Motif Tenun Siak, 3 Siku dan 3 Pucuk

Tenun Siak

Motif tenun Siak, 3 siku dan 3 pucuk barangkali sangat sedikit orang di luar wilayah Riau yang mengerti dan memahaminya. Tak hanya itu, bahkan secara wisata, Pekanbaru dan Riau masih sangat sedikit dilirik wisatawan. Baik lokal maupun manca negara. Padahal, di daerah ini dulunya adalah salah satu pusat kebudayaan Melayu.

Motif Tenun Siak

Sejak Indonesia merdeka, mungkin pengetahuan orang mengenai Siak, Pekanbaru atau Provinsi Riau umumnya, erat dengan sawit dan minyak,. Padahal Pekanbaru ternyata punya berlaksa kisah masa lampau yang menarik buat diulik.

Pada masa kolonial Belanda, kota ini pernah menjadi urat nadi perdagangan, khususnya di Sumatera. Lewat sungai Siak yang membelah Kota Pekanbaru, lalu-lintas perdagangan dari luar, seperti Semenanjung Malaya, menuju pedalaman Sumatera, yakni Tapung, Minangkabau, dan Kampar, berlangsung. Kota yang dulunya berjuluk Senapelan ini bahkan pernah menjadi lokasi ditumpuknya berbagai komoditas.

Posisi yang strategis membuat Senapelan berjaya. Orang-orang berbondong datang dari berbagai daerah membawa beragam logistik. Mereka menaiki kapal-kapal tongkang demi barter dan saling-silang kebutuhan pokok.

Makin ke sini, Pekanbaru bukan lagi seperti dulu. Denyut perdagangan lewat Sungai Siak hampir berhenti lantaran jalur darat mulai lancar. Pun dengan sejumlah tradisi Melayu lawasnya. Di antaranya tenun Siak.

Tenun Siak atau sering orang menyebutnya pula sebagai songket Siak tentu saja berasal dari Siak, Provinsi Riau. Kota yang letaknya sekitar 100-an kilometer dari Pekanbaru, ibukota Riau. Tradisi tenun ini dimulai sejak zaman kesultanan Siak Sri Indrapura. Tepatnya saat Tengku Said Ali, yang bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi bertakhta di Kesultanan Siak. Dari cerita mulut ke mulut, konon tradisi tenun Siak ini mendapat pengaruh dari Kesultanan Trengganu di Malaysia.

Kini praktis tak cukup banyak perajin kain tenun atau songket Siak tradisional. Kalau pun ada, umumnya menggunakan tenun mesin. Di antara yang tak banyak itu, jika Anda tertarik menelusurinya, cobalah datang kawasan Kampung Bandar di sekitar Pelabuhan Bunga Tanjung, pelabuhan rakyat yang menghubungkan Kota Pekanbaru dan Selat Panjang.

Di belakang pelabuhan itu, masih bisa ditemui rumah panggung tradisional khas Siak yang dibangun sejak 1887 yang memproduksi tenun Siak tradisional. Bunyi dari rumah panggung itu seperti beras yang diayak di atas nyiru. Terus kontinyu selama satu hingga dua jam. Paling di antaranya jeda sesekali. Suaranya tenang sekejap, kira-kira 3-5 menit. Setelahnya, bunyi mesin kayu berderu lagi.

Di rumah itulah Wawa Endi, seorang perajin tenun Siak, tinggal dan berproduksi. Di tangannya, alat tenun manual sepanjang kira-kira 160 sentimeter terus-terusan bergemeretak dari pagi sampai sore. Rot penggulung benang dan kain, yang letaknya berseberangan, serta berfungsi merentangkan benang-benang sepanjang dua meter, berputar ganti-gantian.

Wawa adalah satu dari sangat sedikit penenun kain Siak tradisional. Jarinya lihai mengayun lidi pungut untuk membentuk beragam motif bunga cengkeh, sebuah simbol kekayaan masyarakat Melayu. Juga menarikan pola, membentuk berekor-ekor kalong yang berjajar mekanis. Tangan kirinya kadang mengangkat benang yang direntangkan vertikal, sedangkan tangan kanannya menyusupkan lembar-lembar benang emas sesuai pola.

Motif tenun Siak
Motif Tenun Siak. Dok TL-A. Prasetyo

Lembaran emas yang disematkan di kain tenun khas Siak itu diimpor dari Cina. Ada juga yang dari Singapura. Keduanya punya kualitas yang sama dan harganya pun tak jauh beda. Hanya, benang emas dari Singapura membuat kain bertekstur lebih kaku. Biasanya, kain dengan sentuhan benang emas Singapura dipakai untuk sarung, bagi laki-laki, dan selendang bagi perempuan. Sedangkan kain dengan sentuhan benang emas dari Cina acap dijahit menjadi baju.

Nuansa tenunan emas tersebut memperkuat kesan ‘calak’ yang melekat pada selembar kain tenun. Maklum, tenun kebesaran orang-orang Melayu ini memiliki ciri warna-warna cerah dan berani. Dari sejarahnya, benang yang dipakai untuk menghasilkan tenun Siak memiliki warna hijau, kuning, dan merah. Namun dalam perkembangannya, beragam inovasi muncul mendobrak aturan terhadap warna yang dipakai. Warna kain tenun Siak menjadi lebih beragam.

Menyematkan lembar emas di antara 3.486 helai benang tentu tak mudah. Satu lembar kain tenun Siak umumnya selesai dalam waktu 10 hari. Bisa lebih cepat jika si perajin sedang giat bekerja. Atau pesanan yang waktunya mendesak.

