Ulos, Persaudaraan, Pengharapan dan Sebuah Nasehat (Bagian 1)

Ulos Kain tradisional Batak shutterstock

Ulos dalam adat dan tradisi Batak bukan sekadar lembaran kain yang dipakai dalam upacara-upacara istiadat. Di dalamnya mengandung makna yang luar biasa dalam. Ia juga mengandung arti persaudaraan, pegharapan dan nasehat.

Ulos, Adat Dan Tradisi

Di sepotong siang yang terik, pada sebuah rumah berlantai semen berdinding tembok tanpa cat di Desa Penampangan, Samosir, Sumatera Utara, Rini yang kini berusia 12 tahun itu tengah berasyik-masyuk bersama hasoli dan turak. Di sekitarnya tampak pula pagabe, baliga, hatudungan, sidurukan, pamapan, panghulhulan, dan juga panggiunan. Berbagai nama tersebut di atas bukanlah nama teman bermain dari sang dara, melainkan bagian-bagian dari alat tenun. Di sudut yang lain si nenek memendangi sang cucu yang tengah martonung (menenun), dengan rasa bungah.

Hasoli adalah  tempat gulungan benang dan turak  yang terbuat dari bambu kecil yang berfungsi memasukkan benang di sela-sela benang yang ditenun.  Turak dan hasoli menyatu dan berjalan seiring. Turak lah yang membuka jalan sehingga benang bisa menari di antara untaian benang lain sehingga membentuk beragam motif. Pendukung lainnya, pagabe berupa dua potong kayu yang mengapit tubuh, sehingga menopang tubuh sekaligus menjadi penahan alat tenun. Pamapan termasuk bagian utama dari alat tenun, berupa kayu besar dan dua kayu di kiri dan kanan.

Di bagian tengah, di antara benang dan kain setengah jadi, ada baliga, yang memadatkan benang-benang yang terjalin. Sidurukan adalah tempat menaruh baliga. Ada pula panghulhulan berfungsi seperti palet pada mesin jahit, penggiunan adalah penarik benang. Benangnya sendiri disebut giun, dan alat untuk memasang benang sebelum ditenun adalah hatonungan. Lantas alat tenun itu sendiri tak lain alat tradisional gedogan.

Itulah seperangkat alat tenun yang telah menjadi teman akrab Rini sejak kelas 5 Sekolah Dasar, Jemarinya yang lentik selalu memainkannya lidi-lidi yang membentuk konfigurasi benang menjadi motif atau corak kain. Ini dilakukannya selama 2-3 jam saban pulang sekolah. Kini Rini biasa merampungkan selembar ulos berukuran panjang 1,5 meter lebar 40 sentimeter dalam sepekan. “Dia masih anak-anak, lidi yang dipakai baru lima, belum bisa bikin yang pakai banyak warna,” kata si opung.

Dalam adat Batak, remaja yang baru belajar menenun memang hanya diperboleh membuatkan ulos parompa yang digunakan untuk menggendong anak. Tingkat kemahiran ditentukan oleh jumlah lidi yang digunakan. Pada tingkat mahir, penenun biasanya menggunakan tujuh buah lidi sekaligus. Itu yang disebut marsipitu lili. Pada level ini, mereka telah bisa membuat semua jenis ulos. Dalam membuat ulos, semakin banyak lidi yang digunakan, maka corak pun semakin beraneka.

Menurut penuturan si nenek Rini, masyarakat sekarang cenderung menyukai ulos yang dipenuhi dengan benang emas. Menurut si opung, makin banyak warna makin tinggi nilai rupiahnya. Ulos biasa dijual pada kisaran harga Rp 150-400 ribu. Tak jauh dari rumah Rini itu, ada pula beberapa rumah yang juga memproduksi ulos. Biasanya, dalam setiap rumah prosuksi, paling tidak ada lima perempuan penganggit. Seorang di antaranya sudah dalam tingkat mahir, atau beraksi dengan 12 lidi.

Di desa yang berlokasi sekitar 40 km dari Tomok, pelabuhan kecil untuk penyeberangan feri ke Parapat, ini memang dihuni oleh banyak penenun, hingga menjadi magnet tersendiri bagi para pedagang ulos. Di satu jalan desa saja, dalam jarak hanya 500 meter sudah ada tiga kelompok penenun, salah satunya memiliki keunikan karena masih tinggal di rumah adat dan mereka menggelar tikar di depan rumah dan duduk beramai-ramai menenun. Selalu ada pedagang dari luar yang rutin datang mengumpulkan kain adat tersebut.

Di halaman tanah memanjang itu ada dua kelompok perempuan asik dengan gedogan. Salah satunya perempuan boru Silalahi, 62 tahun. Di kiri kanan diapit saudaranya. Tak hanya ulos tapi juga songket Batak pun dibuatnya. Kain songket dalam warna kuning dan biru tampak mencolok. Semuanya ia pajang di tali yang merentang di depannya sehingga mirip jemuran. Perempuan ramah itu mengaku bisa membuat ulos jenis apapun dan dari daerah manapun di Sumatera Utara. “Bisa pesan kalau mau,” ujarnya.

Jenis ulos setiap wilayah di Sumatera Utara berbeda. Ibu lima anak itu bisa dengan rinci menjelaskan beberapa perbedaan itu. Ulos Batak Toba, misalnya, kebanyakan bercirikan  warna redup, dominasi pada hitam dan abu-abu dengan corak yang lebih simpel. Berbeda lagi dengan ulos Karo. Banyak menggunakan warna dasar merah dan terang. Dan kain tradisional itu disebut sebagai uis. Sedangkan ulos Tarutung  memunculkan corak beragam dan warna cerah. Demikian juga dengan ulos Simalungun yang bermain dalam warna biru, merah, dan oranye selain juga hitam. Dikenal sebagai hoiu.

Hanya beberapa meter dari boru Silalahi, empat perempuan lanjut usia tengah tenggelam dalam keasyikan memainkan baliga dan lidi. Tanpa bersuara. Keempatnya menenun dengan teknik ikat lungsi – mengikat benang yang disusun memanjang – dan ketekunan menjadi modal utamanya. Tak mengherankan lebih banyak kaum Hawa dan lebih dominan juga yang berusia lanjut ketimbang remaja. Beruntung di Samsosir, jumlah penenun masih cukup banyak. Di Desa Perbaba, dekat Pangururan, pun bisa ditemukan lagi kelompok penenun.

Bahkan pengusaha kain ulos di Pematang Siantar pun, banyak yang belajar menenun di Samosir, dan beberapa malahan memang berasal dari kabupaten tersebut. Di Parluasan, tak jauh dari pasar, penenun berkumpul di beberapa rumah, setiap rumah ada sekitar 5-7 penenun. Sejumlah penenun Samosir pun mengadu nasib ke Medan. Di ibu kota Sumut, aneka ulos dan songket itu dijual di Pasar Sentral atau tepatnya di Pusat Pasar Lama. 

Ada sekitar 12 kios yang menjajakan aneka kain tradisional, tak hanya ulos tapi juga aneka songket, lengkap dengan kebaya. Salah satunya milik boru Simbolon yang mengusung nama UD Parna Tex, ia menjual kain dari harga Rp 15 ribu hingga Rp 1,5 juta. Satu motif pun bisa berbeda harga, tergantung jenis benang dan pengerjaannya, misal ulos ragi hotang ada yang dijual Rp 50 ribu, tapi ada pula yang lebih halus Rp 150-200 ribu.

Ulos memang tak bisa terpisahkan dari kehidupan suku Batak. Dalam suka maupun duka. Bahkan setiap masa penting dalam kehidupan seseorang pun tak lepas dari ulos. Ada tiga momen penting yang dimaknai dengan ulos, yakni kelahiran, pernikahan, dan kematian. Setiap kesempatan itu, ulos yang digunakan berbeda. Sewaktu lahir, kakek nenek memberi ulos parompa atau ulos gendong, kemudian ketika menikah akan menerima ulos hela (ulos untuk menantu) dan ketika meninggal mendapat ulos saput. Pemberinya adalah kelompok marga dari istri atau dalihan natulo yang disebut sebagai hula-hula.

Jadilah mangulosi atau memberi ulos menjadi ritual yang penting dalam adat Batak. Pemberian itu tak hanya seperti kado biasa, ketika seorang pelancong membeli ulos sebagai suvenir dan menyebarkannya kepada handai tulan atau sahabat ketika kembali ke kota asalnya. Melainkan mengandung makna yang dalam, yakni pemberian restu, menunjukkan rasa kasih sayang, pengharapan pada hal-hal yang baik. Makna itu tersurat dalam pepatah lawas, Ijo pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong. Maknanya, jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.

Maka ketika diberikan kepada menantu laki-laki, ulos berarti sebuah nasehat agar paham kerabat yang harus dihormati, hormat kepada kerabat istri dan lemah lembut kepada keluarga. Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, ulos juga menjadi sebuah penghormatan terhadap jasanya sebagai istri. Sekaligus juga menjadi tanda bahwa dia telah menjadi janda. Secara umum, ada beberapa ketentuan dalam ritual adat ini. Misal yang diberi ulos haruslah secara silsihan keturunan berada pada tingkatan di bawah pemberi ulos, kemudian jenis yang diberikan juga harus sesuai dengan kesempatannya. Apakah kelahiran, pernikahan atau kematian? Motif dan warnanya selalu berbeda.

