Pesta Sakura, ini tak ada kaitannya dengan musim bunga di Jepang. Juga tidak terlait dengan bunga khas matahari terbit itu. Ini adalah tradisi perayaan di saat Idul Fitri yang dilakukan masyarakat di Kabupaten Lampung Barat, Lampung.
Pesta Sakura
Kabut masih menggulung di depan kamar hotel yang terletak di salah satu jalan utama di Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Memang masih pukul 06.00 lewat beberapa menit, tapi suara anak-anak begitu nyaring terdengar. Saya membuka gorden sedikit dan terlihat sekelompok anak sekolah dasar dan menengah. Beberapa tampak tengah membalut dirinya dengan kain panjang bercorak batik. Baik bagian wajah maupun badan. Pesta sakura atau sering disebut sekura segera dimulai.
Memang bukan Hari Raya Idul Fitri seperti lazimnya acara sakura digelar yang umumnya pada 2-10 Syawal. Namun, seperti diungkapkan Bupati Liwa Drs Muchlis Basri dalam pembukaan perayaan ulang tahun kabupaten ini, sakura kini tak hanya setahun sekali, tapi juga diadakan saat perayaan ulang tahun Liwa. Meski hanya melalui parade di pusat kota dan lebih ingin menikmati kesukariaan itu, saya pun bergegas keluar. Sinar mentari perlahan muncul dan hawa mulai menghangat.
Dikelilingi pegunungan dan tak hanya dikenal sebagai penghasil kopi dan sayuran, Liwa juga lekat oleh tradisi seni topeng sakura. Seni ini melekat di beberapa kecamatan, seperti di Belalau, Batu Brak, Liwa, dan Sukau.
“Datang pas Lebaran, sekuraan (perayaan sakura atau pesta sakura) di kampung-kampungnya ramai sekali,” ucap Udin, warga yang saya temui di Batu Brak. Sembari menunjuk gang kecil di antara rumah panggung, ia menyebutkan, “Orang-orang keluar dari gang kemudian keliling pekon (desa).”
Biasanya dimulai pada pagi hari. Satu kelompok akan bergabung dengan kelompok lain hingga keriuhan pun tak terhindarkan. Banyak juga yang menonton. Udin menjelaskan, orang yang bersakura itu tak hanya berjalan, tapi juga berjingkrak-jingkrak dan menari-nari. “Lucu-lucu kadang-kadang,” ucapnya sembari tersenyum.
Sakura juga disebut topeng kayu, tapi kini penutup wajah dibuat lebih bermacam-macam. Selain kayu, ada kain, kertas, dan dedaunan. Tanpa harus ditata sehingga tercipta bentuk indah. Justru dibuat tak beraturan agar terkesan aneh atau lucu, sehingga bisa menghibur. Walhasil, selendang, sarung, daun pisang kering, daun pohon sagu, dan rok perempuan pun bisa dilekatkan pada tubuh orang yang bersakura itu.
Yang ambil bagian bisa anak-anak dan orang tua. Yang pasti ialah kaum Adam. Tak mengherankan di Museum Nasional Lampung bisa ditemukan sakura anak, topeng yang berbentuk kecil dengan wajah seperti menangis, dan sakura tuha yang menunjukkan ekspresi orang sepuh.
Keragaman itu membuat sakura terbagi atas dua jenis. Pagi itu saya menemukan anak-anak sekolah berbalut kain bersih. Inilah yang disebut dengan sakura helau atau betik yang berarti bersih—sakura dengan kain bersih dan rapi.
Selain itu, ada sakura kamak yang dikenal sebagai sakura kotor. Biasanya menggunakan pakaian dan topeng dari tanaman. Pakaian yang dikenakan bak orang bekerja di ladang atau sawah. Hiasannya yang ditempel pun memberi kesan kotor. Sering juga lebih menonjolkan kelucuan, seperti pria dengan gaya ibu hamil.
