Mekotekan Galah Pengusir Bencana

andi prasetyo mekotekan 31

Mekotekan galah mengusir bencana mungkin masih jarang diketahui masyarakat. Namun bagi masyarakat Bali, khususnya di Desa Adat Munggu, ini adalah hal yang biasa. Bahkan telah menjadi tradisi.

Mekotekan Galah Pengusir Bencana

Sepuluh kilometer dari barat Kota Denpasar, penjor-penjor di sepanjang Desa Adat Munggu, Mengwi, bergoyang disapu angin. Bau bambu kemarin sore yang baru ditebang menyapa penciuman. Janur yang menjadi ikon utama Pulau Seribu Pura pun masih kuning segar, belum mengering. Bunga tabur terlihat belum lama diganti. Canang masih utuh, belum juga disauk anjing. Begitu pun, bara belum habis membakar dupa. Atmosfer demikian lekat dengan ritual keagamaan yang hendak atau baru digelar. 

“Pagi tadi, masyarakat Hindu sembahyang di pura dalam. Selama 210 hari sekali, mereka merayakan Kuningan, seperti hari ini,” kata Made Arya, pegiat wisata asal Singaraja, pada pertengahan April lalu. Pantas, suasana perdesaan lebih meriah. Matahari tepat di atas kepala kala kami tiba di desa adat itu. Tok tok tok. Kulkul (kentongan) Pura Puseh dipukul bertala-tala, mengucapkan selamat datang. 

Para pemuda dari 13 banjar di Desa Adat Munggu berhamburan ke luar dari kediaman masing-masing. Mereka mengenakan kostum upacara lengkap, mulai sarung hingga udeng. Satu per satu memenuhi jalan utama menuju pura. 

Made menginjak pedal rem mobilnya pelan-pelan. “Jalan ini dekat dengan persimpangan. Hampir setiap percabangan jalan di Desa Munggu dilalui arak-arakan ngerebek. Jadi tidak bisa parkir di sini,” katanya. Ia lantas membelokkan setir ke depan rumah toko, 500 meter dari simpang empat Jalan Raya Tanah Lot dan Pantai Seseh. 

Setelah memarkir kendaraan, Made tak langsung membaur ke pura. Ia lebih dulu mengeluarkan kamen—kain sepanjang dua meter—model prada Bali dari bagasi. “Kalau mau bergabung ikut upacara mekotekan, pakai kain dulu,” ujarnya. Ia lantas berujar, “Caranya seperti pakai sarung. Kalau perempuan, panjangnya sampai tumit”. Sedangkan laki-laki hanya sampai betis. 

Selepas melilitkan kamen, Made menyodorkan senteng kepada saya. Secarik kain yang menyerupai syal itu dipakai di bagian perut. Dilingkarkan, lalu diikat kuat. Atribut lengkap harus dikenakan. Musababnya, mengikuti ritual mekotekan bukan sekadar menonton pertunjukan budaya. Mekotekan disakralkan sebagai upacara keagamaan lantaran menjadi wujud pertalian antara adat dan hari raya Kuningan oleh masyarakat Hindu di Munggu. Apalagi, rangkaiannya meliputi areal-areal sakral. 

Setelah berjibaku dengan kain, terdengar bebunyian nyaring yang menarik perhatian. Klotek… klotek…. suara kayu beradu aspal mengudara seketika. Tangan para pemuda banjar tampak menggenggam erat kayu pulut setinggi tiga meter. Di ujungnya, terdapat tamiang yang terbuat dari ron atau busung. Juga tersemat bendera kuning dan putih bersimbol dewa-dewa. Beberapa di antaranya menggambarkan ikon Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Tujuannya, sebagai bentuk penghormatan sekaligus simbolisasi keimanan. 

Kemunculan seribuan pemuda itu seperti kelompok barisan prajurit yang hendak maju perang, membentuk pleton-pleton. Ceng-ceng atau kecrak menjadi bebunyianritmis pengantarnya. Iramanya bak genderang penyemangat. Di muka barisan, sejumlah pedanda atau pendeta lebih dulu masuk ke pura. Tugasnya, mendoakan supaya ritual berjalan lancar. 

Di tangan para pemuka agama, digenggam genta atau lonceng dari kuningan. Selama sembahyang, benda itu akan digoyang-goyang hingga memunculkan onomatope nyaring. Kalau sudah berbunyi, berarti ritual pemujaan dan permohonan restu untuk ritual dimulai. 

Klian Desa Adat Munggu, I Made Rai Sujana, ikut dalam rombongan pedanda. Sebelum masuk gapura tempat sembahyang, ia mampir ke wantilan atau balai tempat masyarakat berkumpul guna menjemput para pengiring dan penabuh gamelan. “Saya mau memastikan kalau semua petugas sudah siap,” ujarnya. 

Para pengiring, yakni perempuan berusia 14 hingga 40 tahun, dari tiga banjar yang sudah ditunjuk sebelumnya. Mereka mengenakan pakaian adat lengkap. Tugas mereka, membawa canang persembahan. Di belakangnya, berbaris para penabuh gamelan Bali. Mayoritas anggotanya ialah remaja yang belum genap berusia 20 tahun. “Sudah lengkap, ayo masuk,” ujar si klian. 

“Ritual pertama adalah nedunanIda Bathara di pura dalam,” ucapnya. Hanya ritual pembuka dari depan gapura. Doa mohon keselamatan ini hanya berlangsung 15 menit. Mendekati pukul 14.00, rombongan pedanda ke luar dari area sembahyang. Suara kotekan kembali terdengar. Makin lama, makin santer. Diantar para pemuka agama dan pengiring, rombongan pembawa kayu itu berjalan pelan-pelan mengitari desa. 

Mereka berjalan dengan langkah biasa sambil sesekali bersenda gurau. Belum 300 meter melangkah, di tikungan dekat pohon beringin besar, yang menjadi pintu masuk desa adat, satu per satu anggota pasukan mendekati tetua, yang mereka sebut sebagai anak buah pendeta. Pria berusia 60-an tahun bersorban putih itu memercikkan air rendaman kantil, pandan arum, dan daun kelawo di ubun-ubun peserta atraksi. Daun lala amangan digunakan sebagai perantaranya. Setelah memperoleh “jimat”, si “anak-anak teologi” dianggap sah melakoni ritual. 

Lepas dari ritual percikan air, pasukan dari masing-masing banjar lantas berlarian membentuk kubu. Di setiap persimpangan atau tikungan, sekumpulan pemuda pembawa tongkat pulut membentuk lingkaran. Tongkatnya diangkat, dipusatkan ke titik tengah. Dari kejauhan tampak seperti kerucut raksasa. 

Pemuda banjar lain melakukan hal yang sama. Kubu demi kubu melakukan penyerangan. Tak tek tak tek…. Irama perang kayu membahana. 

Adegan makin barbar ketika seorang dari masing-masing kubu memanjat ke atas galah. Mereka seolah menjadi ujung tombak regu. “Lawan…Dorong…” begitulah teriakan itu memenuhi jalanan sepanjang desa adat. Sesekali, sarung si pemanjat tersangkut tongkat, membuat formasi goyang. Gelak tawa terdengar kompak tak tertahan. 

Kesempatan tersebut dipakai lawan buat menyerang. Mereka mendorong kubu rival dengan tongkat hingga lingkarannya roboh. Lagi-lagi, sorai tawa penonton pecah. Pemandangan akan terus seperti ini. Tak ada patokan kapan ritual berakhir. Selagi masih semangat, mereka akan bertempur. 

Sedangkan para perempuan setia duduk-duduk di emperan jalan atau beranda rumah menyaksikan perang kayu—yang selalu dijumpai setiap enam bulan sekali—sampai bubar. Niluh Sarmini, ibu berusia 45 tahun, yang sudah tiga dasawarsa menjadi pengiring, mengatakan umumnya mekotekan kelar seiring dengan ayun-temayun surya. “Kalau langit sudah kekuningan, semangat sudah kendor, satu per satu membubarkan diri,” ucapnya sambil melucuti kepangan rambut. 

*****

andi prasetyo mekotekan 21
Adat Mekotekan sebagai perayaan penolak bala di Bali. (A. Prasetyo)

PERAYAAN PENOLAK BALA

Bila ditarik ke belakang, secara historis, ritual yang digelar berbarengan dengan hari raya Kuningan ini diadakan sebagai pengingat perjuangan para prajurit Kerajaan Mengwi menaklukkan Kerajaan Blambangan. Dulu kala, Raja Mengwi berkuasa di desa adat tersebut. Namun sekonyong-konyong, wilayah hendak direbut Raja Blambangan. 

Pasukan Mengwi lantas melakukan penyerangan. Untuk menghadapi musuh, Raja Mengwi diberkahi sebuah tombak dan tameng dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setelah menang, mereka merayakan dengan cara yang unik, yakni saling serang antarteman. 

Ngrebek mekotek sudah berjalan sejak 1934. Namun ritual adat yang ditetapkan sebagai warisan budaya nasional nonbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu pernah dibekukan pada 1940 oleh Belanda. Alasannya, berpotensi memunculkan perlawanan. Akibatnya, pada 1946, Desa Munggu dilanda bencana besar dengan angka kematian tinggi. Selain itu, gagal panen dan keributan. Mereka percaya, kemalangan ini lantaran tradisi mekotekan dihentikan. 

Tentang Kayu Pulut:

1. Kayu pulut harus dicari di hutan di kawasan Bangli hingga Singaraja. 

2. Kayu pulut diyakini sebagai replika bambu yang punya bentuk lurus hampir sempurna. 

3. Jenis kayu ini sangat kuat, biasa dipakai untuk bahan bangunan. Namun tak dapat digunakan buat kayu bakar karena bergetah. 

4. Makin lama, kayu pulut makin kuat. Jadi setelah digunakan untuk ritual, pulut akan disimpan untuk dipakai di upacara selanjutnya. 

Rosana & Andi Prasetyo