Ulos, Pernikahan, Kelahiran, Dan Kematian (2)

Ulos sibolang

Ulos dalam adat dan tradisi Batak bukan sekadar lembaran kain yang dipakai dalam upacara-upacara istiadat. Di dalamnya mengandung makna yang luar biasa dalam. Ia memiliki arti sejak perjodohan, kelahiran, hingga kematian.

Ulos, Jenis Dan Kegunaannya

Di dalam adat Batak, remaja yang baru belajar menenun memang hanya diperboleh membuatkan ulos parompa yang digunakan untuk menggendong anak. Tingkat kemahiran ditentukan oleh jumlah lidi yang digunakan. Pada tingkat mahir, penenun biasanya menggunakan tujuh buah lidi sekaligus. Itu yang disebut marsipitu lili. Pada level ini, mereka telah bisa membuat semua jenis kain ini. Dalam membuatnya, semakin banyak lidi yang digunakan, maka corak pun semakin beraneka.

Ulos Jugia. Disebut juga ulos naso ra pipot atau pinunsaan. Hanya untuk orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki dan perempuan. Nilainya tertinggi dan disimpan dalam parmonang-monangan (lemari).

Ragi Hidup. Rangkaian dua kata ini bermakna lambang kehidupan. Coraknya memberi kesan kainnya hidup. Muncul dalam warna hitam-putih. Memiliki nilai tinggi. bisa digunakan untuk kesempatan suka maupun duka. Pada saat pernikahan, kain ini diberikan orang tua pengantin wanita kepada ibu pengantin pria. Bila ada sesepuh meninggal, ulos ragi hidup dikenakan oleh si sulung. Jenis ini paling banyak ditemukan dalam upacara adat Batak.

Ragi Hotang. Diberikan kepada pengantin agar terjadi ikatan batin seperti rotan (hotang). Disebut juga sebagai ulos marjabu. Disampirkan ke bahu keduanya, ujung kanan dipegang pengantin pria dan kiri wanita, lalu diikat di tengahnya. Sedangkan saat kematian, digunakan untuk menutup jenasah atau membungkus tulang manakala penguburan untuk kedua.

Ulos Sadum. Memiliki warna ceria, dengan dominasi warna merah, sehingga banyak digunakan untuk upacara suka cinta. Meski bisa juga untuk suasana lara.

Ulos Runjat. Digunakan orang kaya dan digunakan sebagai ulos edang-edang yang digunakan untuk ke pesta pernikahan.  Diberikan juga kepada pengantin oleh keluarga terdekat.

Ulos Sibolang. Lebih banyak digunakan orang untuk acara duka cinta, namun sebenarnya bisa juga digunakan untuk suasana suka cita. Lazimnya pada saat berduka digunakan yang dominan hitam sedangkan saat suka lebih banyak warna putih. Yang putih ini pun digunakan dalam upacara pernikahan. Orang tua pengantin perempuan mangulosi ayah pengantin pria, untuk mabolang-bolangi (menghormatinya).

Suri-suri panjang. Coraknya berbentuk sisir memanjang dan dulu digunakan untuk hande-hande atau ampe-ampe. Lebih panjang dari yang biasanya,  hingga dua kalinya.

Mangiring.  Motifnya beriringan dan merupakan simbol dari kesuburan dan kesepakatan. Diberikan orang tua sebagai parompa kepada cucunya. Digunakan juga untuk pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali oleh kaum Adam dan sebagai tudung oleh kaum Hawa.

Bintang Maratur. Memunculkan bintang-bintang yang beraturan sebagai lambang dari orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Bahkan juga dalam soal kekayaan dan kemuliaan, ditunjukkan berada dalam tingkatan yang sama. Corak ini juga menunjukkan harapan agar setelah anak pertama lahir anak-anak lainnya.

Sitoluntuho-bolean. Biasanya digunakan sebagai ikat kepala bagi pria atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna, kecuali diberikan kepada anak baru lahir sebagai parompa.

Jungkit. Ini jenis nanidondang atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari kain tersebut.

