Tanjidor Grup 3 Saudara Mengalun Ikuti Zaman

Tanjidor grup 3 saudara, warna kesenian Betawi

Tanjidor Grup 3 Saudara mengalun mengikuti zaman, meskipun kini kian jarang meramaikan pesta pernikahan, tapi dinanti di acara-acara kantor pemerintahan.

Tanjidor Grup 3 Saudara

Suara piston, trombon, dan klarinet khas musik Betawi itu kerap terdengar saat saya tinggal di sekitar Rawa Belong, Jakarta Barat, pada 1990-an. Kala ada tetangga yang menggelar pesta pernikahan, lantunan lagu-lagu lawas dari kesembilan pemain tanjidor pun langsung mengundang warga untuk datang. Asyiknya menyaksikan pengantin dan tentunya para seniman bercelana pangsi dengan sarung di leher yang memainkan alat-alat musik jadul.

Kian lama kian jarang terdengar. Hingga saya temukan kembali di panggung di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, juga acara budaya, dan tentunya yang mencuat manakala ibu kota negeri ini merayakan ulang tahunnya. Tanjidor atau tanji, demikian Sait, 71 tahun, dari kelompok tanjidor Tiga Saudara, menyebutnya. Sebenarnya yang asli, menurut dia, adalah tanji. “Ciri khas tanji itu seragam. Terus harus lengkap ada sembilan orang,” katanya. Menjadi tanjidor kalau ada tambahan sinden. “Sinden itu jidoran, ada ngibing juga,” ia menambahkan.

Grup Tiga Saudara yang berdiri sejak 1973 itu kadang-kadang diminta tampil lengkap dengan penyanyi dan penari, yang biasanya diambil dari sanggar lain. Kadang tak melulu penari Betawi. Ada juga jaipongan, dan tentunya tembang-tembang Sunda untuk pengiringnya.

Para pemainnya umumnya berjumlah 7-9 orang. Instrumen yang digunakan adalah piston, klarinet, tenor, trombon, bas, tambur, beduk, panil, dan kecrek. Namun secara umum dibagi dua jenis, yakni alat musik tiup dan pukul, meski ada juga perkusi, yang diwakili oleh kecrek. Dalam komposisi yang lebih lengkap, ditambahkan gong dan kempul.

Yang menjadi ciri khas adalah bas. Bentuknya melingkar dan, saat pemainnya beraksi, alat musik itu membelit tubuh. “Tenaganya harus gede,” ujar Saman, sang peniup. Alat ini pun termasuk barang paling antik di antara perangkat yang ada. Sudah beberapa kali diperbaiki karena tak menghasilkan suara yang prima lagi. Di dekat logonya, ada merek dan tahun produksi—MJH Kessels “Jilburg” Bass 1894. Benar-benar sudah kuno.

Gampang-gampang susah memainkan orkestra tanjidor. Itu karena tanjidor tak ada partitur khusus, yang bisa mempermudah ketika mempelajarinya secara sistematis. Lagu dan iramanya diwariskan dari generasi ke generasi berdasarkan pengalaman mendengar dan merasakan. “Iramanya di hati kita sendiri,” ujar Sait. Karena itu, menurut dia, latihan menjadi hal utama. “Kalau latihan semalam dua jam saja, seharusnya dua bulan udah bisa satu lagu,” katanya meyakinkan. Sayangnya, tak semua pemuda dan anak-anak telaten dalam soal ini. Meski demikian, kini di markas grup tanjidor di Gang Kecapi, Jagakarsa, tak hanya pemain berusia 60-an yang berkumpul, tapi para pemuda pun mulai tampil.

Sait menyebutkan, lagu-lagu yang paling sering dibawakan adalah lagu-lagu Betawi dan Sunda, seperti Jali-jali dan Kicir-kicir. Namun biasanya setiap pertunjukan akan dibuka dengan maras. Lagu-lagu yang dibawakan memang lagu lama, tidak ada lagu baru. Dari alat musik yang tersedia pun tak bisa lahir tembang anyar. Dulu, memang ada lagu-lagu campuran, seperti Portugis dan Belanda, tapi kini sudah tak lagi dilantunkan.

Biasanya, pentas terbagi dalam dia sampai tiga babad yang membawakan maras, kemudian disusul lagu-lagu Betawi, ditambah tembang Sunda. “Biasanya dari jam 9 pagi sampai 4 sore. Lagu Betawi biasanya di pembukaan,” Sait menuturkan. Cuma, memang, jadwal mentasgrup tanjidor semakin jarang. Kebanyakan penyelenggara keriaan di kampung-kampung Betawi saat pernikahan dan khitanan memilih organ tunggal atau orkes dangdut. “Kalah dah bersaing dengan dangdut,” ujarnya.

Akhirnya, hanya acara-acara khusus yang menjadi langganan Tiga Saudara, selain masih ada beberapa perhelatan di Gandul, Jakarta Selatan. Kebanyakan panggilan saat acara di kampus, sekolah, dan kantor pemerintah daerah. Tiga Saudara sebenarnya bukan satu-satunya tanjidor di Jakarta Selatan. Masih ada grup lain di Warung Buncit dan Cijantung. Juga di Jakarta Barat, Jakarta Timur, Depok, Tangerang dan sekitarnya, hingga ke wilayah Bogor. l


Warisan Portugis

Abad ke-18 sering disebut sebagai awal kelahiran tanjidor. Dibawa oleh bangsa Portugis ketika masuk ke negeri ini. Kata tanjidor dinyatakan berasal dari bahasa Portugis, “tanger”, yang dalam bahasa Indonesia berarti bermain musik. Di Portugal, kesenian ini biasanya dimainkan pada saat pawai militer atau upacara keagamaan. Adapun pemainnya disebut tangedor. Tak mengherankan kalau kemudian nama yang merebak adalah tanjidor. Namun grup musik ini kemudian lebih dikenal lagi pada zaman penjajahan Belanda. Benar-benar merebak pada abad ke-19.

Pemainnya merupakan budak-budak dari tuan tanah dari Negeri Kincir Angin. Karena itu, mereka dikenal juga sebagai Slaven-orkes. Grup dibentuk karena para penguasa itu membutuhkan hiburan. Valckenier, salah seorang Gubernur Jenderal Belanda pada zaman itu, tercatat memiliki grup musik yang terdiri atas 15 pemain alat musik tiup, ditambah pemain gamelan, pesuling Cina, dan penabuh tambur Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta.

Ketika penjajah kembali ke negerinya, kelompok musik itu tak langsung bubar. Mereka bertahan meski kemudian tembang-tembang tak lagi bersentuhan erat dengan Belanda dan Portugis. Lebih fokus pada lagu-lagu Betawi bercampur Sunda. Ketika masa penjajahan, yang mereka bawakan antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Cakranegara, dan Welmes. Irama lebih pada mars dan waltz. Sedangkan lagu-lagu Betawi yang dimainkan di antaranya Jali-jali, Surilang, Cente Manis, Kicir-kicir, Sirih Kuning, Stambul, dan Persi. Sementara tembang Sunda semisal Kangaji dan Oncom Lele.

Pada 1950-an, kebanyakan grup tanjidor membuat pentas keliling alias ngamen untuk mencari nafkah. Mereka tampil di depan rumah-rumah elite di daerah Menteng, Kebayoran Baru. Hanya saja, aksi seni mereka tiba-tiba dipangkas oleh keputusan Pemda DKI Jakarta pada 1954, yang melarang grup tanjidor main di pusat kota. Mereka pun akhirnya memilih tampil di pinggiran kota. Karena itulah, perkembangannya terjadi di daerah Tangerang, Depok, dan Bogor. l Berbagai Sumber

Rita N./Nunu N./Dok. TL