Getuk goreng Haji Tohirin bisa jadi adalah jawaban kebanyakan orang Banyumas ketika ditanya soal kuliner asli kota mereka. Tak mengherankan, karena kudapan tradisional ini sudah eksis sejak 1918, dan hingga kini toko-tokonya masih menjamur di kota ini.
Getuk Goreng Haji Tohirin
Sebagai sebuah kabupaten, Banyumas punya ciri khas sendiri yang membuatnya unik. Terletak di bagian barat provinsi Jawa Tengah, kabupaten ini punya beberapa daya tarik bagi turis, seperti Baturraden dan gunung Slamet yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah.
Secara budaya tradisional mereka juga punya keunikan tersendiri dari wilayah lainnya di Jawa Tengah. Kebanyakan dari adat dan seni budaya tersebut bahkan disebut sebagai Banyumasan, karena kekhasannya dan keunikannya dengan daerah tersebut.
Misalnya, seni budaya seperti salawatan Jawa, kuda lumping Ebeg, alat musik calung dan bongkel, batik ala Banyumasan, hingga yang paling identik dan dikenal banyak orang adalah bahasa Jawa bergaya Banyumasan. Bahasa yang juga kerap disebut dengan istilah ngapak.
Dan bila dilihat dari sisi khazanah kulinernya pun, Banyumas tak kalah menariknya. Cukup banyak kuliner tradisional yang terlahir di sini, seperti tempe mendoan, sroto alias soto ala Banyumas, hingga tentunya getuk goreng yang begitu khas dan unik.
Kelahiran getuk goreng tersebut tak lepas dari andil pencetusnya, Sanpirngad, yang dulunya merupakan penjaja nasi rames dengan beragam sayur dan lauk pauk. Salah satu pilihan di antara sayur dan lauk pauk tersebut adalah getuk singkong.
Getuk singkong sendiri bukanlah makanan yang asing bagi warga Banyumas. Sejak dulu, sawah-sawah yang berada di area ini kerap ditanami singkong, lantaran singkong sering digunakan sebagai makanan pengganti nasi.
Awalnya, usaha yang ia dirikan bersama istrinya Sayem itu hanya diminati segelintir orang, dan terkadang setelah warung tutup masih ada sisa-sisa makanan yang belum ludes terjual. Singkong tersebut adalah salah satu yang kerap masih tersisa dan kurang disukai pelanggan.
Karena merasa sayang dengan sisa makanan yang belum habis itu, Sanpirngad kemudian mulai mencoba mengolah ulang beberapa makanan tersebut. Misalnya, sisa-sisa getuk singkong ia olah kembali dengan cara ditumbuk dan dicampur dengan gula merah dan parutan kelapa.
Setelah pengolahan ulang tersebut, munculah kudapan baru yang sebetulnya terasa nikmat dan ketika dijajakan lumayan disukai pelanggan. Namun karena warungnya sendiri masih sepi pengunjung, makanan tersebut jadi ikut-ikutan bersisa dan tak cukup laris pula.
Sanpirngad lagi-lagi mencoba memutar otak agar dagangannya tersebut dapat laris manis dan membawa lebih banyak pengunjung yang datang. Akhirnya, olahan getuk yang masih tersisa itu ia goreng agar awet dan bisa dicoba untuk dijual kembali esok harinya.
Siapa sangka, percobaannya yang kesekian tersebut mampu membawa peruntungan baru yang mengubah hidupnya. Getuk goreng buatannya justru diminati pelanggannya, bahkan perlahan-lahan menuai popularitas lewat obrolan warga dari mulut ke mulut.
Sejak saat itu, banyak pengunjung yang datang ke warungnya khusus untuk mencoba getuk gorengnya. Saking terkenalnya, oleh pelanggannya getuk tersebut juga sempat disebut getuk kamal, karena saat itu warungnya berada di bawah pohon kamal.
Mulai dari kemunculannya di sekitaran tahun 1918, getuk goreng terus menjadi salah satu kuliner primadona Banyumas. Usaha tersebut lantas dijalankan pula oleh anak dan menantunya. Salah satu di antaranya adalah Tohirin, menantu laki-lakinya.