Lobu-lobu. Yang satu ini digunakan untuk keperluan khusus, terutama orang yang sering dirundung malam, misal kematian anak, karena itu dipesan langsung oleh yang memerlukannya.


Dua Ulos

(berdasar ukuran)

  1. Na Balga. Inilah jenis untuk kelompok masyarakat papan atas. Biasanya digunakan pada upacara adat saat mangulosi maupun digunakan sebagai pakaian resmi.
  2. Na Met-met. Jenis yang hanya digunakan sehari-hari. Ukurannya panjang dengan lebarnya jauh lebih kecil dari biasanya. Tidak digunakan dalam upacara adat.

Arti harfiah. Berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindungi dari  udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber panas bagi manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiganya, yang paling nyaman dan akrab dengan kehidupan tak lain kain tradisional ini.

Penggunaan. Kain ini digunakan bisa digunakan dari bagian tubuh atas hingga bawah. Dihadanghon bila disampirkan di bahu atau menjadi selendang. Untuk wanita disebut hoba-hoba  (bahu) atau ampe-ampe (selendang). Diabithon sebagai sarung atau saong. Dililithon ketika  dililitkan di kepala atau pinggang.  Pada pria disebut detar bila digunakan sebagai penutup kepala dan haen bila digunakan di bawah.

Uis atau Hiou. Suku Batak menyebut kain yang digunakan upacara adat dan sehari-hari adalah ulos. Suku Karo menamainya uis. Untuk jenisnya ada nama sendiri, seperti uis beka buluh, uis jungkit dilaki, uis nipeh padang rusak, uis nipes benang iring. Sedangkan suku Simalungun mengenalnya sebagai hiou. Muncul dengan motif yang berlainan juga, termasuk kekhasan pada penggunaannya sebagai penutup kepala.

Rita N./Toni H./Dok. TL

Ulos, Persaudaraan, Pengharapan dan Sebuah Nasehat (Bagian 1)

Ulos Kain tradisional Batak shutterstock

Ulos dalam adat dan tradisi Batak bukan sekadar lembaran kain yang dipakai dalam upacara-upacara istiadat. Di dalamnya mengandung makna yang luar biasa dalam. Ia juga mengandung arti persaudaraan, pegharapan dan nasehat.

Ulos, Adat Dan Tradisi

Di sepotong siang yang terik, pada sebuah rumah berlantai semen berdinding tembok tanpa cat di Desa Penampangan, Samosir, Sumatera Utara, Rini yang kini berusia 12 tahun itu tengah berasyik-masyuk bersama hasoli dan turak. Di sekitarnya tampak pula pagabe, baliga, hatudungan, sidurukan, pamapan, panghulhulan, dan juga panggiunan. Berbagai nama tersebut di atas bukanlah nama teman bermain dari sang dara, melainkan bagian-bagian dari alat tenun. Di sudut yang lain si nenek memendangi sang cucu yang tengah martonung (menenun), dengan rasa bungah.

Hasoli adalah  tempat gulungan benang dan turak  yang terbuat dari bambu kecil yang berfungsi memasukkan benang di sela-sela benang yang ditenun.  Turak dan hasoli menyatu dan berjalan seiring. Turak lah yang membuka jalan sehingga benang bisa menari di antara untaian benang lain sehingga membentuk beragam motif. Pendukung lainnya, pagabe berupa dua potong kayu yang mengapit tubuh, sehingga menopang tubuh sekaligus menjadi penahan alat tenun. Pamapan termasuk bagian utama dari alat tenun, berupa kayu besar dan dua kayu di kiri dan kanan.

Di bagian tengah, di antara benang dan kain setengah jadi, ada baliga, yang memadatkan benang-benang yang terjalin. Sidurukan adalah tempat menaruh baliga. Ada pula panghulhulan berfungsi seperti palet pada mesin jahit, penggiunan adalah penarik benang. Benangnya sendiri disebut giun, dan alat untuk memasang benang sebelum ditenun adalah hatonungan. Lantas alat tenun itu sendiri tak lain alat tradisional gedogan.

