Kampung adat Cireundeu mirip dengan desa-desa adat lain di Jawa Barat. Perkembangan peradaban mendorong bergesernya fungsi kebutuhan primer. Bahan makanan menjadi komoditas dan rumah menjadi instrumen investasi. Di tengah laju modernitas itu, sejumlah daerah di Jawa Barat masih mempertahankan pola kehidupan tradisional. Masyarakat adat ini teguh memegang warisan leluhur untuk senantiasa hidup selaras dengan alam.
Kampung Adat Cireundeu
Sebagian besar warga kampung-kampung adat di provinsi ini menggantungkan mata pencaharian sebagai petani. Mereka menjaga kelestarian lingkungannya dengan menghindari produk-produk sintetis, seperti pupuk, plastik, obat, dan sabun dari bahan kimia. Dengan keunikan karakteristik ini, kampung adat justru menjadi magnet bagi orang-orang yang jenuh dengan aktivitas serba instan dan udara kota yang polutif.
Kampung adat Cireundeu yang berada di kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Cimahi, Jawa Barat, agak berbeda dari kampung adat lainnya. Tanaman pertaniannya bukan padi, melainkan singkong. Masyarakatnya tidak mengonsumsi beras sebagai makanan pokok, tetapi rasi, singkatan dari beras singkong.
Awalnya pada 1918, penduduk Kampung adat Cirendeu mulai berpindah pola makan, dari beras ke singkong. Ini terjadi sesudah penjajah menyita lahan padi mereka melalui pemberlakuan tanam paksa atau Cultuurstelsel.
Sesudah itu, mereka terus melanjutkan peralihan tersebut mengikuti arahan dari Haji Ali atau Mama Ali yang menjadi tokoh setempat sampai terjadi bencana alam pada sekitar 1920-an. Pada saat itu terjadi bencana kekeringan yang berdampak pada kebun dan sawah masyarakat Cireundeu. Keluarga Haji Ali pun mulai mengenalkan pemanfaatan singkong yang diolah jadi beras.
Seluruh warga kampung tersebut diminta Haji Ali untuk menanam singkong. Hal itu karena singkong dapat bertahan dalam bermacam kondisi. Semenjak itu masyarakat kampung adat tersebut mulai berpindah dan mengganti nasi dengan rasi, yaitu beras singkong untuk makanan utama mereka.
Sampai sekarang, secara turun temurun penduduk adat mengonsumsi singkong yang dinamakan dengan rasi untuk jadi pengganti makanan pokok. Cara pengolahan singkong dilakukan dengan cara digiling, kemudian diendapkan lalu disaring sehingga menghasilkan aci atau sagu.
Ampas dari olahan tersebut kemudian dikeringkan serta dibuat jadi rasi atau beras singkong. Selain itu, singkong juga diolah jadi bermacam camilan seperti opak, cireng, bolu, atau simping, bahkan jadi dendeng kulit singkong yang dijual sebagai oleh-oleh sesudah dikemas. Rasa kenyang karena mengkonsumsi singkong lebih lama daripada padi. Karenanya penduduk kampung adat ini hanya makan dua kali sehari.
Kampung adat Cireundeu berada di tempat yang sekelilingnya tertutup oleh gunung, lokasi tepatnya berada di lembah Gunung Cimenteng, Gunung Gajahlangu, dan Gunung Kunci.
Nama Kampung Cireundeu ternyata berasal dari nama pohon, yaitu “pohon reundeu”. Pohon ini banyak ditemui tumbuh di sekitar daerah tersebut dan diyakini tanaman tersebut mempunyai khasiat jadi tanaman herbal yang dapat digunakan untuk penyembuhan banyak penyakit.
Mereka memegang teguh warisan tradisi leluhur yang mengakar kuat. Sebagian besar penduduk Cirendeu tak suka merantau serta berpisah dengan sanak saudaranya. Kampung ini dihuni oleh 65 kepala keluarga yang sebagian besar bermata mata pencahariannya sebagai petani singkong. Luas Kampung Adat tersebut sekitar 64 hektare, yang sekitar 60 hektarenya diperuntukan bagi pertanian dan sisanya menjadi pemukiman.
Demi kelestarian alam, penduduk membagi hutan menjadi tiga bagian, yaitu leuweung larangan (hutan larangan), leuweung tutupan (hutan reboisasi), dan leuweung baladahan (hutan pertanian). Leuweung Larangan atau hutan larangan yakni hutan yang pepohonannya tak boleh ditebang karena pohon-pohon tersebut berfungsi sebagai penyimpanan air khususnya bagi penduduk Kampung adat Cireundeu.
Leuweung Tutupan atau hutan reboisasi yakni hutan yang dipakai untuk reboisasi. Pepohonan di hutan ini bisa atau boleh dipergunakan, tapi penduduk harus mengganti pohon lama dengan menanam pohon yang baru.
Leuweung Baladahan atau hutan pertanian, yakni hutan yang bisa digunakan oleh masyarakat setempat untuk berkebun. Biasanya lahan tersebut ditanami dengan jagung, singkong atau ketela, kacang tanah, dan umbi-umbian.
Masyarakat adat di Kampung Cireundeu kebutuhan airnya didapatkan dari mata air yang berada di lereng Gunung Gajahlangu. Mata airnya bernama Caringin. Tak hanya Caringin, kampung ini juga mengandalkan mata air yang bernama Nyimas Ende.
Bagi perempuan yang sedang haid dilarang untuk mendekat ke area mata air ini agar lokasi mata air terjaga kesuciannya. Menurut kepercayaan penduduk setempat itu adalah kabuyutan atau hal yang dihormati sekali.
Salah satu hal yang juga terus dipertahankan masyarakat desa ini adalah prinsip hidupnya. Mereka memegang teguh “Ngindung ka waktu, mibapa ka jaman.” Artinya, senantiasa melestarikan cara, ciri, dan keyakinan masing-masing, tetapi tetap beradaptasi pada perubahan zaman. Misalnya, mengikuti perkembangan teknologi berupa listrik, televisi, atau ponsel.
Jika berkunjung pada malam tahun baru Saka Sunda, yang biasanya jatuh pada bulan Oktober, wisatawan akan berkesempatan menyaksikan Upacara Syura-an yang dirayakan sebagai rasa syukur atas rahmat Tuhan. Para pemuka adat, warga, dan pemerintah kota akan datang dan turut meramaikan acara adat tersebut.
agendaIndonesia
*****