Selepas berpulangnya Sanpirngad pada 1967, Tohirin terpilih untuk mengambil alih usaha dan meneruskannya. Di bawah pengelolaannya, bisnis semakin maju pesat dan getuk goreng semakin dikenal luas, tak hanya oleh warga setempat tetapi juga bagi kalangan turis.
Warung nasi rames berwujud gubuk semi permanen tersebut diubah menjadi bangunan kios permanen. Usahanya kemudian berfokus pada getuk goreng saja, agar dapat memenuhi banyaknya permintaan konsumen sekaligus mempertahankan konsistensi kualitas makanan.
Terlebih lagi, ia melihat pergeseran pola konsumen getuk goreng saat itu. Kalau sebelumnya pelanggannya merupakan warga lokal yang sekedar mencari kudapan, kini banyak pula yang datang untuk membeli getuk goreng sebagai oleh-oleh.
Hingga kini, bangunan tersebut masih berdiri menerima pengunjung lokal dan pendatang, dengan plang bertuliskan ‘Getuk Goreng H. Tohirin Asli’ alias Getuk Goreng Haji Tohirin. Penggunaan kata ‘asli’ di sini menjadi penting, seiring persaingan yang makin ketat dengan munculnya gerai getuk goreng lainnya.
Kendati demikian, getuk goreng dagangannya boleh berbangga hati karena memang menjadi pionir bagi getuk goreng lainnya. Dan berkat otentisitasnya itu pula, kios getuk gorengnya tak pernah sepi pengunjung.
Kini, bisnis dijalankan oleh anak-anak dan cucunya, serta sudah memiliki kurang lebih sekitar 10 cabang yang tersebar di seputaran Banyumas. Kebanyakan kios-kios cabang tersebut bernuansa jingga, agar membedakan dengan kios aslinya yang bernuansa hijau.
Kalau datang ke kios yang asli getuk goreng Haji Tohirin, pengunjung masih bisa melihat proses pembuatannya secara langsung. Pertama, singkong dikukus terlebih dulu dengan metode tradisional, menggunakan dandang serta kayu bakar.
Singkong yang sudah dikukus langsung ditumbuk dan diolah dengan gula merah dan parutan kelapa menggunakan lumpang, kemudian digoreng sampai matang. Pendekatan tradisional ini adalah upaya agar cita rasa otentik getuk goreng dapat terjaga,
Getuk goreng yang sudah matang tersebut lantas dipotong-potong, kemudian langsung dikemas dan disajikan kepada pengunjung. Biasanya pengunjung punya dua pilihan kemasan, dengan ukuran ½ kg dan 1 kg yang masing-masing harganya Rp 21 ribu dan Rp 39 ribu.
Umumnya, rasa getuk goreng Haji Tohirin yang original merupakan perpaduan dari gurih dan manis. Tetapi kini konsumen juga bisa mendapatkan berbagai pilihan rasa lainnya, seperti rasa coklat, nanas, durian dan nangka. Yang jelas, semua pilihan rasa tidak menggunakan pengawet.
Pengunjung bisa memilih khusus satu pilihan rasa, atau campuran semua pilihan rasa. Kemasannya berupa besek dengan masing-masing pilihan ukurannya. Meskipun tidak mengguanakan pengawet, getuk goreng diklaim dapat bertahan sampai sepuluh hari.
Seiring dengan pergeseran bisnisnya, kios getuk goreng Haji Tohirin kini juga berfokus sebagai sentra oleh-oleh tradisional. Di sini dapat ditemukan juga aneka kudapan tradisional lainnya seperti nopia, keripik tempe, klanting, olahan buah carica, dan lain sebagainya.
Getuk goreng Haji Tohirin buka dari jam 09.00 sampai jam 21.00. Karena kios aslinya kerap ramai pengunjung, khususnya pada akhir pekan dan hari libur, maka tak ada salahnya pula sesekali mampir ke cabang-cabangnya, yang terkadang juga buka sedikit lebih awal.
Getuk Goreng Haji Tohirin (Asli)
Jl. Jend. Sudirman no. 151, Sokaraja, Banyumas
Telp. (0281) 6441216
Instagram @getukgoreng.aslihajitohirin
agendaIndonesia/audha alief praditra
*****