Desa Tegallalang Bali di Gianyar, makin digemari orang setelah Ubud yang makin ‘sesak’. Desa ini sejatinya tak jauh dari Ubud, dengan pemandangan utama tanah persawahan tumpuk, terasering. Secara bercanda kami suka menyebut paling tidak ada 11 undakan sawah. Ia bertumpuk dengan bentuk yang tak berbentuk. Mengikuti kontur tanah, perbukitan dan lembah desa tersebut.
Desa Tegallalang Bali
Ubud masih diselimuti embun. Masih terlalu pagi untuk tiba di daerah sejuk ini. Apalagi nila langsung melaju ke DesaTegallalang, Kabupaten Gianyar. Dari Denpasar, daerah tersebut dapat dicapai dalam 1,5 jam berkendara. Sedangkan dari Ubud hanya 25 menit. Di Desa Tegallalang Bali, Anda akan melihat keindahan undakan padi di depan mata. Berada di seberang kafe-kafe yang berjajar di tebing, pesawahan menjadi suguhan khas di desa ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, turis lokal dan asing berbondong-bondong datang. Karena terlalu pagi, gerai-gerai suvenir dan oleh-oleh yang berjajar di sepanjang Jalan Raya Tegallalang masih tutup. Demikian juga dengan kafe-kafenya.
Tapi justru dalam keheningan, saya benar-benar bisa mencecap suasana khas pedesaan. Sayangnya, saya datang di masa yang kurang tepat. Padi belum lama dipanen. Walhasil, persawahan benar-benar kosong. Say hanya menemukan seorang ibu yang tengah mengambil rumput untuk ternaknya. “Sebenarnya, kalau sawah seperti ini, di sebelah sana juga ada. cuma lebih jauh dan kedalaman,” ujarnya sembari menunjuk ke arah yang berlawanan dengan Ubud. Saya hanya tersenyum. memang soal sawah dengan terasering indah, Bali sebenarnya memiliki pilihan berlimpah.
Setelah menghirup udara segar, menyusuri pematang sawah, mencermati seorang petani tua yang memeriksa sudut-sudut persawahan, saya pun meninggalkannya dan berniat suatu saat akan datang kembali. Ternyata kesempatan kedua itu datang tak lama kemudian. Kali ini saya singgah siang menjelang sore. Tidak terasa keheningan seperti yang dirasakan sebelumnya. Kios-kios memamerkan kain warna-warni, juga beragam suvenir. Jalanan pun terasa sesak. Sejumlah mobil dan bus diparkir di tepi jalan. Kali ini saya malah merasa enggan turun.
Untung pepadian seperti memanggil-manggil. Saya pun turun dari kendaraan dan berbaur dengan turis lain. Masih terasa terik mentari di tengah embusan angin sejuk. Berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut, Desa Tegallalang Bali memang menawarkan hawa segar. Kini deretan kafe terlihat membuka diri kepada tamu. Tersedia pula kursi kayu biasa hingga kursi rotan dengan bantalan empuk yang bikin orang bisa duduk santai dan nyaman. Kebanyakan kafe didesain menggunakan bahan alam, seperti bambu atau kayu dan atap-atap dari daun-daun ilalang, termasuk kamar kecil yang menggunakan bebatuan.
Secangkir kopi khas lokal bisa menjadi pilihan untuk teman menikmati sawah berterasering indah di berbagai sisi lembah. Semilir angin kembali bertiup. Saya kini tak lagi turun ke bawah dan menapaki pematang sawah. Cukup duduk manis, mencoba tak peduli kelompok wisatawan lain agar bisa menyimak udara sejuk dan pemandangan yang hijau. Bila ingin minuman segar, ada air kelapa langsung dari tempatnya. Bisa jadi dari pohon-pohon kelapa yang tumbuh di antara pematang sawah.
Semakin sore rupanya semakin ramai. Terasa asik ternyata ketika udara tidak terlalu terik. Cuma, saya merasa saatnya bangkit. Sebelum kembali ke kendaraan, ada yang menarik di deretan kios itu: hasil pahatan khas Bali. Rupanya itu merupakan hasil karya para seniman desa kecil yang tak jauh dari Tegallalang, yaitu Dusun Pakudui. Di sana, orang-orang dikenal sebagai seniman pembuat pahatan Garuda, meski yang dipajang di gerai-gerai seni itu beragam bentukan, mulai hewan, kursi dan meja, hingga ornamen lainnya.
Tegallalang rupanya dulu dikenal sebagai padang ilalang nan luas. Nama desa itu berasal dari kata ‘kucara jenggala’ yang terdiri atas tiga kata ‘kuca’, ‘ra’, ‘jenggala’. Kuca berarti padang ilalang, ra bermakna luas, dan jenggala berarti tegalan. Daerah ini bisa menjadi bagian perjalanan Anda bila ke Ubud maupun ke destinasi wisata Kintamani. Tentu merupakan kenikmatan sendiri menatap undakan sawah dengan lambaian daun kelapa di beberapa titik di sela perjalanan panjang keliling Pulau Dewata. l
Rita N./Dok. TL