Menikmati pulau Bintan di Kepulauan Riau sejatinya disarankan seorang teman setidaknya dalam tiga hari. Selain banyaknya wisata alam yang sangat layak dikunjungi, pulau ini juga memiliki sejumlah istiadat dan tradisi yang menarik. Juga kulinarinya.

Menikmati Pulau Bintan

Apa boleh buat, dalam kunjungan kali ini waktu yang tersedia hanya dua hari untuk mengitari seluruh Bintan. Tentu, sebisa mungkin. Itu pun di di hari pertama perjalanan sudah diganggu hujan. Rintik hujan sudah turun saat kaki baru menjejak di Bandara Raja Haji Ali Fisabilillah, Tanjung Pinang, ibu kota Kepulauan Riau. Untunglah, selepas tengah hari, matahari mulai muncul.

Dengan waktu kunjung yang sempit, sambil menunggu hujan reda, pilihan pertama menikmati Bintan kemudian adalah menjajal kuliner. Pilihannya ada di Tanjung Lanjut—restoran ikan laut di tepi sungai yang dihiasi gerombolan pohon bakau. Gonggong rebus, jenis siput laut yang menjadi ikon Tanjung Pinang, menjadi pilihan utama. Rasanya unik, mirip cumi-cumi.

Ketika hujan tak lagi mengganggu, perjalanan mengitari pulau dimulai. Tujuan pertama adalah wihara di Tanjung Uban, yang bisa dicapai dalam waktu sekitar 15 menit dari pusat kota. Tiba di Batu 14, istilah masyarakat setempat untuk menunjukkan jarak, semburat cahaya kuning keemasan menyinari jejeran patung Buddha dan Dewi Kwan In, yang mengapit kiri-kanan pelataran Vihara Avalokitesvara—salah satu wihara terbesar di Asia Tenggara.

Menikmati pulau Bintan salah satunya adalah wisata religi ke sejumlah vihara, juga ke Masjid besar.
Patung Buddha Tidur di Tanjung Uban, Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Foto: Dok. shutterstock

Perjalanan menyusuri jalanan aspal mulus di perbukitan menuju Senggarang, desa di pinggir pantai yang menjadi tempat awal kedatangan orang Tionghoa di Tanjung Pinang pada 1777-1784. Banyak kelenteng tua yang menarik untuk dikunjungi. Kerukunan beragama begitu terasa kental. Orang Melayu dan keturunan Tionghoa guyub berbaur. Sekolah Islam berdekatan dengan kelenteng.

Ada kelenteng tua yang unik karena ditutupi akar pohon. Agak susah mencari tahu nama kelenteng itu, warga sekitar malah menggelengkan kepala saat ditanya. Menurut literatur, namanya Kelenteng Tien Shang Miao.

Beberapa ratus meter dari sana, ada wihara yang dibangun pada 1790-an. Pintu gerbangnya dipulas merah. Kompleks Vihara Dharma Sasana itu tidak seluas Vihara Avalokitesvara Graha, tapi suasananya lebih tenang dan teduh karena terdapat pepohonan. Wihara ini terkenal dengan patung Dewi Kwan Im Seribu Tangan, selain patung naga, Buddha, dan beberapa dewa berwujud binatang.

Masih ada sejumlah kelenteng tua yang menarik di sini, tapi mengingat keterbatasan waktu, perjalanan dilanjutkan ke Vihara Ksitigarbha Bodhisattva. Viahara ini terkenal dengan 1.000 patung Buddha. Perjalanan dilakukan menuju bukit.

Di batu 13, Jalan Kijang, mobil yang kami tumpangi berbelok menuju bukit. Di puncak bukit, terlihat gerbang dengan empat tiang batu yang dililit ukiran naga, empat patung singa bersisik ikan di bagian atas, dan dua patung penjaga berparas garang memegang golok. Gapuranya dibikin mirip dengan tembok raksasa Cina. Di balik gapura itulah ditemukan Seribu Buddha.

