Wingko babat menjadi salah satu keunikan masa lalu ketika orang bepergian antarkota dengan menumpang kereta api. Biasanya, jika melewati wilayah Jawa Tengah, khususnya ketika lewat jalur utara Jawa, di stasiun-stasiun pemberhentian di dekat kota Semarang penumpang akan mendapat tawaran pedagang asongan. “Wingko, wingko … babat, yang babat.”
Wingko Babat
Pada masa lalu, ada dua kerancuan akibat situasi tersebut. Pertama, ada yang mengira itu adalah sejenis panganan yang berbahan jerohan sapi. Dan, ke dua, wingko babat seakan menjadi oleh-oleh khas Semarang, ibukota Jawa Tengah. Ia seakan seperti lunpia.
Yang pertama sudah pasti salah, sebab makanan ini tak ada kaitannya dengan jerohan sapi sama sekali. Ia bahkan sejenis makanan yang berasa manis. Yang ke dua, sejatinya wingko babat juga bukan berasal dari Semarang.
.Sebenarnya oleh-oleh makanan ini malah berasal dari luar Jawa Tengah. Ia berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Nama Babat diambil dari Kecamatan Babat yang terdapat di Kabupaten Lamongan.
Wingko babat sudah mulai diproduksi jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Panganan ini pertama kali dibuat pada 1898 oleh Loe Soe Siang, warga Tionghoa yang menetap di Kecapatan Babat. Ia memulai mencari nafkah dengan membuat jajanan wingko yang terbuat dari kelapa dengan proses yang sangat tradisional.
Wingko, yang kemudian dikenal dengan sebutan wingko babat, sendiri terbuat dari bahan dasar kelapa, beras ketan dan gula. Komponen bahan tersebut yang membuat cita rasa manis dan gurih yang khas.
Makanan ini sebenarnya merupakan kudapan khas masyarakat Babat, Lamongan. Warga Babat biasanya menyebut kudapan berbahan baku utama tepung ketan dan kelapa muda itu dengan nama kue wingko.
Tak sekadar panganan, di daerah Babat kue wingko tidak pula digunakan sebagai oleh-oleh. Makanan ini menjadi bagian dari seserahan seorang lelaki kepada perempuan yang akan dinikahinya. Kue wingko merupakan simbol keseriusan lelaki untuk meminang seorang perempuan.
Lalu kenapa wingko babat justru dikenal sebagai oleh-oleh khas Semarang? Ini ada ceritanya. Ada dua versi kisah makanan ini kemudian menempel dengan ibukota Jawa Tengah itu.
Versi pertama, makanan ini selain menjadi penganan tradisi, ia juga mulai dipasarkan ke warga lain daerah. Salah satunya dipasarkan melalui jalur kereta api sepanjang Babat, Bojonegoro, Cepu, hingga Semarang. Sebagai kota terbesar dari rangkaian jalur tersebut, makanan ini menjadi populer di sekitar stasiun Tawang Semarang.
Versi ke dua dari citra wingko sebagai makanan Semarang adalah kisah tentang wingko babat yang pertama kali dibawa ke Semarang oleh seorang perempuan asal Babat bernama Loe Lan Hwa. Menilik Namanya, bisa jadi ia adalah anak turun Loe Soe Siang.
Saat itu, Lan Hwa bersama suaminya, The Ek Tjong (D Mulyono) dan kedua anaknya, mengungsi dari Babat ke Semarang menjelang kemerdekaan Indonesia.
Mereka beserta kedua anaknya yang masih kecil-kecil, The Giok Kwie (6 tahun) dan The Gwat Kwie (4 tahun), mengungsi dari Babad di Lamongan di Jawa Timur ke Semarang sekitar 1944. Di tengah suasana panas Perang Dunia II, dari Babad yang dilanda huru-hara, mereka datang ke Semarang untuk mencari kehidupan yang lebih aman.
Pada tahun-tahun itu, Indonesia ada di bawah cengkeraman Jepang. Mereka mengungsi untuk mencari kehidupan yang lebih aman. Dampak kekalahan Jepang di Perang Dunia II rupanya juga ikut dirasakan warga Babat. Waktu itu, banyak terjadi kerusuhan di daerah-daerah.
Sekitar 1946 Loe Lan Hwa dan suaminya mulai memasarkan wingko di Semarang dengan nama atau merek Millens. Pada saat makanan ini mulai dijajakan keluarga itu, belum ada orang atau warga Semarang yang mengenal panganan ini.
Kue wingko tersebut dijajakan dari rumah ke rumah, di samping dititip-jual di sebuah kios sederhana yang menjual makanan di stasiun kereta api Tawang Semarang. Setiap kereta berhenti, petugas kios menjajakan kue wingko beserta makanan lainnya kepada penumpang di dalam kereta api.
Juga kepada para calon penumpang yang akan berangkat ke luar kota dengan label “oleh-oleh” dari Semarang. Dibandingkan dengan lunpia, wingko umumnya memang lebih awet rasa dan kesegarannya. Jadi seakan cocok sebagai buah tangan.
Kue wingko buatan Loe Lan Hwa ini banyak disenangi orang Semarang. Banyak di antara mereka yang menanyakan nama kue tersebut kepada Loe Lan Hwa. Untuk memenuhi keingintahuan pembelinya dan sekaligus sebagai kenang-kenangan terhadap kota Babat tempat dia dibesarkan, Loe Lan Hwa menyebut kue buatannya itu sebagai wingko babat.
Saat ini, wingko babat sudah beredar lebih luas. Tak hanya ada di stasiun dan toko oleh-oleh di Semarang. Bahkan toko-toko oleh-oleh di Yogyakarta atau Solo menjualnya.
Di Semarang, makanan ini banyak dijual oleh masyarakat umum di toko oleh-oleh. Merek dan produsennya pun sudah bukan dari keluargaLoe Lan Hwa, tapi sudah puluhan merek.
Beragam merek wingko yang populer antara lain : Wingko Babad Cap Kereta Api, Wingko Babat NN Meniko, Wingko Babat Dyriana, dan Wingko Babat cap Tiga Kelapa Muda.
Sudah pernah mencicipi wingko babat? Atau sudah pernah membawa wingko untuk oleh-oleh?Jika belum, cobalah agendakan sekali-kali.
agendaIndonesia
*****