Kampung tematik Semarang menjadi andalan kota ini menarik wisatawan.

Singgah Semarang cuma satu hari, apa saja yang bisa dinikmati? Bagi yang sudah biasa main ke ibukota Jawa Tengah ini tentu saja tak cukup hanya mampir sehari di sini. Banyak hal yang kadung menjadi klangenan. Namun, untuk yang cuma waktu seharian saja?

Singgah Semarang

Semarang kini semakin mudah dijangkau dari banyak kota, termasuk dari Jakarta, sejak jalan tol yang menghubungkan hampir seluruh kota besar di pulau Jawa selesai dibangun dan dioperasikan. Dari Jakarta umumnya kota Semarang bisa dicapai dengan waktu rata-rata 4-5 jam. Dua orang teman bahkan pernah mencoba membandingkan lama tempuh perjalanan dari Jakarta ke Semarang dengan dua moda, pesawat terbang dan mobil pribadi. Hasilnya: mereka sampai di lobi sebuah hotel di kawasan Simpang Lima Semarang dalam waktu hampir bersamaan.

Tapi baiklah, kita tak membahas soal waktu perjalanan. Semarang, apa saja yang bisa dinikmati dalam satu hari dan kita bisa merasa sudah mendapatkan pengalaman kota di pesisir utara Jawa Tengah ini.

Hari itu, saya dan sejumlah teman SMA bikin janjian bikin reuni kecil di Semarang. Meeting point di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Ini karena 4 dari total 9 orang berangkat menggunakan pesawat dari Jakarta, sisanya dari Yogyakarta. Teman-teman dari Yogya mengunakan dua mobil MPV.

Semarang, yang sebelumnya kami persepsi amat biasa karena selama ini cuma kami nikmati sambil lalu, ternyata sungguh mengasyikkan karena didekati sebagai obyek wisata. Pada kunjungan ini kami menyaksikan persilangan tradisi peranakan Tionghoa, kolonial Belanda, dan Jawa. Dari warisan budaya hingga kulinernya.

Sejarah Semarang diawali pada abad 8 Masehi, sebagai kota pelabuhan ia merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Nama Semarang sendiri konon berasal dari pohon asam yang arang (bahasa Jawa: jarang, Asam Arang), sehingga akhirnya disebut Semarang.

Sesuai perkiraan, dua rombongan sampai di Ahmad Yani hampir bersamaan. Sekitar Jam 8 pagi. Tujuan pertama kami jelas, sarapan. Dan yang kami pilih adalah Soto Pak Man di jalan Pamularsih Raya nomor 32. Dua tahun terakhir tempat ini jadi viral. Pertama karena ia dipilih Presiden Joko Widodo untuk jajan. Kedua, pertengahan 2019 sempat disegel karena soal pajak. Tapi kini sudah beroperasi normal.

Tempatnya cukup nyaman. Sotonya seperti umumnya soto khas Semarang dengan kuah bening. Untuk sarapan rasanya pas, tidak terlalu berat. Cuma hati-hati, lauk-pauk yang tersedia di meja sangat berlimpah. Sate usus, sate kulit, sate kerang, perkedel, atau tempe goreng garing. Seorang teman menyebut, “Gara-gara soto semangkok, rusak diet sebulan..” Tapi tak apalah, kami sedang traveling bukan?

Dari sana kami jalan ke Kelenteng Sam Po Kong, di Gedung Batu. Lokasinya tak terlalu jauh dari Pak Man. Kami pilih ini supaya bisa menurunkan isi perut. Kelenteng ini merupakan persinggahan Laksamana Zheng He atau Cheng Ho atau Sam Po Tay Djien ke Jawa pada 1405. Di sini, selain menjadi tempat peribadahan, pengunjung dapat melihat keindahan kelenteng, megahnya patung Cheng Ho, juga bisa berfoto dengan menggunakan kostum ala bangsawan Tiongkok.