Corak atau motif kain tenun Siak Salah satunya kaya akan bunga cengkeh. Bunga cengkeh menyiratkan komoditas utama masyarakat yang tinggal di bumi Melayu. Selain bunga cengkeh, terdapat motif bertabur kalong, yang memiliki filosofi sifat berwibawa dan bertanggung jawab, representasi seorang pemimpin atau raja.

Memang, seturut dengan budayanya, kain tenun Siak merupakan simbol prestisius bagi pemakainya. Kain ini mulanya hanya dipakai di lingkungan kerajaan Siak Sri Indrapura. Yang mengenakan pun orang-orang kalangan bangsawan atau keturunan darah biru. Tak khayal, dari segi motif, tenun Siak mengangkat corak-corak yang mengandung nilai-nilai sakral, loyalitas, dan pengabdian—representasi seorang pemimpin.

Secara umum kain Siak memiliki 3 motif Siku dan 3 motif Pucuk. Masing-masing dengan maknanya. Ada Siku Keluang, Siku Awan, dan Siku Tunggal. Siku Keluang memiliki maknapribadi yang memiliki sifat bertanggung jawab yang menjadi idaman orang Melayu Riau. Siku Awan berartibudi pekerti, sopan santun, dan kelembutan akhlak, menjadi asas tamadun Melayu.

Sedangkan Siku tunggalmencerminkan sikap atau perilaku orang Melayu yang amat mengutamakan “persebatinan iman atau perpaduan umat” baik antara sesama Melayu atau pendatang. Landasan ini yang membuat orang Melayu menerima siapa saja yang datang.

Sementara itu, motif Pucuk juga ada tiga, yakni Pucuk rebung kaluk pakis bertingkat; Pucuk rebung bertabur bunga ceremai, dan Pucuk rebung penuh bertali.

Pucuk rebung kaluk pakis bertingkat berarti Pucuk rebung (kesuburan) mengandung makna kemakmuran hidup lahiriah dan batiniah. Kaluk pakis bertingkat (nilai tahu diri) merupakan sifat yang amat penting, sesuai dengan ungkapan tahu diri dengan perintah, tahu duduk dengan tegaknya, tahu alur dengan patutnya.

Pucuk rebung bertabur bunga ceremai bermakna nilai kasih saying, hormat-menghormati, lemah lembut, dan bersih hati, menjadi acuan dalam budaya Melayu Riau, banyak dilambangkan dengan hampir semua motif bunga. Serta Pucuk rebung penuh bertali yang berarti nilai budaya Melayu sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam yang memberi tuntunan dan bimbingan agar manusia memiliki akhlak mulia sehingga menjalankan kehidupan yang benar.

Di luar motif Siku dan Pucuk, masih ada motif Daun tunggal mata panah tabir bintang, yakni corak dasar Melayu bersumber dari alam flora (bunga, kuntum, daun, dan buah), mengandung nilai falsafah keluhuran, kehalusan budi, keakraban, dan kedamaian. Dan motif Wajik sempurna yang melambangkan sifat Allah yang pemurah agar mendapatkan kasih dan kemurahan dari Allah, sepatutnya manusia bersyukur atas nikmat serta kurnia yang dilimpahkan.

Sehari-hari, kelompok perajin tenun Siak tradisional ini menggarap pesanan dari berbagai kalangan. Mereka menenun dari pukul 10 pagi sampai pukul 4 sore. Penggarapnya berganti-gantian lantaran alat tenun yang tersedia cuma tiga. Sisanya akan menggarap pekerjaan lain, semisal memintal benang, mengemas kain yang sudah selesai ditenun, sampai memasak untuk makan siang.

Waktu berjalan, budaya berganti. Perempuan dari keluarga Siak biasa pun kemudian diajari untuk menyungkit kain warisan kerajaan tersebut. Kemudian, tenun Siak juga tak cuma dipakai kaum bangsawan untuk rangkaian upacara atau seremoni tertentu. Seperti batik, tenun Siak meluas fungsinya menjadi kain yang digunakan untuk beragam acara.

Penduduk biasa pun mulai membuka usaha tenun, di sepanjang Sungai Siak—yang membentang dari Tapoeng, Kampar, dan bermuara di Selat Panjang. Budaya menenun kain merembet sampai Pekanbaru. Bahkan, tenun ini kini lebih populer ditemukan di Pekanbaru daripada di tanah muasalnya.

Beberapa orang mengatakan alasannya karena pasar yang lebih jelas. Selain itu, relevansi historis ternyata turut mempengaruhi. Sejarah Riau mencatat, pada 1762, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan pusat Kerajaan Siak Sri Indrapura dari Mempura Besar ke Bukit Senapelan, wilayah Kampung Bandar. Banyak orang asli Siak bermigrasi ke sana. Mereka disebut sebagai orang Pokan, yakni orang yang merantau akibat perdagangan. Mereka lantas membuka usaha tenun.

Meski dihantam inovasi atau bergerak meluas dari tanah asalnya, tak ada yang berubah dari nilai simbol tenun Siak, utamanya perihal motif. Penenun tetap mempertahankan corak demi corak, sesuai bentuk mula tenun tersebut berkembang. Stylisasi flora, fauna, dan alam sekitar, terjaga utuh di lembaran kain berharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah itu.

F. Rosana/A. Prasetyo