Kampung Ciptagelar, Adat Di 1050 Meter

Kampung Ciptagelar masyarakat berpindah yang tetap meninggikan adat pertanian.

Kampung Cipagelar selalu dingin pada dini hari. Saat pagi menjelang, suhu di Kampung Ciptagelar tak beranjak dari 20 derajat celsius. Pasalnya, kampung ini berada pada ketinggian 1.050 meter di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia dikelilingi banyak gunung lain, seperti Gunung Kendeng, Karancang, dan Surandil.

Kampung Ciptagelar

Kampung Ciptagelar kerap juga disebut Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar, karena mengusung model kepemimpinan adat dari orang tua atau sesepuh. Kasepuhan ini telah beberapa kali memindahkan pusat pemerintahan desa yang disebut Kampung Gede.

Masya­ra­kat adat Kampung Ciptagelar tersebar di Sukabumi, Bogor, dan Banten. Jumlahnya kurang lebih 30 ribu jiwa. Kasepuhan Ciptagelar memiliki se­kira 568 kampung adat yang tersebar di tiga wilayah tersebut.

Sementara itu Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar berada di kaki Gunung Halimun-Sa­lak dan masuk ke wilayah administrasi Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat..

Dari pusat kota Pelabuhanratu, lokasi itu bisa dijangkau dalam waktu sekira dua jam. Setidaknya Kasepuhan Ciptagelar masih berada di lokasi itu sebelum turun wangsit guna menjadikan Kampung Gede sebagai pu­sat kasepuhan dan kembali pindah ke tempat baru untuk bermu­kim.

Generasi pertama kampung ini muncul pada tahun 1368 berasal dari Cipatat, Bogor. Sejak saat itu, ketua adat berganti secara turun-temurun dan kampung adat terus berpindah tempat. Dari Cipatat Bogor beralih ke Lebak Larang, Lebak Binong, Tegal Lumbu, Pasir Jinjing, Bojong Cisono, hingga Sirna Rasa.

Terakhir, pada pertengahan 2001, dari di Kampung Ciptarasa di Desa Sirna Rasa, berpindah ke Desa Sirna Resmi yang berjarak sekira 12 kilometer.

Penduduknya memang masih menjalankan tradisi berpindah tempat berdasarkan perintah leluhur (wangsit). Saat ini, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Kampung Ciptagelar karena sering berpindah memiliki rumah yang semi permanen. Terbuat dari kayu dan anyaman bambu.
Rumah warga Kampung Gede Ciptagelar di Sukabumi. Foto: DOk. shutterstock

Karena itulah rumah warga berupa bangunan tidak permanen. Rangkanya terbuat dari kayu dengan anyaman bambu dan beratapkan pelepah aren yang dikeringkan. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Sementara sisanya berdagang, beternak, menjadi buruh, dan pegawai.

Suasana khas Sunda kental terasa begitu memasuki Kampung Ciptagelar. Di sana berjajar puluh­an rumah panggung berdinding kayu dan beratapkan rumbia atau kirai.

Bangunan kecil bernama leuit atau tempat menyimpan padi dibangun saling berdampingan. Di sekeliling kawasan kampung adat adalah gunung, hutan, kebun dan sawah berundak.

Dari gene­rasi pertama hingga saat ini, tradisi yang paling menonjol masyarakat Adat Ciptagelar adalah nilai-nilai budaya menanam dan menyimpan padi. Tradisi ini te­lah diturunkan ke generasi-generasi berikutnya. Mulai dari me­mi­lah benih, penanaman, panen sampai menyimpan padi, semuanya dilakukan secara tradisional.

Setahun sekali, mereka menanam padi secara serentak dengan memperhatikan gejala astronomi. Karena masih terikat pada tradisi, petani tidak menggunakan pupuk kimia, pestisida, traktor, dan mesin giling.

Semua hasil panen tidak boleh dijual, melainkan hanya dikonsumsi sendiri. Ini membuat Kasepuhan Ciptagelar mampu berswasembada pangan hingga beberapa tahun ke depan. Pasokan yang ada saat ini bisa untuk lima sampai enam tahun mendatang. Masyarakat menanam padi itu cukup setahun sekali saja, terus hasilnya disimpan di lumbung padi untuk bekal kehidupan sehari-hari.

Bi­bitnya berbeda dari yang umum beredar di Indonseia, diperlakukan secara alami dan tradisional tanpa bahan kimia buatan. Gabah disimpan di lumbung dan ada yang bisa bertahan 20-50 tahun.

Konon kuncinya ada pada bibit. Padi pada umumnya itu 2-3 bulan sudah bisa panen, kalau di sini yang ditanam itu masih menunggu sampai tujuh bulan baru bisa dipanen.

Perkembangan peradaban mendorong bergesernya fungsi kebutuhan primer. Bahan makanan menjadi komoditas dan rumah menjadi instrumen investasi. Di tengah laju modernitas, sejumlah daerah di Jawa Barat masih mempertahankan pola kehidupan tradisional. Masyarakat adat ini teguh memegang warisan leluhur untuk senantiasa hidup selaras dengan alam.

Masing-masing kampung adat  di Jawa Barat memiliki nilai yang berbeda satu sama lain. Ada yang tinggal secara permanen dan ada yang berpindah-pindah tempat. Ada yang sama sekali menolak alat elektronik, tetapi ada pula yang terbuka terhadap kemajuan teknologi.

Warga Kampung Adat Ciptagelar termasuk yang terbuka pada kemajuan teknologi. Mereka tidak menolak adanya modernisasi Buktinya di sana terdapat aliran listrik yang bersumber dari PLTA yang dibangun secara swadaya.

Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar sudah memiliki pasokan listrik sendiri yang bersumber dari pembangkit listrik mikrohidro yang terbarukan dan ramah ling­kung­an.

Selain itu juga didirikan stasiun televisi dan radio yang dikelola oleh masyarakat sekitar. Karena sudah ada listrik, wisatawan yang berkunkung atau menginap di sini tak perlu ragu untuk berfoto atau mengecas ponsel. Ada juga sinyal internet yang disediakan salah satu provider. Bahkan ada fasilitas WiFi berbayar.

Jika berminat merasakan tinggal di tengah hamparan sawah dan sungai yang jernih, wisatawan bisa menginap di permukiman warga. Empunya rumah tidak mematok tarif dan menyerahkannya pada tamu yang menginap.

Kampung Ciptagelar meskipun masih menjunjung tinggi adat, namun tidak menutup pada kemajuan teknologi seperti listrik dan komunikasi.
Masyarakat Ciptagelar kaum prianya umumnya masih menggunakan iket kepala. Foto: dok. shutterstock

Suasana asri dan sejuk sudah pasti bisa dirasakan oleh para wisatawan. Sehari-hari, kaum pria memakai pangsi de­ngan kepala terbungkus iket. Sementara kaum wanita mengenakan kebaya.

Tertarik? Ayo agendakan sekali-kali liburan Anda ke kampung-kampung adat. 

agendaIndonesia

*****