Kota Pontianak adalah kota yang tepat dilewati garis Khatulistiwa atau equator, atau garis lintang 0 derajat. Ia berada di tengah-tengah titik utara dan titik selatan bumi. Memiliki banyak tradisi Melayu, kota ini kaya dengan warisan kuliner Tionghoa.
Kota Pontianak
Menuju ibukota Kalimantan Barat ini tentu saja paling mudah melewati jalur udara melalui Bandara Supadio. Dari Bandara Soekarno Hatta memerlukan penerbangan dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Supadio sendiri berjarak sekitar 18 kilometer dari pusat kota Pontianak.
AgendaIndonesia berkesempatan mengunjungi kota ini akhir tahun lalu. Sesungguhnya agak nanggung datang ke Pontianak pada bulan Desember, sebab saat itu kotanya sedang tak terlalu ramai. Kota ini ramai justru saat perayaan Imlek, dan dua minggu setelahnya, yakni perayaan Cap Go Mei. Maklum saja, sekitar 32 persen warga kotanya adalah masyarakat keturunan Tionghoa. Lebih besar dari warga Melayu yang sekitar 26 persen.
Saat Imlek, yang biasanya jatuh di akhir Januari atau awal Februari, suasana kota sungguh meriah. Cobalah pada hari-hari itu mampir ke pasar-pasar tradisional. Warna-warni merah mendominasi suasana pasar. Dan, sama seperti ketika Lebaran di kota-kota di Jawa, saat Imlek banyak warga saling mengunjungi.
Agama tak menghalangi tradisi saling kunjung dan makan besar. Meskipun banyak warga Tionghoa yang sudah memeluk agama Katolik, selain Budha dan Konghucu, Imlek adalah perayaan tahun baru semi. Dirayakan oleh semuanya. Di kota ini bahkan warga non-tionghoa pun ikut saling mengunjungi. Sungguh suasana kekeluargaan yang hangat.
Tapi sudahlah, karena bukan saat perayaan Imlek, ketika sampai Pontianak, dengan mencarter mobil, kami berpikir untuk pertama-tama mengunjungi ikon kota ini: Tugu Khatulistiwa. Dari Bandara kami menuju ke wilayah Sungai Raya atau warga setempat menyebutnya Sei raya. Saat ini sudah ada dua jembatan yang menghubungkan wilayah Pontianak kota dan Pontianak Utara. Keduanya membentang sepanjang sekitar setengah kilometer, 420 meter dan 560 meter. Jembatan I dulunya adalah jembatan tol, namun pada 1990-an dibuka untuk umum tanpa berbayar.
Kota Pontianak juga dilalui Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia dan Sungai Landak. Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia yang melintasi 5 kawasan, termasuk Pontianak. Panjang sungai ini mencapai 1.143 kilometer, sedangkan lebarnya sekitar 70-250 meter. Sebutan sungai Kapuas diambil dari daerah Kapuas Hulu yang mengaliri aliran sungai tersebut.
Dulunya, sebelum tahun 1982, warga Pontianak Kota yang ingin pergi ke wilayah lain di Kalimantan Barat harus menyeberangi Kapuas dengan kapal feri menuju wilayah Siantan. Dari sana baru perjalanan darat menuju Singkawang, Sambas, atau Kapuas Hulu dilanjutkan.
Tugu Khatulistiwa ini rasanya wajib kunjung, karena sesuai julukannya, Pontianak dikenal sebagai Kota Khatulistiwa karena posisinya dilalui garis lintang nol derajat bumi. Di utara kota ini, tepatnya Siantan, terdapat Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat yang dilalui garis lintang nol derajat bumi.
Tugu Khatulistiwa bentuknya sederhana saja, sebuah menara dari bahan kayu belian berwarna hitam dengan dua lingkaran di mana salah satunya memiliki anak panah yang menandakan lintasan titik 0 derajat lintang bumi. Menara ini dibangun oleh tim ekspedisi geografi yang dipimpin seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda.