Itulah seperangkat alat tenun yang telah menjadi teman akrab Rini sejak kelas 5 Sekolah Dasar, Jemarinya yang lentik selalu memainkannya lidi-lidi yang membentuk konfigurasi benang menjadi motif atau corak kain. Ini dilakukannya selama 2-3 jam saban pulang sekolah. Kini Rini biasa merampungkan selembar ulos berukuran panjang 1,5 meter lebar 40 sentimeter dalam sepekan. “Dia masih anak-anak, lidi yang dipakai baru lima, belum bisa bikin yang pakai banyak warna,” kata si opung.

Dalam adat Batak, remaja yang baru belajar menenun memang hanya diperboleh membuatkan ulos parompa yang digunakan untuk menggendong anak. Tingkat kemahiran ditentukan oleh jumlah lidi yang digunakan. Pada tingkat mahir, penenun biasanya menggunakan tujuh buah lidi sekaligus. Itu yang disebut marsipitu lili. Pada level ini, mereka telah bisa membuat semua jenis ulos. Dalam membuat ulos, semakin banyak lidi yang digunakan, maka corak pun semakin beraneka.

Menurut penuturan si nenek Rini, masyarakat sekarang cenderung menyukai ulos yang dipenuhi dengan benang emas. Menurut si opung, makin banyak warna makin tinggi nilai rupiahnya. Ulos biasa dijual pada kisaran harga Rp 150-400 ribu. Tak jauh dari rumah Rini itu, ada pula beberapa rumah yang juga memproduksi ulos. Biasanya, dalam setiap rumah prosuksi, paling tidak ada lima perempuan penganggit. Seorang di antaranya sudah dalam tingkat mahir, atau beraksi dengan 12 lidi.

Di desa yang berlokasi sekitar 40 km dari Tomok, pelabuhan kecil untuk penyeberangan feri ke Parapat, ini memang dihuni oleh banyak penenun, hingga menjadi magnet tersendiri bagi para pedagang ulos. Di satu jalan desa saja, dalam jarak hanya 500 meter sudah ada tiga kelompok penenun, salah satunya memiliki keunikan karena masih tinggal di rumah adat dan mereka menggelar tikar di depan rumah dan duduk beramai-ramai menenun. Selalu ada pedagang dari luar yang rutin datang mengumpulkan kain adat tersebut.

Di halaman tanah memanjang itu ada dua kelompok perempuan asik dengan gedogan. Salah satunya perempuan boru Silalahi, 62 tahun. Di kiri kanan diapit saudaranya. Tak hanya ulos tapi juga songket Batak pun dibuatnya. Kain songket dalam warna kuning dan biru tampak mencolok. Semuanya ia pajang di tali yang merentang di depannya sehingga mirip jemuran. Perempuan ramah itu mengaku bisa membuat ulos jenis apapun dan dari daerah manapun di Sumatera Utara. “Bisa pesan kalau mau,” ujarnya.

Jenis ulos setiap wilayah di Sumatera Utara berbeda. Ibu lima anak itu bisa dengan rinci menjelaskan beberapa perbedaan itu. Ulos Batak Toba, misalnya, kebanyakan bercirikan  warna redup, dominasi pada hitam dan abu-abu dengan corak yang lebih simpel. Berbeda lagi dengan ulos Karo. Banyak menggunakan warna dasar merah dan terang. Dan kain tradisional itu disebut sebagai uis. Sedangkan ulos Tarutung  memunculkan corak beragam dan warna cerah. Demikian juga dengan ulos Simalungun yang bermain dalam warna biru, merah, dan oranye selain juga hitam. Dikenal sebagai hoiu.

Hanya beberapa meter dari boru Silalahi, empat perempuan lanjut usia tengah tenggelam dalam keasyikan memainkan baliga dan lidi. Tanpa bersuara. Keempatnya menenun dengan teknik ikat lungsi – mengikat benang yang disusun memanjang – dan ketekunan menjadi modal utamanya. Tak mengherankan lebih banyak kaum Hawa dan lebih dominan juga yang berusia lanjut ketimbang remaja. Beruntung di Samsosir, jumlah penenun masih cukup banyak. Di Desa Perbaba, dekat Pangururan, pun bisa ditemukan lagi kelompok penenun.

Bahkan pengusaha kain ulos di Pematang Siantar pun, banyak yang belajar menenun di Samosir, dan beberapa malahan memang berasal dari kabupaten tersebut. Di Parluasan, tak jauh dari pasar, penenun berkumpul di beberapa rumah, setiap rumah ada sekitar 5-7 penenun. Sejumlah penenun Samosir pun mengadu nasib ke Medan. Di ibu kota Sumut, aneka ulos dan songket itu dijual di Pasar Sentral atau tepatnya di Pusat Pasar Lama. 

Ada sekitar 12 kios yang menjajakan aneka kain tradisional, tak hanya ulos tapi juga aneka songket, lengkap dengan kebaya. Salah satunya milik boru Simbolon yang mengusung nama UD Parna Tex, ia menjual kain dari harga Rp 15 ribu hingga Rp 1,5 juta. Satu motif pun bisa berbeda harga, tergantung jenis benang dan pengerjaannya, misal ulos ragi hotang ada yang dijual Rp 50 ribu, tapi ada pula yang lebih halus Rp 150-200 ribu.

Ulos memang tak bisa terpisahkan dari kehidupan suku Batak. Dalam suka maupun duka. Bahkan setiap masa penting dalam kehidupan seseorang pun tak lepas dari ulos. Ada tiga momen penting yang dimaknai dengan ulos, yakni kelahiran, pernikahan, dan kematian. Setiap kesempatan itu, ulos yang digunakan berbeda. Sewaktu lahir, kakek nenek memberi ulos parompa atau ulos gendong, kemudian ketika menikah akan menerima ulos hela (ulos untuk menantu) dan ketika meninggal mendapat ulos saput. Pemberinya adalah kelompok marga dari istri atau dalihan natulo yang disebut sebagai hula-hula.

Jadilah mangulosi atau memberi ulos menjadi ritual yang penting dalam adat Batak. Pemberian itu tak hanya seperti kado biasa, ketika seorang pelancong membeli ulos sebagai suvenir dan menyebarkannya kepada handai tulan atau sahabat ketika kembali ke kota asalnya. Melainkan mengandung makna yang dalam, yakni pemberian restu, menunjukkan rasa kasih sayang, pengharapan pada hal-hal yang baik. Makna itu tersurat dalam pepatah lawas, Ijo pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong. Maknanya, jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.

Maka ketika diberikan kepada menantu laki-laki, ulos berarti sebuah nasehat agar paham kerabat yang harus dihormati, hormat kepada kerabat istri dan lemah lembut kepada keluarga. Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, ulos juga menjadi sebuah penghormatan terhadap jasanya sebagai istri. Sekaligus juga menjadi tanda bahwa dia telah menjadi janda. Secara umum, ada beberapa ketentuan dalam ritual adat ini. Misal yang diberi ulos haruslah secara silsihan keturunan berada pada tingkatan di bawah pemberi ulos, kemudian jenis yang diberikan juga harus sesuai dengan kesempatannya. Apakah kelahiran, pernikahan atau kematian? Motif dan warnanya selalu berbeda.

Dari motif ada pula nama-nama khususnya dan corak pun menjadi sebuah simbol. Beberapa yang dikenal luas adalah ragidup, ragi hotang. bintang maratur, sadum, suri-suri panjang, mangiring. Lantas dari penggunaannya, ulos bisa digunakan di beberapa bagian tubuh, seperti di kepala, penutup bahu, selendang, di bagian tubuh bawah hingga menjadi kain gendongan. Makna, fungsi dan kesempatan penggunaannya membuat ulos memang begitu kompleks sekaligus menjadi sebuah kebanggaan bangsa ini.

Rita N./Toni H./Dok. TL