Salah satu ciri lain dari sakura adalah tingkah polahnya selama berjalan keliling kampung. Orang yang bersakura berniat menarik perhatian orang dan menghibur. Mereka menari-nari, bertingkah lucu, dan kerap juga bergaya seperti binatang. Tak mengherankan ditemukan topeng kayu dengan bentuk hewan beruk yang merupakan peninggalan masa lalu dan kini tersimpan di Museum Negeri Lampung.
Pesta sakura biasanya diakhiri oleh panjat pinang. Nah, sakura kamak-lah yang akan ambil bagian dalam atraksi ini. Sebaliknya, sakura betik hanya menjadi penonton atau penggembira. Yang bersekura betik pada masa lalu adalah pria yang belum menikah atau mekhanai. Sedangkan sekura kamak bisa pria lajang ataupun sudah beristri (khagah).
Dalam sebuah pawai karnaval, saya juga menemukan sakura cakak buah. Ditampilkan oleh sebuah sekolah dasar, rupanya sakura yang satu ini merupakan bagian dari sakura kamak. Mereka membawa beberapa buah-buahan seperti yang biasa dibuat untuk panjat pinang. Ada pula kelompok orang bersakura dengan gaya yang superlucu seperti dandanan ala perempuan yang membuat saya tersenyum sendiri. Kreasi orang bersakura memang bermacam-macam. Dan, yang paling penting bisa memancing perhatian orang.
Kata sakura sendiri berasal dari kata sakukha yang berarti penutup muka atau penutup wajah. Tujuan pesta sekura selain menghibur ialah bersilaturahmi dan berakhir pada panjat pinang yang sifatnya bergotong royong atau beguai jejama. Akhir dari pesta siang itu, orang-orang yang bersakura langsung berkumpul di lapangan. Di sana sudah berdiri beberapa pohon pinang dengan hadiah bergelantungan di atas. Keriuhan kembali meruap.
Keahlian memanjat dan kerja sama yang baik membuat benda-benda di atas pohon pun beralih tangan dengan cepat. Wajah-wajah penuh senyum pun bubar. Pesta usai. l
Dua Versi
Masyarakat Liwa meyakini sakura merupakan seni paling tua peninggalan leluhurnya, yakni buay tumi. Pada saat itu, suku tersebut menganut animisme dan sakura pun merupakan salah satu bentuk pemujaan terhadap penguasa alam dan roh-roh nenek moyang yang cenderung berwajah jelek serta berbusana dari dedaunan atau seadanya.
Jejak dari suku pertama di wilayah Lampung Barat ini adalah Ratu Sekarmong yang memimpin masyarakat buay tumi pada akhir pengaruh Hindu. Pada masa itu, sakura digelar saat panen ataupun bulan purnama, meski tak seorang pun bisa memastikan awal kemunculan tradisi sakura ini.
Namun, selama ini, sakura terkait dengan perayaan Idul Fitri atau datangnya bulan Syawal, sehingga ada peneliti yang memperkirakan sakura di daerah ini muncul pada zaman Islam. Islam menyebar di pesisir Barat Lampung ini sekitar abad ke-13 hingga sakuraan pun diperkirakan dimulai pada masa itu. Sakuraan menjadi ungkapan untuk rasa syukur ketika bulan Syawal datang dan sukacita menyambut hari suci dan besar.
Sementara itu, peneliti yang berbeda memperkirakan sakura dimunculkan pada Hari Idul Fitri setelah masyarakat Liwa menganut Islam, yang sempat terhenti sebelumnya. Seperti diungkapkan salah tokoh masyarakat setempat Habbibur Rahman Lekat Haiman Sukri seperti dikutip dari Penelitian Sejarah Sekala Bekhak Lampung Barat yang dikeluarkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Liwa.
Ia menyatakan sakura pernah tidak memunculkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun akhirnya dihadirkan kembali saat Idul Fitri karena dinilai tepat sebagai acara silaturahmi atau ngejalang sesama warga. l
agendaIndonesia/TL/Rita N.
*****