Dari motif ada pula nama-nama khususnya dan corak pun menjadi sebuah simbol. Beberapa yang dikenal luas adalah ragidup, ragi hotang. bintang maratur, sadum, suri-suri panjang, mangiring. Lantas dari penggunaannya, ulos bisa digunakan di beberapa bagian tubuh, seperti di kepala, penutup bahu, selendang, di bagian tubuh bawah hingga menjadi kain gendongan. Makna, fungsi dan kesempatan penggunaannya membuat ulos memang begitu kompleks sekaligus menjadi sebuah kebanggaan bangsa ini.

Rita N./Toni H./Dok. TL

Tradisi Sekaten, Apa Beda Yogya dan Solo (1)

Tradisi Sekaten menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Yogyakarta

Tradisi Sekaten bagi masyarakat Jawa adalah saat di mana kegembiraan dan rasa syukur dirayakan. Dalam budaya Jawa, tradisi ini merupakan kegembiraan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Acara ini biasanya dilakukan setahun sekali, merunut pada kalender Jawa dari tanggal 5 hingga 11 Mulud, atau Rabiul Awal dalam kalender Hijriyah.

Tradisi Sekaten

Tahun ini perayaan tersebut tengah berlangsung dan diselenggarakan antara 16 September hingga 16 Oktober. Dengan puncaknya saat Maulid Nabi Muhammad SAW pada 7-8 Oktober.

Ada beberapa versi mengapa perayaan ini disebut Sekaten. Yang paling populer adalah nama ini menyadur dari sebuah kata dari bahasa Arab ‘syahadatain’ yang bisa diartikan sebagai persaksian, sebagaimana umat Islam bersaksi akan kepercayaan mereka terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW dalam kalimat syahadat.

Tradisi Sekaten merupakan kegembiraan menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tradisi Sekaten Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Foto: dok. shutterstock

Versi lainnya menyebutkan bahwa Sekaten berasal dari gabungan kata ‘suka’ dan ‘ati’ dalam pelafalan Jawa. Artinya, Sekaten dimaknai sebagai rasa suka cita masyarakat Jawa dalam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ada pula versi yang mengatakan bahwa tradisi Sekaten terinspirasi dari nama salah satu gamelan pusaka milik keraton Yogyakarta, yang dinamai Kanjeng Nyai Sekati. Gamelan pusaka ini biasanya akan digunakan dalam rangkaian perayaan tradisi tersebut.

Asal-usul acara perayaan ini sendiri diyakini bermula dari jaman kerajaan Demak. Kala itu, salah seorang anggota Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga, menyelenggarakan acara ini sebagai media berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam.

Acara tersebut biasanya berupa pentas seni karawitan atau musik gamelan yang dilaksanakan di halaman Masjid Agung Demak pada saat itu. Menurutnya, mayoritas masyarakat Jawa ketika itu menggemari acara karawitan, sehingga banyak yang kemudian akan berbondong-bondong datang.

Lewat seni karawitan tersebut, ia lantas memanfaatkan momen itu untuk berkhotbah dan membacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Dari situlah, banyak orang yang kemudian ikut tertarik untuk belajar dan memeluk agama Islam.

Budaya tersebut kemudian dicampur dengan adat kerajaan Majapahit yang melakukan arak-arakan dengan menggunakan sesajen. Hal ini sebagai wujud penghormatan pada arwah leluhur, dalam konteks tradisi Sekaten sebagai penghormatan bagi Nabi Muhammad SAW sekaligus doa agar rakyat senantiasa sejahtera dan berkehidupan seperti sang suri teladan.

Upacara adat ini kemudian lazim dilaksanakan oleh dua keraton kesultanan Mataram Jawa, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Yogyakarta dan di Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Solo. Secara umum kedua acara dilaksanakan dengan adat yang mirip, walaupun ada juga beberapa perbedaannya.

Di Yogyakarta dulunya acara ini diadakan di halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta, yang terletak di area alun-alun utara. Acara biasanya dimulai dari jam 16.00 hingga 24.00, selama sepekan kecuali pada malam Jumat atau Kamis malam. Gamelan pusaka tak boleh dimainkan pada periode tersebut sampai setelah sholat Jumat.

Sebelum acara dimulai, tiga gamelan pusaka keraton yakni Kanjeng Nyai Sekati, Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nagawilaga dikeluarkan dari keraton dan diletakkan di halaman masjid. Prosesi ini menandakan bahwa upacara adat siap dilaksanakan.

Para Abdi Dalem keraton yang bertugas memainkan gamelan pusaka juga diminta melakukan ritual tertentu sebelum pergelaran dimulai. Mereka diharuskan berpuasa sambil melakukan siram jamas (mandi sambil keramas) sebelum dibolehkan berpartisipasi.

Gamelan pusaka tersebut konon dibuat oleh Sunan Giri yang pandai berkesenian karawitan. Alat pemukulnya terbuat dari tanduk kerbau, yang dapat menghasilkan bunyi yang jernih dan nyaring. Cara memukulnya pun harus diangkat setinggi dahi sebelum dipukul.

Daftar lagu-lagu yang dimainkan juga khusus untuk acara ini, dan dinamakan Gendhing Sekaten. Beberapa lagu ini dulunya disebut menjadi lagu yang dimainkan pada acara karawitan di jaman kerajaan Demak.

Di sela-sela pementasan tersebut, akan diselipkan beberapa kegiatan yang melengkapi rangkaian acara, seperti tari tradisional dan pembacaan ayat suci Al-Quran. Ketika acara dimulai ada pula budaya mengunyah sirih di sekitar halaman masjid. Budaya ini diyakini sebagai wujud doa agar sehat selalu dan awet muda.

Lalu, pada malam hari, ketika Sri Sultan Hamengkubuwono hadir di tempat, ia akan melakukan Udhik-Udhik atau menyebarkan koin logam kepada guru besar masjid, Abdi Dalem dan warga yang hadir. Koin-koin tersebut dipercaya sebagai simbol meraih keberuntungan dan kesejahteraan.

Sri Sultan biasanya akan hadir pada saat pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW. Pada momen itu, beliau akan dipasangkan bunga cempaka pada telinga sebelah kanan. Biasanya ini terjadi pada malam terakhir perayaan Sekaten.

Di luar masjid, akan terdapat banyak penjual nasi gurih beserta lauk pauknya yang dinamakan nasi wudug, yaitu nasi yang dibuat dengan minyak samin. Nasi ini konon disebut sebagai salah satu makanan kesukaan Nabi Muhammad SAW.

Biasanya akan terdapat pula pasar malam Sekaten yang diselenggarakan di area alun-alun. Walaupun akhir-akhir ini, acara tidak lagi diadakan di sana untuk menjaga kebersihan dan ketertiban di area alun-alun.

Secara teknis pasar malam bukan bagian utama dari acara. Tetapi gelaran ini tetap dilaksanakan selama sebulan penuh dalam kurun waktu bersamaan dengan tradisi Sekaten, agar warga dapat turut andil dalam meramaikan perayaan tersebut.

Antara hari keempat hingga keenam perayaan, akan dilakukan adat tradisional yang disebut Numplak Wajik. Pada momen ini, kentongan dan lumpang akan dibunyikan. Kegiatan ini juga biasa disebut ‘kotekan’, yang menandai dimulainya persiapan pembuatan gunungan yang akan diarak pada acara puncak.

Pada akhir acara di hari terakhir, akan ada prosesi pengembalian gamelan pusaka kembali ke tempatnya di keraton, yang dinamakan Kondur Gongso. Prosesi ini sekaligus menandai berakhirnya rangkaian perayaan tradisi Sekaten.

Tradisi Sekaten diselenggarakan dua kraton di Jawa, Yogyakarta dan Surakarta. Walaupun semangatnya sama, ada sejumlah perbedaan di natara ke duanya.
Gunungan Sekaten yang terdiri dari hasil bumi sebagai simbol kesejahteraan. Foto: DOk. shutterstock

Namun puncak acara akan berlangsung pada keesokan harinya, persis pada hari Maulid Nabi, yang lazim disebut Grebeg Maulud. Ini merupakan acara arak-arakan gunungan oleh seluruh brigade pasukan keraton. Acara ini biasanya berlangsung dari jam 08.00 sampai 11.00.

Gunungan yang dimaksud di sini adalah makanan dan bahan bakunya seperti beras ketan, sayuran dan buah-buahan yang disusun menggunung. Gunungan tersebut melambangkan rasa syukur atas kemakmuran hasil bumi.

Biasanya, gunungan dibagi menjadi beberapa jenis dan simbolnya, seperti gunungan kakung, putri, dharat, gepak dan pawuhan. Gunungan kakung memiliki simbol sebagai sang baginda raja, gunungan putri sebagai permaisuri, gunungan dharat dan gepak sebagai para pangeran dan putri, serta gunungan pawuhan sebagai cucu-cucunya.