Dari sana, kami menuju Kelenteng Tay Kak Sie, di Gang Lombok, yang didirikan pada 1746. Selain kelenteng, di sini juga terdapat patung Cheng Ho dan replika kapalnya. Istimewanya, tepat di samping kelenteng terdapat warung Lumpia Gang Lombok. Nah, ketahuan kan niatnya? Konon ini warung lumpia tertua dan legendaris di Semarang milik keturunan keluarga Thoa Thay Yoe.

Singgah Semarang di antaranya ke pusat oleh oleh djoe

Loen pia atau Lumpia merupakan salah satu makanan khas Semarang, terdiri dari rebung, udang, telur, sayuran yang digulung dalam kulit tepung. Bisa disajikan dalam dua pilihan, goreng atau basah. Saking istimewanya, untuk  kenikmatan itu kami harus rela menunggu antrian selama 1,5 jam… haiya….

Perjalanan dilanjutkan menuju ikon Semarang lainnya yang tak kalah melegenda, Lawang Sewu. Semula bangunan yang didirikan Belanda pada 1904 ini digunakan sebagai kantor pusat perusahaan kereta api Belanda atau NIS (Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij). Mengingat gedung ini banyak memiliki pintu dan jendela besar, maka popular disebut Lawang Sewu (pintu seribu), meski kenyataannya jumlah pintunya tidak sampai seribu. Lawang  Sewu memiliki bentuk bangunan khas kolonial, megah, unik, sehingga menjadi salah satu tempat favorit untuk sesi foto, termasuk prewedding.

Jejak peninggalan kolonial lain adalah kota tua, dengan daya tarik utamanya Gereja Blenduk. Gereja ini dibangun pada 1753 dan merupakan gereja Kristen tertua di Jawa Tengah. Di kawasan ini ada spot baru yang berbau milenal: Museum 3D Trick Art. Yang senang memajang foto di instragram bisa mampir ke sini. Tepatnya di jalan Letjen Suprapto.

Menjelang sore, seraya terus ngobrol, perjalanan kami teruskan untuk menikmati kuliner warisan budaya kolonial yang masih tersisa di Semarang, yakni Toko Oen, resto yang berdiri sejak 1936. Toko ini serupa dengan Oen yang ada di Malang. Memasuki resto kita seolah masih berada di zaman Belanda. Suasana resto dipertahankan sesuai aslinya, termasuk kostum pegawai resto putih-putih dengan kopiah khas. Toko Oen menjual cookies, es krim, dan kudapan khas Belanda seperti kroket, poffertjes, atau oliebolen... hmm lekker..

Lepas magrib, kami bergeser tempat untuk menikmati makan malam. Kali ini kami memilih nasi goreng babat. Yang paling terkenal tentu saja Nasi Goreng babat Pak Karmin. Ada dua outlet warung ini. Pertama di Mberok, ini posisinya antara kota tua dan toko Oen. Cabangnya ada juga di Jalan M.H. Thamrin. Kami pilih yang ke dua ini, karena lebih searah dengan tujuan selanjutnya.

Babat adalah jerohan sapi, jika tidak menyukainya, bisa memilih yang daging saja. Selain Pak Karmin, ada beberapa warung nasi goreng Babat yang terkenal di Semarang. Salah satunya Nasi Goreng babat Sumarsono dan Nasi Goreng Babat Hengky. Ke duanya ada di kawasan perumahan Anjasmoro.

Selesai makan malam, perjalanan reuni seharian kami di Semarang hampir berakhir. Jam 7 malam kami menuju Jalan Pandanaran. Apalagi, ini salah satu pusat oleh-oleh di Semarang, seperti bandeng presto, wingko babat, moci, juga lunpia. Dengan oleh-oleh dijinjing, maka berakhirlah reuni seharian kami hari itu. Empat orang dari kami diantar ke bandara Ahmad Yani, sementara lima lainnya langsung kembali ke Yogya.

Ketika pesawat kami mendarat di Jakarta, lima teman kami memasuki kota Yogya.

AgendaIndonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi