Tari Kecak, Seni Tari Popular Mulai 1930

Tari Kecak Bali, kesenian tradisional yang mengandung makna spiritual. Foto: unsplash

Tari kecak rasanya salah satu seni tari tradisional Bali yang sudah sangat popular. Di Tengah acara G20 di Bali November 2022 ini, rasanya seni ini yang akan mendapat cukup banyak perhatian, selain tari Pendet yang ditampilkan untuk menyambut para tamu negara. Tetapi mungkin belum banyak yang mengetahui makna spiritual yang menjadi alasan ikon budaya pulau Dewata ini menjadi tradisi yang terus dilestarikan hingga kini.

Tari Kecak

Secara umum, tari kecak merupakan seni tari yang diperagakan oleh sejumlah laki-laki yang duduk melingkar. Jumlah penari ini bisa mencapai puluhan hingga ratusan orang, ditambah beberapa penari yang tampil di tengah-tengah para penari laki-laki yang melingkar tersebut.

Penari-penari yang tampil di tengah lingkaran tersebut lantas menampilkan sendratari epos Ramayana, yakni kisah Rama yang berupaya menyelamatkan Shinta dari Rahwana. Dalam upayanya ini Rama dibantu pasukan kera yang dipimpin Hanoman.

Para penari yang melingkar itu adalah representasi dari pasukan kera tersebut, sebagai latar dari lakon yang diperagakan. Para penari biasanya akan tampil dengan kain kotak-kotak yang dikenakan seperti sarung di pinggang, tanpa mengenakan baju.

Tari Kecak merupakan simbol taolak bala dalam masyarakat Bali.
Tari Kecak Bali merupakan bagian dari cerita Ramayana. Foto: DOk. Kemenparekraf

Sebagai latar lakon yang dipertunjukkan, para penari tersebut kemudian akan menari dengan mengangkat tangannya ke atas dan menggoyangkannya ke kanan atau ke kiri, sambil berseru kata ‘cak’, atau ‘cak-cak’ berulang kali secara berirama. Bagi telinga awam, seruan ‘cak’ yang berulang inilah mengapa tari ini kemudian lazim disebut tari kecak.

Dalam pertunjukan tari ini, tidak ada alunan musik dari alat musik yang dimainkan untuk mengiringi jalannya pertunjukan. Hanya ada suara kerincing yang dipakai di kaki dan tangan para penari di dalam lingkaran, serta tentunya seruan ‘cak’ dan ‘kecak’ yang khas itu. Kadang ditambah tiruan gamelan dari mulut para penari. Semacam acapela.

Di balik lakon bertema pewayangan Hindu tersebut, tari kecak disebut punya keterkaitan dengan seni tradisional Bali lainnya, yaitu ritual tari sanghyang. Ritual ini merupakan perpaduan unsur mistik dengan kepercayaan luhur masyarakat Bali.

Ritual ini diyakini telah ada sejak masa pra-Hindu di wilayah Bali. Pada dasarnya, para penampil ritual ini adalah orang-orang yang disebut tidak sadarkan diri dan disusupi oleh hyang (roh), sehingga dapat bergerak dan menari sendiri tanpa terkendali.

Bahkan, para penari ritual tersebut dapat menginjak api sambil menari atau melakukan gerakan tarian yang tak lazim dilakukan manusia pada umumnya. Konon, ini merupakan cara berinteraksi secara spiritual dengan sang Pencipta, meminta agar dihindarkan dari keburukan.

Ritual ini pun sejatinya bukanlah sebuah pertunjukkan yang marak dipertontonkan untuk umum, karena nilai sakralnya. Biasanya ritual ini dilakukan pada situasi tertentu yang dianggap mencemaskan, seperti saat serangan wabah penyakit, dan lain sebagainya.

