Alat musik sasando adalah instrumen asli Nusantara. Ia tepatnya adalah alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sasando merupakan alat musik berdawai yang dimainkannya dengan cara dipetik menggunakan jari.
Dari segi bentuk, sasando sudah bisa menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Karena, alat musik petik ini terbuat dari daun lontar yang melengkung, berbentuk setengah lingkaran.
Alat Musik Sasando
Sasando memiliki bentuk yang unik dan berbeda dengan alat musik berdawai lainnya. Pada bagian utama Sasando berbentuk tabung panjang yang terbuat dari bambu khusus. Bagian bawah dan atas bambu terdapat tempat untuk memasang dan mengatur kencangnya dawai.
Pada bagian tengah bambu biasanya diberi senda atau penyangga, di mana dawai direntangkan. Senda sendiri berfungsi untuk mengatur tangga nada dan menghasilkan nada yang berbeda setiap petikan dawai. Sedangkan wadah berfungsi untuk resonansi yang berupa anyaman daun lontar yang sering disebut haik.
Dari segi suara, resonansi yang dihasilkan daun lontar menghasilkan suara yang khas, dan tidak bisa ditemukan pada alat musik lainnya. Petikan sasando menghasilkan suara yang sangat indah, romantis dan sangat khas. Tak heran kalau keunikan bentuk, bahan, dan melodi dari sasando berhasil menarik perhatian banyak wisatawan yang berkunjung ke NTT.
Dalam beberapa kesempatan kenegaraan, sasando ikut meramaikan kegiatan. Misalnya pada acara KTT ASEAN di Labuan Bajo. Sebelum gelaran acara tersebut, sasando pun telah mendunia karena pernah tampil dalam salah satu side event G20 di Labuan Bajo 2022 lalu.
Pada acara G20 itu, sasando ditampilkan pada ajang Spouse Program yang dihadiri 19 anggota G20, enam negara undangan, dan sembilan organisasi internasional. Alat musik sasando inipun menjadi cendera mata yang diberikan oleh Ibu Iriana Joko Widodo kepada Ibu Negara Tiongkok, Madam Peng Liyuan.
Jika ditarik lebih jauh ke belakang, popularitas sasando di dunia juga pernah dipresentasikan oleh sosok bernama Djitron Pah. Ia mengenalkan alat musik sasando ke dunia lewat ajang Asia’s Got Talent pada 2015.
Melalui ajang pencarian bakat tersebut, Djitron Pah berhasil membawa sasando mendunia melalui rangkaian tur ke Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Belanda, Italia, Finlandia, Jerman, hingga Taiwan. Melihat dari berbagai aspek, memang sangatlah layak jika sasando mendunia.
Namun, dari mana sesungguhnya alat musik sasando lahir? Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Sasando bermula dari kisah Sangguana yang terdampar di Pulau Ndana dan jatuh cinta dengan putri Raja. Mengetahui Sangguana jatuh cinta terhadap putrinya, sang raja memberikan syarat kepada Sangguana untuk membuat alat musik yang berbeda dari musik lainnya.
Sangguana pun bermimpi, dalam mimpi tersebut ia memainkan alat musik yang berbentuk indah dan memiliki suara yang merdu. Kemudian ia membuat Sasando dan diberikan kepada sang raja. Sang raja lalu mengizinkan Sangguana, menikahkaan putrinya dengan Sangguana.
Sasando sendiri berasal dari bahasa Rote, yaitu Sasandu yang berarti bergetar atau berbunyi. Sasando sering dimainkan untuk mengiringi nyanyian syair,tarian tradisional dan menghibur keluarga yang berduka.
Jika kita mengulik lebih dalam tentang alat musik sasando khas NTT ini, ternyata ada banyak jenisnya. Setidaknya ada tiga jenis sasando yang populer, yaitu sasando gong, sasando biola, dan sasando elektrik.
Pertama, sasando gong khas Pulau Rote, yang merupakan sasando autentik dengan 12 dawai dari tali senar nilon sehingga ketika dipetik akan menghasilkan suara mengalun, lembut, dan merdu. Alat musik sasando jenis ini kerap dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu tradisional masyarakat Rote.
Ke dua, jenis sasando biola. Kabarnya, sasando biola mulai berkembang di Kupang pada akhir abad ke-18. Alat musik petik ini merupakan hasil modifikasi dari Edu Pah, pakar pemain sasando. Bedanya dengan sasando gong, sasando biola bentuknya yang lebih besar dan memiliki 48 buah dawai.
Karena dimodifikasi agar menyerupai biola, sasando jenis ini bisa menghasilkan suara halus dan merdu seperti biola. Biasanya sasando biola dimainkan untuk mengiringi lagu pada tarian tradisional masyarakat NTT.
Mengikuti perkembangan teknologi, kini ada pula jenis sasando elektrik. Alat musik ini pertama kali diciptakan oleh Arnoldus Edon pada 1960-an. Alasannya karena sasando tradisional hanya bisa didengarkan pada jarak dekat saja, sehingga perangkat elektronik ditambahkan agar suaranya bisa didengar lebih jauh.
Umumnya, sasando elektrik terdiri dari 30 dawai. Badan sasando tetap menggunakan daun lontar untuk mempertahankan bentuk aslinya. Perbedaan sasando elektrik terdapat pada spul atau transduser yang mengubah getaran dawai menjadi energi listrik, yang kemudian masuk ke dalam amplifier untuk menghasilkan suara yang lebih kencang.
agendaIndonesia/kemenparekraf
*****