Kampung adat Pulo di Kabupaten Garut sekilas tak beda jauh dengan kampung-kampung lain. Bangunan di kampung yang tak terlalu besar, jika tidak dibilang kecil, terlihat cukup modern. Lantas apa yang membuat mereka istimewa secara adat?
Kampung Adat Pulo
Pulo adalah sebuah kampung adat yang booleh disebut sebagai penanda penyebaran agama Islam di Garut. Kampung adat tersebut berada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Letaknya berada di kompleks Candi Cangkuang, persis sebelum pintu masuk candi tersebut.
Desa ini baru diresmikan sebagai Desa Wisata Situ Cangkuang pada pertengahan 2021. Desa Cangkuang jaraknya sekitar 46 kilometer dari pusat kota Bandung atau sekitar 2 jam berkendara lewat darat.
Nama cangkuang diambil dari nama pohon yang tumbuh di sekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad, orang yang diangggap membangun desa ini. Cangkuang merupakan sejenis pohon pandan dan di desa ini juga terdapat danau dan candi bernama sama.
Ditetapkan sebagai desa wisata, karena memiliki daya tarik wisata, seperti candi hingga situ atau danau, potensi tersebut yang kita optimalisasikan sebagai upaya kebangkitan ekonomi nasional berbasis desa wisata. Salah satu daya tarik Desa Wisata Situ Cangkuang adalah mencoba naik rakit menyusuri Situ Cangkuang.
Tak perlu khawatir saat menikmatinya, sebab kondisi air danau seluas 15 hektare itu cenderung tenang dan memiliki pemandangan perbukitan di sekelilingnya. Setelah itu, pengunjung juga bisa berkeliling desa, menikmati pemandangan Gunung Batur, dan melihat keberadaan Candi Cangkuang dengan keunikannya.
Namun daya tarik utama Desa Cangkuang bukan saja keindahan alamnya, namun adaanya sebuah perkampungan adat yang ada di dalamnya. Kampung adat Pulo. Ada cerita rakyat yang begitu melekat mengenai kampung ini.
Ceritanya, mada masa lalu masyarakat kampung tersebut dulunya memeluk agama Hindu. Kemudian, ketika seorang pengikut Sultan Agung bernama Embah Dalem Arif Muhammad singgah di kampung tersebut setelah kekalahan pada penyerbuan pasukan Mataram terhadap Belanda di Batavia.
Ia lantas memilih tidak kembali ke Mataram lantaran malu juga takut kepada Sultan Agung. Ia pun mulai menyebarkan agama Islam di Kampung Pulo. Bersama kawan-kawannya, ia menetap di sana sampai meninggal dan dimakamkan di kampung tersebut.
Ia meninggalkan enam anak perempuan dan satu laki-laki. Hal ini dapat terlihat di Kampung Pulo ada enam buah rumah adat dan sebuah masjid atau mushola.
Sejak abad ke-17 itu, kampung tersebut terdiri dari dari enam rumah dan satu mushola tersebut. Rumah-rumah tersebut diperuntukan bagi anak perempuannya. Sementara mushola untuk anak laki-laki satu-satunya.
Sampai sekarang bangunannya hanya ada tujuh, dan tidak boleh ditambah bangunan dan kepala keluarga. Itu simbol putra-putri Embah, memiliki tujuh anak. Saat ini Kampung Pulo ditempati oleh genereasi ke delapan, ke sembilan, dan ke sepuluh turunan Eyang Embah Dalem Arif Muhammad.
Pada 2018, total warganya terdiri dari 23 orang di antaranya 10 perempuan dan 13 laki-laki. Di Kampung Pulo tidak boleh menambah kepala keluarga. Karena itu jika ada anak dari salah satu kepala keluarga menikah. Paling lama dua minggu di sana, lalu pasangan pengantin baru itu harus keluar kampung.
Kalau ibu bapak sudah meninggal, anak yang menjadi pewaris bisa masuk lagi (ke Kampung Pulo) untuk mengisi kekosongan. Prinsipnya tetap aka nada tujuh kepala keluarga. Jadi yang tinggal di sana tidak boleh keluar meninggalkan kampung. Uniknya di Kampung Pulo, semua anak dalam keluarga bisa menerima waris. Bukan hanya anak laki-laki.
Meski zaman sudah semakin modern, ada beberapa aturan yang masih berlaku di Kampung adat Pulo. Antara lain dilarang berziarah pada hari Rabu, bentuk atap rumah harus memanjang, tidak boleh memukul gong besar, dan tidak boleh beternak hewan berkaki empat.
Soal tak boleh menabuh gong, ini rupanya berkaitan dengan kematian anak laki-laki satu-satunya Eyang Embah Dalem. Ceritanya, saat si anak disunat dan diadakan pesta besar. Acara itu dilengkapi arak-arak sisingaan yang diiringi gamelan menggunakan gong besar. Namun, saat itu ada angin badai yang membuat gong menimpa anak tersebut. Ini menyebabkan si anak laki-laki itu meninggal dunia.
Sementara itu soal hewan berkaki empat, aturannya masyarakat boleh memakan atau menyebelih hewan besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, dan sapi. Namun mereka tidak diperkenankan untuk beternak. Pertimbangannya, karena masyarakat Kampung Pulo mencari nafkah dengan bertani dan berkebun, dikhawatirkan hewan-hewan tersebut merusak sawah juga kebun mereka dan makam yang tersebar di berbagai area kampung.
Meski semuanya memeluk Islam, pada pola hidup sehari-harinya penduduk Kampung Pulo masih melestarikan sejumlah tradisi Hindu. Misalnya, dengan memandikan benda pusaka, syukuran, serta ritual lainnya.
Berkunjung ke kawasan ini akan memberikan beragam pengalaman sekaligus, dari wisata budaya, sejarah, hingga pesona magis Kampung Pulo yang seolah-olah terisolasi oleh Situ Cangkuang.
agendaIndonesia
*****