Gunungan-gunungan tersebut kemudian dibawa ke Masjid Gede untuk didoakan. Setelah selesai, gunungan lantas dibawa ke area alun-alun untuk diperebutkan warga. Lazimnya, beberapa di antara mereka adalah petani. DI masa kini tentu saja semua warga masyarakat.

Mereka percaya gunungan yang telah didoakan bernilai sakral, sehingga bagian dari gunungan yang mereka dapatkan akan ditanam di sawah dan ladang mereka. Harapannya, sawah dan ladang mereka akan senantiasa subur, bebas bencana dan dapat dipanen hasil yang terbaik.

Namun secara mendasar Grebeg Maulud ini menjadi simbol kepedulian Sri Sultan dan keraton kepada warganya, agar mereka dapat turut hidup dalam keberkahan dan kesejahteraan. Sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW untuk senantiasa murah hati, bersedekah dan membantu mereka yang membutuhkan.

(Bersambung ke Bagian 2)

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Yadnya Kasodo, 1 Persembahan Bumi Tengger

Yadnya Kasodo oleh masyarakat Tengger di kawasan gunung Bromo tahun ini berlangsung pada 24 hingga 26 Juni. Di tengah keprihatinan kondisi pandemi, upacara adat masyarakat Tengger yang selalu diselenggarakan pada tanggal 14 bulan ke-10 dalam kalender Jawa, tepat pada saat bulan purnama penuh. Upacara dilakukan dengan lebih sepi dibanding kondisi normal.

Yadnya Kasodo

Masing-masing delegasi dari desa-desa suku Tengger, yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, mengarak guci bambu berisi air suci Mendhak Tirta. Mereka berkumpul di dua pintu gerbang pendakian Bromo, sebelum berjalan beriringan menuju Puncak Bromo. Rombongan suku Tengger dari Pasuruan berkumpul di gerbang Desa Pakis Bincil. Sedangkan rombongan suku Tengger yang tinggal di Probolinggo, Lumajang, dan Malang berangkat bersama dari pintu gerbang Cemoro Lawang, sekitar 30 kilometer dari Pura Luhur Kahyangan—yang menjadi lokasi tujuan. Arak-arakan ini menjadi tontonan yang menarik. Warga Tengger mengenakan pakaian adat dan membawa berbagai sesaji upacara, yang menimbulkan bau kemenyan.

Seminggu sebelum puncak upacara Kasodo digelar, telah dilakukan prosesi Mendhak Tirta, yakni upacara mengambil air suci dari empat sumber mata air yang dikeramatkan suku Tengger. Di Pasuruan, suku Tengger mengambil air suci di Gua Widodaren, sementara suku Tengger Probolinggo mengambil air suci di air terjun Madakaripura—yang dipercaya sebagai tempat pertapaan Gadjah Mada (1300-1364). Suku Tengger di Malang dan Lumajang mengambil air suci dari Danau Ranu Pane, kaki Gunung Semeru. Air suci itu kemudian diarak ke Pura Luhur Kahyangan pada puncak upacara Kasodo.

Siang 24 Juni, diadakan upacara Piodalan di Pura Luhur Kahyangan, meliputi upacara Melasti di pagi hari dan Mecaru di sore hari. Menjelang tengah malam, arak-arakan tiba di aula Pura Luhur Kahyangan. Ritual pun dimulai. Pertama, dilakukan pembacaan kitab suci suku Tengger di Bromo tentang sejarah upacara Kasodo. Kemudian, dilanjutkan dengan pembacaan kitab puji-pujian Puja Stuti. Oleh sang dukun senior, air suci dipercikkan ke semua sesaji yang terkumpul. Menjelang matahari terbit, dilaksanakan puncak acara Kasodo, yakni pelantikan dukun-dukun baru untuk menggantikan dukun senior. Dukun-dukun ini sebelumnya harus mempertontonkan kemampuan melantunkan berbagai mantra suci suku Tengger.

Dukun memiliki peran penting dalam masyarakat Tengger. Merekalah yang diberi mandat untuk memimpin semua ritual, dari urusan perkawinan, upacara adat, hingga kegiatan keagamaan. Acara berlangsung hingga matahari terbit dan ditutup dengan upacara melarungkan sesaji ke kawah Gunung Bromo. Kegiatan inilah yang paling menarik bagi para turis. Ribuan warga Tengger melempar sesaji berupa kambing, ayam, beras, bunga, bahan makanan, dan lain-lain ke dalam kawah. “Tahun ini saya berkorban sayur-sayur palawija dari hasil sawah, dan dua ekor ayam. Empat tahun lalu berkorban kambing,” ucap Kartono, warga Tengger di Desa Ngadisari.

Yadnya Kasodo merupakan upacara rituan tradisional masyarakat Tengger yang sudah berjalan beberapa abad.
Masyarakat berjalan menuju ke arah Gunung Bromo. Foto: Dok. unsplash

Diperkirakan, upacara Kasodo telah diadakan setiap tahun sejak abad 16. Tradisi itu muncul setelah keruntuhan dinasti kerajaan Majapahit (1293-1527). Kasodo adalah satu-satunya upacara adat Hindu Jawa skala besar yang masih berlangsung hingga kini. Konon, upacara ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat suku Tengger, yang menganggap dirinya adalah keturunan pasangan Roro Anteng dan Joko Seger, dua bangsawan Majapahit yang tinggal di Gunung Bromo setelah kerajaan itu runtuh.

Bertahun-tahun, pasangan Roro Anteng dan Joko Seger tidak memiliki keturunan. Hingga suatu saat mereka bertapa di atas puncak Bromo meminta kepada Tuhan agar diberi keturunan. Akhirnya, permintaan mereka dikabulkan. Roro Anteng melahirkan 25 anak. Sebagai rasa syukur, Roro Anteng dan Joko Seger melarungkan berbagai hasil pertanian dan harta kekayaan ke kawah Gunung Bromo setiap malam purnama bulan ke-10 tahun Jawa—tradisi yang kemudian diteruskan oleh anak-cucunya hingga kini.

Ke-25 anak Roro Anteng dan Joko Seger itulah yang menjadi cikal bakal keturunan suku Tengger. “Kasodo ini seperti acara reunian. Seluruh orang keturunan Tengger di mana pun berada, akan datang ke sini setiap perayaan Kasodo. Kini ada sekitar 125 ribu warga suku Tengger, tidak semua tinggal di sekitar Bromo,” ujar Bambang Suprapto, tokoh masyarakat Tengger di Desa Ngadisari.

Bambang menjelaskan, banyak orang Tengger tidak mau lagi menjadi petani, sehingga menekuni profesi lain dan tinggal di berbagai kota. Tapi setiap Kasodo, mereka kembali ke sini. Kasodo sebenarnya tidak hanya milik orang Tengger. Ribuan wisatawan datang ke Bromo mengikuti upacara Kasodo setiap tahun. Beberapa turis bahkan rela ikut bertarung di lereng kawah memperebutkan sesaji yang dilempar ke kawah. “Ngalap berkah Kasodo, kalau dapat barang dari sesaji Kasodo itu pertanda akan dapat keberuntungan baik,” ujar Sutikno, pedagang pasar dari Surabaya, yang mengaku setiap tahun selalu menghadiri upacara Kasodo. l Wahyuana

Tips Wisata Kasodo

1. Rangkaian upacara sudah digelar sepekan sebelum acara puncak. Untuk mendapatkan foto- dokumentasi budaya, manusia, dan panorama alam yang komplet, datanglah seminggu sebelum acara puncak dimulai. Biasanya atraksi wisatawan ke Bromo ditutup selama 3-4 hari atau selama masa puncak upacara Kasodo.

2. Kasodo menjadi ritual yang menarik perhatian banyak wisatawan. Rumah penduduk di sekitar Bromo akan dipenuhi pengunjung, sebaiknya pesan akomodasi sejak jauh-jauh hari.

3. Siapkan fisik secara prima karena Anda akan naik-turun gunung mengikuti iring-iringan warga Tengger dengan rute panjang dan medan terjal.

4. Jangan lupa membawa perlengkapan untuk menghadapi suhu 7-20 derajat Celsius.

Wahyu/TL/agendaIndonesia

*****

Bregada Keraton Yogya, Penjaga Tradisi Dari Abad 17

Bregada Keraton Yogya dalam persiapan menjelang Grebeg Sekaten

Bregada Keraton Yogya seolah menjadi simbol nyata hadirnya kerajaan atau kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Sejumlah orang bahkan mengibaratkan para bregada ini layaknya Queen’s Guard di Inggris. Sebuah simbol aristokrasi.

Bregada Keraton Yogyakarta

Alun-alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat siang itu berubah menjadi lautan manusia. Di kawasan titik nol kota Yogyakarta itu, ribuan orang dari dalam dan luar kota menanti jalannya prosesi keluarnya Kagungan Dalem Pareden atau gunungan dalam upacara Grebeg Sekaten. Sebuah prosesi tahunan dalam hitungan kalender Jawa.

Buat masyarakat Yogya, turunnya gunungan Grebeg Sekaten dianggap memiliki nilai turunnya berkah dari yang Maha Agung melalui para sultan. Sekaten sejatiya merupakan prosesi yang selalu digelar Keraton yang berdiri sejak tahun 1755 ini setiap tahunnya pada tanggal 6 hingga 12 Mulud berdasarkan Kalender Jawa.

