Deru mesin motor yang saya tumpangi mengaum di ketinggian 390 mdpl di atas Bukit Mangunan, Bantul – 29 kilometer dari Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta. Ini bagian dari perjalanan kami menyusuri pantai Selatan Yogyakarta.
Motor menyusuri jalanan, membelah bukit kapur di sisi tenggara kota. Saya mengejar dari belakang, merangkak di sudut berkemiringan 45 derajat, dengan napas tersengal-sengal. Azan subuh belum berkumandang. Namun sudah berkeringat. Embun yang turun tak kunjung bikin sejuk.
Tak jauh setelah mencapai puncak, motor teman saya tadi belok ke lahan lapang. Bekas roda-roda menggilas tanah menjadi tanda bahwa kawasan ini diperuntukkan buat parkir. Motor menepi, mesin berhenti. Suasana nyenyat dan sepi. Cuma terdengar derik garenpung—serangga hutan. “Masih kepagian,” ucapnya.
Bukit Pinus Dekat Pantai Selatan Yogyakarta
Saya merogoh kantong, menemukan ponsel, memencet tombol flash. Penerangan yang tak seberapa itu menuntun kami menyeberang masuk ke hutan pinus Mangunan. Sambil meraba-raba jalan, saya berkali-kali menabrak pohon. Seperti uji nyali dan sedikit merasa repot. “Tak apa, demi sunrise yang menawan,” ujarnya menghibur.
Kami berjalan 300 meter dari gerbang, ke arah utara, sambil menebak-nebak lokasi terbaik untuk menyaksikan matahari muncul. Saya lantas menemukan tempat yang cukup lapang. Di sana, ada banyak bangku alam yang dibentuk dari potongan kayu, ditata berundak-undak.
“10 tahun lalu,” teman tadi membuka perbincangan. “Tak pernah terbayang Mangunan bakal jadi destinasi yang begitu tenar seperti sekarang,” katanya. Sebab, dulu, sepotong tanah tandus, yang berhasil ditumbuhi tanaman paku itu kemolekannya tertutup jalanan berbatu. Bahkan sewaktu masa kolonial, jalur yang menghubungkan Bantul dan Gunungkidul ini hanya dijadikan sebagai lokasi pembuangan bangkai ternak atau jalur rahasia bagi yang ingin melarikan diri dari kejaran Belanda serta Jepang.
Pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, ketika era potret dua dimensi mulai naik daun, para juru foto menaikkan pamor hutan. Gambar-gambar lanskap pinus diviralkan melalui beragam media. Satu per satu pelancong datang karena penasaran. Beberapa jurnal perjalanan marak dibuat. Para penulisnya bertutur bahwa tempat ini menjadi salah satu lokasi terbaik menikmati matahari terbit. Apalagi, dari sana, tampak semu-semu Kota Yogyakarta diapit perbukitan Menoreh. Cahaya yang muncul di sudut timur mampu menimbulkan pantulan keemasan di atas kota yang bersahaja itu.
Lama kami bertukar kisah, langit berangsur-angsur kebiruan. Tanah yang semula gelap seketika menunjukkan warna asli. Tempat kami duduk-duduk mulai kelihatan wujudnya. Ada panggung berukuran 6 x 10 meter di depan. Ah, ini ruang pertunjukan yang beberapa waktu lalu mendunia lantaran diunggah akun internasional 9GAG. Juga sempat hit karena dipakai konser beberapa musikus indie ternama.
Kabut meluruh, matahari membuncah. Teman saya bersiul-siul meniru liukan pipit, menyambut selaksa awan yang turun pelan-pelan. Hutan berangsur-angsur riuh. Orang-orang berdatangan. Suaranya menggema, menyaru gemuruh daun. Beberapa berbisik. Katanya, mereka merasa berada di Forks, Washington, atau kota-kota kecil lain di Evergreen State. Tak ingin kehilangan momen, satu per satu ripuh mengeluarkan alat bidik, memotret lanskap dari beragam sudut.
Kami memilih mencari spot sepi, bergerak ke area lebih dalam. Melangkah ke ujung hutan, saya dipertemukan dengan taman bunga matahari dan rumah kayu yang bertengger di atas pohon. Ada dua tingkat yang bisa dinaiki maksimal empat orang.“Biasanya, kalau ramai, pengunjung diberi batas waktu 10 menit untuk berfoto,” katanya.
Lepas pandang, ada banyak obyek yang bisa dinikmati. Salah satunya bayangan laut. “Itu pantai selatan,” tuturnya.“Bukan cuma wujudnya yang indah. Ada fenomena alam dengan sentuhan metafisika yang membuatnya lebih istimewa”. Tak banyak bicara lagi, pria berkepala dua yang lama tinggal di Bantul itu lantas membawa saya menuju lanskap yang dimaksud.
Pantai Parangkusumo. Di situlah, teman saya kembali memarkirkan kendaraannya. Ia mengajak saya menuju padang luas dengan gundukan-gundukan pasir asimetris. Kabarnya, bentang alam yang terbentuk karena erupsi Gunung Merapi, dengan endapan yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di pantai selatan, ini menjadi satu-satunya yang terdapat di Asia Tenggara.
Pemandangan menarik lainnya, lokasi tersebut ternyata dijadikan tempat berkumpul anak-anak muda untuk melakoni aktivitas sandboarding. Lama saya mengamati mereka yang asyik meluncur dengan papan seluncur di atas pasir. Ada yang sudah mahir, ada pula yang baru pertama kali menjajal. Yang masih “awam” tentu dengan susah payah menyeimbangkan diri supaya tak terpelanting jatuh.
“Aw!” Seorang perempuan berusia belasan terperosok. Tubuhnya menggelinjang di pasir, panas terpapar matahari yang membuntang tepat di atas kepala. Rambutnya yang digulung model donat seketika terurai, dipenuhi debu. Wajahnya abu-abu seperti mandi pasir. Bukan menolong, kawan-kawannya malah menertawakan. “Hiyung, loro.Ojo digeguyu!”(Aduh, sakit. Jangan ditertawakan!) Ia protes. Kelakar remaja-remaja lokal itu riuh menyita perhatian para turis. Satu-dua pelancong sampai tertarik bergabung.
Teman tadi menyuruh saya menjajal atraksi tersebut, namun saya enggan. Daripada jatuh dan jadi bahan guyonan, saya memilih diajak ke tempat lain. Lagian, sebentar lagi, matahari bakal temayun. Kata orang, tak jauh dari Parangkusumo, pelancong bisa melihat surya tenggelam paling dramatis di Bantul, tepatnya di Parangtritis.
Puluhan menit menyusur pantai, langit sudah kemerahan. Kami pun tiba di ikon pesisir yang lekat dengan legenda Ratu Kidul itu. Suara tapal kuda mematuk-matuk pasir berduet dengan debur ombak menjadi bebunyian yang laras.
Ibu-ibu penjaja peyek jingking dan penyedia tikar, dengan wajah penuh guratan, bersiap-siap pulang. “Matur suwun,” kata mereka saat menerima bayaran sambil merunduk lugu. Pemandangan ini mengingatkan saya pada sebuah tragedi dalam film Siti, gubahan Eddie Cahyono, yang mengulas ketidaksetaraan gender dan keterbatasan ekspresi perempuan Jawa.
Para penjaga pantai dengan sopan mengingatkan pengunjung untuk menepi. Diawali dengan ujaran “nuwunsewu”, ajakan untuk mulai menjauhi air laut ditangkap dengan suka cita.
Lewat entitas Parangtritis, Bantul terekam menjadi sebuah daerah yang rendah hati, meski memiliki berlaksa kekayaan alam. Sejuta manusia dengan kesahajaannya seakan dihadirkan di tanah yang kata orang merupakan citraan “kaki langit” itu. Matahari pelan-pelan merunduk. Langit Jawa mulai gelap dan yang tersisa hanya dialog alam.
“Dan laut tak lagi pasang. Gelombang diam menyimpan suara. Awan bertiup bertingkat-tingkat. Surya ke barat, udara ke utara. Nada terakhir bawa kita pulang…”
F. Rosanna