Ogoh-ogoh identik dengan hari Nyepi, hari sakral bagi masyarakat hindu Bali. Ia diibaratkan nafsu atau hal buruk yang harus dilepaskan dari diri. Figur-figur ogoh-ogoh dulu seperti bentuk raksasa atau mahluk yang seram. Makin ke sini, bentuknya tidak melulu menyeramkan, tapi juga ada yang cantik atau lucu.

Ogoh-ogoh

Tahun 2021 ini mungkin Hari Raya Nyepi akan semakin sepi, sebab pawai ogoh-ogoh sudah dipastikan tidak diizinkan digelar merujuk pada situasi pandemi Covid-19. Tentu ada yang terasa ‘hilang’ bagi masyarakat Bali. Namun ini adalah situasi yang harus dihadapi. Artikel ini adalah kisah pelaksanaan ogoh-ogoh beberapa tahun silam.

Malam masih belum jatuh betul, masih ada sedikit cahaya ketika keramaian itu muncul di sejumlah banjar atau kampung di Bali. Tetabuhan dipukul. Patung raksasa dengan wajah menyeramkan, yang dikenal sebagai ogoh-ogoh, tampak menonjol di antara barisan pria dengan balutan kain kotak-kotak di bagian bawah tubuhnya. Busana tradisional itu dilengkapi udeng atau ikat kepala yang menjadi ciri pria Pulau Dewata.

Situasi itu adalah hal yang biasa saat menyambut Hari Nyepi, masyarakat menggelar Malam Pengerupukan atau Malam Penyepian. Boneka raksasa ogoh-ogoh memang khusus dimunculkan sehari sebelum Hari Raya Nyepi atau pada tilem sasih kesanga (bulan mati yang ke sembilan). Tahun 2021 ini, dalam kalender Masehi, jatuh pada 14 Maret.

Ogoh-ogoh merupakan simbolisasi menjauhkan hal-hal yang buruk bagi masyarakat Bali.
Pawai mengarak ogoh-ogoh di malam menjelang Hari Raya Nyepi di Bali. Foto: Dok. shutterstock

Sebelumnya, umat Hindu melakukan upacara yang disebut Bhuta Yadna dalam bentuk Mecaru mulai di tingkat keluarga, banjar, desa, hingga kecamatan. Tujuannya, mensucikan diri dari segala bentuk kotoran sekaligus memohon kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala, dan Batara Kala supaya mereka tidak mengganggu lagi. Ogoh-ogoh pun baru diarak saat senja mulai turun atau sekitar pukul 6 sore.

Ogoh-ogoh mungkin semcam seni patung dalam tradisi Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu, Bhuta Kala simbol kekuatan alam semesta dan waktu yang tidak terukur. Dalam perwujudannya digambarkan sebagai sosok yang menyeramkan. Biasanya berupa raksasa, terkadang juga makhluk hidup lain dalam penampakannya yang tidak biasa.

Banyak pula yang mengambil tokoh-tokoh pewayangan lengkap dengan fragmen tarinya. Belakangan, tak hanya ogoh-ogoh dalam tampilan yang menyeramkan yang diarak warga, ada juga yang cantik atau lucu serupa tokoh kartun di televisi.

Biasanya, ogoh-ogoh terbuat dari bahan yang ringan, seperti koran, kertas semen, styrofoam,dan kapas. Ini agar ketika sudah jadi ia jadi mudah diarak, termasuk oleh anak-anak. Sebab bentuknya umumnya gigantis. Besar sekali. Ada puluhan orang dari satu banjar yang ikut mengarak ogoh-ogoh dengan iringan musik, baik gong, gamelan, maupun baleganjur, alias bunyi-bunyian dari bambu, semisal kentongan. Terkadang dilengkapi penari serta lelucon, sehingga masyarakat benar-benar terhibur. Ingar-bingar gamelan, kentongan, dan bunyi-bunyian berlangsung dari sore hingga menjelang malam. Biasanya, ogoh-ogoh kembali ke banjar masing-masing sekitar pukul 22.00. Namun tak jarang arak-arakan dilakukan sampai larut malam.

Anak-anak dan orang dewasa ikut memeriahkan Malam Pengerupukan. Semua aktivitas tersebut baru berhenti total saat kulkul atau kentongan besar di banjarberbunyi. Itu tanda bahwa seluruh aktivitas harus disudahi. Akhirnya, setelah diarak, ogoh-ogoh dibakar atau dipralina. Diharapkan roh jahat yang ada dalam diri raksasa tidak mengganggu umat Hindu.

Sebagai karya seni, ogoh-ogoh tidak dibuat dalam semalam. Perlu persiapan sebulan. Sepulang bersekolah atau bekerja, para pemuda melakukan persiapan di balai banjar masing-masing. Tidak hanya membuat ogoh-ogoh, tapi mereka juga berlatih baleganjur. Lebih tepatnya, melakukan harmonisasi antara tarian ogoh-ogoh dan tetabuhan. Seminggu sebelumnya, latihan intensif dilakukan.

Atraksi inilah yang mengundang kekaguman wisatawan. Meski pada Hari Nyepi itu Bali seperti pulau tanpa kehidupan, banyak wisatawan datang sebelum perayaan. Prosesi ke masa hening menarik perhatian turis. Tepat di hari H, semuanya sepi dan sunyi. Hanya suara burung berkicau dan kukuruyuk ayam dari kejauhan yang terdengar begitu nyaring. Bahkan anjing pun ikut diam karena tidak ada orang yang melintas.

Hari itu suasana Bali benar-benar seperti pulau mati. Tidak ada aktivitas apa pun. Umat Hindu menyebutnya Catur Brata, yaitu amati geni (tidak ada cahaya atau api), amati lelungan (tidak bepergian), amati karya (tidak melakukan pekerjaan sehari-hari) dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Bagi yang mampu, dianjurkan juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadiHari ini biasanya digunakan untuk merenung agar menjadi manusia yang lebih baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

Ogoh-ogoh pada akhirnya dibakar setelah diarak keliling banjar, ini menyimbolkan hal-hal buruk menjauh dari masyarakat.
Pembakaran ogoh-ogoh di akhir pawai menandakan agar hal-hal buruk hilang dan enyah dari masyarakat Bali. Foto: Dok. shutterstock

Rangkaian Acara Sebelum Nyepi

Hari Raya Nyepi merupakan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan atau kalender Caka, yang dimulai pada 78 Masehi. Jatuh pada tilem kesanga atau bulan mati kesembilan, yang dipercaya hari penyucian para dewa di pusat samudra. Para dewa itu membawa intisari amerta atau air hidup. Untuk itu, umat Hindu memuja mereka. Tujuan utama peringatan Hari Raya Nyepi adalah memohon kepada Ida Sang Hyang Wishi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) untuk mensucikan Bhuana Alit,alam manusia mikrokosmos,dan Bhuana Agung, makrokosmos.

 Di samping Malam Pengerupukan dengan atraksi ogoh-ogoh, dua hari atau tergantung kesepakatan masyarakat adat setempat, sebelum Penyepian, ada kegiatan yang disebut Melasti atau Mekiis. Pada hari tersebut, semua sarana persembahyangan yang ada di pura diarak ke pantai atau danau. Sebab, laut atau danau dianggap sebagai sumber air suci yang bisa digunakan untuk mensucikan segala leteh atau kotoran yang ada dalam diri manusia dan alam. Selain menampilkan iring-iringan umat Hindu yang membawa sesajen dan benda sakral dari pura, ada suguhan kesenian. Orang-orang beriringan ke pantai atau danau sambil melakukan sembahyang.

agendaIndonesia/TL

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi