Kotagede Yogyakarta pusat kerajinan perak yang pernah jaya

Kotagede Yogyakarta sekarang mungkin tidak semeriah 15-20 tahun lalu, saat bis-bis besar pariwisata hilir mudik di jalan-jalan sempit kota kecamatan itu. Pada masa lalu, Kotagede merupakan satu spot yang tidak akan dilewatkan wisatawan yang berkunjung ke kota pelajar ini.

Kotagede Yogyakarta

Kotagede Yogyakarta sering dijuluki “Jewellry of Jogja” adalah sentra kerajinan perak terpopuler di Indonesia. Bahkan hingga kini. Di sana berdiri banyak toko-toko penjualan perak yang sudah dikenal hingga ke penjuru negeri.

Reputasi ini tentu  bukanlah hasil kerja tahunan. Kerajinan perak di Kotagede sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam berdiri, yakni pada abad ke-16. Pada waktu itu, abdi dalem kriya diperintahkan sultannya, Panembahan Senopati, untuk membuat perhiasan untuk kebutuhan kraton.

Saat masuknya Belanda ke Nusantara melalui perusahaan dagangnya, VOC, pada abad ke-16 itu juga, perdagangan kerajinan perak di Kotagede tumbuh semakin pesat. Waktu itu, banyak pedagang VOC yang memesan alat-alat rumah tangga dari emas, perak, tembaga, dan kuningan ke penduduk setempat di sana.

Kotagede merupakan sebuah wilayah yang memiliki nilai  sejarah di Kota Yogyakarta. Keberadaan pengrajin perak di kota itu mucul seiring dengan tumbuhnya pusat kerajaan itu. Saat pusat Kerajaan Mataram pindah ke Pleret, para pengrajin perak tetap tinggal di kota itu untuk melayani permintaan dari masyarakat umum.

Kotagede Yogyakarta menjadi ikon wisata dan budaya kota pelajar ini.
Kotagede Yogyakarta sama ikoniknya dengan tugu di pusat kota ini. Foto: Dok. shutterstock

Pecahnya kerajaan Mataram Islam menjadi Kraton Yogyakarta Hadiningrat dan Kraton Surakarta Hadiningrat berdampak pada kerajinan perak di Kotagede. Saat itu, sentra kerajinan itu harus melayani permintaan empat kraton sekaligus, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta, Kasunanan Surakarta, Puro Pakualaman, dan Puro Mangkunegaran.

Tradisi pembuatan kerajinan perak itu terus berlanjut hingga masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII di Kraton Ngayogyakarta.

Awalnya kerajinan perak di Kotagede Yogyakarta produknya hanya terbatas. Lama-kelamaan ia bertransformasi menjadi industri. Kedatangan Belanda membawa peran dalam mengubah wajah kerajinan perak, dan industrinya di sana. Ini terjadi karena ada perpaduan kultur barat dan timur.

Semula gaya ukiran perak Kotagede terinspirasi dari ukiran pada bangunan-bangunan kuno yang ada di Jawa, seperti di candi Prambanan dan lain-lain. Inilah keunikan Kotagede yang tak dimiliki daerah lain, yaitu seni ukir perak.

Industri perak Kotagede mulai berkembang dan dikenal pasaran dunia ketika para pengrajin perak di sana mulai berinteraksi dengan para pedagang dari bangsa Belanda. Waktu itu, para pedagang dari negeri kincir aingin itu memesan kebutuhan rumah tangga untuk orang-orang Eropa dengan bahan perak seperti sendok, garpu, sendok nasi, panci, piring, dan cangkir.

Dalam periode selanjutnya, kerajinan perak di Kotagede mengalami masa pertumbuhan yang luar biasa, tepatnya antara 1930-1940-an. Pada waktu itu muncul perusahaan-perusahaan baru pengrajin perak. Dari sisi produk, berbagai motif baru ukiran perak juga diciptakan. Bahkan kualitas hasil kerajinan perak ditingkatkan.

Berkembangnya perusahaan-perusahaan perak tersebut, juga disebabkan keberhasilan mereka mengembangkan kerja sama dengan mitra di luar negeri. Ekspor produk kerajinan perak Kotagede Yogyakarta pun mendunia.

Seluruh kerajinan perak yang dihasilkan para pengrajin di Kotagede tidak hanya unik dan indah, melainkan menjadi karya seni bernilai tinggi. Secara umum, kerajinan perak di Kotagede terbagi atas beberapa jenis seperti kalung, gelang, cincin dan anting, miniatur, dekorasi atau hiasan dinding, serta aneka kerajinan lainnya.

Kotagede Yogyakarta sebagai pusat pengrajin perak, selain produk-produknya, juga ditunjukkan dengan berdirinya Kunstambachtsschool atau Sekolah Seni Kerajinan Sedyaning Piwoelang Angesti Boedi yang didirikan oleh Java Instituut pada 1939. Dulunya, bangunan sekolah itu masih satu kompleks dengan Gedung Museum Sonobudoyo.

Dari murid-murid yang belajar di sekolah itu, lahir berbagai kerajinan perak yang unik. Sayangnya sekolah ini hanya meluluskan satu angkatan (1939-1941) karena pada tahun-tahun itu meletuslah Perang Dunia II.

Begitupun Kotagede Yogyakarta sebagai pusat kerajinan perak masih tumbuh. Bahkan mampu mengalami masa kejayaan ke dua pada era 1970 hingga 1980. Pada waktu itu para pengusaha perak di kota ini sering mengekspor produknya hingga mancanegara seperti Malaysia, Pakistan, Arab, dan Romania. Saat itu jenis kerajinan yang banyak dipesan adalah alat-alat makan.

Setelah era kejayaan di awal era 80-an, perlahan-lahan pesona Kotagede sebagai tempat kerajinan perak terus meredup. Kini, kerajinan perak di Kotagede mulai luntur. Kerajinan itu kini sedang mengalami surut dalam produksi. Bahkan saat ini para pengrajin tak bisa menjadikan perak sebagai tumpuan hidup keluarga.

Saat ini umumnya para pengrajin perak di sana hanya memasarkan produk di wilayah Yogyakarta dan sekitar pulau Jawa. Merekapun sering kali hanya mengandalkan pembeli yang datang ke gerai-gerai mereka saja.

Padahal pusat kerajinan perak ini masih memproduksi berbagai macam benda dari perak dan bentuknya juga unik dan keren. Harganya juga sangat terjangkau mulai dari Rp 10 ribu sampai jutaan rupiah tergantung besar kecilnya produk.

Kotagede Yogyakarta menjadi saksi keindahan produk-produk kerajinan perak.
Perajin perak Kotagede Yogyakarta sedang bekerja. Foto: Dok. shutterstock

Jenis kerajinan yang diproduksi berbagai macam dari cincin, kalung, gelang, andong, serta hewan-hewan unik lainnya. Dengan keunikan tersebutm rasanya Kotagede Yogyakarta masih bisa diandalkan menjadi destinasi wisata bagi pengunjung.  

Perlu dilakukan sejumlah pengembangan, dari segi desain, model, juga gaya pemasaran. Dari sisi wisata, mungkin ia bisa menarik lagi wisatawan yang ingin belajar membuat karyanya sendiri. Dengan demikian bis-bis besar akan kembali hilir mudik.

agendaIndonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi