1 Senja di Lombok Timur, Mengejar Ribuan Buih

Pantai Gili Pasir

1 senja di Lombok Timur, memburu ribuan buih air laut, dan menapak di jutaan pasir. Pulau-pulau kecil dengan pasir halus, tersebar dari Tanjung Luar sampai Sekaroh.

1 Senja di Lombok Timur

Udara mulai bergeser terik, meski masih terbilang pagi. Meninggalkan Pantai Seger di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, saya tak ingin hanya berputar di sekitar kawasan wisata Kuta. Jadilah kendaraan melaju ke bagian timur. Maklum, kabarnya ada sebongkah keindahan di sana. Melewati perkampungan yang adem karena penuh pepohonan, hingga akhirnya melaju di atas aspal mulus dengan salah satu sisi yang tandus. Aroma khas pesisir mulai tercium. Perjalanan satu jam sudah.

Setelah melaju di Jalan TGH Moh. Mutawalli, kendaraan pun berbelok ke kanan di depan kantor Desa Serumbung, Kecamatan Jerowaru. Rasa panas pun menerpa, saya menutup jendela rapat-rapat. Tak ada arahan menuju pantai, tapi saya percaya dengan pengemudi yang paham betul Lombok.

Di pertigaan terlihat kerumunan warga yang baru ke luar dari kantor Kepala Desa Ekas Buana. Saya lihat kiri-kanan kebun jagung yang mengering, jalan kecil tanah pun berdebu. Namun, hanya dalam jarak 400 meter, samudra pun sudah di depan mata. Debur ombak nyaring terdengar. Pantai yang begitu panjang, diapit dua bukit bebatuan.

Perjalanan 1 jam lebih dari Kuta pun menjadi tak terasa. Saya memilih menaiki bukit batu agar bisa memandang pantai dan samudra dari ketinggian. Apalagi di balik bukit ternyata ada pantai kecil yang juga begitu sepi. Di ujung lain, terlihat ada bagian pantai dengan pasir putih, sedangkan di dekat saya berdiri, tepian pantai penuh dengan karang. Tak ada turis berkeliaran. Ketika menuruni bukit, baru saya bertemu dua ibu yang membawa keranjang. Rupanya mereka hendak mencari kerang-kerang yang bersembunyi di balik karang.

Pantai Pink
Wisata pantai di Lombok Timur, salah satunya ke pantai Pink. shutterstock.

Saat kendaraan baru beranjak, barulah saya bersua dengan dua turis bule yang mengendarai sepeda motor. Mereka mengarah ke pasir putih yang berada di sisi kiri. Di sana memang lebih nyaman untuk berjemur atau sekadar leyeh-leyeh di tepi pantai. Pantai landai dengan pasir yang lembut.

Satu surga harus saya tinggalkan siang itu. Karena Lombok Timur masih menyimpan “surga-surga” lain, kali ini saya masih harus berkendara satu jam lagi dari Desa Ekas Buana menuju sisi yang berlawanan, yakni Tanjung Luar. Ada sejumlah pulau kecil, dan tentunya Pantai Pink, yang namanya sudah berkibar di kalangan pelancong.

Atas saran pengemudi, saya dan kawan mendatanginya via laut, alias berperahu. “Lewat darat harus lewat hutan Sekaroh dengan jalan rusak, dan kalau kemalaman pas pulang, gelap itu,” ujarnya. Sebagai orang yang tak paham wilayah, saya sepenuhnya percaya kepada pria asli Lombok itu.

Jadi kami pun menuju sebuah pelabuhan kecil di Dusun Telong Elong, Desa Pringgasela Timur, Lombok Timur. Sebenarnya, bisa juga berperahu dari Labuan Pandan, tapi lagi-lagi menurut si pengemudi yang bernama Kadir itu, jaraknya terlalu jauh. Kadir berbaik hati pula memesan pisang goreng sebelum kami tiba. Dengan bekal minuman dan pisang goreng panas, kaki pun melangkah riang. Sudah terbayang keindahan pantai-pantai di Tanjung Luar.

