Rabeg Haji Naswi layak jadi salah satu rekomendasi utama kala sedang berpetualang mencicipi kuliner khas kota Serang, Banten. Masakan ini sudah hadir di tengah-tengah warga kota itu sejak era Kesultanan Banten.
Rabeg Haji Naswi
Sesungguhnya dari khasanah kulinernya, Serang masih memiliki beberapa makanan khas yang belum banyak terekspos dan dikenal publik. Beberapa yang sudah dikenal di antara seperti sate bandeng, pecak bandeng, dan nasi sumsum.
Begitu pula dengan rabeg, yang punya sejarah panjang dalam kehadirannya di tengah kehidupan warga ibu kota provinsi Banten tersebut. Disinyalir, makanan ini merupakan hasil sebuah eksperimen pada masa Kesultanan Banten di pertengahan tahun 1500-an.
Dikisahkan bahwa Sultan Maulana Hasanudin, yang berkuasa pada saat itu, hendak melaksanakan ibadah haji dan kemudian berlayar menuju Tanah Suci. Sesampainya di sana, ia berlabuh di sebuah kota di tepi Laut Merah bernama Rabigh.
Di kota tersebut, ia sempat mencoba sebuah kuliner asli setempat, yang berupa olahan daging kambing dengan kuah yang sedap nan gurih. Makanan sejenis ini lazim disebut thareed, yakni racikan sayur dan daging berkuah di Arab yang konon adalah salah satu kuliner kesukaan Rasulullah SAW.
Ternyata, Sultan Maulana begitu menyukai makanan tersebut, hingga terus terbayang olehnya setelah selesai beribadah dan berlayar kembali ke Tanah Air. Sekembalinya, ia menitahkan juru masak istana untuk mencoba membuatkan masakan yang serupa.
Namun, tak mudah untuk mendapatkan hasil masakan yang serupa, karena perbedaan bumbu dan rempah nusantara dengan Arab. Hingga pada satu percobaan, ia mencicipi masakan tersebut dan merasa bahwa inilah yang paling mendekati dengan makanan yang ia coba.
Masakan tersebut pun menjadi salah satu hidangan favorit sang Sultan. Bahkan ada yang meyakini bahwa ia lebih suka hasil eksperimen tersebut ketimbang aslinya. Sebagai penghormatan, ia menyebutnya sebagai ‘rabeg’, alias masakan ala-ala kuliner kota Rabigh.
Dari hidangan kaum bangsawan dan priyayi di istana, lambat laun resep tersebut juga turun kepada masyarakat luas. Dan nyatanya, mereka pun ikut menyukai kuliner tersebut, sehingga sejak saat itu pula rabeg menjadi kuliner yang identik dengan warga Banten, khususnya Serang.
Pada perkembangannya, rabeg menjadi salah satu hidangan yang dibuat pada acara hajatan dalam adat Banten, seperti acara pernikahan, akikah atau khitanan. Selain itu, ada pula adat menyantap rabeg di bulan suci Ramadhan dengan ketan bintul, atau ketan dengan serundeng.
Menurut sejarahnya, adat ini bermula dari kebiasaan Sultan Maulana Hasanudin yang gemar menyantap rabeg dengan ketan bintul sebagai santapan saat berbuka puasa. Selain itu, tamu-tamu istana juga kerap dijamu dengan sajian tersebut.
Secara filosofis, ketan bintul sendiri dengan wujudnya yang lengket dianggap punya nilai luhur keraketan, atau yang kurang lebih berarti melekatkan. Sehingga diharapkan dengan menyantap makanan tersebut bersama-sama dapat mendekatkan dan menyatukan sesama manusia.
Rabeg sendiri secara umum merupakan olahan daging dan jeroan kambing, atau kemudian juga menggunakan daging sapi, yang dimasak dengan kuah berbumbu rempah seperti jahe, bawang merah, laos, ketumbar, lada, kayu manis dan sebagainya. Cita rasanya merupakan perpaduan dari manis, pedas dan gurih.