Tentu saja, kita semua tahu, sekaten sendiri adalah bagian dari syiar agama Islam sejak zaman kerajaan Demak. Di Yogya, ada yang memaknai arti harfiah Sekaten dari kata Syahdatain, atau merujuk pada dua buah gamelan yang disebut Sekati yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga.

Dan di Yogyakarta, perayaan upacara Grebeg Sekaten selalu tak bisa dilepaskan dari simbol para bregada keraton. Merekalah para penjaga tradisi tersebut.

Saat ini, Keraton Yogyakarta memiliki 10 kelompok pasukan yang disebut sebagai bregada itu. Jumlah seluruh prajurinya sesungguhnya tidak terlalu besar, untuk tidak mengatakan jumlahnya kecil. Hanya sekitar 600 orang. Jumlah anggota tiap pasukan berbeda-beda. Bregada Nyutra, misalnya, hanya terdiri dari 64 orang.

Seperti siang itu, awal November 2019, sejak pagi-pagi sekali ratusan orang sudah hadir di dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Persiapan Grebeg Sekaten memang selalu sejak dini hari dilakukan ke 10 bregadadi Pracimosono, di sisi barat Pagilaran Kraton Yogya. Kraton Yogyakarta memang selalu mengeluarkan seluruh 10 bregadanya untuk mengawal pelaksanaan grebeg.

Bregada itu sendiri dibentuk pada masa Hamengkubuwono I, sekitar abad 17. Dalam perkembangan zaman, keberadaan bregada-bregada ini mengalami pasang surut. Di zaman Sri Sultan Hamengkubuwono II, misalnya, tercatat pasukan kraton ini mengadakan perlawanan bersenjata hebat menghadapi serbuan pasukan Inggris pada Juni 1812.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono III, Inggris membubarkan pasukan Kraton Yogyakarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani Hamengkubuwono III dan Sir Thomas Raffles, Yogyakarta tak dibenarkan punya pasukan bersenjata. Bahkan pada masa kolonial Belanda, mereka dilucuti dan tak punya arti secara militer.

Sampai pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, masih ada 13 kesatuan prajurit kraton, hingga dibubarkan seluruhnya oleh pemerintah pendudukan Jepang pada sekitar tahun 1940-an. Baru pada 1970 para prajurit keraton dihidupkan kembali. Hanya saja, dari 13 kesatuan yang pernah ada, baru 10 bregada yang diaktifkan kembali. Kesepuluh kesatuan itu adalah Wirobrojo, Dhaeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Mantrijero, Prawirotomo, Ketanggung, Nyutro, Surokarso dan Bugis. Mereka semua kemudian dilibatkan dalam acara-acara tradisi kraton.

Pimpinan tertinggi dari keseluruhan bregada adalah seorang Manggalayudha atau Kommandhan/Kumendham. Sebutan lengkapnya adalah Kommandhan Wadana Hageng PrajuritManggalayudha bertugas mengawasi dan bertanggung jawab penuh atas keseluruhan pasukannya. Ia dibantu seorang Pandhega atau Kapten Parentah, dengan sebutan lengkapnya Bupati Enem Wadana Prajurit, yang bertugas menyiapkan pasukan.

Setiap pasukan atau bregada dipimpin oleh perwira berpangkat Kapten. Kecuali bregada Bugis dan Surakarsa yang dipimpin oleh seorang Wedana.

Pandhega didampingi oleh perwira yang disebut Panji (Lurah). Perwira ini bertugas mengatur dan memerintah keseluruhan prajurit dalam bregada. Setiap Panji didampingi seorang Wakil Panji. Sementara itu, regu-regu dalam setiap bregada dipimpin seorang bintara berpangkat sersan.

Seperti pagi itu. Bregodo Surakarso dan Bugis berjalan ke arah Bangsal Ponconiti menunggu kehadiran gunungan dari arah Magangan untuk kemudian mengawali kirab gunungan. Prosesi kirab dipimpin Manggalayudha dengan delapan bregada yang berjalan dengan Lampah Macak dari Magangan ke Siti Hinggil di Alun-alun Kidul (Selatan). Saat berjalan ini, senjata tombak yang sebelumnya ditutupi berubah menjadi ‘dicurat’ atau dibuka.

Di Siti Hinggil semua mata tombak yang terbuka kembali ditutup. Lalu rombongan berjalan lagi menuju Alun-Alun Utara di mana upacara Grebeg Sekaten akan dimulai. Kagungan Dalem Pareden berupa tujuh gunungan pun dikeluarkan, yakni tiga Gunungan Lanang; satu gunungan, Wadon; satu gunungan Gepak; satu Dharat; dan satu gunungan Pawuhan. Urut-urutan baris Grebeg Sekaten adalah prajurit Bugis, abdi dalem Sipat Bupati, lalu tujuh gunungan dan bregada Surakarsa.

Ada prosesi tembakan salvo saat gunungan melewati delapan bregada yang berbaris di Pagilaran Kraton Yogyakarta. Barisan Grebeg Sekaten berjalan ke arah Beringin kembar di tengah Alun-Alun Utara. Lima gunungan, yaitu satu gunungan Lanang, gunungan Wadon, Gepak, Dharat dan Pawuhan berbelok ke barat sebelum melewati beringin kembar dikawal bregodo Surakarsa dan Bugis. Sedang dua gunungan Lanang berjalan melewati Beringin kembar lalu ke utara, terus menuju Kepatihan, yakni saat ini menjadi kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Satu gunungan Lanang lain, berbelok ke timur menuju Puro Paku Alaman. Empat gajah Puro Paku Alaman berada di depan gunungan.

Setelah upacara Grebeg Sekaten berupa turunnya gunungan sebagai persembahan raja untuk rakyatnya selesai, tugas ke 10 bregada Kraton pun usai. Sampai waktunya tradisi memanggil mereka kembali.

****

Masyarakat Tengger di Bromo, 2 Abad Kearifan Lokal

Pegunungan Semeru dengan latar depan Gunung Bromo. Foto husniati salma unsplash

Masyarakat Tengger di Bromo, biasa disebut wong Tengger atau wong Brama, adalah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi sekitaran kawasan pegunungan Bromo-Semeru, Jawa Timur.   Penduduk suku ini menempati sebagian wilayah kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Probolinggo, dan Kabupaten Malang.

Masyarakat Tengger di Bromo

Di sebuah pagi yang dingin berkabut segerombolan anak bermain di jalanan Desa Ngadisari, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Beberapa anak di antara bocah cillik yang pipinya bersemu merah terlihat memiliki rambut berbeda. Sekilas seperti potongan rambut yang sengaja dibuat gimbal layaknya gaya anak-anak muda perkotaan yang meniru penyanyi reggae Bob Marley. Bahkan ada yang dibiarkan panjang dibuat buntut. Berlarian di antara rumah-rumah berdinding kayu bercat warna-warni.

Desa Ngadisari merupakan gerbang menuju kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Di desa ini lah masyarakat Tengger menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Umumnya mereka beragama Hindu.

Pada 100 tahun sebelum masehi, penganut Hindu Waisya yang beragama Brahma tinggal di daerah pesisir. Seseiring masuknya agama Islam di Jawa pada 1.426 M, mereka terdesak dan mencari tempat yang sulit terjangkau oleh pendatang. Pegunungan Tengger menjadi pilihan mereka yang akhirnya membuat kelompok yang dikenal dengan Tiang Tengger (orang Tengger).

Masyarakat Tenger di Bromo

Mitos lainnya, suku Tengger merupakan keturunan terakhir dari peradaban Majapahit. Mereka adalah keturunan Roro Anteng, putri Raja Brawijaya dan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama Tengger diambil dari akhir nama kedua pasangan itu, yaitu ’Teng’ dari Roro Anteng dan ’Ger’ dari Joko Seger.

Asal muasal upacara Kasodo juga berawal Roro Anteng dan Joko Seger yang berjanji menyerahkan putra terakhir mereka kepada Dewa. Sampai saat ini suku Tengger masih teguh menjunjung tinggi adat-istiadat Hindu lama. Budaya yang ditinggalkan nenek moyang tetap dilestarikan walau  kunjungan wisatawan dari berbagai belahan bumi tidak pernah berhenti setiap harinya.

Kepercayaan yang tinggi terhadap ajaran leluhur menanamkan nilai-nilai luhur dan mengajarkan toleransi dalam memandang keberagaman. Masuknya beragam agama, bagi mereka merupakan konsekuensi bahwa Suku Tengger hidup di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah dan berkembang. Berkembangnya zaman dan semakin beragamnya agama tidak juga melunturkan adat istiadat yang selalu dipegang teguh masyarakat Tengger. Masyarakat tetap melaksanakan ritual adat yang sedari dulu diturunkan leluhur mereka, seperti Pujan, Melasti, Piodalan, Entas-entas, Unan-unan, Karo, hingga yang banyak dikenal yaitu Yadnya Kasada.

