Maluk, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat yang menjadi pilihan saya menginap malam pertama di pulau yang berada di seberang Lombok ini. Tak jauh dari Taliwang, Maluk mempunyai pantai berpasir putih nan lembut. Pukul 06.30 pagi saya sudah menginjak obyek wisata ini. Huruf M A L U K menghiasi bagian depan pantai. Sepagi itu jajaran warung masih belum buka.
Pantai yang diapit dua bukit itu hening saat pagi ketika saya mencecap sinar mentari yang muncul dari balik Bukit Mantun di sisi utara. Menerobos hingga selatan yang dibatasi Bukit Balas. Segar dan hangat rasanya. Di tengah teluk, ada satu perahu nelayan mengais rezeki. Seorang pria berdiri di bagian depan dengan sebilah kayu panjang yang ia pukul keras ke laut. Rupanya, ia tengah menggiring ikan ke jaringnya. Suara motor perahu dan pukulannya pun memecah keheningan.
Sumbawa Barat, Surga Kecil Peselancar
Teluk yang tenang itu begitu menenteramkan. Namun, di salah satu sisinya, ternyata ada juga gulungan ombak yang digandrungi para peselancar. Dikenal sebagai ombak Super Suck, dan di depannya tersedia sejumlah akomodasi sederhana. Selepas mandi, melahap nasi kuning, saatnya menyinggahi pantai-pantai lain. Sumbawa Barat adalah surga bagi para pencinta pantai dan ombak. Maluk bukan satu-satunya. Sehari sebelumnya selepas senja, sebenarnya saya sempat mampir ke Pantai Benete, tepat di depan Pelabuhan Bennete. Penuh cahaya di malam hari karena merupakan dermaga khusus PT Newmont Nusa Tenggara.
Pagi itu bergaya bak para pemburu ombak, saya pun mencari pantai-pantai lain. Namun tentunya bukan untuk beraksi dengan papan seluncur. Saya hanyalah penikmat deburan ombak serta balutan pasir lembut di kaki. Perjalanan mengarah ke Sekongkang Barat. Seperti perjalanan dari Pelabuhan Poto Tano menuju Maluk, Jalan Raya Sekongkang pun cenderung sepi. Hanya sesekali bertemu dengan pengendara roda dua atau roda empat.
Kiri-kanan lahan berbukit-bukit dengan tanaman sebagian mengering. Sebagian dipenuhi pohon jenis sulur. Hingga bertemulah dengan pertigaan dengan tulisan Sekongkang. Suasana begitu sepi. Mata pun mulai lebih awas, mencari petunjuk. Hingga bertemu papan bewara superbesar yang menunjukkan belum lama ini digelar kompetisi selancar internasional di Pantai Tropical, Sekongkang. Saya dan kawan-kawan mengabaikannya. Namun beberapa meter tak ada tanda lain hingga mobil pun kembali ke tempat tersebut.
Ada sebuah jalan kecil di sebelah papan bewara itu. Sekitar 2 kilometer melaju di jalan tanah itu, ada cabang dengan gerbang kecil. Di salah satu sisinya ada tanah berpagar, dan ada tanda bahwa tanah milik sebuah perusahaan. Sedikit ragu, tapi akhirnya kendaraan menerobos jalan kecil. Kurang dari lima menit, terlihat sebuah teluk dengan beberapa pohon di tepian, diapit dua bukit karang. Teluk yang pendek, tapi siang itu menjadi sebuah gambar nan indah di mata saya. Matahari belum terlalu terik, langit begitu biru, ombak bergulung-gulung, dan tentunya pepohonan membuat paduan alam yang sempurna. Rupanya inilah Pantai Lawar.
Merasa bukan satu-satunya pantai di sana, kendaraan kembali ke jalan yang bercabang dan memilih jalan tanah salah satu lagi yang ternyata melebar masih tetap berupa tanah. Tak ada petunjuk sama sekali hingga ada bule muncul dari arah berlawanan dengan sepeda motor dan papan selancar, keyakinan ada pantai di ujung sana pun muncul. “Ya lurus, ada Pantai Tropical, Pantai Yoyo, ombaknya keren,” ucap pria tersebut, sementara telunjuknya diarahkan ke utara.
Senyum saya dan kawan-kawan pun mengembang. Tak lama memang debur ombak terdengar nyaring, dan di depan mata terbentang garis pantai yang panjang. Inilah Pantai Yoyo yang menyambung dengan Pantai Rantung. Udara panas mulai menyergap, pasir pantai nan panas terasa menggigit kaki. Saya memilih duduk di gazebo di tepi pantai. Para peselancar beberapa kali lewat. Ada yang berasal Jepang dengan kulit sudah cokelat matang. Dari jauh saya melihat peselancar perempuan berjalan di pasir putih sembari menenteng papannya. Ehmm…. demi ombak, panas pun mereka terjang. Di tengah laut, sejumlah pemain mencoba menari dengan ombak.
Meski tersambung, dua pantai nan panjang itu tidak bisa dilalui kendaraan. Akhirnya saya dan kawan-kawan kembali ke Jalan Raya Sekongkang, terus melaju ke Jalan Raya Rantung. Sesungguhnya Pantai Yoyo bernama pantai Tropical. Namun, karena ombaknya bergulung-gulung seperti yoyo yang tengah berputar, pantai ini di kalangan peselancar dikenal sebagai Pantai Yoyo.
Jalan Rantung Raya juga sepi, hanya kiri-kanan lebih banyak kehijauan. Tiba-tiba saya menemukan papan nama hotel di dekat Bandar Udara Sekongkang. Jalur pacu bandara itu tanpa pesawat terbang. Kendaraan pun terus melaju hingga saya menemukan Nomad Tropical Surf Resort di depan Pantai Tropical. Resort ini memiliki halaman hijau, kolam renang, dan lapangan golf. Siang itu gazebo, tepat di depan pantai, dipenuhi beberapa peselancar yang mendinginkan tubuh dengan minuman segar.
Terik mentari memang begitu terasa meski sebentar lagi sore tiba. Pasir pantai masih terasa panas, saya memilih duduk di sebuah saung. Ada sepasang turis asing, sang perempuan asal Argetina dan pria dari Prancis. Keduanya peselancar yang selama dua minggu berkeliling Bali, Lombok, dan Sumbawa. Mereka mengaku jatuh cinta pada Sumbawa yang tenang, natural, dan tentunya ada gulungan ombak yang menggoda.
Tak terasa perut mulai keroncongan. Saya tinggalkan Tropical, menuju Rantung Beach Bar & Restaurant, menyantap makan siang yang tertunda sembari menunggu langit berubah gelap. Maklum, menurut info yang berseliweran di dunia maya, di Pantai Rantung-lah keindahan mentari tenggelam itu bisa direkam. Saatnya saya benar-benar menikmati pantai, kaki pun mengenal pasir yang berbeda-beda, dari butiran besar, kemudian masuk pasir yang halus. Perjalanan berat karena kaki terus terbenam, akhirnya muncul juga warna kuning, merah di langit. Sang Surya pun menyemburkan keindahan di Rantung.
Rita N/Fran