Geplak Bantul, Warisan Budaya Sejak 2018

Geplak Bantul kudapan yang menjadi warisan budaya tak benda Yogyakarta. Foto: shutterstock

Geplak Bantul sejak lama menjadi oleh-oleh tradisional dari Yogyakarta. Kudapan ini memang dikenal sebagai salah satu kudapan khas masyarakat kota pelajar itu.

Geplak Bantul

Begitupun, sesungguhnya geplak ternyata juga dimiliki masyarakat Betawi. Belum ada catatan sejarah adakah kaitan antara geplak Bantul dan geplak Betawi. Rasa ke duanya mirip-mirip karena menggunakan bahan yang sama.

Yang membedakan ke duanya adalah, geplak Betawi hanya berasal dari gula tebu dan warnanya biasanya hanya putih keabu-abuan. Kudapan ini pun tak muncul setiap hari, biasanya muncul pada saat ada pernikahan di antara masyarakat Betawi.

Geplak, makanan yang lebih dikenal dari Bantul terbuat dari parutan kelapa dan gula pasir atau gula jawa. Rasanya sudah pasti manis. Cemilan ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.

Geplak Bantul lahir karena daerah itu kaya dengan kelapa dan tanaman tebu.
Geplak dulunya dikemas dengan besek. Foto: shutterstock

Dikutip dari laporan di liputan6.com, disebutkan bahwa dalam naskah Mustikarasa yang ditemukan pada 1967, geplak ini terkait erat dengan Pangeran Pekik, adik ipar Sultan Agung Mataram. Geplak sebagai makanan kreasi dari kelapa disebutkan satu kali dalam Serat Centhini VI.

Jadi ceritanya dalam serat itu, berisi tentang pengembaraan Syech Amongraga, salah satu dari tiga putra-putri Sunan Giri. Dalam perjalanan spiritual setelah mengalami kekalahan dari Pangeran Pekik. Kudapan ini disebut-sebut disajikan sebagai hidangan dalam pernikahan kerajaan Mataram Islam pada ketika itu.

Naskah tersebut juga menyebutkan geplak Bantul sebagai kudapan yang dapat ditemukan di banyak tempat di Yogyakarta beserta cara membuatnya. Khususnya di Bantul.

Secara geografis, wilayah Bantul berada di dataran rendah, sehingga daerah ini sangat cocok untuk tanaman kelapa. Pada saat itu pun lahan di daerah Bantul lebih banyak ditanami Tebu.

Ada sekitar enam pabrik gula yang ada di daerah Bantul saat itu, tapi saat ini hanya satu saja yang masih beroperasi, yaitu pabrik gula Madukismo. Ini merupakan sebuah pabrik gula terbesar di Asia Tenggara pada awal Republik Indonesia ini berdiri.

Karena melimpahnya bahan baku kelapa dan tebu, sehingga terciptalah geplak khas Bantul-Jogja. Pada zaman dahulu masyarakat setempat menjadikan geplak sebagai makanan utama pengganti beras. Pada saat paceklik, warga biasa mengonsumsi geplak sebagai makanan pokok.

Geplak Srihardono Bantul
Tampilan lain geplak yang diserut daging kelapanya. Foto : Pemda Bantul

Waktu berjalan, kini geplak Bantul lebih dikenal sebagai makanan kecil sekaligus oleh-oleh khas Bantul dan Jogja. Produksinya juga semakin banyak. Hal tersebut karena banyaknya bahan pembuat geplak, yaitu daging kelapa serta berlimpahnya lahan tebu yang diolah untuk menjadi gula.

Pada mulanya, geplak Bantul hanya dapat dibuat menggunakan gerabah yang berasal dari Kasongan. Tempat ini hingga sekarang merupakan penghasil gerabah di Yogyakarta.

Namun, karena gerabah yang digunakan dalam suhu tinggi hanya mampu bertahan empat hari, kemudian diganti menggunakan kenceng. Kenceng yang dipilih pun bukan sembarangan, yakni berasal dari tembaga yang diproduksi di Kotagede, Yogyakarta.

Dalam perkembangannnya kemudian, makanan khas Bantul tersebut lebih terkenal sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta dengan rasa manis. Konon rasanya lebih nikmat dan lezat ketika menikmati geplak selagi masih panas.

Pada masa awalnya, geplak Bantul hanya memiliki dua warna, yaitu jika menggunakan gula pasir warna geplak akan putih dan jika menggunakan gula jawa maka warnanya akan coklat. Namun sekarang telah banyak variasinya warna antara lain, merah, kuning, coklat, hijau, dan putih.

Geplak Bantul telah mengalami banyak perubahan, sejak pertama dibuat pada abad ke-19 hingga 1960. Pada tahun itu, geplak Srintil disebut-sebut sebagai yang masih autentik dan sama persis dengan kudapan Kerajaan Mataram Islam pada saat itu. Namun, kini geplak Srintil hampir tak lagi dapat dijumpai. Warnanya yang kurang menarik dan kurang variasi membuat geplak autentik ini berangsur-angsur hilang.

Begitupun masyarakat Bantul terus memproduksi geplak. Produksi kelapa dan gula yang melimpah membuat ketika menjadi kudapan gula dan kelapa tersebut mempunyai nilai tambah. Terlebih lagi pembuatannya termasuk sederhana.

Toko Geplak Kelurahan Balbaplang Bantul
Toko Geplak Mbok Tumpuk di Palbaplang, Bantul. Foto: dok. Kelurahan Palbaplang Bantul

Bahan-bahannya terdiri dari tepung ketan, kelapa parut, gula pasir, minyak cengkeh, air putih, dan garam. Untuk membuat geplak diperlukan peralatan berupa baskom (untuk membuat adonan), parutan kelapa, mangkok, panci untuk memasak, sothil untuk mengaduk, cetakan geplak, kompor atau onglo arang, dan tampah atau nyiru yang dipergunakan untuk mengangin-anginkan geplak ketika sudah matang.

Saat ini kabarnya gula yang dipakai bukan lagi gula lokal Madukismo, satu-satunya pabrik gula yang masih tersisa di Bantul. Yang dipakai hanya gula tebu yang warnanya putih bersih. Pasalnya, kalau gula tebunya berwarna kelabu, warna geplaknya pun ikut menjadi kelabu. Sebagai makanan menjadi kurang menarik meskipun enaknya sama saja.

Sesuai perkembangan zaman, kini rasa dari geplak pun tidak hanya gurih dan manis namun sudah bervariasi. Rasanya ada yang durian, strawberi, coklat, juga lainnya. Geplak Bantul sangat mudah mudah diperoleh di pusat kota Bantul, pusat oleh-oleh di kota Jogja, terminal, dan di pasar-pasar.

Meski tampak sederhana, soal rasa tak perlu diragukan. Rasa manis dan legit geplak dapat membuat ketagihan. Geplak ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Yogyakarta pada 2018.

agendaIndonesia/berbagai sumber

*****