Maka tidaklah aneh jika kemudian ada kubah mesjid, salib, mau pun patung Budha terlihat di sebuah desa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Di desa yang di kala menjelang pagi suhunya mencapai 10 derajat Celcius, terlihat sebuah kearifan lokal yang menunjukkan toleransi terhadap keberagaman.

Lalu kapan sebaiknya kita mengadendakan kunjungan ke Bromo? Seharusnya, bulan-bulan Juni-Agustus saat memasuki musim kemarau adalah waktu terbaik datang ke tempat ini. Umumnya saat itu cuaca cukup cerah, sehingga salah satu agenda menikmati atraksi matahari terbit dengan latar pegunungan Bromo-Semeru bisa jelas.

Namun, karena pengaruh pemanasan global, perubahan cuaca kadang kala menjadi tidak pasti. Pagi terang benderang, siang hari hujan turun begitu deras. Atau sebaliknya. Pun, terkadang meskipun curah hujan tidak begitu tinggi, namun cuaca tidak bersahabat. Pemandangan matahari terbit di Penanjakan walapun tetap terlihat indah, tapi bukan sunrise yang terindah.

Selain soal waktu, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah cara pencapai kawasan Bromo. Ada banyak pilihan, mulai dari jalur udara, jalan darat dengan moda kereta api, atau menggunakan jalan darat. Baik menumpang bus atau kendaraan pribadi.

Bila memilih kereta api, wisatawan bisa memilih menuju kota Malang terlebih dahulu, baru ke Bromo. Atau, pilihan lain, berangkat ke Surabaya lalu dilanjutkan ke Bromo. Beberapa kereta dari Jakarta yang bisa membawa ke Malang antara lain kereta ekonomi Jayabaya maupun Matarmajaya. Untuk kereta dari Jakarta ke Surabaya pilihannya lebih banyak lagi, mulai dari kelas ekonomi hingga kereta eksklusif. Tergantung budget yang disiapkan.

Dari stasiun Malang, perjalanan bisa dilanjutkan dengan angkutan umum ke Bromo dari Terminal Arjosari. Dari terminal ini, wisatawan menuju Terminal Bus Bayuangga di Probolinggo dan berganti angkutan desa ke Cemoro Lawang, Ngadisari.

Jika pilihannya melalui Surabaya, nantinya dari kota ini wisatawan menyambung perjalanan menggunakan kereta ke Probolinggo. Dari Stasiun Probolinggo perjalanan sama seperti dari Malang, bisa naik angkutan kota ke Terminal Bus Bayuangga untuk ganti angkutan desa ke arah Cemoro Lawang, ke arah Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura sebagai titik masuk ke wilayah Gunung Bromo. Ada baiknya, wisatawan tiba di Terminal Bayuangga sebelum sore, karena makin sore jumlah kendaraan umum semakin sedikit.

Di Ngadisari, wisatawan bisa menikmati suasana pegunungan dan bertemu dengan masyarakat Tengger yang umumnya bercocok tanam. Perbincangan umumnya menyenangkan, karena mereka adalah masyarakat yang terbuka.

Kalau ingin sesekali menikmati matahari terbit di Penanjakan, wisatawan bisa memilih menyewa jip atau sepeda motor. Jika perjalanan dilakukan lebih dari 3 orang, lebih murah kalau sewa jip. Tapi bila yang melakukan perjalanan hanya sendiri atau berdua, lebih hemat jika menyewa sepeda motor.

****

Iket Kepala Pria, 1 Tradisi Unik Nusantara

Iket kepala pria seperti sudah menjadi tradisi bagi laki-laki di Indonesia.

Iket kepala pria seperti menjadi ciri khas yang unik bagi pria di Indonesia. Ini terlihat hampir merata di banyak daerah. Dikembangkan dari iket, misalnya, blangkonbagi laki-laki Jawa terus melekat dalam keseharian masyarakatnya.

Iket Kepala Pria

Penutup kepala yang merupakan paduan busana tradisional untuk lelaki Jawa ini memang unik. Bahkan antara Yogyakarta dan Solo saja, yang bersebelahan, terdapat perbedaan model. Blangkon Yogya dikenal dengan benjolan di bagian belakang. Pada dasarnya blangkon adalah iket, kain batik persegi yang diikatkan di kepala dengan teknik tertentu. Nah, agar lebih efisien dan praktis, para seniman mengembangkannya menjadi blangkon. Hanya dibutuhkan separuh bahan kain iket untuk menghasilkan blangkon. Kini, para pria tinggal memasang blangkon di kepala tanpa perlu repot menyimpulkan ujung-ujung kainnya. Tidak jauh berbeda dengan mengenakan topi.

Jenis penutup kepala tradisional ini memang beragam. Blangkon Yogya dilengkapi mondholan, yakni tonjolan di belakang. Sebenarnya tonjolan tersebut menunjukkan rambut pria pada masa silam yang umumnya panjang. Jadi, ketika mereka menggunakan iket, muncul tonjolan di bagian belakang sebesar telur ayam. Para perajin di Yogyakarta, seperti yang bisa ditemukan di pabrik blangkon Santi, Kampung Bugisan, Kecamatan Wirobrajan, mengisi bagian belakang blangkon dengan serbuk kayu sisa gergajian.

iket kepala pria menjadi ciri khas yang unik bagi pria di Indonesia.
Blangkon dikembangkan dari iket kepala dan menjadi khas iket pria di Jawa. Foto: Dok. shutterstock

Blangkon buatan pabrik yang beroperasi sejak 1975 ini tidak hanya khas Yogya, tapi juga Solo, yang dikenal dengan model trepes. Ini adalah modifikasi dari model Yogya. Dibikin seperti itu karena para pria kemudian lebih banyak berambut pendek. Di perusahaan keluarga tersebut, setiap hari diproduksi sekitar 140 blangkon yang dijual ke berbagai daerah di dalam maupun luar Pulau Jawa.

Kampung Bugisan RT 32 RW 06, Kecamatan Wirobrajan, sejak 1974 memang dikenal sebagai kampung blangkon. Dulu, hampir semua warga di sini berprofesi sebagai pembuat blangkon. Kebanyakan produknya dijual di Pasar Beringharjo dan Jalan Malioboro, Yogyakarta. Kini hanya beberapa yang bertahan, salah satunya pabrik blangkon Santi.

Tidak ada yang memastikan kapan blangkon mulai hadir di Pulau Jawa. Hanya, penutup kepala ini disebut sebagai hasil pengaruh budaya para pendatang, seperti pedagang Gujarat yang umumnya keturunan Arab. Serban penutup kepala khas para pedagang Gujarat menginspirasi orang Yogya mengenakan iket, yang kemudian dikembangkan menjadi blangkon.

Tidak hanya Yogyakarta dan Jawa Tengah yang memiliki penutup kepala khas. Di Jawa Timur dan Jawa Barat pun bisa ditemukan hal serupa. Di Parahyangan aksesori ini dikenal dengan nama bendo atau iket, yang tertutup hingga bagian belakang dan biasa dipadukan dengan busana tradisional. Bentuknya kurang-lebih mirip dengan blangkon Solo. Saat ini, bendo hanya dipakai dalam upacara pernikahan atau pementasan tari tradisional. Tidak seperti di Yogya dan Solo, di mana masyarakatnya, apalagi di lingkungan Keraton, masih lekat dengan penutup kepala yang satu ini.

iket kepala pria memiliki berbagai model, tergantung kebiasaan daerah di mana masyarakat itu tinggal.
Iket kepala pria menjadi ciri khas saat menjalankan kegiatan-kegiatan tradisional masyarakat di daerah. Foto: Dok. shutterstock

Iket Sunda hingga Lombok

Blangkon ataupun bendo terbuat dari iket atau kain persegi yang digunakan untuk menutup kepala. Berbagai model blangkon tersebar di Jawa, Bali, hingga Lombok. Di setiap daerah, penutup kepala ini disebut dengan nama berbeda. Masyarakat Jawa Barat mengenalnya dalam tiga nama, yakni iket, totopong,sertaudeng, sementara orang Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menyebutnya iket. Adapun di Pulau Dewata dikenal sebagai udeng dan di Pulau Lombok disebut sapuk.

Di Jawa Barat, tradisi mengenakan penutup kepala ini dilestarikan dengan membentuk kelompok khusus, yakni Komunitas Iket Sunda (KIS), yang pernah menggelar perhelatan Jambore Iket Sunda internasional di Pangandaran, Ciamis. Di tataran Sunda, totopong dulu dikenal terdiri atas beberapa jenis: barangbang semplak, julang ngapak, kuda ngencar, parekos nangka, parengkos jengkol, maung heuay, porteng, dan kekeongan, yang di daerah Banten disebut borongkos keong.

Iket tetap memiliki model baru karena masyarakat terus berkreasi. Yang tergolong anyar adalah candra sumirat, maung leumpang, dan hanjuang nantung. Penutup kepala ini dikenal masyarakat Jawa Barat pada 1450 atau masa Kerajaan Padjadjaran. Selain dikenakan untuk melindungi kepala dari terik mentari, pada masa kolonial iket muncul sebagai identitas pejuang atau simbol perlawanan terhadap penjajah.