Berbeda dengan gulai, rabeg tidak menggunakan santan dalam pembuatannya. Secara sepintas, ia mungkin terlihat cenderung mirip seperti tongseng, tengkleng atau semur. Namun, secara aroma dan rasanya, ia diklaim lebih kuat dan berkarakter.
Karena keeratannya dengan budaya warga Banten, maka tidaklah mengherankan jika pedagang rabeg cukup menjamur di kawasan ini. Banyak dari mereka yang sudah berjualan kuliner ini sejak bertahun-tahun lamanya.
Salah satunya adalah rabeg Haji Naswi, yang jika ditelusuri sudah eksis sejak tahun 1952. Haji Sani, generasi pertama dari usaha ini, mulanya berjualan rabeg di banyak perhelatan hiburan rakyat, seperti pasar malam, pertunjukan tari Jaipong, layar tancap atau wayang golek.
Usaha ini terus berlanjut hingga era 1970 dan 1980-an, kala usaha dikelola oleh generasi kedua dan ketiga, Hj. Jenah dan H. Naswi. Dari sini, mereka mulai menetap di warung semi permanen yang dinamakan rabeg Haji Naswi sebagai penanda dan pembeda dari penjaja rabeg lainnya.
Hingga kini, warung di kawasan jalan Mayor Safei itu masih eksis dan jadi salah satu pilihan bagi warga lokal maupun wisatawan yang ingin menyantap kuliner khas ini. Lokasinya yang berseberangan dengan Rutan Serang juga membuatnya cukup mudah ditemukan.
Usaha kini dilanjutkan oleh anak-anak H. Naswi, dengan tetap mempertahankan beberapa keunggulan yang dimiliki oleh rabeg buatan mereka. Seperti misalnya cita rasa yang otentik dengan rasa dan aroma jahe yang kuat, serta daging kambing yang empuk dan tidak bau.
Menurut resep turun temurun keluaga ini, cita rasa jahe adalah salah satu kunci membuat rabeg yang otentik. Diyakini, bahwa rasa jahe yang pedas dan hangat di tubuh ini menjadi pembeda rabeg dengan makanan sejenis, seperti tongseng atau semur.
Meskipun diakui pula bahwa kuah rabeg buatan mereka kini dibuat lebih cair ketimbang dulu untuk menyesuaikan selera pelanggan, tetapi mereka mengantisipasinya dengan selalu memberi ekstra jahe demi cita rasa yang kuat.
Selain itu, daging kambing haruslah empuk dan tidak berbau. Untuk mencapai hal ini, ada beberapa tahapan yang mereka lewati, seperti pemilihan jenis kambing yang spesifik, serta usia kambing yang tak boleh terlalu muda maupun tua.
Saat daging dicuci pun, harus benar-benar sampai bersih dari kotoran dan darah. Bahkan, setelah daging masuk proses perebusan, akan tetap dicek apakah masih berbau. Jika masih ada sisa bau amis, air rebusan akan diganti dan daging direbus ulang hingga hilang baunya.
Kombinasi kuah bercita rasa kuat nan unik, daging yang empuk tanpa bau, dengan sepiring nasi hangat serta tambahan seperti emping dan sebagainya itulah yang membuat rabeg Haji Naswi begitu disukai penggemarnya dan diburu oleh pemburu kuliner.
Satu porsi rabeg Haji Naswi dihargai Rp 31,5 ribu, dengan pilihan daging saja atau dengan tulangnya. Tersedia pula menu-menu pelengkap untuk menemani pengunjung menyantap rabeg, seperti sate kambing, sapi atau ayam yang harganya berkisar dari Rp 40-50 ribu.
Rabeg Haji Naswi buka dari jam 10.00 hingga jam 24.00. Meski warungnya berukuran cukup kecil dan berada di pinggir jalan, namun tersedia area untuk parkir. Mulai dari sore jam 16.00, tempat ini juga dipakai untuk berjualan nasi uduk, nasi timbel, ayam goreng dan bebek goreng.
Rabeg Haji Naswi
Jl. Mayor Safei no. 30, Serang
agendaIndonesia/audha alief praditra
*****