Mendung seperti tiba-tiba menyergap. Saya segera ke perahu nelayan, paling tidak tentunya berharap hanya gerimis yang turun dan langit pun segera cerah kembali. Perahu melaju melewati Gili Re, pulau dengan penduduk terbanyak di Tanjung Luar. Di sini pula, Mak Heri, nelayan yang mengantar kami, tinggal. Keramba terlihat di sekeliling pulau. Tujuan pertama rupanya Gili Pasir, yang dicapai hanya dalam 15 menit. Ehmm… Benar-benar hanya ada gundukan pasir, bendera merah putih, dan bintang-bintang laut yang menampakkan diri di tepian pantai.

Sederhana suasananya tapi bahagia rasanya dan saya ingin berlari menuju dua sisi pasir yang tak seberapa luas itu. Sayang, tak lama hujan deras turun dan sempat masuk ke dalam perahu. Tapi kami mencoba menunggu dan berharap hujan segera berhenti. Doa rupanya terkabul, hujan hanya sesaat. Saya pun kembali berlari di pasirnya yang halus dan tertawa lepas.

Tak bisa terlalu lama rupanya, karena perjalanan ke pulau selanjutnya lebih panjang. Melewati tambak-tambak ikan, juga tempat pembudidayaan mutiara. Sang nelayan sempat menunjuk Pantai Pink 2 yang dari kejauhan terlihat pasirnya yang merah muda. Terlihat sepi, tapi perahu terus melaju hingga sekitar 30 menit, dan tibalah di Gili Petelu. Pulau kecil dengan tiga bukit karang, juga pantai berpasir putih yang mini. Terlihat satu keluarga tengah menikmati keindahan bawah lautnya. Perairannya yang jernih memang menggoda.

Meski tidak bisa terbilang istimewa, menjajal snorkeling di sini bisa menjadi pilihan. Bila tidak, cukuplah dengan menebar remah-remah roti, rombongan ikan pun menampakkan diri. Saat langit mulai tak terang lagi, perahu kembali dinaiki. Di sisi kanan Gili Petelu sudah terlihat hamparan Pantai Pink, yang ternyata warna kemerahannya tak terlalu kuat bila dibanding Pantai Pink 2. Bisa jadi, karang-karang merah yang membikin pasir menjadi kemerahan sudah tak lagi banyak singgah di pantai yang terletak di Desa Sekaroh ini.

Ombak begitu tenang di tepi pantai. Berjajar beberapa perahu, terasa sepi. Hanya ada satu anak seusia siswa taman kanak-kanak bermain di pantai, dan orang tuanya menunggu di tepian. Kelompok turis bisa jadi sudah pulang karena senja sudah menjelang. Tinggal segerombol nelayan yang nongkrong di sebuah warung. Sejenak saya ingin menikmati pantai dalam keheningan, sementara rekan saya langsung mendaki bukit yang ada di salah satu sisi. Tentunya untuk mencari tempat pengambilan foto terbaik.

Anjing-anjing berlarian, gonggongannya memecah hening. Saya menengadah ke langit, rupanya warnanya mulai gelap. Saatnya menyusul teman, mendaki ke bukit. Segerombolan kambing dan seorang nenek saya temukan di atas bukit, plus setumpuk kelapa muda. Duduk di bangku kayu sembari menyeruput air kelapa hijau tampaknya bisa bikin menanti senja semakin nikmat. Langit mulai menguning, memerah, dan rekan saya tiba-tiba muncul dari ujung bukit. Masih ada warna merah dan berbaur gelap di langit, tapi kami memilih kembali ke perahu. Lebih asyik menikmati senja di tengah lautan.

Perasaan saya perjalanan pulang lebih panjang. Mungkin karena perahu tak mampir-mampir. Lampu-lampu di tempat budi daya mutiara, dan bagan ikan yang terapung, menjadi penerang laju perahu. Tak ada satu pun yang berbicara. Sesekali Mak Heri menyapa rekannya yang menjaga bagan ikan. Hanya ada suara ombak terhantam perahu dan mesin perahu yang saling bersahutan. Kami kembali dalam hening, seakan tak rela meninggalkan langit yang jingga. Apalagi dermaga kecil di Dusun Telong Elong yang dituju tampak gelap gulita. l

Rita N/Fran-TL

Bau Nyale, Saat Hari Ke-5 Purnama Kalender Sasak

Bau Nyale adalah sebuah perayaan tentang cacing atau nyale merupakan perwujudan putri yang menyerahkan diri dan cintanya kepada rakyat.