Sesungguhnya tugu atau menara Khatulistiwa ini biasa saja. Namun, memang ada sensasi lucu ketika berdiri di bawahnya. Berdiri tepat di tengah-tengah lingkaran utara-selatan bumi. Sayangnya belum ada penelitian, adakah efek berada di titik 0 bagi manusia. Jika ada, dan positif, bisa jadi daerah ini akan makin ramai mendatangkan wisatawan.
Dari tugu, kami kembali ke kota. Hari itu kami cuma berencana menikmati kuliner Pontianak. Pertama-tama tentu saja kwetiau, atau masyarakat Pontianak menyebutnya mi tiau. Sama saja, keduanya merujuk pada bakmi dari tepung beras berwarna putih dan pipih lebar.
Ada beberapa pilihan restoran yang kondang di kota ini, tapi kami memilih Kwetiau Antasari. Dari namanya pasti sudah bisa diduga kalau lokasi berjualan rumah makan ini sekaligus menjadi nama atau branding dari rumah makannya ada di Jalan Antasari. “Ini sudah buka sejak aku kelas 2 SD,” kata Uke, seorang kawan yang menemani makan siang, itu artinya merujuk pada tahun 1972.
Kami siang itu memesan menu andalan, yakni kwetiau goreng spesial. Kata spesial ini merujuk pada kondimen yang terdiri dari bakso sapi gepeng, daging sapi, daging babat, sayuran hijau, tauge, kikil dan ditambahkan lagi telur mata sapi di atas kwetiau gorengnya. “Itu belum termasuk telur yang dicampur dalam gorengannya,” kata Uke sambil bercerita, jika pesan bungkus, maka bungkusannya masih menggunakan daun jati. Persis seperti puluhan tahun lampau.
Jika ingin mencoba kwetiau atau mitiau lain, ada pilihan Kwetiau Seroja Baru, juga Kwetiau Apolo. Yang terakhir ini, yang kami coba besoknya, terlihat lebih gelap karena faktor kecap.
Usai makan, kami lanjut ke tempat lain yang tak kalah terkenalnya di Pontianak: es krim Angi atau lebih dikenal dengan sebutan es krim Petrus, karena dengan dengan SMA Petrus. Tadinya mau mencoba kopi Asiang yang dekat dari Antasari, tapi warungnya penuh. Dan di tengah panas siang hari, es krim rasanya asik.
Es Krim Petrus ini ternyata juga sudah melegenda, sebab sudah melayani pelanggan sejak tahun 1950-an. Para pelanggan menyebut rasa es krimnya tidak berubah sejak pertama kali. Dan itulah yang menjadi daya tarik penikmatnya untuk kembali lagi dan lagi. Satu hal yang membuat banyak orang datang kembali untuk mencecap es krimnya adalah cara penyajiannya dengan menggunakan kelapa muda. Pilihan rasanya cukup banyak, mulai dari durian, cempedak, strawberi, nangka, vanila, coklat, dan beberapa lainnya.
Kami sempat mengunjungi hutan kota (Arboretum Sylva Untan) yang berlokasi di kawasan Universitas Tanjungpura. Hutan seluas 3,2 hektare ini memiliki koleksi tanaman khusus dari Kalimantan Barat, yaitu 190 jenis pohon, 86 anggrek, 176 perdu, dan tumbuhan bawah, dan sebagainya. Ada juga sarana untuk berlari, bersepeda, ekowisata, dan aktivitas outbound.
Sore menjelang malam hari, kami meluncur ke pinggiran sungai Kapuas, ada atraksi menarik berupa air mancur warna-warni. Untuk menikmati Kapuas, mampirlah ke Taman Alun Kapuas yang berlokasi di tepi Sungai Kapuas. Di tempat ini, pelancong bisa menikmati embusan angin Sungai Kapuas dan keindahan mentari tenggelam. Jangan risaukan urusan perut, sekitar Alun Kapuas banyak makanan jalanan yang lumayan.
Usai menikmati Kapus, bagi penikmat kopi, jangan lewatkan deretan kedai kopi di Jalan Gajah Mada. Salah satunya, Warung Kopi Liem yang buka dari malam hingga pagi.
*****