Tari Kecak Bali PARIWISATA ATRAKSI shutterstock 1332483425 Aries Hendrick Apriyanto 660c40fe2d
Tari Kecak dibawakan oleh puluhan hingga ratusan penari. Foto: Shutterstock

Tari kecak sendiri secara mendasar juga ditujukan sebagai ritual penolak bala. Beberapa elemen dari ritual tersebut seperti beberapa penari-penarinya yang juga dirasuki dan menginjak bara api, serta sesajen juga kerap terdapat pada pementasan tari ini.

Selain itu, penampilan kisah Ramayana dalam pertunjukannya juga mengandung pesan moral seperti usaha dan perjuangan yang pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan. Serta pentingnya untuk tidak serakah, pun selalu ingat dan berserah diri kepada sang Pencipta.

Menurut sejarahnya, tari kecak mulai dipopulerkan pada tahun 1930-an. Semua berawal ketika Walter Spies, seorang seniman asal Jerman yang tinggal di Bali sedang mendalami kesenian tradisional setempat, termasuk ritual tari sanghyang.

Ritual tersebut meninggalkan impresi yang mendalam baginya, sehingga ia kemudian berdiskusi dengan temannya, seorang seniman tradisional Bali bernama I Wayan Limbak. Mereka lantas berkolaborasi dan mengaransemen pertunjukan tari kecak seperti yang dikenal saat ini.

Kala itu, I Wayan Limbak sendiri tengah mengembangkan gerakan-gerakan baru pada tari baris, yakni tari tradisional Bali yang berakar pada tari perang di masa lalu, sebagai tanda pemuda-pemuda dianggap sudah dewasa dan siap bertarung. Tari ini biasanya diiringi oleh gamelan.

Dari kolaborasi itu, tercetus ide untuk mengintegrasikan gerakan yang tengah dikembangkan tersebut ke dalam sendratari Ramayana. Namun alih-alih diiringi gamelan, penampilan tersebut kemudian diiringi oleh seruan ‘cak’ dan ‘kecak’ yang berirama, layaknya sebuah ritual.

Irama tersebut lantas diatur oleh aba-aba seseorang di dalam kumpulan lingkaran tersebut layaknya seorang konduktor. Seseorang lainnya kemudian bernyanyi sesuai alur ceritanya, didampingi oleh sang dalang yang menarasikan jalan cerita.

Setelah aransemen secara keseluruhan telah jadi, tari ini kemudian dipertunjukan kepada umum di beberapa desa, utamanya di wilayah Gianyar. Setelah populer, kini tari ini dipentaskan di berbagai tempat lainnya, seperti Uluwatu, Tanah Lot, dan Garuda Wisnu Kencana.

prabu panji SXM0NC45wU0 unsplash
Rama dan Sinta sebagai bagian pergelaran Tari Kecak. Foto: unsplash

I Wayan Limbak juga sempat membawa pertunjukan tari ini ke berbagai negara-negara lain, sehingga banyak turis mancanegara yang tertarik untuk melihat pentas tari ini secara langsung. Dewasa ini, tari kecak juga kerap jadi pertunjukan dalam festival atau perayaan tertentu di Bali.

Kendati terkadang dipertunjukkan pada siang atau malam hari, tari kecak idealnya dipentaskan pada waktu petang saat matahari terbenam, kira-kira jam 18.00. Terutama jika pengunjung menonton di pura-pura seperti di Uluwatu atau Tanah Lot.

Yang menarik, tari kecak bisa dibilang masih merupakan salah satu seni tradisional yang sangat dibanggakan dan dijaga oleh masyarakat Bali. Banyak dari para penarinya yang sehari-hari merupakan pekerja di berbagai bidang lain.

Setelah selesai bekerja, mereka baru tampil sebagai penari kecak. Meskipun umumnya mereka juga mendapat penghasilan dari tiket penonton yang kerap kali ramai, tetapi justru semangat mereka lebih kepada usaha melestarikan kebudayaan Bali yang begitu ikonik ini.

Terlebih dengan nilai-nilai ajaran Hindu yang terkandung di dalamnya, serta kepercayaan luhur agar terhindar dari hal-hal buruk, membuatnya menjadi kesenian yang sangat lekat dan dipegang teguh oleh masyarakat Bali hingga kini.

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****