Bau Nyale

Pantai Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang pernah saya singgahi beberapa tahun lalu, terasa berbeda kali ini. Keramaian ada di mana-mana. Wajar saja jejeran pantai dari Tanjung Aan hingga Kuta itu terasa riuh. Sebab, saya datang menjelang Upacara Bau Nyale. Ritual tahunan yang digelar saat bulan purnama antara Februari dan Maret bahkan telah dikemas menjadi satu festival. Bau dalam bahasa Sasak berarti menangkap, sedangkan nyale bermakna cacing. Kegiatan utamanya memang memburu cacing saat air laut surut.

Tradisi menangkap cacing yang muncul dari lubang-lubang karang di Pantai Seger maupun Kuta ini bermula dari legenda masyarakat di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Pada zaman dulu, Kerajaan Mandalika, yang berada di daerah itu, memiliki seorang putri yang elok dan memikat sejumlah pangeran. Namun sang putri tidak mau menimbulkan pertumpahan darah akibat masalah cinta.

Ia memutuskan untuk terjun ke laut dari bukit yang berada di Pantai Seger atau dikenal juga sebagai Pantai Mandalika. Lokasinya bersebelahan dengan Pantai Kuta. Dengan cara itu, ia bisa membagi dirinya untuk pangeran yang mencintainya dan juga rakyatnya. Setelah tubuh Putri Mandalika ditelan ombak, muncullah cacing berwarna-warni dari batu karang. Masyarakat setempat meyakini cacing itu jelmaan sang putri.

Nah, setiap tahun, perwujudan sang putri itu selalu muncul di laut pada hari kelima purnama bulan 10 kalender Sasak. Tahun ini, Upacara Bau Nyale digelar pada 19-20 Februari. Namun kini lebih berfokus pada masa Bau Nyale Poto (akhir bau nyale) daripada Bau Nyale Tunggak (awal bau nyale) seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sebenarnya acara menangkap cacing dilakukan juga di sejumlah pantai di Lombok. Setidaknya, ada 16 titik untuk menjaring nyale. Hanya, karena legendanya tumbuh di Pantai Seger, festival selalu dipusatkan di kawasan Kuta. Sebelumnya, sejumlah kegiatan dan ritual digelar. Para tarune (pemuda) menjajal aneka lomba tradisional, di antaranya, bertarung dalam presean—sejenis bela diri dengan senjata sebilah tongkat rotan. Dilengkapi juga dengan tameng dari kulit sapi. Presean digelar di tepi pantai. Suasananya riuh karena teriakan orang berbaur dengan gendingpengiring pertarungan yang terdiri atas dua gendang dan masing-masing satu set petuk, rencek, gong, dan seruling.

Tidak jauh dari Tanjung Aan, yang berada di sebelah Pantai Seger, saya menemukan pacuan kuda anak-anak. Areanya yang besar membikin saya lebih leluasa menyaksikan pacuan kuda dari jauh. Rasanya miris juga menyimak dari dekat. Tanpa pelana dan perlindungan ala kadarnya, sejumlah bocah berusia 9-13 tahun memacu kuda. Peserta datang dari berbagai desa, bahkan juga dari Sumbawa.

Esoknya, saya menemukan keriuhan lain di lobi sebuah hotel di kawasan Kuta. Dung-dung-dang-dang-jreng! Suara tersebut begitu nyaring tertangkap telinga. Terlihat rombongan pria berbalut seragam berupa pakaian tradisional suku Sasak. Mereka rupanya menyambut tetamu hotel. Masing-masing membawa perangkat musik. Mulai gendang beleq (besar), gendang kecil, gong, hingga seruling. Kebanyakan grup gendang beleq terdiri atas belasan kru, dengan semua pemain laki-laki.

