Hombo Batu Nias atau lompat batu di Nias, Sumatra Utara, dikenal sebagai salah satu tradisi masyarakat Nias yang menjadi ikon pariwisata Indonesia. Hombo Batu sendiri sudah ada sejak 350-400 tahun silam.
Hombo Batu Nias
Nataauli Duha masih ingat saat ia pertama kali berlatih lompat batu. Ketika itu, warga Desa Hilimondegeraya, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, ini duduk di bangku sekolah dasar. Nata—sapaan akrabnya—memang tidak langsung melompati batu dengan ketinggian sekitar dua meter. Ia berlatih meloncati tumpukan tanah yang dibuat bersama teman-temannya terlebih dulu. Satu demi satu secara bergantian mereka melampaui tumpukan tanah yang tingginya tidak sampai satu meter itu. Nata menyebut atraksi meloncati tumpukan tanah yang dibuat bersama teman-temannya ini sebagai lompat batu mini.
Rampung dengan tumpukan tanah, pada kesempatan berikutnya mereka bermain lompat tali. Tali yang digunakan terbuat dari bahan yang mudah putus. Ini supaya tidak mencelakakan mereka. Tali itu direntangkan pada dua sisi berseberangan. Semula, mereka bermain dengan ketinggian 50 sentimeter. Setelah itu, secara bertahap, mereka meninggikan posisi tali hingga mencapai satu meter. Bergan- tian mereka memegang dan melompati tali itu. Nata dan teman-teman pun merasakan kegembiraan bermain.
Selain tali, mereka menggunakan bambu dan batu yang ditumpuk. Puncaknya, ketika beranjak remaja, mereka akan berusaha menaklukkan batu sesungguhnya dengan ketinggian mencapai sekitar dua meter. “Biasanya, orang tua si anak akan memotong seekor ayam jantan sebagai jamuan ketika anaknya berhasil melompati batu itu,” kata Nata. Hal serupa juga akan dilakukan para bangsawan, yang rumahnya terletak tak jauh dari batu yang dilompati anak-anak itu.
Jamuan ayam jantan dilakukan bukan tanpa maksud. Dalam tradisi Nias Selatan, Sumatera Utara, ayam jantan merupakan lambang ayam yang kuat dan memiliki kemampuan terbang tinggi. “Begitulah harapan orang tua dan kaum bangsawan kepada anak-anak muda supaya mereka memiliki karakter yang kuat laksana ayam jantan yang mampu terbang tinggi,” ujar Nata.
Tradisi lompat batu atau hombo batu sesungguhnya berawal dari keinginan bangsawan untuk menyiapkan laskar kampung atau pasukan pertahanan desa. Pada masa itu, sekitar 350-400 tahun lalu, Nata bertutur, sering terjadi konflik antar-kampung yang berujung perang perebutan kekuasaan.
Konflik itu tidak selalu akibat masalah besar, tapi juga terkadang dari hal-hal kecil. Semisal, saling ejek ketika sama-sama berburu kijang hingga akhirnya memercikkan permusuhan.
Meskipun memiliki leluhur yang sama, konflik antar-kampung itu, menurut Nata, tak terhindarkan. Berdasarkan penelitian arkeologis, Nata mengatakan, leluhur Nias Selatan, yang berasal dari Gomo, mendiami Kecamatan Teluk Dalam sejak 600-700 tahun silam. Jauh sebelum itu, sudah ada kelompok lain yang mendiami Teluk Dalam. Antara kelompok ini dan leluhur Nias Selatan tak jarang terjadi bentrokan. Motifnya bermacam-macam, termasuk soal perebutan dan perluasan kekuasaan.
Supaya perebutan kekuasaan dan pencaplokan kampung lain berjalan mulus, para bangsawan tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan laskar kampung atau pasukan pertahanan desa dengan merekrut anak-anak muda untuk berperang. Anak-anak muda ini harus mengikuti latihan hombo batu. Melalui si’ulu atau kepala suku, fisik mereka digenjot. Mereka dilatih pula supaya bisa melompati batu. Anggota laskar kampung atau pasukan per- tahanan desa yang mampu melewati batu setinggi dua meter berarti sudah siap berperang dan melompati pagar berduri yang tinggi. Memang, desa atau kampung yang akan diserang biasanya menyiapkan pagar berduri yang dipasang tinggi-tinggi mengelilingi desa.
Layaknya seorang kesatria yang maju berperang, keberanian anak-anak muda ini sejatinya dititiskan dari orang tua. “Bila bapaknya seorang kesatria yang pemberani, maka darah kesatria itu menitis dan mengalir ke tubuh anak-anaknya,” ujar Nata. Di pundak anak-anak muda ini, ia menyebutkan, para bangsawan menaruh harapan besar. Sebab, kelak merekalah yang menjaga desa atau kampung dari se- rangan desa lain.
Dalam peperangan itu, jika berhasil mencaplok kampung lain, sang pe- menang akan bertambah kuat karena warga kampung yang kalah menjadi bagian dari kampung yang memenangi peperangan. Dengan bertambahnya jumlah warga, menurut Nata, kampung tersebut semakin kuat. Kekuatan itu bertambah besar jika pada peperangan berikut mereka bisa kembali mengalah- kan kampung lain. Begitu seterusnya.
Di balik perluasan kekuasaan dan perebutan harta, Nata melihat, jalan per- ang dipilih bangsawan untuk menambah jumlah abdi atau pelayan. Ini salah satu motif lain para bangsawan menghendaki terjadinya perang. Kini, peperangan itu memang tidak ada lagi. Hombo batu bersama tarian perang, fataele, sekarang menjadi atraksi wisata memikat yang sewaktu-waktu ditampilkan di Desa Bawomataluo, Teluk Dalam, Nias Selatan.
Mengenakan pakaian warna-warni— hitam, kuning, merah—dan membentuk formasi empat berjajar panjang, warga membawa tameng, pedang, atau tombak. Mereka pun menari mengikuti komando. Dimulai dengan gerakan maju dan mundur sambil mengentak-entakkan kaki ke tanah, mereka lalu meneriakkan yel-yel untuk membangkitkan semangat. Aura peperangan 350-400 tahun silam begitu terasa, seolah dibawa kembali ke masa kini.
agendaIndonesia/Aris Darmawan/shutterstock
*****