Kain songket Palembang menjadi salah satu kain tradisional yang seakan wajib dikoleksi oleh orang Indonesia. Banyak yang memburunya jika tengah berkunjung ke ibukota Sumatera Selatan itu. Diburu meskipun harganya hingga puluhan bahkan konon ratusan juta.
Kain Songket Palembang
Songket adalah sejenis kain tenun tradisional Melayu di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darusalam. Ia bisa digolongkan dalam model tenunan brokat, yakni ditenun menggunakan tangan dengan benang emas dan perak. Benang logam yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau.
Kain songket umumnya merupakan kain tenun mewah yang dikenakan saat resepsi, perayaan, atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, yakni hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi dari kain songket yang lazim dipakai sultan dan pangeran serta bangsawa kesultanan melayu.
Secara tradisional dan dari sejarah Indonesia, kain songket yang berkilau keemasan itu senantiasa dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya. Kerajaan maritim terbesar di Indonesia pada abad ke-7 hingga ke-13 dan berpusat di sekitar Sumatera Selatan. Mungkin itu sebabnya, pusat kerajinan songket paling terkenal di Indonesia adalah kota Palembang.
Pada awalnya, songket adalah kain mewah yang secara origin memang memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas. Benang ini kemudian ditenun dengan tangan menjadi kain.
Kata songket secara bahasa berasal dari istilah sungkit, sebuah kata yang berasal dari bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang artinya mengait atau mencungkil. Pada proses pembuatannya, songket memang menggunakan cara mengaitkan dan mengambil sejumput benang, dan kemudian menyelipkan benang emas.
Pada bahasan lain, ada pula yang menyebut jika kata songket kemungkinan berasal dari kata songka atau songko atau peci khas Palembang. Songko ini dipercaya sebagai produk atau barang pertama yang tenunannya menggunakan benang emas.
Dari cerita rakyat Palembang yang dikisahkan turun-temurun, songket adalah perpaduan dari tiga hal, yakni kain sutra yang dibawa pedagang Tiongkok dan mampir ke Sriwijaya; emas yang dibawa pedagang India dan Timur Tengah, dan kemahiran orang Melayu dalam menenun.
Kain songket Palembang memiliki ciri khas pada motifnya dan itu terlihat cukup lebih rumit. Karena itu, untuk menghasilkan selembar kain songket Palembang, seorang pengrajin bahkan bisa menghabiskan waktu tiga bulan untuk pengerjaannya.
Pembuatan songket Palembang biasanya menggunakan bahan baku benang sutera asli. Benang ini biasanya berwarna putih sebelum diberi lapisan emas. Benang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat tenun bingkai Melayu yang biasa disebut dengan istilah dayan.
Semua bagian dayan, yaitu cagak dan beliro, mempunyai fungsi masing-masing untuk menarik benang, untuk kemudian diganti benang yang lain. Begitu seterusnya hingga benang-benang yang ada menjadi satu kesatuan membentuk motif pada kain songket.
Biasanya, satu lembar songket dikerjakan oleh satu orang. Penyebabnya, pembuatnya harus hapal urutan tarikan benang. Jika tidak, meskipun kainnya tetap bisa selesai, namun bentuk motif-motif di dalam kain songketnya menjadi tidak sempurna. Tentu menjadi merepotkan, sebab beberapa kain songket tradisional sumatera memiliki pola yang mengandung makna tertentu.
Songket harus melalui delapan tahapan sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun secara tradisional. Dan songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia diukur dari segi kualitas dan tampilannya, karena itu ia sering disebut sebagai Ratu Segala Kain.
Dahulunya para penenun songket umumnya berasal dari desa atau pedalaman, karena itu tidak mengherankan jika motif-motif kainnya dipolakan dengan flora dan fauna lokal. Motif ini juga dinamai dengan kue lokal Melayu seperti sarikaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan kegemaran raja-raja.
Songket memiliki motif-motif tradisional yang sudah merupakan ciri khas budaya wilayah penghasil kerajinan tersebut. Misalnya, motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai Putiah, Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak, Silala Rabah, dan Simasam adalah khas songket Pandai Sikek, Minangkabau.
Hal yang mungkin harus menjadi perhatian adalah, beberapa pemerintah daerah telah mendaftarkan hak intelektual motif songket tradisional mereka. Sayangnya, dari 71 motif songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif songket Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis, Nampan Perak, dan Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar.
Saat ini, songket yang dijual tidak melulu dalam bentuk kain bentangan, tapi tak sedikit yang sudah teraplikasi dalam berbagai produk fashion, seperti pakaian, selendang, maupun kerudung. Adakah songket dalam koleksi kainmu?
agendaIndonesia
*****