Menjelang Festival Bau Nyale, keramaian memang tak putus-putus. Di kampung-kampung pun warga membuat penyambutan. Mereka memotong ayam, lalu memanggang dan memadukannya dengan ketupat. Ini suguhan wajib yang telah menjadi tradisi. Sore hari, suasana kian ramai di sepanjang Pantai Tanjung Aan hingga Kuta. Warga dari berbagai penjuru Lombok berdatangan. Turis-turis pun tak mau kalah ikut nimbrung.

Langit semakin gelap, saya melihat air laut surut semakin jauh. Meski perburuan cacing yang dikenal dengan nama nyale oleh warga setempat mulai dilakukan dinihari, obor-obor di tepi pantai sudah terlihat. Ada juga orang yang mencari peruntungan lebih awal. “Kadang memang nyale sudah mulai bermunculan pas matahari tenggelam, tapi yang benar-benar banyak nanti pukul 03.00 atau 04.00 gitu,” ujar Adi, warga Desa Rimbitan, Pujut, yang setiap tahun ikut berburu nyale.

Saya pun memilih beristirahat agar benar-benar bisa ambil bagian dalam perburuan cacing yang memiliki nama Latin Polychaeta dan hidup di dasar laut itu. Jenis cacing ini muncul ke permukaan laut atau muara setahun sekali untuk berkembang biak. Namun warga Lombok mengaitkannya dengan legenda Putri Mandalika.

Festival Bau Nyale telah menjadi sarana promosi wisata Lombok Tengah, sehingga tradisi pun dikemas dengan rangkaian hiburan. Tidak hanya dendang khas suku Sasak dan drama tentang Putri Mandalika, tapi juga ada penyanyi-penyanyi dari luar kota. Setelah berbagai keramaian di panggung, warga berburu cacing pada pukul 04.00. Di tengah kegelapan, saya ikut beramai-ramai dengan warga menuju Pantai Seger.

Jalan menuju pantai bukan pasir nan mulus seperti dua pantai di sebelahnya, Kuta dan Tanjung Aan. Berada di antara bukit kecil, jalannya agak berliku. Pantainya penuh dengan batu karang. Ketika air surut, pulau kecil di depannya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Dan saat surut itulah dari batu karang muncul cacing berwarna-warni, seperti hijau dan kuning.

Seolah diberi aba-aba, warga semakin maju ke tengah pantai. Mereka membungkuk, mengorek-ngorek batu karang, lalu menjumput cacing dan memasukkannya ke botol, ember, atau wadah lain yang dibawa. Kebanyakan warga mengolah cacing ini dengan cara dipepes. Ketika mentari mulai muncul, sedikit demi sedikit orang mundur dengan ember atau botol berisi cacing. “Kalau dapatnya sedikit, nanti di pasar juga suka ada yang jual,” ujar Adi, sembari menyebutkan bahwa hidangan dari cacing ini rasanya memang luar biasa. Waaah! l

Lokasi lain untuk berburu nyale

1. Pantai Kaliantan, Lombok Timur

2. Pantai Sekongkang, Sumbawa Barat

3. Pantai Wanukaka, Sumba Barat

Info

1. Akomodasi saat digelar Festival Bau Nyale di Lombok Tengah selalu penuh. Jadi, pesanlah kamar sejak jauh-jauh hari agar bisa mendapatkan hotel yang lokasinya tidak jauh dari pantai tempat festival digelar.

2. Deretan Pantai Tanjung Aan, Seger, dan Kuta berada di Lombok Tengah, yang bisa dicapai dari Bandara Internasional Lombok dalam 30 menit.

3. Datanglah minimal tiga hari sebelum festival, sehingga Anda bisa menyaksikan berbagai atraksi tradisional. Di sekitar kawasan Kuta juga terdapat beberapa pantai lain yang layak dikunjungi, seperti Pantai Mawun, Teluk Gerupuk, Pantai Selong Belanak, dan Pantai Mawi. Selain itu, ada Desa Sade dan Desa Sukarara, yang dikenal dengan adat dan kerajinan tradisionalnya.

agendaIndonesia/Rita N./Subekti/Dok. TL

*****