam seperti sayuran, buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Warga setempat juga sama-sama percaya bahwa isi dari gunungan tersebut bermakna keberkahan, sehingga berebut mengambil isinya turut menjadi budaya.

Selebihnya, kedua upacara adat tersebut bisa dikatakan tak punya perbedaan signifikan lainnya. Niat dan semangat luhur dari keduanya pun sama-sama untuk merayakan, serta rasa syukur sebagai umat Islam dalam rangka hari raya Maulid Nabi Muhammad SAW.

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****