Kampung Kuta Ciamis memiliki keunikan dengan melawan banyak kemajuan zaman. Kampung adat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ini mungkin mirip dengan Kampun Adat Naga di Garut-Tasikmalaya. Sebuah kampung yang menikmati harmoni alam dan tradisi leluhur.
Kampung Kuta Ciamis
Kerap dijuluki sebagai kampung seribu pantangan, kampung Kuta Ciamis yang luasnya tak terlalu besar –sekitar 97 hekatre, memang memiliki banyak peraturan. Tujuannya, tentu tak lain untuk menjaga agar alam sekitar dan tradisi leluhur tetap lestari. Salah satunya adalah pantangan membangun rumah dari tembok dan genting.
Semuanya harus terbuat dari bambu atau kayu, dengan atap rumbia atau ijuk. Masyarakat kampung Kuta Ciamis meyakini, jika ada warga yang membangun rumah dari tembok, seluruh kampung akan mendapat musibah.
Bukan hanya terhadap orang yang membangunnya saja, melainkan berdampak terhadap satu kampung. Percaya atau tidak, hal itu sudah dibuktikan dan dirasakan oleh warga kampung Kuta. Sehingga, jika ada warga yang memaksa membangun rumah dari tembok, secara bersama-sama warga kampung akan meminta untuk segera dirobohkan.
“Itu sudah menjadi amanah leluhur, tidak boleh membangun rumah dari tembok, tapi harus panggung,” kata Karman, salah seorang sesepuh kampung adat. Pria berusia 62 tahun itu juga menyebut bahwa bentuk rumah harus persegi panjang dan tidak boleh menyiku.
Rumah dari kayu dan bahan alamiah lain diyakini masyarakat setempat sebagai upaya menjaga keseimbangan alam. Rumah dari kayu, ijuk dan lain-lain juga dinilai mudah untuk dirobohkan jika harus pindah atau rumah tersebut rusak. “Rumah dari kayu juga lebih tahan gempa,” kata Karman.
Keberadaan kampung adat seperti kampung Kuta Ciamis ini tentu merupakan keunikan peradaban zaman. DI saat perkembangan peradaban mendorong bergesernya fungsi kebutuhan primer, ada yang mencoba bertahan dengan sendi-sendi peradaban masa lampau.
Di tengah laju modernitas, keberadaan sejumlah perkampungan di Jawa Barat yang masih mempertahankan pola kehidupan tradisional tentu saja sebuah pengecualian. Masyarakat adat ini teguh memegang warisan leluhur untuk senantiasa hidup selaras dengan alam.
Maka, selalu menarik untuk sekali-kali melambat sejenak dan rasakan ketenteraman hidup di tengah alam yang masih murni. Masyarakat adat akan dengan senang hati menyambut wisatawan yang ingin bersilaturahmi dan mengenal budaya setempat.
Tentu pengunjung harus siap dengan semua kearifan lokal seperti Kampung Kuta ini. Selain rumah di atas, masyarakat Kuta juga punya sikap soal kamar mandi.
Warga Kuta dilarang membuat kamar mandi atau jamban di masing-masing rumah. Sebagai gantinya, mereka menggunakan kamar mandi umum yang biasanya menyatu dengan kolam ikan.
Bentuknya berupa bilik bambu setengah terbuka. Sementara airnya berasal dari mata air yang mengalir melalui pancuran. Rupanya, ketiadaan tangki septik diyakini dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan nyamuk penular demam berdarah di sekitar rumah.
Kearifan lokal lainnya dari masyarakat Kuta adalah warga tidak boleh menguburkan jenazah di kawasan kampung. Pertimbangannya, agar air tanah di dalam Kawasan kampung tidak tercemar.
Tak berhenti di situ, masyarakat kampung ini juga tidak boleh membuat sumur bor. Pertimbangannya, tanah di Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, ini tergolong labil. Membuat sumur dengan cara mengebor dianggap bisa merusak struktur tanah.
Pantangan lain di kampung ini juga hadir di beberapa situs bersejarah bekas peninggalan Kerajaan Galuh. Ada hutan keramat Leuweung Gede, atau Gunung Barang yang diyakini sebagai tempat penyimpanan barang kerajaan, dan tempat pemandian Ciasihan.
Banyaknya tempat keramat di sekitar Kampung Kuta ada kaitannya dengan sejarahnya. Konon dalam cerita Sunda Buhun diceritakan tentang sebuah lokasi yang batal dijadikan sebagai ibu kota Kerajaan Galuh. Nama lokasinya adalah Kuta Pandak, atau disebut juga Kuta Jero.
Masayarakat Ciamis percaya, lahan tempat ibu kota yang tidak jadi tersebut adalah Kampung Adat Kuta tersebut. Penamaan Kampung Kuta sendiri merujuk kepada lokasinya yang terletak di sebuah lembah, yang dikelilingi oleh tebing, dan perbukitan. Kondisi tersebut layaknya membentuk sebuah pagar alami. Dan dalam istilah Sunda, makna kata Kuta berarti sebuah pagar.
Masing-masing kampung adat memiliki nilai yang berbeda satu sama lain. Ada yang sama sekali menolak alat elektronik, tetapi ada pula yang terbuka terhadap kemajuan teknologi. Ada yang tinggal secara permanen dan ada yang berpindah-pindah tempat. Meski demikian, kampung adat di Jawa Barat lekat dengan pola masyarakat agraris.
Sebagian besar menggantungkan mata pencaharian sebagai petani. Mereka menjaga kelestarian lingkungannya dengan menghindari produk-produk sintetis, seperti pupuk, plastik, obat, dan sabun dari bahan kimia. Dengan keunikan karakteristik ini, kampung adat justru menjadi magnet bagi orang-orang yang jenuh dengan aktivitas serbainstan dan udara kota yang polutif.
Di kampung Kuta ini, masyarakat sering mementaskan kesenian calung, reog, sandiwara, tagoni, jaipongan, kasidah, ronggeng, dan dangdut. Berwisata ke Kampung Kuta akan menambah pengalaman sekaligus mengasah kearifan pemikiran sesuai tradisi nenek moyang.
Bagi yang ingin berkujung ke Kampung Adat Kuta, jika pemberangkatan awal dari Alun-alun Kabupaten Ciamis, maka jarak tempuhnya sekitar 42 kilometer, dengan kisaran waktu tempuh sekitar 1 jam 30 menit.
agendaIndonesia
*****