Desa Adat Tenganan Pegringsingan, bagi sebagian wisatawan yang pernah berkunjung, identik dengan upacara adat Perang Pandan. Sebuah tradisi yang digelar rutin setiap tahun.
Desa Adat Tenganan
Desa ini terletak di Kecamatan Mangis, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, desa ini hanya berjarak 10 kilometer dari obyek wisata Candi Dasa. Dekat juga dengan Pelabuhan Padang Bai.
Lokasinya memang tersembunyi di balik bukit dan hutan, tapi hal tersebut tidak menyurutkan niat wisatawan untuk berkunjung. Apalagi Tenganan adalah satu dari sedikit desa yang masih memegang teguh aturan adat Bali Aga, yang disebut Awig-awig. Sejak abad ke-11, peraturan itu diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Kekunoan ini menarik rasa penasaran orang awam untuk bertandang.
Saat ini, terdapat tiga desa Bali Aga. Selain Tenganan, ada Trunyan dan Sembiran. Bali Aga merupakan sebutan bagi desa yang masih mempertahankan aturan tradisional yang diwariskan nenek moyang dalam kehidupan sehari-hari, termasuk soal bentuk dan besar bangunan serta pekarangan. Posisi bangunan dan pura pun dibuat dengan mengikuti aturan yang berlaku turun-temurun itu.
Setiap tahun, desa ini sesak dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara saat digelar Perang Pandan atau dalam bahasa setempat disebut Mekare-kare. Ini adalah prosesi kultural paling ekstrem yang pernah saya saksikan. Dengan bertelanjang dada, bersarung, dan mengenakan udeng khas Bali, dalam sebuah lingkaran kecil dua pemuda saling menyabet punggung lawan menggunakan pandan berduri. Meskipun tangan lain memegang tameng rotan untuk pertahanan, luka dan darah tidak terhindarkan.
Tradisi ini memang tak pernah menyebabkan pertengkaran ataupun memicu dendam berkepanjangan. Sebab, semua merupakan bagiandari upacara Usaba Sambah, yang rutin dilakukan oleh penduduk Desa Tenganan setiap tahun pada sasih kalima penanggalan Bali. Mekare-kare dilakukan sebagai lambang pemujaan dan penghormatan terhadap Dewa Indra, sang Dewa Perang.
Sebagian wisatawan lain mungkin akan mengingat Desa Tenganan sebagai penghasil kain tenun Pegringsingan yang sangat cantik dan bernilai ekonomi tinggi. Sama halnya dengan berbagai daerah lain di Indonesia, proses penenunan bukanlah sesuatu yang mudah dikerjakan dalam waktu singkat. Maka, tak mengherankan jika harga kerajinan ini terkadang membuat mulut menganga. Terlebih, penduduk desa adat ini harus menaati berbagai pakem walaupun hanya untuk membuat sehelai kain.
Kain tenun Pegringsingan dibuat berdasarkan nilai-nilai spiritual Bali Aga, yang mereka anut. Nilai itu diekspresikan dalam warna merah, hitam, dan putih serta motif-motif khas. Pegringsingan atau Gringsing dalam bahasa setempat bermakna “tidak sakit”. Jadi, dalam sehelai kain ini ada doa dan kepercayaan untuk hidup sehat alias waras. Sering kali, kain ini dikenakan para gadis desa saat melangsungkan upacara adat.
Sunyi dan damai adalah impresi kedua saat saya bertandang ke Desa Tenganan di kala tidak ada ritual tradisional apa pun. Ketika itu, saya memang iseng bergerak ke timur Bali dengan sepeda motor dari Ubud bersama kawan. Transportasi umum menuju Desa Tenganan memang minim. Biasanya, wisatawan menyewa kendaraan dari Denpasar dan menempuh perjalanan selama 2-3 jam.
Setelah memarkir kendaraan, pengunjung wajib mengisi buku tamu terlebih dulu tepat di sebelah gapura desa. Meskipun tak sedang menggelar prosesi, mesin penenun tetap berputar dan tangan- tangan lincah para perajin masih setia melukis di atas daun lontar.
Tanpa riuh wisatawan, saya lebih bisa menikmati arsitektur kuno Tenganan, yang masih bertahan hingga zaman serba digital ini. Penduduk desa itu memang tak banyak. Mereka tinggal di rumah beratap tumpukan daun rumbia. Para penenun, di bagian pintu masuk rumah, akan menggantung beberapa kain tenun untuk menarik perhatian pengunjung yang datang.
Jika diperhatikan, rumah-rumah ini berukuran relatif sama, pun dengan bentuk dan tata ruang di dalamnya. Hampir semua bangunan dibuat menggunakan batu bata merah dan tanah. Tentu, dalam hal pem- bangunan tempat tinggal, pasti ada aturan adat yang telah disepakati secara turun-temurun.Pada beberapa titik, pengunjung akan melihat beberapa tanda larangan keras untuk memburu burung dan ikan di sekitar desa adat. Sebagai penganut teguh ajaran Tri Hita Karana, masyarakat Desa Tengana memang selalu berusaha menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam
TL/agendaIndonesia
****