Bentuk iket terbilang unik. Sebab, kain persegi ini tidak sepenuhnya bercorak batik. Sebagian kain yang dipotong secara diagonal berwarna polos, sisanya bercorak. Corak batik yang digunakan biasanya sida mukti, kumeli, katuncar mawur, eurih, kalangkang ayakan, kangkung, kawung ece, dan lain-lain. Jenis ikatannya juga menunjukkan kelas masyarakat, dari bangsawan hingga rakyat biasa. Berarti, di masa lalu totopong menggambarkan status sosial. Dan satu lagi, setiap bentuk ikatan mengandung filosofi sendiri-sendiri.

Ikat kepala pun melekat dalam kehidupan masyarakat Bali. Para pria di pulau ini menggunakan udeng dalam kegiatan sehari-hari, termasuk saat beribadah. Tidak perlu repot untuk mengenakan udeng karena sudah siap pakai. Tersedia dalam beragam ukuran, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Perajin ikat kepala ini bisa ditemukan di Karangasem, salah satunya Desa Sidemen, yang memang warganya dikenal sebagai perajin kain. Udeng tersedia dalam model polos atau bercorak, seperti batik dan metalik. Sisi kanan udeng lebih tinggi daripada yang kiri. Sengaja dibuat asimetris untuk mengingatkan bahwa kita harus melakukan kebajikan, yang biasanya disimbolkan dengan sisi kanan.

Mungkin karena dipengaruhi tradisi Bali, warga Lombok turut mengenakan ikat kepala, yang dikenal dengan nama sapuk. Modelnya hampir serupa dengan di Bali, yang sangat berbeda dari jenis ikat kepala di Pulau Jawa.

Masyarakat Yogya pun tidak lepas dari kreasi dalam soal iket. Agustus tahun lalu, mahasiswa dan dosen Universitas Negeri Yogyakarta membuat jenis iket berbeda. Dibikin lebih praktis, tapi masih mempertahankan gaya khas Yogya. Iket ini fleksibel karena ukurannya bisa disesuaikan dengan sang pemakai, selain terlihat lebih modis dan bisa dipadu dengan beragam busana. Iket hasil modifikasi tersebut menggabungkan corak lurik dan batik. Lurik digunakan di bagian bawah dan pengikat, sedangkan batik di atas serta samping. Sungguh modis.

Rita N./TL/agendaIndonesia

*****

Wayang Ental Bali, Unik Setinggi 1 Meter

Wayang Ental Bali, wayang kontemporer dari ujian akhir mahasiswa ISI Bali. Foto: Kura Kumara Agung

Wayang Ental Bali pasti belum sepopular wayang kulit, wayang golek atau bahkan wayang potehi. Meskipun sama-sama wayang, wayang ental memang baru muncul belakangan dibanding saudara-saudaranya yang lain.

Wayang Ental Bali

Wayang memang dikenal sebagai salah satu kebudayaan khas Indonesia yang sudah lahir sejak beberapa abad lalu. Setiap daerah bahkan memiliki jenis wayang yang berbeda-beda, seperti wayang kulit dari Yogyakarta dan Solo, wayang golek dari Jawa Barat, hingga wayang orang dari Jawa Tengah.

Dari beberapa jenis wayang di Indonesia, muncul satu wayang kontemporer baru yang cukup unik dari Bali yaitu wayang ental. Bisa dibilang wayang ental merupakan inovasi terbaru dalam dunia pewayangan.

Wayang Ental Orang orangandari Daun Ental Disbud Denpasar
Pertunjukan wayang ental Bali. Foto: Kuta Kumara Agung

Dari segi pembuatannya, wayang ental Bali berbeda dari wayang pada umumnya, yakni yang ini terbuat dari daun lontar. Sedangkan dari segi bentuk, wayang kontemporer dari Bali ini memiliki berbentuk tiga dimensi dan memiliki jenis dan gaya pergelarannya tersendiri.

Wayang ental Bali didesain khusus menampilkan badan fisik wayang secara utuh. Mulai dari tangan, kaki, hingga kepala yang semuanya dapat digerakkan. Sangat berbeda dengan wayang pada umumnya yang hanya menampilkan bentuk mini dan digerakkan pada tangannya saja.

Selain bentuknya yang tiga dimensi, wayang ental Bali juga dibuat berukuran jauh lebih tinggi dibandingkan wayang pada umumnya. Biasanya wayang ental memiliki tinggi 1 meter dengan lebar 30 cm. Salah satu keunikan dari wayang ental terdapat pada ekspresi wajah dari setiap tokoh pewayangan.

Wayang ental lahir dari pemikiran kreatif I Gusti Made Dharma Putra pada 2016. Wayang ental ini sesungguhnya pertama kali dibuat Dharma dalam rangka tugas akhir kelulusannya di Institut Seni Indonesia (ISI) Bali.

Pada awal pembuatannya, wayang ental Bali ini tidak langsung berbentuk tiga dimensi, namun dua dimensi. Barulah pada 2018 wayang ini berubah bentuk menjadi tiga dimensi.

Gusti Made Dharma Putra mengaku bahwa pembuatan wayang ental terinspirasi dari teknik permainan Bunraku dari Jepang. Kemudian teknik tersebut dikombinasikan dengan gaya wayang tradisional Bali, Tetikesan.

Secara desain, wayang ental dibuat dengan menyerupai manusia, yang menggabungkan teknik ulatan sumpe dan ulatan Jepang dalam pembuatannya. Ulatan adalah ekspresi wajah yang digunakan dalam membentuk wayang.

Wayang Ental Bali Antara News
Wayang Ental digerakkan oleh dua orang. Foto: Milik AntaraNews Bali

Selain itu, perbedaan antara bunraku dan wayang ental terletak pada bahan bakunya. Jika bunraku menggunakan tiga helai daun lontar, wayang ental hanya menggunakan dua helai saja

Dalam sekali pagelaran wayang ental dilakukan dengan durasi 45 menit. Kalau wayang pada umumnya dimainkan oleh satu orang dalang dengan pencahayaan khusus, wayang ental tidak demikian. Untuk memainkan wayang ental harus digerakkan oleh dua orang dalang.

Salah seorang dalang bertugas memegang bagian kaki wayang, sedangkan satu lagi menggerakan bagian kepala dan tangan wayang ental. Kedua dalang tersebut harus berkomunikasi selama pertunjukkan berlangsung agar wayang ental bisa bergerak selaras. Selama pertunjukkan dalang juga tidak diperbolehkan untuk bergerak berlebihan agar fokus penonton tetap pada wayangnya saja.

Pembeda wayang ental dari jenis wayang pada umumnya juga terletak pada pagelaran yang berlangsung. Tak seperti wayang kulit yang ditampilkan di belakang kelir, wayang ental sebaliknya. Dalam setiap pagelarannya wayang ental ditunjukkan tampak badan wayang secara utuh, serta bisa bergerak dari tangan, kaki, dan kepala.

Sebagai pelengkap, dalam setiap pagelaran wayang ental biasanya ditambahkan juga tarian pendukung alur cerita. Tarian ini bertujuan untuk menyuguhkan sebuah pementasan wayang yang menarik dan berbeda dari umumnya.

Total, dalam satu pagelaran wayang ental dibawakan oleh 20 seniman, mulai dari penggerak wayang (dalang), penari, hingga pembaca kisah.

Tokoh dan cerita dalam wayang ental juga tidak biasa. Jadi tidak hanya dari bentuk dan cara mainnya yang unik, dari segi penceritaan dan penokohan wayang ental juga memiliki perbedaan dari wayang pada umumnya. Pada pagelaran wayang umumnya nama-nama tokoh yang digunakan merujuk pada cerita Mahabharata.

Sedangkan, pada wayang ental nama tokoh menyesuaikan dari cerita yang akan dimainkan. Sejauh ini total ada delapan tokoh wayang ental yang telah dipentaskan, yakni tokoh Sutasoma, Purusdha, Dasabahu, Mredah, Delem, Sangut, Tualen, serta satu buah kayonan.

Inovasi dalam pagelaran wayang ental ini diharapkan dapat menarik minat para generasi muda pada seni pewayangan. Harapannya pecinta wayang di Indonesia terus bertambah dari hari ke hari.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Tradisi Tawuran, 4 Yang Menggembirakan Warga

Tradisi tawuran salah satunya Perang Tomat ala Lembang

Tradisi tawuran ternyata tak selamanya berkonotasi buruk. Di sejumlah daerah di Indonesia, ada tradisi antarwarga yang terkesan seperti tawuran, tapi semuanya tanpa kebencian. Bahkan yang ada justru kegembiraan dan harapan untuk kesejahteraan. Berikut empat di antaranya.

Tradisi Tawuran

Tawur Nasi ala Rembang

Jika tawuran antarpelajar biasanya menggunakan batu, tawuran di Desa Pelemsari, Rembang, Jawa Tengah, tidak. Para pemuda desa tawuran dengan cara saling lempar nasi bungkus. Aksi saling lempar itu diadakan setiap tahun sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah.

Setiap tahun, warga Desa Pelemsari menggelar tradisi itu bertepatan dengan sedekah bumi sebagai wujud rasa syukur keberhasilan panen warga setempat. Ratusan warga saling melempar nasi satu sama lain, selain sebagai rasa syukur, tradisi ini juga dianggap menjadi tolak bala bencana agar tidak menimpa warga sekitar.

Sebelum digunakan dalam prosesi tawuran, nasi sebelumnya diarak mengelilingi desa. Kemudian para sesepuh desa berkumpul untuk membacakan doa-doa terhadap nasi yang akan digunakan sebagai alat tawuran. Dalam pemilihan hari pelaksanaan tawur nasi, perlu perhitungan khusus.

Warga desa setempat mengaku mengikuti tawuran dengan rasa suka cita. Saat tawur ya seling lempar nasi, tapi setelah nasinya habis, prosesi selesai, tidak ada dendam atau apa di antara mereka. Nasi-nasi yang tercecer dikumpulkan untuk pakan ternak. Mereka percaya hasil ternak yang diberi makan nasi hasil ‘tawuran’ akan melimpah, seperti panen.

Perang Topat di Lombok Barat

Jika di Rembang tawuran menggunakan nasi bungkus, massa di Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menggunakan ketupat. Karenanya, dinamakan Perang Topat. Tradisi yang dilaksanakan turun-temurun selama ratusan tahun di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, itu justru menjadi simbol persaudaraan dan kebersamaan antara umat Islam dan Hindu. Acara ini membawa misi perdamaian dalam keberagaman budaya dan kepercayaan.

Acara dimulai sejak pukul 17.00, disebut Rarak Kembang Waru (waktunya gugur daun pohon waru di sore hari). Masyarakat percaya, ketupat yang digunakan untuk saling lempar bisa membawa berkah. Ritual diawali dengan upacara persembahyangan di tempat pemujaan masing-masing (Hindu dan Islam Wetu Telu). Kemudian mereka ke halaman yang dilanjutkan dengan adegan saling melempar menggunakan ketupat antara para peserta upacara.

Kemudian, ritual ini dilakukan dengan cara saling melempar topat atau ketupat antara peserta yang satu dengan yang lainnya secara beramai-ramai. Biasanya upacara sakral ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Purnama Sasih ke Pituq menurut kalender Sasak atau jatuh sekitar bulan November dan Desember.

Usai perang, mereka akan berebut ketupat sisa perang untuk dibawa pulang, ditaburkan di sawah bagi para petani agar lahannya subur, bisa juga ditaruh di tempat dagangan bagi para pedagang agar dagangannya laris. Ritual budaya Perang Topat adalah suatu upacara yang mencerminkan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas karunia yang telah diberikan dalam bentuk kesuburan tanah, cucuran air hujan dan hasil pertanian yang melimpah.

Lempar Tomat ala Lembang

Tak hanya di Spanyol, Indonesia juga punya tradisi lempar tomat. Tepatnya, di Kampung Cikareumbi, Desa Cikidang, Lembang, Bandung, Jawa Barat. Tradisi lempar tomat ini merupakan rangkaian acara ruwatan atau hajat bumi yang dilakukan oleh masyarakat setempat, yang kebanyakan adalah petani sayuran. Hal ini untuk mengungkapkan syukur sekaligus membuang sial.

Sebelum ritual, biasanya di jalan-jalan desa dijejerkan puluhan keranjang bambu berisi tomat. Jangan salah, yang dipakai adalah tomat berkualitas buruk, ini sebagai simbol membuang sial dan sifat buruk manusia. Tomat-tomat itulah yang akan digunakan sebagai amunisi. Sementara tomat dikumpulkan, warga, baik laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda, bersiap-siap menyambut pertarungan.

Sebagai pembuka, 10 warga yang ditugaskan menadi prajurit saling berhadap-hadapan, mereka terlebih dulu membawakan tarian simbol pertarungan. Setelah selesai, para prajurit bergabung dengan warga dan menyuruh mereka melempar tomat ke siapapun yang ada di hadapannya. Seluruh warga yang telah bersiap menuruti arahan prajurit, maka seketika dimulailah perang tomat yang meriah itu.

Digunakan tameng dari anyaman bambu sebagai penghalau lemparan dari lawan. Tomat yang digunakan jumlahnya mencapai 7 kuintal, bahkan lebih. Setelah aksi selesai, para peserta berjoget bersama diiringi musik Sunda.

Mebuug-buugan Dari Badung

Tradisi saling lempar lumpur ini sempat vakum puluhan tahun dari Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Disinyalir, warga malu melakukannya karena dahulunya dilakukan tanpa busana. Kini itu, tradisi dibangkitkan lagi. Namun para peserta hanya bertelanjang dada dan mengenakan kain khas Bali, yang dilipat hanya menutup kemaluan.

Mebuug-buugan berasal dari kata ‘buug’, yang artinya tanah atau lumpur. Mebuug-buugan berarti interaksi menggunakan tanah atau lumpur. Tradisi unik ini digelar usai perayaan hari Nyepi lewat perang lumpur. Warga saling melempar lumpur atau tanah liat yang sudah lembek.

Tradisi ini sarat dengan makna filosofi. Ia bertujuan menetralkan sifat buruk ini hanya dilakukan oleh laki-laki, mulai anak kecil hingga orang tua. Setelah berperang lumpur, mereka membersihkan diri di Pantai Kedonganan.

Andry T./Dok TL

Seni Kampung Badud, Warisan Tahun 1868

Senin Kampung Badud

Seni Kampung Badud, rasanya hampir tak ada orang dari luar kawasan Pangandaran yang tahu. Ini memang kampung yang masih agak terisolasi di Kabupaten Panganaran, Jawa Barat, namun ia memiliki tradisi seni sejak ratusan tahun silam. Buat, sebagian orang, kesenian ini mungkin terasa asing. Namun, ia memiliki ragam kesenian Sunda yang cukup lengkap.

Seni Kampung Badud

Hening tadinya membalut Dusun Margajaya, Desa Margacinta, Pangandaran, Jawa Barat. Namun mendadak riuh ketika rombongan pengantin sunat dengan pemain musik, yang mengenakan pangs –pakaian pria tradisional Sunda–melintas jalan dusun, siang itu. Suara musik dog-dog, angklung, gendang, dan gong muncul silih berganti, dan langsung memecah keheningan.

Pemain topeng juga tak kalah semangat. Meski menggunakan topeng lengkap dengan kostum kakek-nenek, macan, babi hutan, kera, dan lutung, mereka tetap bergoyang mengikuti irama dengan enerjik.

Perjalanan rombongan terhenti saat mereka tiba di tempat hajatan. Begitu pula dengan alunan musik. Semua pemain musik menghentikan atraksinya. Suasana kembali sunyi. Namun tak berlangsung lama. Setelah sesaji berupa ayam bakar, minyak kelapa, telur, kopi, teh, dan lainnya digelar, doa-doa dalam bahasa Sunda dipanjatkan, musik pun kembali mengalun. Bau kemenyan menyeruak ke udara. Semua menyatu dalam keriuhan.

Pemain topeng, yang menggunakan kostum kera dan lutung, langsung lincah di tengah arena. Gerakan tubuhnya mirip dengan hewan, merangkak, melompat, terkadang menggaruk-garuk tubuh. Orang yang bertugas sebagai pawang sibuk menenangkan mereka.

Belum selesai, kini muncul pemain topeng yang menggunakan kostum macan dan babi hutan merangsek arena. Gerakan tubuhnya menyerupai hewan yang sama dengan kostumnya. Tak hanya bergerak, sang macan mengambil sesaji dan memakannya.

Lain halnya dengan pemain topeng kakek-nenek. Meski sama-sama kerasukan, keduanya bergerak lebih tenang layaknya orang yang memang sudah lanjut usia. Kendati begitu, sang pawang tetap saja sibuk menyadarkan mereka saat acara mulai berakhir. Kini giliran doa untuk pengantin sunat dipanjatkan. Beras dan permen dilemparkan ke tubuh pengantin sunat oleh orang yang dituakan di dusun tersebut.

“Inilah yang dinamakan kesenian badud,” ujar H. Adwidi, Ketua Badud Rukun Sawargi kepada Traveloungeyang berkesempatan menyaksikan langsung atraksi tersebut. Menurut Adwidi, seni badud diciptakan pada 1868 oleh Ki Ijot dan Ki Ardasim. Dua tokoh petani Dusun Margajaya itu, menurut Adwidi, awalnya menginginkan sebuah hiburan menjelang panen. “Hiburan yang ditujukan sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya. “Dari keinginan itulah dibuat topeng-topeng hewan, ditambah iringan musik agar semakin menghibur,” ucapnya.

Meski awalnya diadakan saat panen tiba,  Adwidi menyebutkan, seni badud belakangan makin berkembang. Tak hanya menjelang panen, seni badud juga digelar saat pernikahan atau khitanan. Sebab, kesenian dinilai memiliki warisan kesenian leluhur tersebut. Dusun Margajaya sampai sekarang dikenal dengan sebagai Kampung Badud. Seiring dengan berjalannya waktu, kesenian ini terus dilestarikan dan diajarkan turun-temurun.

Untuk mencapai kampung yang asri ini tidak mudah. Dari jalan raya Cijulang, Pangandaran, kendaraan yang saya tumpangi memasuki jalan desa sejauh 8 kilometer dengan kontur jalan naik-turun dan berkelok-kelok. Kami melewati ladang, kebun, dan hutan.

Ini adalah jalur yang cocok bagi pengunjung yang senang berpetualang. Namun kendaraan yang saya tumpangi harus berhenti di ujung jembatan gantung. Sebab, jembatan gantung yang dinamakan Jembatan Pongpet oleh warga setempat itu hanya bisa dilalui kendaraan roda dua atau berjalan kaki.

Jembatan sepanjang 63 meter ini menghubungkan Kampung Margajaya dengan Desa Margacinta. Tak jauh dari jembatan, telah berdiri sebuah saung pementasan seni badud. “Desa Margacinta lahir pada 1870, jauh sebelum Indonesia merdeka. Desa ini awalnya merupakan gabungan antara Desa Kolot dan Dusun Balengbeng. Kendati begitu, sampai hari ini Kampung Margajaya masih terisolasi. Margajaya belum bisa dilewati kendaraan roda empat,” ujar Edi Supriadi, Kepala Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran.

Namun Edi yakin, jika pemerintah daerah ikut membantu memperbaiki akses jalan, seni badud akan menjadi daya tarik wisata budaya. Tentu akan mendukung Kabupaten Pangandaran yang mencanangkan diri menjadi kabupaten pariwisata. l

Andry T./P. Mulia/Dok. TL

Tanjidor Grup 3 Saudara Mengalun Ikuti Zaman

Tanjidor grup 3 saudara, warna kesenian Betawi

Tanjidor Grup 3 Saudara mengalun mengikuti zaman, meskipun kini kian jarang meramaikan pesta pernikahan, tapi dinanti di acara-acara kantor pemerintahan.

Tanjidor Grup 3 Saudara

Suara piston, trombon, dan klarinet khas musik Betawi itu kerap terdengar saat saya tinggal di sekitar Rawa Belong, Jakarta Barat, pada 1990-an. Kala ada tetangga yang menggelar pesta pernikahan, lantunan lagu-lagu lawas dari kesembilan pemain tanjidor pun langsung mengundang warga untuk datang. Asyiknya menyaksikan pengantin dan tentunya para seniman bercelana pangsi dengan sarung di leher yang memainkan alat-alat musik jadul.

Kian lama kian jarang terdengar. Hingga saya temukan kembali di panggung di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, juga acara budaya, dan tentunya yang mencuat manakala ibu kota negeri ini merayakan ulang tahunnya. Tanjidor atau tanji, demikian Sait, 71 tahun, dari kelompok tanjidor Tiga Saudara, menyebutnya. Sebenarnya yang asli, menurut dia, adalah tanji. “Ciri khas tanji itu seragam. Terus harus lengkap ada sembilan orang,” katanya. Menjadi tanjidor kalau ada tambahan sinden. “Sinden itu jidoran, ada ngibing juga,” ia menambahkan.

Grup Tiga Saudara yang berdiri sejak 1973 itu kadang-kadang diminta tampil lengkap dengan penyanyi dan penari, yang biasanya diambil dari sanggar lain. Kadang tak melulu penari Betawi. Ada juga jaipongan, dan tentunya tembang-tembang Sunda untuk pengiringnya.

Para pemainnya umumnya berjumlah 7-9 orang. Instrumen yang digunakan adalah piston, klarinet, tenor, trombon, bas, tambur, beduk, panil, dan kecrek. Namun secara umum dibagi dua jenis, yakni alat musik tiup dan pukul, meski ada juga perkusi, yang diwakili oleh kecrek. Dalam komposisi yang lebih lengkap, ditambahkan gong dan kempul.

Yang menjadi ciri khas adalah bas. Bentuknya melingkar dan, saat pemainnya beraksi, alat musik itu membelit tubuh. “Tenaganya harus gede,” ujar Saman, sang peniup. Alat ini pun termasuk barang paling antik di antara perangkat yang ada. Sudah beberapa kali diperbaiki karena tak menghasilkan suara yang prima lagi. Di dekat logonya, ada merek dan tahun produksi—MJH Kessels “Jilburg” Bass 1894. Benar-benar sudah kuno.

Gampang-gampang susah memainkan orkestra tanjidor. Itu karena tanjidor tak ada partitur khusus, yang bisa mempermudah ketika mempelajarinya secara sistematis. Lagu dan iramanya diwariskan dari generasi ke generasi berdasarkan pengalaman mendengar dan merasakan. “Iramanya di hati kita sendiri,” ujar Sait. Karena itu, menurut dia, latihan menjadi hal utama. “Kalau latihan semalam dua jam saja, seharusnya dua bulan udah bisa satu lagu,” katanya meyakinkan. Sayangnya, tak semua pemuda dan anak-anak telaten dalam soal ini. Meski demikian, kini di markas grup tanjidor di Gang Kecapi, Jagakarsa, tak hanya pemain berusia 60-an yang berkumpul, tapi para pemuda pun mulai tampil.

Sait menyebutkan, lagu-lagu yang paling sering dibawakan adalah lagu-lagu Betawi dan Sunda, seperti Jali-jali dan Kicir-kicir. Namun biasanya setiap pertunjukan akan dibuka dengan maras. Lagu-lagu yang dibawakan memang lagu lama, tidak ada lagu baru. Dari alat musik yang tersedia pun tak bisa lahir tembang anyar. Dulu, memang ada lagu-lagu campuran, seperti Portugis dan Belanda, tapi kini sudah tak lagi dilantunkan.

Biasanya, pentas terbagi dalam dia sampai tiga babad yang membawakan maras, kemudian disusul lagu-lagu Betawi, ditambah tembang Sunda. “Biasanya dari jam 9 pagi sampai 4 sore. Lagu Betawi biasanya di pembukaan,” Sait menuturkan. Cuma, memang, jadwal mentasgrup tanjidor semakin jarang. Kebanyakan penyelenggara keriaan di kampung-kampung Betawi saat pernikahan dan khitanan memilih organ tunggal atau orkes dangdut. “Kalah dah bersaing dengan dangdut,” ujarnya.

Akhirnya, hanya acara-acara khusus yang menjadi langganan Tiga Saudara, selain masih ada beberapa perhelatan di Gandul, Jakarta Selatan. Kebanyakan panggilan saat acara di kampus, sekolah, dan kantor pemerintah daerah. Tiga Saudara sebenarnya bukan satu-satunya tanjidor di Jakarta Selatan. Masih ada grup lain di Warung Buncit dan Cijantung. Juga di Jakarta Barat, Jakarta Timur, Depok, Tangerang dan sekitarnya, hingga ke wilayah Bogor. l


Warisan Portugis

Abad ke-18 sering disebut sebagai awal kelahiran tanjidor. Dibawa oleh bangsa Portugis ketika masuk ke negeri ini. Kata tanjidor dinyatakan berasal dari bahasa Portugis, “tanger”, yang dalam bahasa Indonesia berarti bermain musik. Di Portugal, kesenian ini biasanya dimainkan pada saat pawai militer atau upacara keagamaan. Adapun pemainnya disebut tangedor. Tak mengherankan kalau kemudian nama yang merebak adalah tanjidor. Namun grup musik ini kemudian lebih dikenal lagi pada zaman penjajahan Belanda. Benar-benar merebak pada abad ke-19.

Pemainnya merupakan budak-budak dari tuan tanah dari Negeri Kincir Angin. Karena itu, mereka dikenal juga sebagai Slaven-orkes. Grup dibentuk karena para penguasa itu membutuhkan hiburan. Valckenier, salah seorang Gubernur Jenderal Belanda pada zaman itu, tercatat memiliki grup musik yang terdiri atas 15 pemain alat musik tiup, ditambah pemain gamelan, pesuling Cina, dan penabuh tambur Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta.

Ketika penjajah kembali ke negerinya, kelompok musik itu tak langsung bubar. Mereka bertahan meski kemudian tembang-tembang tak lagi bersentuhan erat dengan Belanda dan Portugis. Lebih fokus pada lagu-lagu Betawi bercampur Sunda. Ketika masa penjajahan, yang mereka bawakan antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Cakranegara, dan Welmes. Irama lebih pada mars dan waltz. Sedangkan lagu-lagu Betawi yang dimainkan di antaranya Jali-jali, Surilang, Cente Manis, Kicir-kicir, Sirih Kuning, Stambul, dan Persi. Sementara tembang Sunda semisal Kangaji dan Oncom Lele.

Pada 1950-an, kebanyakan grup tanjidor membuat pentas keliling alias ngamen untuk mencari nafkah. Mereka tampil di depan rumah-rumah elite di daerah Menteng, Kebayoran Baru. Hanya saja, aksi seni mereka tiba-tiba dipangkas oleh keputusan Pemda DKI Jakarta pada 1954, yang melarang grup tanjidor main di pusat kota. Mereka pun akhirnya memilih tampil di pinggiran kota. Karena itulah, perkembangannya terjadi di daerah Tangerang, Depok, dan Bogor. l Berbagai Sumber

Rita N./Nunu N./Dok. TL