Patung-patung Buddha berkepala plontos berjejer rapi dengan awan sebagai latar belakang. Patung-patung itu memiliki ukuran seragam, tetapi ekspresinya berbeda-beda, mengingatkan saya pada tentara Terakota di Cina. Semua patung tersebut dibuat oleh perajin Cina dan dikirim dengan kapal. Di bangunan lainnya, ada sebuah patung Buddha keemasan.

menikmati pulau Bintan tak lengkap tanpa mengunjungi Pulau Penyengat.
Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, Bintan. Foto: Dok. shuterstock

Ada satu lagi obyek wisata religi dengan suasana berbeda yang akan perlu dikunjungi, yakni Pulau Penyengat. Di pulau ini terdapat masjid dan makam para pembesar Kerajaan Riau Lingga. Berjarak 3 kilometer dari Tanjung Pinang, pulau ini bisa dicapai menggunakan perahu pompong hanya dalam 15 menit.

Di Penyengat, pengunjung bisa berjalan kaki jika cukup punya waktu dan tenaga, jika tidak bisa menyewa bemot atau becak motor untuk mengelilingi pulau berukuran sekira 2.500 x 750 meter ini. Di kampung yang bersih ini, dengan jalan berupa paving block, alat transportasi yang digunakan hanya sepeda motor dan sepeda kayuh.

Menurut sejarah, pulau ini merupakan mas kawin yang diberikan Sultan Mahmud kepada Engku Putri Raja Hamidah—anak Raja Haji Fisabilillah, yang juga dimakamkan di sini. Selain itu, ada makam Raja Haji Ali, pujangga yang membuat Gurindam Dua Belas, yang syairnya dituliskan di dinding makam Engku Putri. Peninggalan Kesultanan Riau lainnya adalah Istana Kantor—istana sekaligus kantor Raja Ali, Gedung Mesiu, benteng pertahanan, dan Balai Adat. Saya sempat membasuh muka dengan air sumur petak di bawah Balai Adat, yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit.

Ada pula Masjid Raya Sultan Riau, yang konon untuk membangunnya menggunakan adonan putih telur. Tak ada yang memastikan hal itu. Dibangun pada 1832 atas prakarsa Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdurrahman, masjid ini mempunyai empat menara dengan dua bangunan tambahan di kedua sisi. Masjid didominasi warna kuning.

Menikmati pulau Bintan salah satunya adalah mengunjungi pantai-pantainya yang indah.
Pantai Trikora di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Foto: Dok. shutterstock

Pukul dua siang, matahari berada di puncaknya. Saatnya mulai menikmati alam Bintan. Perjalanan dimulai dengan menikmati keindahan pantai di Tanjung Pinang. Banyak pilihan pantai berpasir putih di sini, misalnya di kawasan Lagoi, yang banyak diburu wisatawan Singapura. Tapi karena waktu yang sempit, pilihan jatuh ke Pantai Trikora, yang memiliki garis pantai sampai 25 kilometer. Pantai Trikora merupakan pantai terpanjang di Kepulauan Riau. Berada di wilayah Kabupaten Bintan, pantai ini berjarak 60 kilometer, sekitar satu jam berkendara, dari Tanjung Pinang.

Melintasi jalan nan mulus, Pantai Trikora di sisi kanan jalan. Pohon kelapa menghias kiri-kanan jalan. Batu-batu hitam sebesar rumah sesekali terlihat di ladang kelapa. Agak susah menemukan spot bagus di pantai publik karena lokasi indah rata-rata dikuasai resor. Atas dasar itu, akhirnya pilihannya memang mencoba masuk ke resor. Pilihannya adalah Bintan Cabana Beach Resort, yang memiliki pantai jernih dihiasi bebatuan besar. Beberapa pengunjung hotel asik berenang dan melompat di antara bebatuan.

Matahari mulai meredupkan cahayanya, waktunya menikmati kuliner khas Tanjung Pinang, yang terkenal dengan hidangan Melayu dan Cina. Pilihannya jatuh ke Akau Potong Lembu, salah satu sentra kuliner yang wajib dikunjungi di Bintan. Berada di kawasan pecinan, dekat dengan Pelabuhan Sri Bintan Pura, sentra kuliner ini buka dari sore hingga tengah malam. Soal harga, rasanya  terjangkau, sehingga tidak perlu merogoh saku terlalu dalam. Karena suasananya yang asyik, tak terasa sudah hampir tengah malam.

Rully K./TL/agendaIndonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi